Tuesday, December 18, 2012

Tinjauan Buku "Hasjrul Harahap dari Mandor Jadi Menteri"


Pengantar.

Membaca buku ini bagi kami terasa dibayangi oleh rasa subyektif yang tinggi, masa masa menjadi teman sepermainan dari Dedek (Gatot) ketika praremaja  serta nama Ir. Hasjrul Harahap tentunya meninggalkan kenangan yang sangat mendalam dan sulit dilupakan

Masih terbayang dan sangat lekat diingatan suasana dan setting interior rumah keluarga  Ir. Hasjrul Harahap di Sei Karang. Menuju kamar Dedek tempat kami biasa bermain Lego dan Matchbox, kita memasuki pintu depan menuju sisi kiri rumah dengan melewati ruang tamu yang bernuansa Jepang (disisi kanan rumah juga ada taman bergaya Jepang).


Selain karena sering bermain di rumah ; yang juga menjadi kenangan adalah saat saat malam pada bulan ramadhan. Biasanya kalau anak anak berkumpul dan bermain di rumah beliau, maka kepada kami akan dibagikan petasan dan kembang api yang akan memeriahkan suasana malam bulan ramadhan. 
Selain dari pembagian petasan, kenangan bulan ramadhan juga mengingatkan kepada kemeriahan malam takbiran di Sei Karang. Peserta takbir yang berjalan kaki dan membawa obor ; yang dimulai dari Mesjid An Ni'mah dengan route perjalanan mengelilingi Kompleks Sei Karang, khusus di rumah beliau rombongan peserta takbir akan memasuki halaman dan bersua sapa dengan beliau secara akrab.

Berjalannya waktu mengubah kenangan, dari perspektif praremaja ke perspektif dewasa. 

Bagi kami yang berkarir sebagai karyawan perkebunan, prestasi dan jenjang karir beliau, tentunya sungguh menjadi inspirasi. Tujuh tahun bekerja sudah menjadi Direksi adalah dicapai bukan dengan cara yang mudah. Bagaimana totalitas, keteguhan beliau menempa diri, mengelola bakat yang ada serta mentransformasikannya kedalam kehidupan sehari hari tentulah menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk diteladani dan dijadikan motivasi.

Jenjang karir diperkebunan yang dimulai dari assisten magang sampai menjadi Direktur Utama dan selanjutnya dipercaya menjadi Menteri Muda UPPTK dan Menteri Kehutanan adalah sebuah capaian

Niat, kemauan dan kemampuan yang didukung untuk selalu menambah ilmu dan pengetahuan menjadikan kapabilitas yang tinggi dan kematangan sebagai seorang pemimpin dan pimpinan.

Buku 445 halaman termasuk indeks yang berjudul "Hasjrul Harahap dari Mandor Jadi Menteri", ini ditulis oleh Aristides Katoppo - Nina Pane dan diterbitkan Penerbit Aksara Karunia pada 2008 ini sungguh menginspirasi para generasi muda secara umum dan khususnya bagi para planters di perkebunan.
Buku ini ditulis secara runut bagian perbagian untuk menggambarkan jalan dan pengalaman yang menyertai hidup seorang  Hasjrul Harahap yang lahir 18 Nopember 1931 di Pematang Siantar sebagai anak pertama dari 4 bersaudara (Saraswati Sulastri, Sri Leila Murniwati dan Batara Indra) dari pasangan Aboe Tohir Harahap dengan Nirmala Siregar dan diberi nama Hasjrul Mustafa Kamaluddin Pasja Harahap

Tulisan ini sendiri merupakan tinjauan singkat dari buku "Hasjrul Harahap dari Mandor Jadi Menteri", dengan niat untuk dapat menangkap semangat, kiat dan pemikiran dari seorang Ir Hasjrul Harahap mulai dari Froebel School (tadika) di Medan sampai dengan mengakhiri tugas sebagai Direktur utama PTP XXIII dan Ketua SBPN untuk selanjutnya menjabat Menteri Muda UPPTK (Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras). 

Selain daripada itu, yang lebih penting lagi untuk diserap adalah rasa cintanya terhadap tanah air, berbagai pengalaman hidup yang dijalani mulai dari masa bersekolah sampai menjalani masa bekerja mengkristal menjadi pandangan berkebangsaan yang lepas dari sentimen subjektif kesukuan, kedaerahan serta sentimen lainnya. 

Segmentasi dalam tinjauan buku ini bertujuan untuk focus menangkap semangat Ir Hasjrul Harahap dalam  posisi sebagai seorang planters.

Masa Kecil dan Menjalani Pendidikan.

Menjadi anak dari pasangan orang tua yang berprofesi sebagai guru menjadi penyebab berpindah pindah tempat Ir Hasjrul Harahap dalam menjalani pendidikan. Diawali dengan menjadi siswa tadika pada Froebel School  St Joseph di Medan, selanjutnya memasuki jenjang pendidikan dasar pada HIS I di Medan, di HIS Sipirok dan menamatkannya di Rantau Prapat pada tahun 1945. Masa menjalani pendidikan dasar di zaman Jepang ini sungguh menjadi pembelajaran  dalam melihat realita kehidupan. Comfort zone yang berubah menjadi kondisi penuh keprihatinan akibat revolusi merupakan hal yang sangat berat dialami. Selain daripada itu pembelajaran tentang struggle for survive, nilai nilai luhur seperti kejujuran, kerja keras, cara mengelola ekonomi keluarga diperdapatnya melalui ajaran  pesan pesan spritual dan falsafah kehidupan disertai contoh langsung dari orang tua serta dari kakek Ompung Dja Kompong Harahap dan nenek Ompung Boru Eba Harahap (Hal 27,38).
Jenjang  SMP diawali dengan menjadi siswa Chugakko di Medan untuk kemudian dilanjutkan di SMP Sipirok yang menjadi afiliasi SMP Padang Sidempuan, dan akhirnya diselesaikan pada tahun 1948 di Padang Sidempuan.
Pendidikan SMA dimulai di Padang Sidempuan, dimana pada masa ini terjadi cobaan yang amat berat yaitu meninggalnya Abu Tohir Harahap  setelah sebelumnya mendapatkan perobatan di Medan dan Jakarta. Cobaan memberi hikmah spiritual, "Ketika mengantarkan jenazah Papi ke makam, saya ikut masuk ke liang lahat, mengangkat dan menguburkan Papi ke bumi.Sebagaimana lazimnya, azan dikumandangkan. Entah bagaimana jiwa saya tersentuh sekali mendengar adzan itu. Muncul kesadaran saya bahwa suatu waktu kita akan kembali ke tanah. Sejak saat itu saya mulai lebih mendalami ilmu agama dan lebih tekun menjalani syariat-syariatnya. Lebih teratur sholatnya"(Hal 57).  
Pada tahun 1950 dengan ajakan Willem Batubara dan Gandaera Siregar yang merupakan oom dan tante ; pendidikan SMA dilanjutkan di SMA IPPI Jakarta dengan tujuan mendapatkan pendidikan yang lebih baik mutunya. 
Masa SMA di Jakarta ini memberi kenangan tersendiri, menikmati perjalanan yang ditempuh dari Roxy menuju Menteng dengan menggunakan sepeda dan sesekali disertai istirahat dan minum es serut memberikan kesan yang amat mendalam. Kondisi Menteng sebagai daerah elite yang teratur dan rindang menambah motivasi bagi Hasjrul Harahap untuk berhasil.
Pada masa ini jugalah pengertian falsafah batak "Dalihan Na Tolu" dan implementasinya didapat dan diserap. "Kalau kita lihat 'inang inang' yang punya semangat tinggi dalam berdagang, itu tak lain implementasi dari nilai-nilai budaya yang mereka anut. Orang batak adalah salah satu suku yang sejak awal kemerdekaan amat berambisi menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi untuk mencapai nilai nilai kehormatan yang antara lain pada pangkat, harta dan kedudukan. Kalau suaminya pegawai apalagi petani, tak bakal cukup untuk membiayai anaknya yang jadi mahasiswa di rantau. Tahun 1952 sudah ada Universitas di Sumatera Utara, tapi umumnya orang batak selalu ingin yang the best seperti ITB, IPB, UI,UGM. Untuk itu 'inang inang' berkorban dan bekerja keras. Kalau tidak, cita citanya takkan tercapai. Terbukti mereka memang berhasil mengantarkan putra putrinya jadi sarjana diberbagai bidang, yang berarti membentuk suatu generasi baru intelektual. Mereka harus dihormati jasa jasanya" tandas Hasjrul, (Hal 57) yang menyelesaikan SMA nya pada tahun 1952.

Setelah menamatkan SMA  di IPPI Jakarta, banyak informasi dan tawaran untuk melanjutkan pendidikan baik dari keluarga maupun kerabat. Dalam menentukan pilihan telah lebih dulu diputuskan kriterianya yang antara lain membuka program bea siswa. Pada saat itu fakultas dengan prospek terbaik adalah fakultas kedokteran, tetapi tidak mempunyai program bea siswa dan lagi kendala pada mata pelajaran kimia yang dirasakan sulit. Setelah menimbang akhirnya dijatuhkan pilihan kepada Fakultas Kedokteran Hewan di Universitas Indonesia. Tetapi perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan hanya dijalani dua tahun saja (1952 - 1954), untuk selanjutnya dilanjutkan di Fakultas Pertanian UI di Bogor mulai tahun 1954.
Pada masa perkuliahan inilah terbentuk proses untuk bersikap sebagai orang dewasa dimulai dengan bergabung pada Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB) dan selanjutnya menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). 
Motif menjadi anggota HMI ini didasarkan kepada garis organisasi yang anti komunis, yang sejalan dengan paham Hasjrul Harahap yang pernah merasakan sendiri akibat perbuatan komunis terhadap ayahnya. Peran dan aktifitasnya di HMI adalah cukup konstruktif ditandai dengan menjabat Wakil Ketua HMI Bogor. 
Selain aktifitas di organisasi, oleh karena beasiswa yang diterima saat di Fakultas Kedokteran Hewan sudah tidak diterima, berkonsekuensi kepada kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri. Pemenuhan kebutuhan hidup ini dilakukan dengan meningkatkan kemampuan how to sell something dan how to sell idea (Hal 62). How to sell something dilakukan dengan membantu pemasaran barang dagangan Tante Gandaera sedang how to sell idea dilakukan dengan menjadi guru aljabar dan matematika di SMP Taman Putra, ilmu Tata Negara di SMA Taman Madya serta pelajaran Civics di SMA Regina Pacis.
Banyak kenangan selama menjadi guru SMA, yang lucu misalnya "Saya sekolah naik sepeda dengan menggantung ransel di boncengan untuk tempat buku, kalau mengajar buku saya ambil, ransel saya biarkan tinggal, Suatu waktu saya pulang mengajar, buku saya taruh di ransel, sepeda saya kayuh, ransel kok berat sekali, rupanya murid murid mengisinya dengan batu".
Masa perkuliahan ini melengkapi pengalaman hidup yang telah telah diserap sampai menyelesaikan sekolah menengah atas. Masa perkuliahan yang bertepatan dengan masa masa awal kemerdekaan Indonesia memberikan pelajaran hidup yang sangat luas. Pengalaman pahit yang dialami oleh ayahanda sebagai korban kaum komunis memberikan pelajaran yang sangat berharga dan meyakinkannya untuk berhati hati dan waspada. Masa demokrasi liberal sampai dengan dekrit tahun 1959  adalah masa masa untuk belajar politik, dengan mencermati dinamika yang terjadi. 
Agresifitas kaum komunis dalam mengagitasi untuk merekrut calon anggota yang disertai dengan propoganda yang bersifat populis mewarnai dinamika politik pada masa itu. Masa antara 1952 sampai dengan 1959 adalah masa yang dijadikan bahan pelajaran baginya, karena pemberontakan PRRI  memberi dampak langsung bagi Ir Hasjrul Harahap. 
Akibat dari pemberontakan tersebut bantuan biaya dari ibunda menjadi terhenti, dikarenakan komunikasi terputus selama masa pemberontakan. Keadaan ini berdampak kepada penuhan kebutuhan hidup menjadi bertambah berat, karena bertambah dengan kebutuhan hidup Saraswati yang menempuh pendidikan asissten apoteker di ITB Bandung. Kondisi tersebut disikapi dengan mengajukan lamaran dan diterima sebagai assisten Prof Gardner pada mata kuliah floristik serta diterimanya bea siswa dari PPN Sumut IV yang berkantor di Sei Karang
Skripsi berjudul "Penyadapan Getah Pohon Karet" diselesaikan dengan riset di kebun "Telogorejo Estate" Malang yang menjadi salah satu syarat kelulusan di Fakultas Pertanian UI. 

Pelantikan sebagai sarjana pertanian merupakan saat yang bersejarah, termasuk pengalaman pertama memakai setelan jas sebagai hadiah dari Tante Mariam "Itulah jas pertama saya dan fotonya ada pada ijazah saya" (Hal 75). Pendidikan di Fakultas Pertanian UI diselesaikan pada 1961, terlambat dua tahun dibanding teman sekamar dan seangkatan Andi Hakim Nasution, Guru Besar IPB dan Rektor 1978-1987.

Seluruh pengalaman yang dijalani selama menjalani masa pendidikan ini menjadi modal pembentuk karakter, "Waktu selama itu memberikan kepada saya pengalaman kemasyarakatan. Belajar, cari duit, berorganisasi, bergaul, secara serentak, semuanya mematangkan diri saya untuk pembentukan karakter selanjutnya yang lebih tegar"(Hal 76).

Masa Bekerja Di PTP V.

Pada masa itu ; setelah lulus dan diwisuda sebagai sarjana penuh, seorang sarjana diharuskan menjalani program "wajib sarjana". Program ini dijalani  selama 3 bulan di Kutacane, Aceh dan di Pekanbaru, Riau. Masa menjalani program ini juga memberikan pengalaman pertama menaiki pesawat terbang.

Setelah menyelesaikan program wajib sarjananya, dimulailah masa berkerja di PPN Karet IV. 
PPN Karet IV adalah perusahaan negara dibidang perkebunan yang semula bernama Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam dengan kantor pusatnya di Amsterdam, sedangkan untuk Pulau Sumatera berpusat di Sei Karang. Perusahaan ini mempunyai beberapa kebun, pabrik dan rumah sakit yang beroperasi di daerah Deli Serdang, Simalungun dan Asahan dengan produksi utamanya karet (pada saat itu).
PPN Karet IV terbentuk sebagai akibat dari nasionalisasi perusahaan belanda sehubungan Operasi Trikora dalam rangka perbutan Irian Barat (Papua) kembali ke pangkuan RI. 
Sebagai produk militer, maka struktur di perusahaan yang dinasionalisasi juga dipengaruhi oleh kondisi tersebut termasuk penempatan perwira pengaman di kebun, " Assisten sampai Administratur dan jajaran Direksi diangkat dari orang dalam, biasanya Staf yang paling tua usianya, tapi harus disetujui lebih dulu oleh Penguasa Perang Derah" (Hal 84). Selain daripada senioritas, para pejabat tersebut juga mempunyai kewajiban untuk mendapatkan pelatihan kecakapan (matching and upgrading) yang dibutuhkan sesuai jenjang jabatan di Lembaga Pendidikan Perkebunan (Assisten di Medan, Administratur dan Kepala Bagian di Jogya, Direksi di luar negeri).  

Hari pertama melapor (sebagai sarjana pertanian pertama di perusahaan), Ir Hasjrul Harahap keesokan harinya mendapatkan pempatan sebagai assisten magang (voluntair) di Kebun Sei Mangkei, Perdagangan, Simalungun.
Tugas sebagai magang bertujuan untuk memberikan pengetahuan technical know how agar medapatkan kategori skills kepada seorang assiten yang baru memasuki dunia perkebunan.
Pada masa ini juga terlihat potret komposisi pekerja pada masa itu "Orang Jawa pada umumnya jadi buruh, orang Tapanuli Selatan jadi schrijver yaitu kerani, yang umumnya tamatan HIS Sipirok, orang Padang berdagang buka warung. Orang Cina tetap buka toko, yang di Medan disebut 'kedai sampah' sedang di kebun istilahnya 'kedai ransum'. Disitulah para buruh seperti dulu juga, berbelanja dan berhutang. Belakangan orang orang cina pemilik 'kedai ransum' jadi kaya. Mula mula membuka kedai ransum meningkat menjadi bengkel sepeda, lalu jadi toko sepeda dan spare part, akhirnya punya perkebunan" jelas Hasjrul (Hal 89).  
Selain potret komposisi pekerja ada juga potret kondisi sosial dimana kondisi sebagai satu staf yang berstatus lajang, maka banyaklah gadis yang ingin berkenalan dengannya. Kondisi sosial yang lain adalah ketika pertama kali menghadiri "acara pernikahan ala perkebunan" anak seorang mandor, dimana acara pernikahan tersebut dimeriahkan dengan acara Tayuban. Teman temannya yang sudah berpengalaman mengerjai dirinya. "Tahu tahu saya dilempari selendang, terpaksalah saya ikut menari nari. Selesai itu saya duduk, eh, si Ronggengpun lantas duduk dipangkuan saya. Saya lihat, wah, banyak panunya".

Bekerja sebagai Assisten Magang selama setahun dijalani dengan dengan menjalankan praktek dibimbing Mandor Tanaman, Mandor Pabrik, Mandor Transportasi dan Kerani Kepala dipandu oleh Assisten senior. Masa magang ini tidak cuma mempelajari "yang baik baik saja" tetapi juga "ilmu menipu". "Sebagai assisten saya mengontrol buruh tapi disisi lain saya juga dikontrol atasan yaitu Assisten Kepala. Bagaimana cara mengakali atasan supaya saya bisa bebas dari tugas mengawasi ? Mandor saya ajak bersekongkol. Saya bilang ke Mandor, kalau atasan saya bertanya Tuan Assisten ada dimana, katakan sedang masuk kedalam kebun, mengontrol. Saya taruh sepeda motor di pinggir jalan, lalu saya pergi jalan jalan kemana mana. Satu dua kali tipuan saya berhasil. Suatu waktu saya makin berani pergi dengan kawan kawan naik bis ke Pematang Siantar. Pulang pulang sepeda motor saya tidak ada ditempat saya meninggalkannya. Rupanya ulah saya ketahuan oleh Assisten Kepala dan motor dibawa ke kantor. Kena hukumanlah saya" Hasjrul tergelak menceritakan kegagalan tipuannya (Hal 90).

Menjalani masa magang ini memberikan skills yang dipraktekkan selama masa karirnya mulai dari assiten sampai kepada menteri. Pengawasan hanya akan mampu dilaksanakan apabila kita memiliki kemampuan teknis melaksanakannya. 
Kemampuan teknis yang mumpuni akan membangun nalar dan menerbitkan intuisi kita dalam menjalankan pekerjaan. 
Masa magang selama setahun diakhiri dengan penempatan sebagai assisten tanaman Afdeling I Kebun Rambutan ; masa magang amatlah berarti sebagai pematangan karakter dari seorang calon pemimpin. 
Pengalaman menjadi assisten magang dan menjabat assisten afdeling ini memberikan suatu konklusi mengenai Control / Pengawasan; bahwasanya manusia dalam menjalankan pekerjaannya membutuhkan rasa diawasi, sedangkan skill dalam pengawasan cuma bisa didapat apabila sudah memiliki kapabilitas teknis.

Pada tahun 1963  dimulai masa bermukim di Sei Karang sejalan dengan promosi sebagai Kepala Urusan Ekonomi yang bertanggung jawab langsung kepada Kuasa Direksi. 
Pada masa ini juga perkawinan dengan Siti Aida Nasution dilaksanakan dengan resepsi di Medan dan Sei Karang. Satu hal yang menjadi kenangan dalam acara pernikahan di Sei Karang adalah Emmy Hafidz (aktifis WALHI dan Transparency International) menjadi salah satu pengipas pengantin di pelaminan  "Emmy anak melayu yang cantik dan lembut. Saya terkejut ketika dia bisa jadi aktifis yang keras dan lugas" kata Hasjrul (Hal 96).

Mengenai jajaran kepemimpinan di perkebunan, Ir. Hasjrul Harahap menjelaskan bahwa di masa itu PPN Sumut IV dipimpin Kuasa Direksi dengan dua orang Pembantu Kuasa Direksi (PKD) yaitu PKD Produksi dan PKD Umum yang keduanya membawahi kepala-kepala bagian. Ada pula Sekretaris Direksi dan Kepala Urusan Ekonomi yang langsung berada di bawah Kuasa Direksi. Kebutuhan untuk menambah ilmu tetap dijalankan dengan kuliah extension Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (FE-USU) di Medan, tetapi karena kondisi yang mengharuskan berulang ke Medan menjadi kendala sehingga hanya dapat dilaksanakan satu semester "Sudahlah, lupakan dulu cita-cita untuk menambah ilmu melalui perguruan tinggi formal" pikir Hasjrul waktu itu (Hal 108).

Sebagaimana sudah diutarakan sebelumnya, pada tahun 1958 perkebunan baru saja diambil alih / dinasionalisasi oleh Pemerintah RI. Jajaran pimpinan di perkebunan adalah mereka yang baru belajar memimpin ; bukan karena mereka punya ilmu memimpin tetapi hanya didasarkan pada senioritas atau umur yang paling tua. "Semua orang masih dalam taraf belajar, yang istilah populernya learning by doing, belajar sambil bekerja dan digaji”, tandas Hasjrul. Ditambahkannya, "Keberadaan para Perwira Pengawas ikut mewarnai perkebunan di awal pengelolaan oleh bangsa kita, pengaruhnya cukup besar terhadap kinerja selanjutnya” (Hal 108).

Pengalaman sebagai anggota Badan Kerjasama Militer dari Mahasiswa sejak awal pembentukannya di Bogor, menjadi modal beradaptasi terhadap perkembangan situasi yang terjadi. Hal tersebut ditindak lanjuti dengan menjadi anggota dan aktif mulai dari terbentuknya Golongan Fungsional pada tanggal 23 Oktober 1958 sebagai implementasi Dwifungsi ABRI ; yaitu fungsi rangkap yang dimiliki ABRI sebagai kekuatan Hankam dan kekuatan sosial.

Ketika Hasjrul mulai bekerja, perkebunan di seluruh Indonesia ada dalam naungan Departemen Pertanian, dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan yang dibagi menjadi Ditjen Perkebunan Negara dan Ditjen Perkebunan Rakyat. Perkebunan-perkebunan tersebut dibawahi oleh Badan Pimpinan Umum (BPU) yang bentindak selaku Direksi. Ada BPU Karet, BPU Gula, BPU Tembakau, dan BPU Aneka Tanaman. Kantornya di Jalan Imam Bonjol yang sekarang kantor Komisi Peimilihan Umum (KPU). "BPU-BPU jadi ajang partai politik untuk mencakup pengaruh. Partai-partai besar yaitu PNI, NU dan PKI, para pengurus sibuk membagi-bagi kapling. Mereka membutuhkan tempat bagi tenaga-tenaga dari partai yang mau dijadikan pimpinan, maka perkebunan yang dianggap besar dibagi-bagi jadi lebih kecil supaya mereka bisa jadi pemimpinnya. Perkebunan tembakau deli saja sampai dibagi tiga" (Hal 109)

Semua instansi pemerintah dijadikan sasaran perebutan kekuasaan oleh partai besar. Perkebunan tak luput dan incaran mereka. Dalam era inilah terjadi perubahan nama dari Perusahaan Perkebunan Negara. Perkebunan besar dibagi jadi unit kecil. Bagian dari PPN Sumut IV salah satunya adalah PPN Karet V yang berkantor pusat di Sei Karang.

Di  PPN Karet V sebagaimana di perkebunan lain, ada berbagai serikat buruh yang berafiliasi kepada partai tertentu seperti Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) onderbouw PNI, Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) onderbouw NU, dan yang independen macam Persatuan Buruh Perkebunan Indonesia (Perbupi), Gabungan Serikat-Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbindo). Tentu saja ada Sarbupri yang berinduk ke Sobsi. Pemuda Rakyat dan BTI juga ada. Wakil serikat buruh dari berbagai organisasi yang ada di perkebunan duduk di dalam Dewan Perusahaan termasuk Sarbupri. Pembentukan serikat buruh ini dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan buruh. Di antara semua serikat buruh itu yang jadi sorotan Hasjrul adalah Sarbupri yang berpaham komunis. Istilah Hasjrul mengenai orang-orang Sarbupri, "Dikerasi salah, tidak dikerasi juga salah.” Menurut Hasjrul pula, " Tapi orang-orang Sarbupri yang cenderung agitatif itu terbentur dengan adanya para perwira pengawas", tandas Hasjrul (Hal109).
Dalam rangka menandingi gerakan Sobsi yang kian merajalela dalam melakukan sabotase dan agitasi, Brigjen Suhardiman dengan dukungan kuat dari Jenderal Ahmad Yani mendirikan Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI). 

Dalam rangka membendung arus komunisme di perkebunan, pada tahun 1961 dibentuk pula Persatuan Karyawan Perusahaan Perkebunan Negara dan Pekebun (Perkappen) yang berafiliasi kepada Soksi, maka lazim disebut Perkappen SOKSI. Perkappen didirikan tentu saja untuk menandingi Sarbupri. Ketika Hasjrul bekerja di perkebunan, antipatinya terhadap komunis terus berlanjut. Segala sesuatu yang berorientasi komunis ditolaknya dan yang melawan komunis didukungnya. "Saya masuk Perkappen sejak awal berdirinya sampai jadi pimpinannya sesuai dengan naiknya jenjang kedudukan saya, sampai akhirnya jadi Dewan Pembina". PPN Karet V ketika itu dipimpin Direktur Utama Djamhur Gandapura yang menanamkan sikap kekeluargaan di kalangan pimpinan terhadap para karyawan dan karyawati, tanpa melupakan adanya kontrol.

Digambarkan kondisi saat itu sebagai "Di tingkat pimpinan di perkebunan orang komunis jelas tidak bisa masuk. Rata-rata unsur pimpinan adalah orang Perkappen. Sedangkan umumnya orang komunis pegawai rendah. Oleh pimpinan yang orang-orang Perkappen, dikembangkan suasana kebersamaan dan persaudaraan sehingga paham komunis tidak menyebar dan konflik bisa diredam. Sarbupri tidak bisa merajalela dengan adanya Perkappen”, (Hal 110).
Kalau sebelumnya ada pegawai rendah, menengah dan staf yang pergaulannya terpisah-pisah, dengan adanya Perkappen pegawai menengah dan staf bisa menjadi satu. Belakangan pegawai rendah bisa menjadi mandor, pegawai menengah bisa menjadi staf. Perwira Pengawas tetap ada.

Lebih jauh lagi Golongan Fungsional kemudian membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada tanggal 20 Oktober 1964, untuk menghadang lajunya kiprah PKI dengan segala onderbouw-nya yang nyaris "memerahkan" tanah air. Soksi merupakan salah satu kino yang ditonjolkan di Sekber Golkar, selain Kesatuan Organisasi Serba Guna Gotong Royong (Kosgoro), dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Hasjrul dengan sendirinya masuk ke dalam Sekber Golkar. "Belakangan kino-kino itu mulai meredup, yang menonjol Gokarnya".

Situasi Yang Tidak Kondusif.

Suasana perkebunan secara umum sepanjang tahun 1963-1964 semakin tidak kondusif karena adanya konfrontasi Pemerintah RI terhadap Pemerintah Malaysia. Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang dicanangkan Presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964 bertujuan untuk membubarkan Malaysia yang disebut 'negara boneka' Inggris. Permusuhan pun ditujukan kepada Inggris yang disebut sebagai imperialis dan neokolonialis. Dalam kesempatan berkonfrontasi dengan Malaysia itu Presiden Soekarno sekalian meminta seluruh eksponen bangsa merapatkan barisan dan jangan sekali-kali mengidap fobia terhadap komunisme.

Untuk wilayah Indonesia bagian barat, termasuk Sumut, dibentuk Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang dipimpin Laksamana Madya Omar Dhani. Perkebunan-perkebunan di Sumut yang letaknya strategis dan bisa dibilang 'pintu gerbang' untuk menghadapi musuh itu dipakai sebagai basis. Di situ ditempatkan pasukan dari Kodam Diponegoro dan para sukarelawan.
Perkebunan jadi asrama Kopur singkatan dari komando tempur, kata Hasjrul. "Pohon mahoni ditebangi untuk membikin perahu-perahu yang digunakan oleh tentara dan sukarelawan untuk mendarat di wilayah musuh secara menyelundup" demikian kesaksian Ir. Hasjrul Harahap.
Dengan semakin banyaknya tentara di perkebunan, ada hikmahnya. PKI semakin tidak gampang menguasai perkebunan. 

Hasjrul punya pengalaman tak terlupakan dalam era itu. Suatu ketika Oei Tjoe Tat, Menteri Negara pada Kabinet Dwikora memberi ceramah di Gubernuran Medan di hadapan para sarjana. Diundanglah para sarjana yang tergabung dalam Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) maupun yang tidak. Pertemuan  tersebut dibuka Ulung Sitepu selaku Gubernur Sumut. Beberapa teman saya datang menghadirinya. Mereka mengajak saya tapi entah kenapa saya tidak datang. Ternyata ketidak hadiran saya membawa hikmah. Setelah G-30-S, penguasa Orde Baru menjadikan peristiwa tersebut sebagai alasan untuk menangkap para sarjana yang hadir yang dianggap bersimpati kepada komunis. Daftar hadirnya ada sehingga membuat mereka tidak bisa mengelak. Padahal HSI itu Himpunan Sarjana Indonesia, dan tidak semua mereka yang hadir itu berpaham komunis. Hanya saja, mungkin ketika itu memang mau dikomuniskan oleh Oei Tjoe Tat dan Ulung Sitepu. Inilah salah satu keberuntungan saya yang jelas merupakan anugerah Allah "Kalau saya datang, habislah saya seketika itu juga”

Hasjrul memang tak mau melibatkan diri dalam permainan politik, yang penting baginya adalah anti komunis tak bisa ditawar lagi dan selebihnya kerja keras. 
Tapi permainan politik pernah ditawarkan kepadanya. Suatu ketika Hasjrul ditanya oleh seorang tokoh NU di Medan, "Ini kan sedang ada Dwikora, kau mau jadi direktur atau tidak" Maksudnya direktur untuk suatu perusahaan perkebunan inggris yang diambil alih pemerintah RI.
"Mau saja, kenapa tidak ?", jawab Hasjrul serta merta. Maksud si Tokoh, dalam suasana Dwikora yang kental dengan paham Nasakom pada masa itu, seluruh institusi mau dinasakomkan. Jabatan-jabatan pun di bagi diantara tiga kekuatan, yaitu : Nasionalis, Agama, dan Komunis. Kabinet Dwikora telah lebih dulu merepresentasikan wajah Naskom, menteri-menterinya terdiri dari tiga unsur tersebut. Jajaran Direksi di di perkebunanpun mau dinasakomkan. Kalangan islam sedang mencari 'jago' yang qualified untuk dijadikan direktur. "Saya mau jadi direktur, tapi tidak mau masuk NU,” jawab Hasjrul tegas.

Menurut Hasjrul, politik menciptakan adanya keberpihakan. Paham politik dan kekuasaan partai bisa menentukan kedudukan seseorang. Apa mau dikata, Hasjrul tak termasuk di dalam salah satu kekuatan partai yang sedang berkibar dan sedang saling bertarung untuk merebut kekuasaan. "Saya anggota Sekber Golkar. Waktu itu Golkar kan tidak masuk hitungan,” seloroh Hasjrul.

Tak Berminat "Lompat Pagar".

Ketika diselenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) Perkappen pada tahun 1964 di Ciawi, Jawa Barat, Hasjrul diutus menghadirinya, padahal dia belum jadi pengurus. Seusai Munas, Hasjrul melapor ke BPU Karet yang ketika itu dikuasai PKI dengan onderbouw-nya KBM. 
Seperti sudah dikatakan, PNI sudah pecah menjadi PNI Osa-Usep dan PNI Asu, dan KBM tentu juga sudah retak mengikuti para pemimpin masing-masing. Tampaknya PKI Asu lebih kuat posisinya, maka otomatis KBM yang berafiliasi ke PNI Asu ini terbawa menjadi lebih kuat juga dibandingkan KBM yang berafihiasi kepada PKI Osa-Usep. 
Hasjrul mendatangi BPU Karet, dan menghadap salah seorang direkturnya yaitu Alimuddin, yang bertanya kepadanya, "Bagaimana Perkappen kalian itu ?" Jawab Hasjrul, "Baik Pak, saya masih di Perkappen". Ada Sarjana Pertanian tamatan Jerman di situ, nimbrung bicara, "Sudahlah Rul, tak bagus itu Perkappen, bentuk saja di sana KBM". Alimuddin menimpali, "Betul itu Rul, ikuti apa kata dia. Dia ini kan buatan luar negeri, sedangkan kau buatan dalam negeri", Hasjrul marah mendengar omongan mereka yang bernada melecehkan tapi tidak diperlihatkannya. Hasjrul samasekali tak berminat 'lompat pagar' seperti anjuran pimpinan dan rekannya di pusat itu. Memang sudah banyak staf bahkan Direksi di perkebunan mulai goyah, yang tadinya Perkappen menyeberang ke KBM karena diiming imingi jabatan dan kedudukan yang lebih empuk. "Meskipun saya tahu di Pusat yang berkuasa orang-orang PNI, tapi saya tidak mau mengikuti paham sebagian mereka yang kekiri-kanan. Saya anti komunis sudah dari 'sononya' dan tidak bisa dibujuk dengan kedudukan setinggi apapun” tegas Hasjrul. 
Memasuki tahun 1965, situasi bangsa dan negara bertambah runyam. Bagi mereka yang anti komunis pada zaman jaya-jayanya PKI, hidup terasa sangat berat. Kaum komunis menyelenggarakan "Pendidikan Kilat Kader Nasakom" pada bulan Juni 1965. Yang tidak setuju pada Nasakom dituduh "anti revolusi", "begundal imperialis", atau "antek nekolim" (neokolonialisme). Mereka menciptakan jargon-jargon yang menyudutkan lawan politiknya. Termasuk jargon "Ganyang Malaysia", istilah mereka juga. Permusuhan terhadap tentara ditingkatkan. Soksi dan Perkappen dikatakan 'KABIR' (Kapitalis Birokrat).Hasjrul punya  pengalaman pahit berkaitan dengan hal ini.  
"Saya ingat ketika mau memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus 1965 di Kecamatan, kami dari Soksi dan Perkappen mau ikut merayakan dengan berbaris, tapi dilarang masuk ke lapangan oleh kelompok Front Nasional. Kemudian datang pihak Koramil membela kami, 'Ayo masuk',kata mereka. Kami diperbolehkan masuk dengan dikawal Pemuda Pancasila yang berlawanan dengan Front Nasional".
Front Nasional yang dikatakan Hasjrul itu dibentuk pada tanggal 10 Februari 1958 dalam rangka pembebasan Irian Barat dengan misi menjadi jembatan antara Pemerintah dan organisasi-organisasi rakyat. Tapi belakangan Front Nasional dijadikan alat politik oleh PKI.

Suhu mulai meningkat panas yang menurut istilah Hasjrul "kau di sana kami di sini”. Konflik berjalan terus. Muncul opsi dari PKI yang didukung Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan Ke V yaitu buruh dan tani yang dipersenjatai. Tapi Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani dengan tegas menolak. "Di perkebunan kami jadi lebih waspada. Soksi dan Perkappen yang dianggap musuh oleh PKI, tak tinggal diam, barisan pemudanya dipersenjatai pula oleh tentara dengan alasan mengamankan kebun. Mereka sebetulnya dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan. Untung organisasi tentara itu komandonya teritorial sampai ke Kodim dan Koramil di tingkat Kecamatan, sehingga pengawasan terhadap ulah PKI bisa lebih ketat", kata Hasjrul. 

Pihak Mana Yang Dipilih.

Ketika terjadi G-30-S, Hasjrul mendengar dari radio tentang adanya Dewan Revolusi yang mengambil alih pemerintahan. Begitu pula mengenai pembunuhan terhadap para Jenderal yang dituding sebagai Dewan Jenderal. Hasjrul benar-benar tidak mengerti kenapa bisa terjadi hal seperti itu, padahal kedudukan Presiden Soekarno sangat kuat.
"Saya bingung. Ada apa ini ? Yang mana kawan, mana lawan ?" kata Hasjrul menggambarkan keadaannya waktu itu.
Tapi situasi yang membingungkan cepat berubah. Panglima Kostrad Mayjen Soeharto muncul mengamankan situasi. Kudeta oleh Dewan Revolusi gagal. PKI dituduh sebagai dalang terjadinya G-30-S. Bergulirlah perubahan demi perubahan yang menempatkan PKI sebagai pihak yang bersalah. Penangkapan terhadap tokoh PKI dan onderbouw maupun simpatisannya dilakukan oleh massa, lalu diserahkan kepada tentara.
Presiden Soekarno digantikan oleh Jenderal Soeharto yang diangkat menjadi Presiden RI yang kedua. Di situlah tentara semakin terang-terangan memasuki wilayah sipil, atas nama pengawal negara Pancasila, pengawal negara kesatuan. 
Dwifungsi ABRI yang dicanangkan oleh Jenderal AH Nasution menemukan muaranya di sini. Menurut paham dwifungsi itu, sebagai kekuatan sosial ABRI merupakan salah satu bagian dari golongan karya yang berkewajiban ikut serta secara aktif di semua bidang : ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Presiden Soeharto dengan serius melaksanakan doktrin dwifungsi itu dengan menempatkan perwira-perwira militer pada jabatan sipil. Mulai dan kepala departemen alias menteri, direktur BUMN, gubernur sampai bupati, camat sampai kepala desa diisi oleh perwira dan purnawirawan tentara. "Sekarang setiap orang harus memihak, pihak mana yang dia pilih" kata Hasjrul. Bagi Hasjrul sudah jelas, keberpihakannya adalah kepada mereka yang melawan PKI. 
Tapi betapapun jelasnya, semua orang harus menjalani skrining termasuk Hasjrul. Pertanyaannya antara lain, "Sewaktu meletus G-30-S berada di mana ?  Sewaktu mahasiswa organisasinya apa ? Bapak siapa, ibu siapa, kakek dan nenek siapa ?. Kalau kakek kita PKI, wah dicurigai, padahal cucunya kan belum tentu PKI. Untung kakek saya bukan PKI. Bahkan ayah saya pernah jadi korban PKI", Hasjrul mengingatkan. "Disisi lain banyak orang cina yang PKI bisa dengan gampang lolos ke luar negeri", keluhnya jengkel.
Sementara itu di tanah air dibentuk Tim Skrining yang bekerja secara maraton untuk menyaring orang yang dianggap terlibat G-30-S atau tidak terlibat. Hasjrul diperiksa oleh Tim Skrining di Medan. Dengan cepat ia lulus skrining, karena sejak mahasiswa berada di HMI, sejak bekerja berada di Perkappen Soksi. Dengan latar belakang seperti itu oleh penguasa Orde Baru Hasjrul dikatakan berada 'di pihak kita'.

Ketika itu setiap orang harus berhati-hati, sebab situasinya berbeda 180 derajat. Stigma PKI gampang sekali dilontarkan untuk menyudutkan atau bahkan memfitnah orang yang tidak disukai dengan dalih 'tidak bersih lingkungan' alias ada keterlibatan dengan G-30-S. "Jadi jangan coba-coba melindungi seseorang yang 'tidak bersih lingkungan' atas nama belas kasihan atau apapun”, tandas Hasjrul.

Direktur Produksi Mandek 10 Tahun.

Pada zaman orde baru nama Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) diubah namanya menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Perkebunan di Sumut yang dulu dibagi menjadi perkebunan kecil digabung kembali, dijadikan tujuh PNP. 
PPN Karet V yang berkantor pusat di Sei Karang menjadi PNP V "Dalam hal ini terjadilah siapa yang dipilih siapa yang digeser", kata Hasjrul.
Dari jabatan Kepala Urusan Ekonomi pada tahun 1966-1967 Hasjrul dipilih jadi Kepala Bagian Tanaman PNP V. Hasjrul sempat mengikuti kursus manajemen selama sebulan di LPP Yogya. Hasjrul kemudian diminta merangkap sebagai pejabat Administratur di Kebun Rambutan.
"Saya tidak tahu kenapa saya ditunjuk merangkap jabatan Administratur yaitu memimpin kebun, mungkin karena jabatan itu kosong. Belum ada yang mengisi. Walaupun cuma sebentar tapi jadi Administratur memberi pengalaman sangat berharga yang saya butuhkan untuk tahap-tahap kepemimpinan selanjutnya, itu berarti pula saya secara tidak sengaja telah menapaki jenjang yang memang semestinya dilewati untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi”, demikian tutur Hasjrul yang menjadi Administratur tidak sampai setahun, kemudian langsung diangkat ke posisi yang lebih tinggi, yaitu sebagai Direktur Produksi.

Mulanya pada tahun 1968 Hasjrul dipercaya menjadi pejabat Direktur Produksi PNP V. Tidak lama kemudian Hasjrul dikukuhkan sepenuhnya menjadi Direktur Produksi. Direktur Utama (Dirut) adalah Djamhur Gandapura yang membawahi Direktur Umum dan Direktur Produksi. Dirut dan semua Direktur merupakan Dewan Direksi.

Pelantikan Hasjrul dilaksanakan di Gubernuran, dihadiri Gubernur Sumut yang tentara dan kebetulan semarga dengan Hasjrul yaitu Marah Halim Harahap. Yang melantik Hasjrul adalah Menteri Pertanian Prof. Dr.Ir. Thojib Hadiwidjaja (1968-1973). Direktorat Jenderal Perkebunan sudah kembali berada di bawah Departemen Pertanian. 
Ketika Hasjrul mahasiswa, Thojib Hadiwidjaya adalah Dekan Fakultas Pertanian UI di Bogor, sehingga kenal betul dengan Hasjrul. Sempat Pak Menteri mencandai Hasjrul, "Saudara Hasjrul, masih suka makan enggak seperti di rumah saya dulu ?" Hasjrul tentu saja tersipu, sebab ketika mahasiswa Hasjrul rajin menghadiri pengajian dan perayaan agama Islam yang diselenggarakan oleh HMI, antara lain dirumah Thojib Hadiwidjaya, lengkap dengan acara makan-makan. Hasjrul seperti pengakuannya sendiri, suka menggunakan momentum itu untuk memperoleh protein bagi kesehatan tubuhnya.  

Diangkat jadi Direktur Produksi hanya setelah bekerja selama tujuh tahun merupakan kejutan yang luar biasa bagi Hasjrul. Bagaimana sampai Hasjrul yang terpilih ?. Jawab Hasjrul apa adanya "Kalau saya menganggap karena hasil karya saya semata-mata, saya sendiri merasa surprise, kok tujuh tahun bekerja sudah jadi direktur ?" Kalau dihitung sejak Hasjrul mulai masuk bekerja pada tahun 1961 dan diangkat sebagai Direktur Produksi pada tahun 1968, itu adalah waktu yang sangat singkat. Apa tugas Hasjrul selaku Direktur Produksi ?
Jawabnya, "Saya ditugaskan memperbaiki kebun dan meningkatkan produksi. Untuk itu saya membuat anggaran tahunan di bidang produksi, baik yang berkaitan dengan fisik maupun target". Kemudian Hasjrul menggambarkan hirarki di jajarannya. Dari Dirut yang menjadi atasannya, Hasjrul menerima instruksi, pedoman, arahan, pengawasan. Dengan teman sejawat sesama Direktur, hubungan kerjanya bersifat koordinatif. Rapat Dewan Direksi diadakan sekali dua minggu, bila perlu sekali seminggu. Bawahan Hasjrul adalah Administratur, terhadap siapa Hasjrul memberi instruksi dan mengawasi pelaksanaan operasional. Rapat kerja dengan Administratur dilakukan sebulan sekali, tetapi kerjasama yang intensif dilakukan hapir setiap saat. Istilah buruh diseluruh indonesia secara tegas sudah diganti dengan karyawan dan karyawati.

"Sikap kekeluargaan dan kontrol yang dirintis oleh Perkapen dikembangkan lebih jauh oleh Pak Djamhur selaku Dirut. Lebih-lebih oleh istrinya yang benar-benar membaur dengan seluruh karyawan dan karyawati, serta para istri dan suami karyawan sampai ketingkat yang paling bawah" puji Hasjrul. "Dengan demikian suasana kerja menjadi kondusif disebabkan oleh suasana pergaulan sehari-hari yang sangat akrab bagaikan keluarga besar".
Para pekerja di perkebunan memang tak bisa lepas dari hubungan dengan keluarga satu sama lain, sebab mereka tinggal di kawasan yang sama dalam suatu komunitas. Kalau komunitas itu tidak kompak, dampak negatif bisa berimbas ke tempat tugas. Begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu rasa kebersamaan perlu dipelihara dengan sebaik-baiknya. Suasana yang menyenangkan dan membuat betah juga terus menerus diciptakan.
"Dengan demikian keluarga-keluarga di kebun tak banyak tuntutan untuk bepergian. Paling banter jalan-jalan ke Medan. Pengeluaran juga tidak banyak. Bahkan dulu Direksi tidak ke Jakarta kalau tidak dipanggil oleh Pusat. Sekarang bisa diatur Pusat memanggil supaya Direksi bisa ke Jakarta sekalian week end”, senyum Hajrul.

Saking akrabnya hubungan atasan dengan para karyawan beserta keluarganya di perkebunan Sei Karang, sampai sekarang tali silaturahmi antara Hasjrul dengan mereka tidak terputus, termasuk dengan anak cucunya. Kalau datang ke sana Hasjrul dipanggil Ompung oleh para cucu itu.
"Pernah saya telpon Pak Hasyim, kawan saya di sana, tapi yang menerima cucunya yang kenal saya. Dia bilang: 'O, ini Ompung, nanti kalau ke sini jangan lupa bawa coklat ya' Begitulah hubungan saya dengan mereka, sangat baik", kata Hasjrul dengan bahagia.

Selanjutnya Hasjrul mengutarakan : "Berdasarkan pengalaman sejak menjadi Asisten sampai Direktur Produksi, saya yakin pendekatan secara kebersamaan dan persaudaraan dalam mengelola suatu institusi, jauh lebih berhasil daripada sikap yang otoriter".
Ada peristiwa kekeluargaan yang menarik antara Keluarga Hasjrul dengan Keluarga Djamhur Gandapura. Karena Ira sangat mirip dengan ibunya, maka Ny. Djamhur Gandapura menganjurkan supaya Ira 'dijual' kepada keluarga lain agar tetap sehat dan selamat, sesuai dengan kepercayaan orang Jawa. Maka Ira pun 'dijual' kepada keluarga yang mau 'membeli' yang kebetulan adalah Keluarga Djamhur Gandapura sendiri. Sejak itu Ira diakui sebagai anak angkat dan memanggil 'Mami' kepada Ny. Djamhur Gandapura. "Sampai sekarang dalam berbagai hal yang menyangkut Ira, Maminya itu selalu diundang dan hadir", ujar Hasjrul.

Membangun Komunikasi

Secara formal Hasjrul belum pernah belajar ilmu manajemen yang tidak terdapat dalam rangkaian mata kuliah di Fakultas Pertanian-Ul, almamaternya.

"Terbukti ilmu manajemen ini diperlukan di lapangan di bidang pekerjaan apapun. Dalam suatu kesempatan alumni IPB berkumpul, saya anjurkan supaya ada mata kuliah manajemen. Akhirnya dimasukkan Manajemen Agribisnis,” kata Hasjrul lega.
Hasjrul sebagaimana selalu dikatakannya, awalnya menimba ilmu manajemen ini secara “learning by doing”. Dengan duduknya Hasjrul di jajaran pimpinan di perkebunan, banyak ilmu manajemen yang diserapnya berdasarkan pengalaman, di samping yang diperolehnya dan kursus dan bacaan. Dirut dan Direktur Komersil merupakan unsur pimpinan yang menurut Hasjrul paling bagus kinerjanya. Dari dua orang ini Hasjrul banyak belajar bagaimana memenej. Dirut memberikan pembinaan yang tak terlalu rigid, cuma adakalanya menegur dan bertanya kenapa bisa terjadi begitu ?. Pekerjaan yang berkaitan dengan menerima instruksi dan atasan dan menurunkan instruksi kepada bawahan, melakukan koordinasi dengan teman sejawat, dan melakukan pengawasan secara terpadu, memberikan masukan yang sangat berharga bagi Hasjrul

"Berdasarkan pengalaman saya dalam berkoordinasi, saya lihat hasilnya akan bagus kalau komunikasinya bagus. Kalau terjadi miskomunikasi, akibatnya buruk sekali. Dalam berkomunikasi itu kalau perlu kami berdebat untuk mencapai persesuaian paham. Kalau tidak bisa juga diselesaikan, barulah kami sampaikan kepada Dirut", demikian Hasjrul menuturkan. Begitu pula dalam menghadapi bawahan,  
Hasjrul selalu teringat petuah kakeknya supaya jangan berbuat seperti membelah bambu, diangkat atasnya diinjak bawahnya.
"Dengan bawahan saya membangun komunikasi secara persuasif. Teguran saya lakukan secara lisan dengan cara yang tidak menyinggung perasaan", kata Hasjrul yang tak segan-segan mengajak Administratur atau Asisten melakukan kontrol bersama di lapangan.

Pernah suatu kali asisten menjamin bahwa Hasjrul tak akan menemukan sebatang alang-alang pun di kebun karet. Lalu pergilah mereka berdua naik mobil melakukan patroli keliling kebun. Sejauh itu tidak terjadi apa-apa. Kebun-kebun karet tampak bersih dan alang-alanga, tapi Hasjrul tak percaya begitu saja, di suatu tempat ia mendadak minta berhenti. "Itu apa ?" Hasjrul menunjuk alang-alang yang di perkebunan karet kehadirannya dikatakan seolah-olah menyapa dengan nada sinis, "Selamat pagi Tuan, saya ada di sini". Si asisten salah tingkah: "Waktu itu tidak ada alang-alang", kilahnya. "Tadi kamu menantang saya, menjamin tidak ada alang-alang. Buktinya kan tidak begitu ? Hal ini harus Saudara jadikan pelajaran untuk tidak takabur. Coba Saudara teliti kenapa hal ini terjadi. Kalau dalam promosi kenaikan pangkat, keadaan seperti ini akan jadi bahan pertimbangan. Saudara bisa tidak naik pangkat". 

Pada kesempatan yang lain Hasjrul melakukan kontrol bersama Administratur yang menyetir mobil dengan kencang sekali. Mata Hasjrul yang tetap tajam mengawasi sekeliling tiba-tiba melihat alang-alang dan minta mobil disetop.
Tapi Administratur mengatakan, "Bapak salah mata karena sudah lapar. Nanti saja habis makan kita ke mari lagi". Setelah makan mereka kembali ke tempat tadi dan masuk sampai ke dalam kebun karet. Ternyata Hasjrul benar, banyak alang-alang yang tumbuh di area yang cukup luas. Si Administratur itu pun langsung merah mukanya menahan malu. Dengan jelinya Hasjrul mengontrol alang-alang, tidak heran apabila para anak buahnya selalu mengatakan Pak Hasjrul biarpun dari atas pesawat terbang juga bisa lihat alang-alang.

Melaksanakan NES

Pemerintah RI pada awal tahun 1970-an, mendapat pinjaman dana untuk jangka waktu 30 tahun dari International Develoment Association (IDA) bagian dari World Bank untuk diproyeksikan di dalam Nucleus Estates and Smallholders (NES). 

Nucleus Estates maksudnya "perusahaan inti" yang terdiri dari perkebunan-perkebunan pemerintah (PTP) yang mengembangkan perkebunan baru ke luar wilayahnya dengan mengikut sertakan smallholders yaitu rakyat di sekitar wilayah yang dikembangkan itu sebagai pemiliknya, yang disebut 'plasma'. Penamaan 'inti' dan 'plasma' mengambil analogi perkembangan biologis suatu sel yang terdiri dari inti dan plasma. Analogi ini digunakan untuk melakukan industrialisasi pertanian di bidang perkebunan, bahwa sektor modern dan sektor tradisional dapat tumbuh dan berkembang bersama secara saling menguntungkan. Dalam bahasa Indonesia NES ini disebut Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

Direncanakan membuat tujuh proyek NES di Indonesia, tapi yang terlaksana hanya sampai NES V. NES I dilaksanakan di Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa Barat. NES II sampai NES V dilaksanakan di daerah- daerah lain. Tanaman yang dikembangkan berbeda-beda sesuai kondisi setempat. Misalnya pengembangan teh di Jawa Barat. Di Sumatera Utara, PTP V yang dianggap manajemennya bagus dan memiliki profit yang bagus pula ditunjuk menjadi perusahaan inti yang membuka perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet rakyat di Aleu Ie Raya, Aceh Timur.
"Ada untungnya ; ketika itu cash flow kosong, tapi pembukuannya profit, bukan dalam bentuk cash money tapi berbentuk stok atau persediaan, sehingga PTP V dipercaya mengembangkan NES” kata Hasjrul. Hasjrul mendapat tugas melaksanakan program NES I di Aceh Timur. Dalam rangka membicarakan seluk beluk proyek ini Hasjrul dipanggil ke kantor Bappenas di Jakarta. Di sini Hasjrul pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Emil Salim yang ketika itu Wakil Ketua Bappenas. Ketuanya adalah Widjojo Nitisastro.
"Proyek NES ini tujuannya untuk memperbaiki kinerja pada induk perusahaan perkebunan dengan memberikan konsultasi yang meliputi bidang peningkatan produksi, manajemen, teknologi, dan adiministrasi keuangan" jelas Hasjrul. Oleh sebab itu selain memberikan dana, pihak Bank Dunia juga menyertakan tenaga-tenaga ahli yang terdiri dan para konsultan. Ada konsultan operasional yang bertugas memberikan advis, ada konsultan inspeksi yang melakukan pengawasan di lapangan dalam hal pelaksanaan perbaikan perkebunan, dan ada konsultan teknologi serta konsultan keuangan.  

Pada mulanya para konsultan ini orang-orang berkebangsaan Belanda, mantan pengelola perkebunan Rubber Cultuur Maatschapi Amsterdam (RCMA) di Sumut sehingga bisa dikatakan mereka seperti "pulang kampung".  
Mereka datang dan tinggal di perkebunan untuk melakukan tugasnya selama jangka waktu tiga-empat tahun. Pihak World Bank datang tiga bulan sekali untuk mengontrol. 
Pertama-tama yang dilakukan adalah merehabilitasi pabrik dan melakukan penanaman. 
NES I di PTP V dianggap tidak berhasil. World Bank menilai peformance Dewan Direksi tidak bagus. Konsultan pernah marah, karena sudah ditentukan afdeling yang baik untuk menanam pohon karet tapi diganti dengan kelapa sawit. "Di daerah rawa ditanami karet sebaliknya sawit ditanam di daerah rawa yang dikeringkan. Itu terbalik", jelas Hasjrul. World Bank masih memberikan kesempatan tapi mereka minta Direksi diganti.  

Pihak World Bank melakukan pengamatan dalam hal kualifikasi orang-orang yang diangkat menjadi Direksi. 
Terjadilah perubahan Direksi. M Dj Lubis yang tadinya Dirut PPN Karet V dan dipindahkan menjadi Dirut di PNP VII kembali lagi menjadi Dirut di PTP V menggantikan Djamhur Gandapura. Direktur Umum dan Direktur Komersil juga diganti. Hasjrul satu-satunya yang tetap di jajaran Direksi, masih sebagai Direktur Produksi. 
"Waktu itu ada suara-suara sumbang yang mengatakan kenapa hanya dua Direktur yang diusik, sedangkan Direktur Produksi tidak. Saya sendiri tidak tahu kenapa, maka saya diam saja", kata Hasjrul. Tidak disengaja melainkan secara kebetulan, jajaran Dewan Direksi yang baru semuanya berasal dan Tapanuli Selatan. Tapi hal itu tidak dipersoalkan oleh kalangan World Bank. Hanya, sekali lagi nada-nada sumbang datang dan bangsa sendiri. 
NES diperpanjang dengan diubah konsultannya, terdiri dari orang Inggris dan Perancis yang berbahasa Inggris. "Menghadapi orang-orang Belanda tidak ada masalah bagi jajaran Direksi, karena rata-rata mereka bisa berbahasa Belanda. Setelah diganti dengan orang Perancis yang berbahasa Inggris, maka saya yang diberi tugas untuk menghadapinya", kata Hasjrul.  

Dirut M Dj Lubis mengatakan kepada Hasjrul "Saudara Hasjrul, PTP ini rusak. Saudaralah yang saya tugaskan untuk memperbaiki". "Baik Pak, akan saya usahakan" jawab Hasrul. Lanjut Dirut, "Kata Pak Dirjen kau dinilai dalam enam bulan ini. Kalau kau tidak bisa membereskan kebun ini, menurut World Bank kau bakal diberhentikan, dan akan digeser tidak jadi Direksi lagi, meskipun kami tahu itu bukan kesalahanmu".
"Baik Pak", jawab Hasjrul pula, "Asal kewenangan dalam produksi saya yang pegang jangan dicampuri, kalau ada yang salah ya ditegur", jawab Hasjrul mantap. 

Hasjrul bekerja keras hampir tanpa hari libur. Bahkan pada Lebaran hari kedua Hasjrul dipaksa melakukan inspeksi oleh seorang konsultan produksi dan Malaysia bernama Mr. Gold. 
"Dia orang Skotlandia, general manager dari suatu perusahaan swasta Inggris yang berkedudukan di Malaysia". Pada hari kedua Lebaran yang sebetulnya masih libur, Mr. Gold memaksa Hasjrul ikut dengannya melakukan inspeksi karena dia mau segera pulang ke negaranya merayakan Hari Natal. Konsultan tersebut melakukan kunjungan ke kebun dan mencatat apakah segala nasehat para konsultan telah dilaksanakan dengan baik. Misalnya tentang penanaman dan sebagainya. Lalu dibuat laporan kepada World Bank untuk menjadi bahan pertimbangan.  
"Selama membangun NES, saya belajar dan semakin yakin perlunya controlling system dan harus terus menerus dilakukan. Pengawasan jangan hanya di belakang meja, tapi di lapangan juga. Penting dilakukan inspeksi oleh pihak ketiga bukan oleh intern atau orang dalam. Secara singkat saya pelajari pula bagaimana perlunya mendalami akuntansi dari perbaikan pembukuan yang dikerjakan konsultan di bidang akuntasi. Begitu juga pembuatan job description yang diimplementasikan ke dalam standard operating procedure. Di bidang produksi pun ada kiat-kiat untuk memperbaiki keadaan. Sebenarnya di dalam manajemen apapun, bukan hanya perkebunan, konsistensi itu penting, kalau sebentar-sebentar berubah. Jadi sulit. Saya bersyukur punya pengalaman bekerjasama dengan orang asing dan mendapat pelajaran berharga, baik di bidang teknologi maupun manajemen. Mereka. tidak pelit dalam memberikan ilmunya supaya kita bisa belajar. Saya jadi tahu, oh, begitu toh cara-caranya. Belajarlah di situ semua pekerja bangsa Indonesia, belajar dari kesalahan dan juga belajar dari ketidaktahuan", Hasjrul menjelaskan dengan antusias. 

Setelah enam bulan berlalu, Hasjrul menghadap Dirjen Perkebunan Moeloek Lubis yang sebelumnya Kepala PPN Sumut. 
Hasjrul menanyakan, "Pak, sudah selesai enam bulan saya jalankan tugas. Bagaimana ? Apa diteruskan atau tidak ?". "Memang kenapa ? Siapa bilang tidak diteruskan?". "Kata Pak Dirut, World Bank bilang begitu. Setelah enam bulan kebun tidak beres, saya diberhentikan. Padahal kebun memang belum beres dan itu bukan salah saya sendirian" jelas Hasjrul.
"Ah, tidak ada itu. World Bank tidak bilang begitu, aku pun tak bilang begitu sama kau. Aku kan yang Dirjen bukan World Bank. Sudah sana, kau kerja saja" tegas sang Dirjen. Hasjrul terpana, teringat "ancaman" Dirut yang ternyata tidak benar. Tapi kemudian ia tersenyum, menyadari bahwa mungkin maksud Dirut berkata begitu adalah untuk memberi "tekanan" kepada Hasjrul agar bekerja dengan sebaik-baiknya dan setotal-totalnya
"Memang, di dalam manajemen orang harus diberi target tertentu, kalau perlu diancam dan ditekan, supaya dia memacu diri. Begitulah rupanya gaya Dirut saya untuk membuat program kami berhasil, dia mengancam dengan memakai nama Dirjen dan World Bank" senyum Hasjrul.

Ingin Jadi Dirut

Tak disangka tak dinyana kecepatan Hasjrul dalam tempo tujuh tahun menduduki jabatan Direktur Produksi PTP V di Sumatera Utara berbuah kemandekan. Sepuluh tahun lamanya Hasjrul dipatok di kursi tersebut dan tahun 1968 sampai 1978.
"Biasanya Direktur Produksi tidak sampai sepuluh tahun sudah diangkat jadi Dirut. Saya malah sudah sepuluh tahun jadi Direktur Produksi di PTP V, belum juga diangkat jadi Dirut" kata Hasjrul dengan nada prihatin. 

Ketika Dirut PTP V pensiun, Hasjrul tentu berharap dirinya yang ditunjuk menggantikan, tetapi itu tidak terjadi. Hasjrul tetap mengambil hikmah dari kemandekannya sepuluh tahun menjadi Direktur produksi. "Saya jadi lebih hapal segala sesuatunya daripada para Administratur yang bekerja di situ. Mereka tidak bisa membohongi saya". 

Setelah sepuluh tahun, muncul orang dan SBPN di Jakarta yang dekat dengan Dirjen Perkebunan Moeloek Lubis bertanya kepada Hasjrul "Mau tidak kau jadi Dirut ?", "Mau" jawab Hasjrul lugas. "Tapi kau musti mengerti, ada biayanya". Kaget Hasjrul "Ah, tidak mau kalau begitu!" katanya tegas. 

Memang di jaman permulaan Orde Baru, pertandingan untuk menduduki jabatan tertentu mulai marak. Ada upaya kasak-kusuk dalam menghalalkan segala cara agar keinginannya tercapai. Ketika ada kunjungan Dirjen dan istrinya ke Medan, ada seseorang datang menemui istri Hasjrul, Aida, dan membisikkan kata-kata "Kalau suamimu mau jadi Dirut, perlu membelikan oleh-oleh buat Bu Dirjen. Tadi Bu Dirjen melihat-lihat gelang berlian di Kesawan, kelihatannya dia ingin sekali gelang itu, belikanlah untuk dia". Aida melapor kepada Hasjrul  "Kenapa tidak kaubelikan gelang berlian itu untuk Bu Dirjen ?" Hasjrul tersenyum getir, "Kalau bisa kubeli barang itu, kenapa kubelikan untuk dia ? Seandainya pun aku punya uang, lebih baik kubelikan untuk kau saja. Sedangkan kau saja tak kubelikan, mana bisa, tak ada duitku”.

Waktu itu memang ada lowongan untuk jabatan Dirut di PTP lain, bukan di PTP V. Bukan Hasjrul yang dipilih, tapi orang lain yang konon ada kedekatan dengan Adam Malik yang ketika itu Wakil Presiden (1978-1983). "Saya tidak punya keluarga dekat yang penguasa" canda Hasjrul. Lalu katanya, "Kalau seseorang jadi Dirut dengan cara membayar, bakal dituntut uang kembali. Kalau menurut istilah Mochtar Lubis : cukongisme".
Syukurlah semua cara-cara tidak sehat itu tidak dilakoni Hasjrul. "Lebih baik low profile, jangan menonjol. Sejak awal saya masuk kerja sampai jadi menteri, saya tidak pernah mau melakukan sogok menyogok", tegas Hasjrul. Akhirnya terjadi pertukaran Dirjen Perkebunan, Moeloek Lubis diganti Letjen Pang Suparto. Hasjrul diangkat jadi Dirut tapi bukan di Sumatera Utara melainkan di jawa Timur. "Aida dan Ira langsung menangis karena mau dipindahkan ke tempat yang bagi mereka jauh dan asing. Mereka sudah merasa betah di Sumut yang memang kampung halamannya. Apalagi di Medan kami sudah punya rumah dinas yang akhirnya bisa jadi milik sendiri dengan cara mencicil. Bagaimana ini, kok malah dipindah ke kampung orang ? Kalau saja mereka bisa melihat ke depan, tentu tak akan menangis" Hasjrul tergelak.

Menembus Kendala di PTP XXIII

Suatu hari di tahun 1978 Hasjrul dipanggil oleh Menteri Pertanian Kabinet Pembangunan yaitu Prof. Dr.Ir. Soedarsono Hadisapoetro (1978-1983) dari UGM, yang menggantikan Prof. Dr. Ir. Thojib Hadiwidjaja.
Hasjrul ditanya oleh Menteri Pertanian yang baru itu "Saudara Hasjrul ada tidak yang pernah menghubungi Saudara untuk ditempatkan sebagai Dirut di PTP yang mana begitu?". "Dulu ada Pak, tapi tidak ada follow up-nya" jawab Hasjrul. "Baiklah kalau begitu, nama Saudara saya catat untuk menjadi Dirut" kata Pak Menteri. "Syukurlah Pak, terima kasih" Hasjrul gembira.

Janji Menteri Pertanian Soedarsono itu menghidupkan kembali harapan Hasjrul. Apalagi terdengar selentingan bahwa di PTP XXIII di Jawa Timur, ada Dirut yang sudah mau pensiun. Betul saja, Hasjrul dipanggil Dirjen Perkebunan yang berwenang mengurus PTP di seluruh Indonesia, yang dijabat oleh Letjen Pang Soeparto.  

"Saudara Hasjrul, sebetulnya Saudara jadi Mandor juga nggak mampu" kata Sang Letjen mengawali pembicaraan dengan mimik dingin dan ngenyek. Hasjrul terkesiap. Darah di tubuhnya langsung seperti berhenti mengalir. Lanjut Sang Letjen "Tapi maneh ditugaskeun ka Jawa Timur, jadi Dirut PTP XXIII". Hasjrul langsung lega dan malah tersenyum. Tak sadar bahwa Jenderal yang satu ini dingin dan tegas tapi gemar bercanda tanpa tanda-tanda senyum di wajahnya. 
Hasjrul sejak mahasiswa sudah tahu siapa Pang Soeparto. Dia orang Jawa yang lama bertugas sebagai Komandan Korem Surya Kencana di Bogor dan suka berbahasa Sunda. Istrinya anak Profesor Muslihun, orang Padang yang juga lama tinggal di Bogor. Hasjrul mengekspresikan kegembiraannya dengan kata-kata " Alhamdulillah, terima kasih Pak. Mudah-mudahan saya mampu mengemban tugas ini" Pang Soeparto kemudian menjelaskan "Saudara ditempatkan di situ untuk memimpin, mengorganisir, memperbaiki, dan supaya PTP XXIII bisa melaksanakan NES yang diindonesiakan menjadi perkebunan inti rakyat". 
"Baik Pak, Insya Allah akan saya laksanakan" kata Hasjrul mantap. Diterangkan pula oleh Pang Soeparto "Dirut  yang sebelumnya itu tidak mau melaksanakan PIR. Saudara kan sudah berpengalaman menjalankan NES". "Betul Pak, ada sedikit pengalaman" Hasjrul membenarkan.
Kalimat berikutnya diucapkan Pang Soeparto dengan nada hati-hati, "Cuma yang saya dengar, pengangkatan saudara jadi Dirut di Jawa Timur tidak disetujui oleh Gubernur dan Panglima di sana, ditentang". Hasjrul mendadak risau. "Saya ditugasi Pak Menteri untuk mengamankan keadaan. Sayalah yang jadi jaminan kepada Gubernur dan Panglima di Jawa Timur bahwa Saudara bisa melaksanakan tugas dengan baik". Langsung Hasjrul lega kembali. "Terima kasih sekali Pak kalau begitu" katanya santun.

Rupanya ada informasi yang terdokumentasi di badan intelijen yang dilaporkan ke sana. Pertama, Hasjrul anti tentara. Kedua, Hasjrul HMI sehingga otomatis masuk PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Ketiga, Hasjrul orang Batak yang punya stereotip suka membawa keluarga dan kerabat masuk ke institusi di mana dia berkuasa. Maka muncul pertanyaan dan para petinggi, "Tidak adakah calon yang tepat dan Jawa Timur sendiri ?".
Tiga macam keberatan ini kemudian bisa dijernihkan karena tidak terbukti sama sekali. Hasjrul berangkat ke Jawa Timur pada bulan Oktober 1978 untuk menjadi Dirut di PTP XXIII yang berkantor pusat di Surabaya. Dirjen Perkebunan Letjen Pang Soeparto juga memberikan pesan khusus kepada Hasjrul, "Di Jawa Timur nanti Saudara musti baik-baik menghadap Gubernur, menghadap Panglima. Jangan lupa juga menghadap Kodim-Kodim dan Bupati-Bupati. Jangan seperti di Sumatera Utara, kalian kan tahunya hanya Gubernur dan Panglima. Di Jawa Timur lain, harus juga dengan Kodim dan Bupati". Hasjrul berkata mantap, "Baik Pak, akan saya laksanakan". 

Sesampai di Jawa Timur, Hasjrul menghadap Gubernur Soenandar P. Soedarmo, tapi diberi penjelasan yang berbeda dengan Dirjen Perkebunan, "Di sini penguasa tunggal adalah Gubernur, tak ada yang lain. Tentang organisasi, yang ada hanya Korpri, semuanya harus Korpri, yang lain tidak ada". Tak sama dengan Dirjen Perkebunan, Gubernur tak menyebut nyebut Pangdam Brawijaya apalagi bawahannya para Kodim, juga tidak menyebut bawahannya sendiri para Bupati. 
Tapi karena Dirjen Perkebunan sudah mengingatkan, dan Hasjrul  melihat kenyataan di lapangan pesan Dirjen Perkebunan lebih cocok, maka ia berinisiatif melakukan pendekatan kemitraan di berbagai lapisan birokrasi sipil dan militer, dari Pangdam Brawidjaya sampai Kodim, dari Gubernur sampai Bupati, termasuk berbagai lapisan masyarakat di sekitar perkebunan sampai pada lapisan paling bawah, terutama ulama. 

Belakangan Hasjrul merenung, "Rupanya dalam kehidupan ini konsistensi terhadap sesuatu, memilih dan berpihak, ada untungnya. Saya selalu memilih kekuatan yang melawan komunis karena ayah saya pernah dizalimi komunis. Saya dari HMI tidak ke PPP tetapi ke Golkar sebab sebelumnya saya sudah masuk Sekber Golkar. Saya ikut membentuk Perkappen yang melawan Sarbupri sampai akhirnya PKI hancur lebur. Beruntunglah saya dalam semua hal itu. Tentang saya orang Batak, ya mau bilang apa, saya tidak bisa memilih untuk jadi orang dan suku lain. Tapi dua adik saya perempuan menikah dengan orang Jawa, mungkin itu bisa jadi bukti bahwa kami bukan orang yang kaku", Hasjrul seperti biasa tersenyum-senyum.
Sambungnya serius, "Saya tidak memboyong sanak saudara ke tempat saya bekerja bukan karena ancaman itu, tapi saya memang tidak suka pada nepotisme. Saya menempatkan orang sesuai dengan paham the right man in the right place,” tegas Hasjrul.
Pandangan kesukuan yang stereotip path waktu itu memang masih sangat kental, yang intinya menolak kehadiran suku lain karena praduga sosial yang berkembang dalam kurun waktu yang lama. Mengenai dugaan Hasjrul anti tentara, Hasjrul harus menjalani litsus

Disampaikan oleh Perwira dari Kodam Brawijaya yang melitsus Hasjrul bahwa dugaan muncul dari adanya cerita ketika di Sumut, Hasjrul dan teman-temannya para sarjana pernah berdiskusi sambil bergurau tentang Dwifungsi ABRI. Kata teman Hasjrul, "Diganti saja AMN, dijadikan universitas di mana ada Fakultas Angkatan Darat, Fakultas Angkatan Laut, Fakultas Angkatan Udara". "Kenapa begitu?" kata teman yang lain. Jawabnya, "Supaya kita yang dari universitas juga bisa merangkap jadi tentara seperti mereka bisa merangkap jadi sipil". Celetuk Hasjrul, "Iya, kalau tentara pensiun kan bisa masuk sipil, kalau sipil pensiun bisa masuk tentara tidak ?", obrolan bernada humor itu jadi catatan Hasjrul anti tentara. Padahal Hasjrul sudah biasa bekerjasama dengan militer, termasuk militer yang dikaryakan.

Kesulitan Tempat Tinggal.

Kalau PTP V di Sumut kantor pusatnya di perkebunan Sei Karang sehingga Hasjrul tinggal di perkebunan, maka di Jawa Timur kantor pusat PTP XXIII di Surabaya sehingga Hasjrul tinggal di Kota Pahlawan tersebut. Dari sini perkebunan yang tersebar di berbagai wilayah dikendalikan. Kesulitan yang dihadapi Hasjrul bertambah dengan tidak tersedianya rumah untuk Dirut. Rumah instansi tidak ada lagi karena sudah dibeli oleh Dirut sebelumnya. Padahal sebulan lagi anak istri Hasjrul bakal menyusul. 
Hasjrul sekeluarga ditawarkan tinggal di hotel, tapi Hasjrul menolak. Terpaksa dia mencari rumah untuk dikontrak. Dituturkannya, "Saya minta tolong staf mencarikan rumah. Istri saya memberi gambaran bahwa rumah kami di perkebunan di Sei Karang itu besar. Dengan adanya gambaran itu staf saya menunjukkan rumah yang besar tapi belum selesai yang terletak di Sukolilo daerah rawa-rawa. Istri saya tidak mau". Karena sulit mencari rumah yang cocok, mereka akhirnya tinggal di mess di jalan Kayon. "Mess itu bangunan lama dari kayu, ada boofdgebouw atau rumah induk, tapi sudah dibeli dan ditempati oleh Sekretaris Direksi. Yang tersisa bangunan "sayap kiri" yang fungsinya sebagai mess dan masuknya melalui satu pintu dengan rumah induk, karena seluruh halaman sudah dipagar. Tilpon juga paralel dengan rumah induk" kata Hasjrul bernada prihatin.
Sayap kiri bertingkat dua yang ditempati Hasjrul sekeluarga itu boleh dibilang mirip kandang burung merpati. Biarpun kecil kamarnya banyak, maklum mess yaitu tempat menginap tamu atau karyawan yang masih lajang. Di lantai atas ada tiga kamar, tapi kamar mandi cuma satu untuk bersama-sama. Ruang makan juga di atas sedangkan dapur di lantai bawah, sehingga repot sekali naik turun membawa makanan. Di lantai bawah ada ruang yang dimanfaatkan untuk menerima tamu dan sering dipengunakan untuk rapat informal perkebunan.
"Jadi sempat saya menjalani hal yang tidak lazim. Saya Dirut tapi tempat tinggal saya kecil. Sedangkan rumah induk yang besar ditempati Sekretaris Direksi. Tapi saya senang tinggal di situ karena halamannya luas, sehingga terasa nyaman. Letaknya juga strategis dan dekat pasar. Menurut istilah orang Jawa, rumah itu "ngantong" di depan kecil di belakang lebar, katanya yang menempati akan banyak rezeki. Believe it or not, terserah," senyum Hasjrul. 

Hasjrul, Aida, Ira, dan Noermala ibu Hasjrul, tinggal di situ sekitar dua tahun. Kadang ibu mertua Hasjrul menginap beberapa lama. Ira melanjutkan sekolah di kelas satu SD. Mula-mula Ira mengalami kesulitan karena bahasa pergaulan di sana lebih banyak bahasa Jawa. Hari-hari pertama Ira menangis. Karena ada pelajaran bahasa Jawa di sekolah, tapi lama-lama Ira jadi bisa berbahasa Jawa sekedarnya. Ira pun betah dan senang tinggal di Surabaya. Hasjrul sekeluarga lebih betah dan lebih senang ketika pindah ke rumah induk. Ceritanya, tiba saatnya Sekretaris Direksi pensiun dan dia risih kepada Dirut, maka rumah induk yang ditempatinya dijual lagi ke PTP. Dibangunlah di situ rumah Dirut yang baru sebagai rumah instansi, yang untuk pertama kali ditempati Hasjrul sekeluarga. Sayap kiri rumah tetap dipertahankan sebagai mess, tidak digusur.

Tantangan Untuk Dibuktikan

PTP XXIII di Jawa Timur merupakan perkebunan aneka tanaman atau biasa disebut polikultur yang diambil alih dari Belanda dan semula berbentuk maskapai besar dan kecil. Luasnya secara keseluruhan lebih kecil daripada PTP V di Sumut. Ada yang terletak di Jember, Kediri, Malang, dan sebagainya. Seperti di Sumut, perkebunan ini ditinggalkan oleh Belanda dalam keadaan teratur dan bersih. Pemandangannya indah dan asri. Kebetulan lahannya ada yang tidak terlalu berbukit-bukit sehingga agak mudah dijangkau. Sebagian lagi terletak di pegunungan. Tanaman utamanya adalah kopi, selebihnya karet, coklat, teh, dan kapuk. 

Hasjrul orang luar Jawa pertama yang menjadi Dirut di PTP XXIII. Rata-rata Dirut sebelumnya adalah orang-orang yang pernah bekerja di perusahaan perkebunan Belanda. Setelah terjadi nasionalisasi kedudukan Dirut dipegang oleh orang Indonesia yang paling senior dan dianggap layak menduduki jabatan tertinggi di perkebunan itu.
"Dirut sebelumnya orang Cina-Jawa yang sudah WNI dan menurut penilaian umum he is the best Dirut di Jawa Timur. Kultur teknis perkebunan di bawah pimpinannya cukup baik, profitnya tinggi, Cuma manajemen yang dipakai kuno, semua urusan dia yang pegang alias one man show,” tukas Hasjrul.
Hasjrul harus pandai-pandai menyiasati dalam hal meneruskan kinerja pimpinan yang punya kelebihan yang menonjol sekaligus kekurangan yang juga menonjol.

"Kesalahan utama menurut saya karena organisasi ada, sudah baku, tapi job description tidak dijalankan. Dia memakai manajemen warung. Meskipun ada dua Direktur yaitu Direktur Produksi dan Direktur Komersil tapi dia menganggap "Aku lebih tahu daripada mereka". Akhirnya pemasaran dia juga yang pegang, dia yang menjual sendiri. Ketika saya datang, ada kantor pemasaran bersama tapi tidak dimanfaatkan. Teh dan kopi inisalnya sudah ada yang harus dilelang, tapi dia jual sendiri.

Tantangan datang dari seorang mantan Direktur PTP XXIII yang mencoba menghadang Hasjrul dengan kata-kata, "Saudara Hasjrul, kalau Saudara bisa membuat PTP XXIII menjadi baik seperti apa yang sudah dilakukan oleh Direksi lama, Saudara hebat". Hasjrul menjawab singkat. "Let me prove it". Hasjrul tahu mantan Direktur itu sebetulnya mau mengatakan, "Kau tak bisa melakukannya sebaik yang telah dilakukan Direksi lama". Bagi Hasjrul tantangan justru menarik. Orang-orang belum ada yang tahu bahwa sejak kedil Hasjrul sudah biasa dihadapkan dengan tantangan deini tantangan.

Hasjrul mengumpulkan para Administratur dan Staf, diajak rapat untuk pertama kali. Ia melakukan lobi yang bersifat psikologis. Katanya di dalam rapat, "Saudara sekalian, saya mendapat tugas jadi Dirut di sini, tapi bukan mau mengatur ini itu sendirian, melainkan ingin bekerjasama dengan Saudara. Beberapa hari yang lalu mantan Direktur di sini datang kepada saya dan mengatakan, 'Saudara Hasjrul, kalau Saudara bisa membuat PTP XXIII menjadi baik seperti apa yang sudah dilakukan oleh Direksi lama, Saudara hebat'. Tapi menurut saya yang membuat PTP XXIII ini hebat bukan cuma Direksi, tapi Saudara sekalian. Yang mana yang betul ? Betul tidak yang dia bilang, Direksi yang membikin keberhasilan bukan kalian?"
Ada Administratur, orang Gorontalo, tergugah hatinya dengan ucapan Hasjrul, marah dia, "Tidak benar omongan Direktur itu Pak", bantahnya, "Bapak yang benar, bukan cuma karena Direksi, tapi kami semualah yang membikin keberhasilan ini". Hadirin yang lain menimpali, "Iya Pak, tidak benar omongan Direktur itu". Kemudian Hasjrul melanjutkan, "Baiklah, makanya, bagaimana mungkin saya kerja sendirian untuk mempertahankan keberhasilan ini. Saya orang baru di sini. Saudara-Saudaralah yang sudah lama di sini yang bisa melakukannya. Mari kita buktikan, beliau-beliau pergi meninggalkan PTP XXIII, tapi kesuksesan bisa kita pertahankan. Maukah Saudara Saudara, mampukah kita kerja bersama-sama membikin yang sebaik ini?", Jawab mereka serentak: "Mampu Pak, lebih baik juga bisa". "Baik, coba Saudara-Saudara memperkenalkan din kepada saya, sekaligus melaporkan tugas masing-masing, dan memberitahu saya bagaimana cara kerja perusahaan ini di waktu yang lalu" imbau Hasjrul. 
Mereka memperkenalkan diri berikut tugas dan cara kerjanya, termasuk menjelaskan gaya kepemimpinan Dirut sebelumnya yang dinilai otokrat dan sentralistik. Kalau anak buah salah, si Dirut selalu mengatakan, "Kau tahu apa?! Sebelum kau lahir saya sudah ada di bawah pohon ini" Mati kutulah semua bawahannya. Hasjrul sendiri memaklumi si Dirut yang produk onderneming yaitu perkebunan di jaman Belanda, yang disiplinnya keras dan represif. Dia berpengalaman empiris sebagai planters yang tumbuh dan berkembang dari pekerja paling bawah sampai naik ke atas, mengerjakan berbagai hal. Bidang produksi dia kuasai, bidang keuangan dia kuasai. Dia memang serba bisa, produksinya bagus dan berhasil, meskipun sebetulnya masih bisa diperbaiki dan ditingkatkan. Tapi dia tidak percaya kepada orang lain, tidak mau mendelegasikan tugas, semuanya dikerjakan sendiri.

Setelah mendengar laporan-laporan itu, kata Hasjrul, "Baik, sekarang mari kita bersama-sama mengatasi segala permasalahan. Kita teruskan contoh-contoh yang baik, kita buang yang tidak baik, dan kita perbaiki kinerja yang kurang baik. Bagaimana, mulai 1 Januari 1979 kita siap tempur tidak ?" Ajakan Hasjrul yang bersahabat itu mendapat tanggapan positif dan hadirin. "Baik Pak! Siap Pak! Oke Pak!"

Hasjrul sudah memenangkan tahap awal dengan pendekatan psikologis, melepaskan keadaan dan represif ke suatu ajakan. Para staf tidak lagi berada dalam suasana seperti di jaman kolonial, di mana mereka hanya diperintah, tidak diajak berdialog.

Mengubah Kultur Perusahaan

"Mengubah keadaan yang otoriter dan sentralistik, yang telah jadi budaya perusahaan sekian lama ini bagaimana ?" Hasjrul mengutarakan kerisauannya ketika itu. "Tidak gampang"
Gebrakan pertama yang dilakukan Hasjrul yaitu meminta lembaga ekonomi Universitas Indonesia untuk menjadi konsultan. "Bagaimana caranya mengorganisir kembali perusahaan semacam ini ?" tanya Hasjrul kepada Tim Konsultan Ekonomi UI yang khusus datang dari Jakarta ke Surabaya.
Tim Konsultan Ekonomi UI ini sudah menganut paham manajemen modern. Wakil Ketua Tim adalah Nasrudin Sumintapura. Justru wakilnya inilah yang lebih banyak terjun dalam melaksanakan hal-hal yamg bersifat operasional. Nasrudin Sumintapura inilah yang nantinya menjadi Menteni Muda Keuangan pada Kabinet Pembangunan V bersama dengan Hasjrul yang Menteni Kehutanan. 
Pada intinya Tim Konsultan mengusulkan agar susunan organisasi disederhanakan dan dibuat job description atau pembagian tugas yang sesuai dengan standard operation procedure. Mereka juga memberi advis untuk mengembangkan komunikasi yang baik, karena Direksi lama yang mendasarkan beleid pada kekuasaan dan kewenangan, telah mengakibatkan kesenjangan yang cukup tinggi.
Hasjrul, mengikuti petunjuk Tim Konsultas dengan mengubah kultur perusahaan menjadi kultur baru yang terbuka dan persuasif yang mengandung unsur kemitraan, kesetaraan, dan kekeluargaan, dengan menumbuh kembangkan manajemen partisipasif dan kontrol, sebagaimana yang telah dipelajarinya selama bekerja di perkebunan di Sumut. Hasjrul terjun melakukan inspeksi untuk mengenali liku-liku perkebunan seperti biasa dilakukan di perkebunan sebelumnya. Dia pergi ke perkebunan disana-sini yang jumlahnya cukup banyak memeriksa ini itu, seraya berdialog dan berdiskusi dengan berbagai pihak, yang menunjukan kepemimpinan Hasjrul yang membumi dan berakar. 

Semua perubahan mendasar dan besar-besaran di PTP XXIII yang dilakukan Hasjrul membuat situasi menjadi kondusif.
Kekuasaan dan kewenangan yang saya miliki saya pergunakan untuk mengajak semua orang ikut berpartisipasi secara aktif. Kalau sistem yang dulu, rapat juga jarang, keputusan-keputusan diambil langsung di tingkat atas dan diperintahan untuk dilaksanakan, tanpa mendengar masukan dari arus bawah, demikian tutur Hasjrul.
Hasjrul juga meneliti hal apa saja yang merupakan problem ketidakadilan yang terjadi sebelumnya. Contohnya dikemukakan Hasjrul, "Kami di perkebunan di Sumut biasanya mendahulukan kendaraan para Administratur ketimbang kendaraan di kantor Direksi, karena mereka bekerja di lapangan, lebih membutuhkan kendaraan yang andal. Sedangkan di PTP XXIII tidak. Para Administratur dikasih jip merk Toyota tapi yang bahan bakarnya bensin ditukar dengan mesin diesel. Kan ada kebun yang di letaknya di pegunungan, tentu saja jip seperti itu tidak bisa naik di tanjakan. Maka saya mulai mengganti kendaraankendaraan yang lebih cocok untuk keperluan di lapangan.”

Mendelegasikan Tugas-Tugas

Kemudian Hasjrul menjelaskan strategi kepemimpinannya, "Saya tidak berpengalaman sebagai Dirut, tapi saya ambil cara yang sederhana saja yaitu menentukan yang menjadi fokus utama apa dan berbagi tugas di antara anggota Direksi. Saya lihat kultur teknis cukup baik. Fokus utama yang harus diperbaiki dan ditingkatkan yaitu tanaman karet dan coklat. Mengenai teh dan karet saya punya pengetahuan dan pengalaman, tapi mengenai kopi, coklat, dan lain-lain, tidak. Walaupun di fakultas dipelajari, tapi how to operate saya belum banyak tahu, itu termasuk kelemahan saya, tapi kuncinya adalah pendelegasian". Dalam menjamin pemeliharaan tanaman, Hasjrul menyerahkan kepada Direktur Produksi Ir. Suharno. Pendelegasian tugas yang jelas juga dilakukan terhadap Direktur Komersil. Hasjrul melakukan bimbingan dan pengawasan. Dalam hal pemasaran produk, yang dulu dipegang Dirut yang lama, kewenangannya dikembalikan Hasjrul kepada Kantor Pemasaran Bersama (KPB).
Komoditi kopi yang bagus dan jenis Robusta dihasilkan oleh daerah Silosanen di Jember dan daerah Bangelan di dekat Malang. Jenis kopi ini adalah produk unggulan PTP XXIII dan merupakan brand yang dibanggakan. Coklat yang disebut edel cacao produktivitasnya rendah tapi harganya tinggi.

Dengan masuknya teknologi sprinkle irrigation, pekerjaan jadi lebih ringan dan hasilnya maksimal Teknologi irigasi sprinkle adalah yang paling modern. Prinsipnya air dipompakan memakai pipa panjang dan diputar sehingga menjangkau seluruh areal tanaman. Air dan irigasi ditampung di waktu hujan dan di saat kemarau dikeluarkan. Baru dua perkebunan yang punya sprinkle. Kenapa di Israel dan di Arab yang tanahnya gersang tanaman bisa tumbuh dengan subur ? Rahasianya sprinkle. Kebutuhan yang pokok bagi tanaman sebenarnya bukan tanah tetapi air untuk hidup dan matahari untuk fotosintetis. Tanah justru bisa diganti dengan media lain. Teknologi sprinkle itu dibutuhkan terutama pada musim kering.
"Dengan disiram air, tanaman dirangsang berbunga. Kalau musim kering terlalu panjang, bunga tidak jadi. Bila disiram air, munculah bunga. Dengan demikian teknologi sprinkle meningkatkan produktivitas terutama ada musim kering. Teknologi sprinkle bisa dikembangkan di bagian negara kita yang gersang seperti Nusa Tenggara Timur", jelas Hasjrul.
Sempat terjadi konflik dengan masyarakat berkaitan dengan penggunaan sprinkle. Karena air diambil dari irigasi yang juga mereka butuhkan. Dicari kesepakatan bersama. PTP XXIII hanya mengambil air pada malam hari. Siang han untuk penduduk.

Mengembangkan SDM

Di antara segala macam soal yang susul menyusul dan perlu diselesaikan, SDM di PTP XXIII cukup memprihatinkan. Sarjana Pertanian hanya ada seorang. Sarjana Ekonomi tidak ada. Pendek kata SDM tingkat sarjana sangat minim. Hasjrul segera merekrut Sarjana Pertanian dari IPB, UGM, dan Universitas Jember. Merasa perlu melakukan perbaikan administrasi dan keuangan. Hasjrul melakukan rekrutmen terhadap dua Sarjana Ekonomi Akuntansi dari Badan Pengawas Keuangan Perusahaan (BPKP).
Dengan adanya para sarjana pendatang baru yang terdiri dari orang muda, berarti datangnya darah baru, maka perusahaan lebih bertenaga. Mereka open minded. Dan, munculah resistensi. Orang lama menyadari pengetahuan mereka tertinggal dan merasa ada kekurangan. Hasjrul tidak menempatkan situasi itu sebagai konflik tetapi malah memanfaatkannya untuk memicu semangat berkembang. 

Sejak dulu ada Lembaga Pendidikan Perkebunan tapi tidak dimanfaatkan secara efektif oleh Dirut yang lama. Dia beranggapan tidak perlu, buat apa belajar ke sana, hanya menghabiskan uang saja, yang penting cukup bisa bekerja dikebun.
"Kasihan mereka dulu dicecoki dengan pendapat yang sempit. Sekarang pikiran mereka berubah, at least sudah sering minta dibelikan buku yang berkaitan dengan perkebunan", kata Hasjrul yang menggunakan momentum ini untuk menstimulir agar anak buahnya mengambil kursus di LPP Yogya.
"Kalian di sana bisa bertemu dengan kawan-kawan dari PTP lain, saling kenal dan bertukar pandangan antara sesama pekebun, dan bisa refreshing", imbau Hasjrul. Hasjrul mempersilakan siapa yang mau kuliah lagi atas biaya pribadi boleh mengambil kelas extension dengan diberi keringanan jam kerja.
"Saya bilang, sambil kerja kalian bisa belajar. Karakter untuk bekerja keras dan belajar giat ini harus ditempa. Bukan untuk mengambil pengetahuannya saja tapi juga ketangguhannya", tandas Hasjrul yang tak lelah-lelah mengimbau: "Jangan segan-segan mulai bekerja dari magang, mempelajari know how yang praktis sebagai permulaan. Daya tahan kita akan lebih bagus kalau kita mulai dari bawah. Ketangguhan yang dimulai sejak muda, kalau kita sudah lebih matang, maka kita bisa memperkirakan kadar suatu tingkat kesulitan dan tahu bagaimana caranya mengatasi sampai berhasil menemukan jalan ke luar".
Kata-kata Hasjrul bagai gayung bersambut dan mereka yang rata rata masih berusia 30 tahun, masih berpengharapan luas untuk maju dan berkembang. Ada yang kuliah lagi di Fakultas Ekonomi, Akuntansi, Manajemen, dll. Berlomba-lomba mereka ingin jadi sarjana.
"Bahkan ada seorang yang sangat bersemangat sekali, kemauan belajarnya tinggi, sampai kemudian titelnya panjang sekali, alias banyak gelarnya", Hasjrul tertawa bangga", "Belakangan cukup banyak mantan anak buah saya jadi Dirut. Tentu saja mereka telah mengembangkan kemampuan diri sendiri. Tapi yang pasti alumni PTP XXIII memang berkualitas. Di antaranya Wayan, Sarjana Ekonomi yang saya rekrut dari BPKP, jadi Dirut PTPN IV, Direktur Produksi Suharno jadi Dirut di PTPN XII perkebunan teh di Jawa Barat, Direktur Komersil jadi Dirut di PTPN I di Aceh, Direktur Pengembangan jadi Dirut di PTPN VI. Mantan anak buah saya ketika di PTP V, dua jadi Dirut. Tak terhitung yang sudah jadi anggota Direksi", Hasjrul  semakin bangga. "Terasa sekali kepuasan batin saya punya anak buah yang bisa jadi Direktur dan Dirut". Seisi PTP XXIII mulai memahami, Hasjrul datang tidak dengan konsep baru, dia meneruskan yang lama namun dengan semangat baru dalam hal meningkatkan kinerja, mengembangkan SDM, memperbesar kapasitas pabrik, meremajakan transportasi, merenovasi perumahan, dan banyak lagi. Seisi PTP XXIII melihat adanya perubahan yang nyata, sehingga mereka kompak memacu produktivitas. Dalam tempo tiga bulan setelah kedatangan Hasjrul, roda perusahaan menggelinding lancar.
Kesan dan pesan Hasjrul, "Itulah cerita saya selama jadi Dirut. Betapa penting pengalaman pemimpin itu untuk memanusiakan diri sendiri dan memanusiakan diri orang lain dengan manajemen kesetaraan, keinitraan dan kekeluargaan. First of all, manajemen diri sendiri, how to control you self. Kalau kita senang disanjung, be careful dengan orang yang sangat menghormati kita kelewat batas. Mengujungi bawahan di rumahnya itu perlu, jangan rigid di kantor saja. Prinsip pertama dan utama kalau mau diperhatikan, perhatikan dulu orang lain, jangan orang lain kau ininta memperhatikan kau tapi tidak memperhatikan dia kalau kita merasa sakit dicubit jangan cubit orang lain. Kekuasaan yang dipergunakan untuk menyakiti orang, tunggu saja balasannya".

Bertetangga Dengan Baik

Hasjrul tak tanggung-tanggung menjalin hubungan kekeluargaan dan kesetaraan sampai ke rumahnya, ke tengah-tengah keluarganya. Ia mengajak para karyawan makan bersama di tempat tinggalnya yang mula-mula mereka menolak karena rikuh. Sebelumnya tak pernah terjadi Dirut mengajak makan bersama. Lama-lama setelah sering datang ke rumah Hasjrul, duduk-duduk dan ngobrol, termasuk dengan Aida, Noermala, dan si kecil Ira, akhirnya mereka jadi akrab dan mau makan bersama. Berkembang informasi bahwa Hasjrul sekeluarga sangat familiar, tidak membeda-bedakan status dan kedudukan seseorang, semua diajak makan.

Akhirnya yang semula dikhawatirkan, wah stereotip orang Batak, keras dan kasar, mulanya dikira Kristen pula, dan nepotisme, nanti dia bawa kawan-kawannya, rupanya tidak terbukti. No single man saya bawa dari Sumut. Orang lain ada yang bawa teman atau saudara, bahkan suplier dibawa-bawa. Stereotip adalah konsepsi tentang sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subyektif dan tidak selalu tepat. Saya juga suka bilang orang Jawa, orang Sunda, orang Padang, stereotipnya begini-begini, tapi tidak semuanya tepat, banyak yang tidak tepat", kata Hasjrul.
Mengenai stereotip orang Jawa yang dikatakannya, Hasjrul memberi contoh karyawannya orang Jawa yang sudah tahu tapi membiarkan Hasjrul makan soto Madura yang sudah dimasukkan sambal cabe rawit sehingga pedas dan mengakibatkan Hasjrul sakit perut. Si Karyawan kemudian mengatakan, "Saya mau kasih tahu Bapak tadi, tapi Saya segan". Kata Hasjrul tertawa, "Inilah orang Jawa, apa-apa segan, tidak mau mengatakan apa adanya, sampai membuat orang terjebak, sakit perut. Tapi kan tidak semua orang Jawa seperti itu".

Keluwesan Hasjrul dalam menyesuaikan diri dengan keadaan telah membalik praduga semula. Tak kurang dan Pangdam Brawijaya dan Gubernur Jawa Timur, akhirnya menerima Hasjrul dengan sepenuh hati. "Batak satu ini ternyata lain, bisa melakukan perubahan, bisa mendekati rakyat dan ulama", begitu mungkin pengalaman mereka setelah bergaul dengan Hasjrul. Ilmu "lain ladang lain belalang" dan "masuk kandang kambing mengembik" memang diterapkan Hasjrul, sehingga ia bisa diterima di mana-mana.
Hasjrul dan Aida tak segan-segan berkunjung ke kebun, bertemu dan berbicara dengan karyawan dan karyawati. Sebagai Ketua Dharma Wanita, Aida melakukan pendekatan kepada kaum perempuan agar bersemangat mendampingi dan mendukung tugas suami. Mereka mengobrol tentang berbagai hal yang berharga untuk saling bertukar informasi.
"Karena melihat saya dan ibu suka makan sayur pepaya mentah dan sayur daun singkong, hari berikutnya ada kiriman pepaya mentah dan daun singkong dalam jumlah yang banyak sekali. Kewalahanlah kami", senyum Hasjrul. Suatu ketika Hasjrul memberikan bibit kelinci untuk diternakkan di rumah masing-masing karyawan dan penduduk yang berminat. "Kelinci mengandung protein hewani yang bagus sekali. Pengembang biakannya cepat, makanannya juga bersih yaitu rumput dan sayuran", Hasjrul berpromosi. Ramai-ramai karyawan dan penduduk memelihara kelinci. Suatu hari Hasjrul datang bertamu ke rumah seorang karyawan yang memelihara kelinci. Ketika itu kelinci sudah besar. Dengan rasa gembira dan hormat kepada Hasjnul, dia memotong kelinci, dimasak dan disajikan. Hasjrul dipersilakan makan. Mau tak mau Hasjrul memakan daging kelinci seraya terbayang-bayang sang kelinci dengan matanya yang merah dan kupingnya yang berdiri lebar, melompat-lompat lucu. Apa boleh buat, Hasjrul harus mengunyah dan menelan si kelinci yang cantik dan imut-imut semasa hidupnya "Enak Pak?" tanya orang yang menghidangkan, "Enak... enak..." jawab Hasjrul dengan kerongkongan serasa tenjepit. Pulang ke rumah Hasjrul berkata pada Aida, "Kau lihat mataku merah tidak ? Kupingku tambah lebar dan naik tidak ?" Hasjrul memperagakan mata dan kupingnya. "Kenapa sih ? Ada apa ?" tanya Aida heran dan bingung. "Aku makan kelinci..." kata Hasjrul. Aida tertawa tergelak-gelak. "Yang menganjurkan beternak kelinci harus berani makan dong", ledeknya. "Kalau tidak tentu yang dianjurkan marah". 

Bentuk perusahaan PTP V dan PTP XXIII sama, tapi situasinya berbeda. Di PTP V, Sumatera Utara, perkebunan berkelompok cukup besar, desa-desa ada di pinggir-pinggirnya. Kalaupun ada desa di tengah kebun, itu tadinya milik Raja yang ditanami tanaman tertentu seperti duren dan sialang. Setelah diambil alih negara jadi ada penduduk di dalam kebun. Sebaliknya PTP XXIII di jawa Timur, perkebunan tersebar di beberapa tempat dan berada di pedesaan, sehingga masuk ke kebun harus melalui desa, mengeluarkan produksi juga melewati desa. "Dengan demikian kemungkinan terjadinya konflik antara penduduk desa dan orang perkebunan lebih besar", jelas Hasjrul. "Karyawan di perkebunan juga ada yang penduduk desa. Maka saya pikir, kami harus bertetangga dengan sebaik-baiknya dengan penduduk desa-desa ini". 

Berdasarkan pengalaman bekerja di perkebunan di Sumatera Utara, Hasjrul tahu bahwa hubungan dengan masyarakat sekitar perlu dijalin dan dibina dengan baik. Di PTP XXIII, Hasjrul mencanangkan kepedulian terhadap masyarakat sekitar itu berlaku dalam radius sejauh 30 kilometer. Artinya, pengelola PTP XXIII harus peduli terhadap penduduk yang tinggal di tempat-tempat di dalam kawasan sejauh 30 kilometer itu.
"Hal-hal apa yang perlu dibantu ya kami bantu, selama kami mampu memberikannya", tegas Hasjrul. Para staf melaporkan, "Direksi yang lama sudah punya kepedulian terhadap penduduk desa, kalau musim kemarau mereka diberi air. Kami juga berhubungan baik dengan para Kyai yang umumnya orang NU dan mereka sering minta bantuan. Mau dilanjutkan atau tidak, Pak?", "Tentu saja, teruskan saja apa yang selama ini sudah berjalan dengan baik",  jawab Hasjrul. "Tapi di sini sering terjadi pencurian Pak", "Nanti kita coba atasi", kata Hasjrul.

Hasjrul benar-benar berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Dan, menyadari betul bahwa pengaruh dan nonformal leaders, yaitu para Kyai, terhadap penduduk di desa-desa di Jawa Timur sangat besar. Kepatuhan penduduk kepada Kyai tinggi sekali. Kalau dulu hanya para staf PTP XXIII yang berhubungan dengan Kyai, sekarang Hasjrul sendiri yang turun gunung, sowan kepada mereka. Alasannya, "Kalau kita dapat melakukan sendiri kenapa harus menyuruh orang lain ?" Hasjrul berkunjung ke pesantren-pesantren yang ada di dekat perkebunan. Pertama kali ia ke Silosanen di Jember dan mengucapkan "Assalamuallaikum", lalu sholat bersama Kyai dan para Santri.
Penghuni pesantren kebanyakan orang Madura. Mereka heran dan mengatakan, "Alhamdullilah Pak, sekarang Dirutnya Islam, yang dulu Cina". Ada juga yang mengaku, "Dulu saya suruh pengikut saya mencuri kopi, karena perkebunan itu punya Cina. Kalau begitu mulai sekarang saya larang mereka mencuri, tidak boleh lagi mencuri, harus membantu pemilik baru".Mereka tahunya Dirut itu sebagai  pemilik, padahal cuma jabatan dari negara. Hasjrul menjelaskan duduk perkaranya dan mereka mengangguk-angguk.
Tapi tetap saja mereka menyebut "kebun Bapak". Kata mereka, "Kebun Bapak ini produksinya memang bisa dicuri, kalau begitu akan kami jaga, kami jadi Satpam Bapak". Walaupun keakraban sudah terjalin, suatu ketika terjadi "serangan subuh". Pohon coklat ditebangi orang. Sebabnya karena Administratur yang orang Aceh, keras memarahi Mandor yang orang Madura. Si Mandor melakukan pembalasan. Seharusnya tindakannya itu dilaporkan kepolisi. Tapi ada yang menasihati Hasjrul, "Pak, jangan lapor ke polisi, ke Kyai saja", Hasjrul mengikuti nasihat itu dan melapor ke Kyai supaya Mandor yang pengikutnya itu diberi nasihat. Si Mandor berjanji tak akan mengulangi perbuatannya, asal Hasjrul jangan melapor ke polisi. Pendekatan yang dilakukan Hasjrul pengaruhnya cukup besar. Penduduk desa memberikan dukungan sepenuhnya dalam hal pengamanan dan sebagainya. Hasjrul selalu bertanya, "Apa kira-kira yang Bapak perlukan yang bisa kami bantu ?". Ada yang menjawab, "Saya perlu generator". Ada yang mengatakan perlu ini perlu itu. Sepanjang sanggup dipenuhi, permintaan tersebut dikabulkan Hasjrul.

Konklusi Hasjrul, "Kadang-kadang nilai-nilai normatif dengan menggunakan kekuasaan hukum dan aparat itu tidak berlaku. Hasilnya akan lebih baik kalau dengan pendekatan. Pendekatan kepada lingkungan mutlak harus dilakukan dalam situasi yang saya hadapi itu
Gara-gara Hasjrul rajin bersilaturahini dengan para Kyai sampai ada kabar burung mengatakan Hasjrul itu NU.

Berani berubah dan mengubah 

Keberhasilan PTP XXIII mencapai puncak ketika pemerintah mengambil langkah mendevaluasi mata uang rupiah yang dikenal dengan sebutan KNOP-15 (Kebijakan Ekonomi 15 November tahun 1979).
"Turun rahmat atau keberuntungan di mana kurs rupiah terhadap dolar meningkat empat kali lipat", Hasjrul bersyukur. 
"Kami dapat uang yang cukup banyak, di atas rata-rata anggaran", jelasnya dengan mata berbinar.
Hasjrul lebih bersyukur, selain uang ada keuntungan lain berupa banyaknya stok atau persediaan, yaitu stok pupuk, karung goni, dan sebagainya, yang diperlukan untuk produksi, yang ditinggalkan oleh Direksi lama. Ada sebagian yang masih terhitung hutang, tapi pembayarannya berpatokan dengan harga lama. Jadi banyak keperluan produksi yang tidak perlu dibeli lagi. Sehingga pada tutup tahun anggaran 1979, uang bukannya habis malah melimpah.
"Ini yang disebut windfall profit alias rejeki nomplok", Hasjrul gembira. Bagaimana Hasjrul dan segenap pembantunya memanfaatkan uang yang banyak ? Mereka mengatur strategi dengan meningkatkan kemampuan di sektor produksi. 

Ada tiga hal yang mereka lakukan. Hasjrul menerangkan, "Pabrik diperbaiki dengan memperbaiki mesin-mesin, tanaman diperbaiki dengan melakukan pemupukan dan pemberantasan hama, transportasi diperbaiki dengan membeli kendaraan-kendaraan baru". Pada tahun kedua Hasjrul jadi Dirut, antara tahun 1979-1980, terjadi frost yaitu cuaca penuh es di Brazil, sehingga volume ekspor kopi mereka anjlok. Harga kopi dunia naik. PTP XXIII yang perkebunan kopi kembali mendapat wind fall profit dan kejadian ini. Dikemanakan lagi uang sekian banyak ?
"Saya anggarkan untuk perbaikan rumah karyawan",  jawab Hasjrul. "Karena keadaannya sungguh-sungguh di bawah standar. Perumahan di salah satu kebun di Kertowono, Pasuruan, kondisinya sangat buruk. Rumah itu lebih jelek daripada gubuk. Bayangkan, letaknya yang di pegunungan pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, tapi terbuat dari gedek, atapnya rumbia. Bagaimana kalau ada angin kencang dan hujan ? Kalau hujan atap dan dindingnya ditutup plastik. Bagaimana merekatidak menggigil kedinginan ? Timbul penyakit TBC yang berakibat produktivitas menurun. Saya paling sedih melihat ada rumah yang sangat tidak manusiawi. Dinding antara kamar orangtua dan anak berlubang-lubang. Tak ada privacy sama sekali. Perumahan Kertowono yang paling dulu dipugar".

Dari Kertowono Hasjrul melakukan perjalanan keliling untuk mengobservasi perumahan lain seraya membangun silaturahmi dengan karyawan. Hasjrul menanyakan apa saja kesulitan mereka. Selama rumah dalam keadaan buruk mereka tak mau bercocok tanam di pekarangan, tampaknya mereka tak bergairah dan tak berpengharapan. Setelah rumah dipugar, baru mereka mau menanami pekarangannya, sesuai dengan kebutuhan mereka. Di dekat perumahan didirikan puskesmas dan mesjid. Ada peningkatan kesejahteraan yang signifikan dalam tempo lima tahun.

Komentar Hasjrul, "Menurut saya lobi dan pendekatan sebagus apapun, bila kita tak melakukan tindakan kongkrit untuk karyawan, tak ada gunanya. Yang penting hasilnya, yaitu berupa kesejahteraan dan kemakmuran yang yang diperoleh oleh semua orang yang telibat".

Sampai sekarang hanyak orang mengenang perbaikan perumahan karyawan PTP XXIII yang dilakukan di jaman Hasjrul jadi Dirut. Ada Kepala Bagian yang dulu sama-sama Hasjrul bekerja di Sei Karang, anaknya bekerja di PTP XXIII. Baru-baru ini dia bertemu Hasjrul dan mengatakan, "Oom, cuma waktu Oom jadi Dirut saja rumah-rumah karyawan diperbaiki, sebelum dan sesudahnya tidak pernah. Orang-orang di sana berceritera yang bagus-bagus tentang Oom. Kata mereka, perumahan, puskesmas dan mesjid, dibangun oleh Pak Hasjrul Harahap sewaktu jadi Dirut. Mereka berterima kasih sekali dan tak pernah lupa". Hasjrul sungguh terharu. Barangkali itulah arti pepatah, "gajah meninggalkan gading, harimau meninggalkan belang, manusia meninggalkan nama".
Dengan tepatnya penggunaan uang yang berlimpah, antara lain untuk perbaikan pabrik dan pemupukan, maka produksi meningkat. Harga pun bagus terus. Maka jalan-jalan desa diperbaiki. Mesjid didirikan di kebun-kebun, kemudian diserahkan pengurusannya kepada para Kyai.
Kata Hasjrul dalam peresmiannya, "Kami serahkan mesjid ini kepada Pak Kyai, supaya dimanfaatkan dengan baik. Pak Kyailah yang menjadi gurunya dan menjaga kelangsungan mesjid di sini". Ketika kampanye menjelang Pemilu 1982, datang para Kyai NU yang rata-rata pendukung partai berbendera Islam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) kepada Hasjrul yang Golkar. Mereka mengatakan, "Bapak, dalam kampanye ini kami tidak usik-usik perkebunan. Bapak mau kembangkan Golkar di perkebunan silakan. Tapi Bapak jangan kampanye ke luar perkebunan, itu bagian kaini". "Baiklah", jawab Hasjrul menyetujui aturan permainan yang diusulkan para Kyai.
Tanggung jawab Hasjrul ketika itu memang hanya PTP XXIII, tidak wilayah yang menyangkut Kabupaten. Alliasil di PTP XXIII Golkar menang mutlak. Kalau di tempat lain rata-rata mencapai 80% ada yang hanya 60%, di PTP XXIII meraih 90% suara.

Management of Change

Selama jadi Dirut PTP XXIII, tak henti-henti Hasjrul mendorong anak buahnya menambah ilmu dengan berbagai cara. Tapi Hasjrul sendiri tak sempat memanfaatkan peluang untuk mengambil gelar magister di Harvard yang sebetulnya terbuka baginya, karena waktu kuliahnya cukup lama. Tapi ia tak menyia-nyiakan peluang yang terbuka untuk studi ilmu manajemen selama satu setengah bulan di Fontainebleau, Perancis. 
Pada akhir tahun 1979, PTP XXIII yang dipimpinnya sudah dalam keadaan stabil, sehingga Hasjrul bisa berangkat ke Perancis. Lembaganya INSEAD (L’Institut Econoinic L’Adininistration Development), program senior executive dan tinggal di asrama. Dosennya banyak "dosen terbang" yang mengajar di berbagai belahan dunia termasuk Jepang. Peserta dan Indonesia ada beberapa orang. Hasjrul berusaha mengingat-ingat , "Dari perkebunan ada tiga orang, yaitu saya, Suratin Subur, dan W.L Siagian. Yang lainnya Pantouw dan Bank Bumi Daya, dari swasta Sukanto Tanoto, dan kalau tidak salah ada Ibu Odang.”
Tema pokok yang dipelajari di INSEAD menyangkut tentang teori "Management of Change" yaitu manajemen perubahan dikaitkan dengan kultur yang diajarkan oleh Prof.Ir.Hendri Claude de Beurtigne
Penjelasan Hasjrul, "Dengan mengetahui kultur, orang dapat melakukan perubahan manajemen, baik dengan cara menyesuaikan diri pada kultur yang baik maupun meninggalkan kultur yang tak sehat".
Suatu ketika Sang Dosen mengkritik kultur Indonesia, "Tahu kelemahan manajemen di Indonesia ? Yang dominan adalah kultur Jawa sehingga bisa disebut manajemen Jawa. Padahal dalam suatu program yang mau dijalankan kalian sudah punya data, tahu apa positif dan negatifnya, siap membuat alternatif, tapi dalam mengambil keputusan kalian bukan mengutamakan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) analysis tapi pertimbangan waktu. Kalian percaya bahwa waktulah yang memberi keputusan, dengan melihat primbon hari apa yang paling baik. Itu terlalu lama. Yang paling tidak bagus, kalian berprinsip biar waktu pula yang membuat keputusan". Dalam bahasa Inggris kata Dosen itu, " Javanese culture don’t make ecisthnonthe right time but let the time make decision".
Awalnya Hasjrul membatin, "Kurang ajar dia mencela kebudayaan kita". Tapi kemudian Hasjrul membenarkan apa yang dikatakan Sang Dosen. "Memang ada tradisi Jawa seperti yang disinyalir Dosen itu yang bisa menghambat pengambilan keputusan seperti yang dimaksudkannya". 

Analisis Hasjrul, "Kultur itu peradaban manusia, yang bisa maju dan berkembang. Sedangkan tradisi yang ada dalam kebudayaan suatu bangsa, yaitu penilaian atau anggapan bahwa cara yang diturunkan nenek moyang adalah cara paling baik dan benar, sudah saatnya dikaji kembali. Kalau ada yang tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi jaman yang membutuhkan kecepatan dan akurasi, tradisi lama patut ditinggalkan dan diganti tradisi baru yang lebih mampu mengakses perubahan".
Hasjrul memberi contoh yang lebih kongkrit tentang perubahan dikaitkan dengan kultur, "Kalau dulu dikatakan a leader is born to be a leader, kalau sekarang kan tidak, menjadi pemimpin harus belajar".
Kapan saatnya perubahan tidak harus dilakukan ? Hasjrul memberi contoh kultur yang dilandaskan pada falsafah tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara dan diimplementasikan di dalam perguruan Taman Siswa : "Tut Wuri Handayani" yang artinya guru mengikuti dan belakang, memperhatikan dengan penuh kasih sayang serta menghormati kedaulatan dan identitas anak, "Ing Ngarsa Sung Tulada" berlaku aktif dan kreatif, konstruktif dan produktif, "Ing Madia Mangunkarsa", sehingga anak didik dapat dididik untuk memperoleh identitasnya sebagai manusia yang merdeka lahir dan batin, bergairah mengabdi kepada Tuhan dan umat manusia. Atau nilai-nilai kekerabatan yang didasarkan pada "Dalihan Na Tolu" dalam masyarakat adat Tapanuli.
"Tentu kultur semacam ini tak perlu dipermasalahkan lagi. Dan, kultur ojo dumeh dari Jawa yang artinya "jangan mentang-mentang" selayaknya dipertahankan. Termasuk meng-wongke orang lain meskipun bawahan, harus tetap diperlakukan dengan baik", tandas Hasjrul.
Pelajaran dari INSEAD mengatakan pada dasarnya setiap organisasi harus memiliki kultur sendiri yang disebut corporate culture

Sekembali dan Perancis, Hasjrul mengaku mengalami pencerahan. Makin terbuka matanya mengenai ilmu manajemen umumnya dan khususnya teori manajemen perubahan. Hasjrul berkaca pada diri sendiri.
"Saya yang dilahirkan dan dibesarkan di kalangan suku Tapanuli dengan karakter lokal kenapa bisa berubah menasional ? Kuncinya, di asrama mahasiswa saya banyak teman, bergaul dengan berbagai suku sehingga terjadi akulturasi. Rupanya ada potensi di dalam diri saya untuk melakukan Management Of Change, mengubah karakter dari kedaerahan menjadi nasional. Walaupun dengan begitu saya mendàpat kesulitan ketika jadi Menteri, dikritik karena tidak mengutamakan kepentingan sukunya, membangun kampung halamannya, tapi saya tetap teguh memegang prinsip bahwa ketika itu saya bekerja dan berpikir dalam skope nasional. Menteri itu national leader, bukan suku leader, bukan island leader", tandas Hasjrul.
Pelajaran dan INSEAD pun sudah dipraktekkan Hasjrul sebelumnya di PTP XXIII dengan mengubah kultur perusahaan yang otokratik dan sentralistik menjadi terbuka dan persuasif. Memang tidak mudah. Diperlukan keberanian, kesungguhan, dan totalitas, untuk melakukan perubahan.

Tak hanya di luar negeri, Hasjrul juga mengikuti kursus manajemen eksekutif di dalam negeri yaitu di Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPKI) di Cikini, Jakarta Pusat. Aida dan Ira diajak serta menginap di Jakarta selama dua minggu dan ada yang satu bulan. 

Di LPPKI ini Hasjrul mempelajari teori manajemen "How To Manage People And How To Touch Them". Lagi-lagi Hasjrul seperti menapak tilas perjalanan hidupnya. Tentang bagaimana ia selama ini sudah melakukan manajemen terhadap sesama dan melakukan sentuhan khusus terhadap mereka. Contohnya, ia yang suka bergaul dan gampang belajar bahasa, tak sungkan memakai bahasa daerah setempat atau bahasa orang yang diajak bicara. Logat Sunda, Jawa, Padang, Ambon, dapat dikuasai Hasjrul dengan baik, sebagai hasil pergaulannya selama di asrama di Bogor.
"Memang benar prinsip manajemen yang saya pelajari itu, kunci pokoknya adalah manusia. Menurut pengalaman pula, memenej manusia paling sulit, even your frend, your children. Bahkan ada pepatah, mengurus satu orang lebih sulit ketimbang mengurus 40 kerbau,” senyum Hasjrul.
Hasjrul sudah menerapkan teori manajemen "How To Manage People And How To Touch Them" selama dia bekerja sampai jadi Dirut, dengan mengintensifkan pendekatan kepada bawahan dan penduduk. Banyak berkunjung ke rumah mereka, mengobrol dengan keluarganya, adalah resep lama Hasjrul. Keramah tamahan dan tali silaturahmi yang diulurkan Hasjrul berhasil menyentuh hati mereka yang paling dalam.
"Seorang manajer yang baik, memang harus menyentuh hati bawahannya, touch their heart. Seperti yang dilakukan Jenderal M. Jusuf terhadap para prajurit. Beliau memperbaiki asramanya, mengirim susu dan kacang hijau, ditepuk-tepuk pundaknya, maka para prajurit itu rela mati untuk Sang Jenderal", tandas Hasjrul dengan penuh respek dan simpati kepada jenderal yang satu itu.

Teori manajemen "How To Manage People And How To Touch Them" tetap dijalankan Hasjrul dan lebih dikembangkan sampai ia menjadi Menteri Muda UPPTK lalu Menteri Kehutanan. Hasjrul masih mau berkunjung dan memenuhi undangan bawahan dan kenalannya meskipun mereka tinggal di rumah sempit di gang kecil yang jalannya becek. Sikap Hasjrul mengherankan banyak orang. Menurut Hasjrul kenapa orang harus heran ?
Hasjrul mencoba memberi jawaban, "Di dalam kultur kita tanpa disadari masih tertinggal sikap feodalistik, baik yang diwarisi dan keraton dan kerajaan yang pernah ada dan masih ada di tanah air kita, maupun akibat politik devide et impera yang ditinggalkan penjajah Belanda yang memecah belah bangsa kita. Maka sikap yang justru wajar dan normal justru dianggap aneh dan istimewa. Padahal di dalam ilmu manajemen modern malah dikatakan touch their heart. Kalau kita mau dimanusiakan harus mau juga memanusiakan orang lain.”
Dari semua pengalaman manajemen yang sudah dijalaninya dan bawah sampai ke atas, apa yang mau dikatakan Hasjrul ? "Akhirnya saya kembali kepada prinsip manajemen yang paling sederhana, yaitu tekun, teliti, telaten, dan memperhatikan semua faktor. Sedangkan yang menggunakan istilah-istilah baru ada dua yang saya tekuni yaitu controlling system dan management of change yang disesuaikan dengan kultur. Jika kita seorang manajer, apakah manajer kebun atau manajer pabrik, tugasnya "do the things right" sedangkan direktur atau peinimpin bertanggung jawab untuk "do the right things". Seorang pucuk pimpinan, dari Dirut sampai Menteri, memberikan arah dan jika perlu melakukan perubahan di segala bidang. Keberanian melakukan perubahan dan sistem kontrol ini yang saya kembangkan. Dalam sistem kontrol perlu kepercayaan dan kebesaran jiwa untuk mendelegasikan tugas pacla orang lain, supaya menjalankannya seperti yang kita inginkan. Komunikasi harus terus dipelihara, yaitu kepada atasan kita melapor, kepada bawahan kita memberi instruksi, dan yang setaraf kita berdiskusi. Bagaimana melakukannya ? That is an art, manajemen itu seni, sifatnya individual. Masing-masing orang punya style tersendini", senyum Hasjrul.
Mengenai karier yang terus naik, kata Hasjrul, "Ada yang mengatakan bahwa jenjang karier bisa direncanakan. Mungkin benar. Prestasi yang menentukan, mungkin benar juga. Tapi tidak selalu demikian. Ada juga faktor X, yang suka disebut orang sebagai nasib, dan ada yang mengatakan garis tangan, Wallahualam. Mengenai diri saya sendiri, rasanya tidak mungkin orang perkebunan seperti saya yang tak punya NIP dan tak punya Eselon, bisa jadi Menteri. Tapi kenapa saya bisa jadi Menteri ?".

Enclave dan Demplot

Selama menjadi Dirut PTP XXIII banyak kasus mengenai tanah yang dihadapi Hasjrul. Misalnya, menyelesaikan tanah enclave (daerah kantong) milik perkebunan sejak jaman Belanda yang sudah lama dikelola masyarakat. Enclave yaitu sebidang tanah di tengah-tengah perkebunan yang dikelola rakyat dan dijadikan pemukiman. Ketika jaman jepang, penduduk disuruh menanami enclave itu dengan tanaman pangan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, perkebunan termasuk enclave dengan sendirinya menjadi milik RI, dan ketika Belanda berbaju NICA masuk ke Indonesia, perkebunan beserta enclave direbut Belanda. Setelah Penyerahan Kedaulatan otomatis kembali ke pangkuan RI dan menjadi bagian dari PNP yang kemudian disebut PTP. Perkebunan itu berstatus hak guna usaha, dan enclave termasuk di dalamnya.
"PTP sudah memberikan ganti rugi kepada penduduk yang menanami dan menempati enclave di jaman Jepang, tapi mereka tetap bercokol di situ, bercocok tanam dan membuka warung,” demikian Hasjrul menjelaskan. Enclave yang belum pernah diolah orang pun belakangan ditanami. Ketika disuruh membongkar segala sesuatu yang ada di atas enclave itu mereka memprotes, "Tanah ini kami yang punya dari dulu". Enclav enclave itu seakan-akan tanah tak bertuan, seolah okupasi, ada yang diperjual belikan, bahkan berpotensi diakui oleh rakyat sebagai hak rakyat yaitu hak atas tanah yang diklaim oleh penduduk setempat sebagai tanah turun temurun. Inilah cikal bakal terjadinya kasus dan konflik.
Selaku Dirut PTP XXIII, Hasjrul berusaha membereskan kasus kasus tersebut. Tapi kasus yang sudah lama terjadinya itu sudah menjadi konflik laten. Salah satu enclave milik PTP XXIII yang diurus Hasjrul ada di Malang Selatan. Menurut Hasjrul kasus-kasus tanah yang menyangkut klaim rakyat sebagai tanah ulayat ini banyak sekali terjadi di seantero tanah air. "Harus ada ketegasan dan pemerintah dalam hal ini. Karena faktor ini membuat orang tidak berani berinvestasi. Sudah sering terjadi, tanah yang tadinya milik negara dan diberikan kepada investor, setelah berhasil dijadikan perkebunan, tahu-tahu diklaim rakyat sebagai tanah hak ulayat,” kata Hasjrul.
Lain soal enclave lain pula soal demplot. Suatu ketika Hasjrul selaku Dirut PTP XXIII memberi perhatian kepada penduduk beberapa desa dengan membuat demplot, yaitu kebun percontohan di lahan milik penduduk di sekitar perkebunan, yang dibiayai oleh PTP XXIII, dan hasilnya untuk penduduk sendiri.
“Kami coba membuat demplot di beberapa tempat. Kami perlihatkan dan kami ajarkan caranya, mulai dan menanam sampai memupuk sebagaimana yang biasa kami lakukan di perkebunan,” jelas Hasjrul.
Dengan landasan silaturahimi Hasjrul mengajarkan mereka membuat kebun kopi yang bagus. Demplot itu ide Hasjrul sendiri, belum ada program penyuluhan pemerintah. Hanya berdasarkan kesadaran saja ia berpikir bahwa masyarakat di sekitar tempatnya bekerja itu perlu dibantu. Sebaliknya mereka juga akan membantu perusahaan yang ada di dekatnya kalau kepentingan mereka diperhatikan.
"Lagipula kepentingan mereka itu tak terlampau banyak. Kami membantu memperbaiki jalan, memberikan air pada musim kemarau, membantu mesjid dan pesantren untuk kelangsungan hidupnya. Basicnya kan silaturahmi", sederhana saja tapi mulia pemikiran Hasjrul itu.
Hasjrul ketika itu juga belum mengenal istilah Community Development Project (CDP) yang belakangan sering didengungkan oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai CSR (Community Social Responsibility). Yang ada barulah Program Bina Lingkungan (PBL). Gagasan Hasjrul  tentang demplot hakikatnya sama yaitu kepedulian terhadap komunitas di lingkungan sekitar perusahaan. Sebagai pekebun Hasjrul pun sudah menjalankan NES, yaitu pengembangan perkebunan rakyat di mana PTP V di Sumatera Utara menjadi induk atau intinya yang mirip dengan prinsip CDP.
"Kau jangan menunggu bola, tapi kau harus menjemput bola" demikian prinsip Hasjrul dalam hal kepedulian terhadap komunitas di sekitar perusahaan
Pengembangan demplot kata Hasjrul dilaksanakan di lingkungan sekitar PTP XXIII, dengan kata lain para tetangga. Diberi contoh yang sama lalu diikuti yang lain, sampai mereka paham cara penanaman pohon yang balk. Tapi eksesnya banyak yang meminta agar "kebunku dibikin begini saja atau begitu saja". Akhirnya Hasjrul dan stafnya kewalahan. "Itu bukan tugas kami, kami hanya memberi contoh. Seharusnya mereka yang berusaha mengembangkan. Akhirnya terjadi keributan di antara masyarakat sendiri. Sedangkan tak lama kemudian saya pindah dari PTP XXIII, diangkat jadi Menteni Muda UPPTK.”
Ide demplot itu nantinya dilembagakan oleh Hasjrul sewaktu ia menjadi Menteri Muda UPPTK maupun Menteri Kehutanan, dengan apa yang disebut Operasi Bakti radius 30 kilometer. Artinya, seorang pimpinan di perkebunan, di kehutanan, maupun HPH, harus memperhatikan dan membantu kebutuhan masyarakat sekitar yang tinggal dalam radius sejauh 30 kilometer.
"Itulah yang dikatakan masyarakat peduli hutan. Jargon-jargon semacam itu enak sekali diucapkan dan didengar, tapi bagaimana cara melakukannya itulah yang tidak gampang", tandasnya.

Mengembangkan PIR

Ketika para purnawirawan ABRI atau petinggi ABRI yang masih aktif ditempatkan sebagai Dirjen di berbagai Departemen, menurut Hasjrul ada pilihan yang salah ada pilihan yang tepat. Jenderal Pang Soeparto adalah salah seorang yang tepat. Dengan berpikir secara garis komando teritorial dia mendorong pengembangan ekspansi perkebunan, baik oleh PTP maupun swasta. "Beliau dinamisatornya, keras mendorong kemajuan dengaili pengalaman militer. Dengan menggunakan alat perkebunan negara, akhirnya perkebunan swasta berkembang", puji Hasjrul.
Karena Pang Soeparto tentara yang berpengalaman, kebijakannya yang sangat berani menurut Hasjrul adalah mengubah orang-orang perkebunan yang sering diledeknya sebagai "sinyo" itu menjadi agent of development, pelopor pembangunan, begitulah istilah kerennya.
Sebagai Dirjen Perkebunan, Pang Soeparto mengomandani perkebunan rakyat termasuk Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan oleh Tim Khusus PIR ad. hoc, yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah. Dalam rangka persiapan pengembangan PIR, Hasjrul ditugaskan melakukan survei mengenai karet di Kalimantan Barat. Kata Dirjen Pang Soeparto, "Saudara kan orang kebun, mengerti bagaimana rakyat itu". "Baik Pak, akan saya lakukan", jawab Hasjrul.
Setelah Hasjrul mendalami permasalahannya, belakangan ia ditugaskan lebih jauh untuk mengembangkan PIR di daerah-daerah. "PIR itu program pemerintah, yang perencanaannya hebat tapi pelaksanaannya tidak mudah", jelas Hasjrul. Hasjrul yang baru diangkat jadi Dirut PTP XXIII dan merasa masih yunior dalam jabatan Dirut karena belum sampai satu kali putaran, ternyata dipercaya untuk ditugaskan mengembangkan PIR di daerah daerah. Hasjrul diketahui sudah berpengalaman dalam proyek NES I, akomodatif dengan Gubernur, dan dinilai sudah melakukan konsolidasi dengan baik di PTP XXIII sehingga diharapkan bisa menunaikan tugas rangkap. Kalau awalnya hanya memimpin satu unit, belakangan menjadi beberapa unit. "Coba Saudara terapkan pengalaman itu dengan membangun PIR di daerah lain", kata Pang Soeparto. "Saudara kan tahu, bukan di sini saja, bangsa Philipina juga melakukan hal seperti itu, pengusaha besar membantu yang kecil". "Betul Pak, sebaiknya memang begitu". jawab Hasjrul.
Berbeda dengan NES yang dibiayai World Bank, PIR yang lebih banyak mengikutsertakan penduduk setempat dibiayai pemerintah RI sendiri. Menurut Hasjrul , Pang Soeparto menekankan tidak usah khawatir mengenai pembiayaannya, semua disediakan oleh negara. Bahkan beliau menyampaikan, "Don’t worry about the finance, the sky is the limit".
Pengembangan PIR dikendalikan oleh induknya yaitu PTP. Beberapa PTP ditunjuk menjadi induk pengembangan PIR, dilihat dari posisi regional. Antara lain PTP XXIII mengembangkan PIR ke Sulawesi Selatan, Bengkulu, dan Poso di Sulawesi Tengah. PTP di Sumatera Utara mengembangkan PIR ke Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Irian.
"Ketika itu tugas saya cukup berat, dua tahun terakhir jabatan saya selaku Dirut PTP XXIII saya hilir mudik dari kantor Direksi di Surabaya terbang ke Sulawesi Selatan", kenang Hasjrul.
Tugas Hasjrul dimulai dengan mengembangkan tanaman kapas milik rakyat di Sulsel. Gubernurnya ketika itu Andi Odang. "Rakyat dididik dan dibina, produk kapasnya dibeli. Sayang tidak sukses karena bersaing ketat dengan kedele. Penduduk lebih suka menanam kedele sebab pohon kapas banyak hamanya". Kemudian Hasjrul mendapat tugas mengembangkan PIR di Bengkulu, berupa tanaman karet dan kelapa sawit. Gubernur Bengkulu saat itu Soeprapto, asal Nganjuk, Jawa Timur. Dulu Belanda pernah membuat perkebunan teh di Curug, Bengkulu, tapi terlantar."Pak Soeprapto senang sekali dengan adanya PIR. Penduduk di sana tadinya malas dan pengetahuan teknologi kurang. Saya dan Gubernur sendiri pergi mencari lokasi, masuk hutan di dekat kota Bengkulu, akhirnya dapat", tutur Hasjrul.
Timbul persoalan, traktor sulit masuk ke wilayah tersebut. Keputusan apa yang harus diambil ? Membangun prasarana dulu baru kebun atau membuka kebun dulu, baru prasarana ?
Kata Gubernur Soeprapto, "Bagaimana Pak, jembatan kita kecil kecil, kita perlu pelebaran untuk masuknya transportasi". "Kita memang perlu membangun prasarana terlebih dulu seperti Malaysia", kata Hasjrul. "Kami sudah minta anggarannya ke Bappenas", jawab Gubernur Soeprapto. Akhimya jembatan bisa dibangun yang mempermudah transportasi, kebun juga dibangun kebun, dan akhirnya pelabuhan di Pulau Bai, Bengkulu, untuk mengangkut karet dan kelapa sawit.
Ada kenangan tak terlupakan oleh Hasjrul ketika bermalam di masa-masa awal pembangunan PIR di Bengkulu. Santai dan asyik saja dia mandi dengan air yang dialirkan dari sungai, bahkan gosok gigi segala. "Pagi-pagi saya lihat, kok airnya coklat ? Semalam saya kira air dan sungai itu jernih. Waduh, untung tak ada lintah", Hasjrul tersenyum getir.
Suatu ketika Hasjrul datang berkunjung ke perkebunan PIR di Riau. Kata Hasjrul, "Tenyata sudah banyak orang Tapanuli bermukim di sana. Pemilik kebun yang transinigran tergeser. Hal seperti ini bisa memicu konflik. Begitulah fenomena di negeri kita, rakyat sendiri juga tidak konsisten dalam berkebun dan bertani di suatu tempat. Kalau yang bertransinigrasi inginnya kembali ke kampung halamannya dan lahannya dijual", ungkap Hasjrul.
Ada lagi PIR karet yang dikembangkan di desa Beteleme, Kabupaten Worowali, Poso, dengan mendatangkan orang-orang dan NTT untuk menjadi pekebun. Keberhasilan maupun kegagalan yang terjadi dalam pengembangan proyek itu bukan hasil kinerja Hasjrul seorang diri. Tetapi Ada banyak faktor yang membuatnya berhasil atau sebaliknya gagal. Dirjen Perkebunan Pang Soeparto tentu memahami hal ini dan tidak menyalahkan Hasjrul untuk kegagalan yang terjadi. Boleh dibilang hubungan antara Hasjrul dan Pang Soeparto cukup berkualitas.
Hasjrul punya kenangan khusus tentang atasannya tersebut. Yaitu ada nikmat yang diberikannya kepada Hasjrul. Waktu itu sedang ada pembagian tanah di Karawaci, Tangerang, yang lokasinya dekat dengan Jakarta. Hasjrul selaku Dirut PTP datang menghadap untuk meminta bagian.
Kata Pang Soeparto, "Untuk apa kau tanah itu ?! Kan PTP gajinya banyak, masa tidak bisa beli ?" Jawab Hasjrul, "Tidak bisa beli Pak, kalau tanah di Jakarta. Padahal mana tahu saya nanti jadi pembantu Bapak dan dipindahkan ke Jakarta". "Ya, ambillah kalau begitu !" jawab Pang Soeparto. Oleh pengurusnya sesuai ketentuan Hasjrul mendapat tanah seluas 500 meter. Tapi, secara mendadak jabatan Hasjrul melejit menjadi Menmud UPPTK, maka Hasjrul diberi 1000 meter.
"Sampai sekarang pun tanah itu masih ada, dan tidak laku dijual, karena tanahnya terjepit di antara jalan tol dengan proyek Karawaci. Sedangkan pihak Karawaci tidak mau membeli. Ya sudahlah", ujar Hasjrul pasrah.
Rasa penghargaan Hasjrul terhadap Pang Soeparto atasannya itu dituangkan dengan mengundangnya hadir dalam upacara promosi Hasjrul sebagai Doktor di IPB. Dalam pidatonya Hasjrul memberikan penghormatan dengan mengatakan, "Beliau sebenarnya, Pak Pang Soeparto, the Inspirator mengenai PIR, perkebunan yang membantu rakyat. Beliau yang secara psikologis selalu menekankan perlunya pendidikan yang berkesinambungan, sehingga saya pun merealisasikannya. Beliau pulallah yang membuat saya barangkali diperhatikan oleh para atasan sehingga ditunjuk menjadi menteri. Kalau bukan karena support dan dukungan beliau, belum tentu saya bisa jadi begini".
Hasjrul menyayangkan pada Kabinet Pembangunan V, Pang Soeparto pensiun dan tidak aktif lagi di bidang perkebunan.

Meniru Soedjai Kartasasimita 

Dalam hal mengembangkan SDM, Hasjrul mengaku meniru Soedjai Kartasasimita, Ketua Staf Bina Usaha Perkebunan (SBPN) yang merupakan mentor Sumber Daya Manusia (SDM) yang paling gigih. Soedjai giat dan rajin menganjurkan orang untuk melakukan riset, mengikuti seiminar dan konperensi, atau belajar di luar negeri, termasuk Hasjrul yang didorong menimba ilmu di Perancis. Simak pengakuan Hasjrul, "Yang saya tiru dan Pak Soedjai yaitu dia selalu melakukan up-grading terhadap bawahannya, dan konsisten dalam mengembangkan SDM dengan selalu menekankan 'training and retraining'. Untuk itu anak buahnya dikirim untuk studi ke mana-mana, di dalam negeri sampai ke luar negeri".
Soedjai bukan sarjana tapi otodidak dan self made man. Ia mengikuti seminar di sana sini, bergaul dengan kalangan internasional, sehingga pengetahuan dan pengalamannya banyak sekali. Soedjai salah seorang yang mendorong agar PTP mendirikan Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP). Berdirilah LPP di Yogya dan Medan, suatu kursus untuk meningkatkan kemampuan para pekebun. Di LPP ada jenjang untuk Asisten, Adiministratur, sampai Direksi. Soedjai pun ikut menyusun kurikulum pendidikan dan pelatihan. Yang diajarkan bukan teori tetapi praktek ketrampilan dan keahlian. Untuk tingkat Direksi didatangkan guest speaker dari INSEAD dan lembaga-lembaga berpengaruh lainnya. Hasjrul pernah ikut kursus LPP 1 dan LPP 2 di Medan dan tingkat Direksi di Yogya dan Jakarta. Soedjai Kartasasimita kemudian go international dan sampai sekarang menjadi salah satu agen atau penghubung bibit unggul kelapa sawit dari Amerika Latin, yaitu Nikaragua. Falsafah Soedjai yang selalu diingat Hasjrul, "Kita akan senang bekerja dengan orang yang lebih pintar dan lebih mampu daripada kita, karena kita bisa bertanya kepada mereka". Ada benarnya peringatan Soedjai itu. Budaya bertanya kurang dikembangkan di negeri kita. Ketika Hasjrul menjadi pucuk pimpinan dan memimpin rapat atau perbincangan, ia selalu bertanya, "Any question ?" tapi tak ada yang bertanya. "Kalau begitu saya yang bertanya", ujar Hasjrul. Menurut Hasjrul pula, biasanya atasan tak mau bertanya kepada bawahan, kuatir dibilang bodoh. Sedangkan bawahan tidak mau bertanya kepada atasan karena takut.
"Bukan hanya jadi pembicara yang baik yang perlu belajar tapi juga jadi pendengar yang baik, yang diistilahkan dengan deep listening. Makin tinggi jabatan kita makin perlu kita deep listening, jangan terbalik", demikian pengamatan Hasjrul.
Dari Ketua SBPN kemudian Soedjai diangkat menjadi Sekretaris Dewan Gula Indonesia. Hasjrul menjadi Wakil Ketua II. Ketua Dewan Gula adalah Menteri Pertanian. Dewan Gula dibentuk karena perkebunan tebu dan pemasaran gula memerlukan badan tersendiri. "Ketika Pak Soedjai menjadi Sekretaris Dewan Gula itulah puncaknya ia mengirim banyak anak buahnya untuk melakukan riset, mengikuti seininar atau kursus di mana-mana", tukas Hasjrul dengan penuh simpati. Kursi ketua SBPN yang ditinggalkan Soedjai ternyata kemudian diduduki Hasjrul yang masih menjadi Dirut PTP XXIII. Mengenai hal ini ada ceritanya tersendiri di bawah ini.

Mengantar SBPN Ke Kuburan

Staf Bina Perusahaan Negara (SBPN) yang hirarkinya langsung di bawah menteri pertanian mengkoordinir PTP di seluruh Indonesia sedangkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan mengurus perkebunan rakyat dan swasta. Dalam hal PTP, Departemen Pertanian berfungsi sebagai pembina teknis pengelolaan PTP dan Departemen Keuangan sebagai pemegang aset PTP. SBPN mau dibubarkan dan PTP akan dikoordinasikan ke dalam Ditjen Perkebunan. Perlu waktu beberapa bulan untuk menyiapkan perangkatnya. Ketua SBPN Soedjai Kartasasmita sudah keburu diangkat menjadi Sekretaris Dewan Gula yang juga mendesak untuk diisi. Siapa yang akan memimpin SBPN sampai nanti tiba waktunya PTP dikoordinasikan ke dalam Ditjen Perkebunan ?
Tahu-tahu Hasjrul dipanggil oleh Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro untuk menggantikan Soedjai menjadi Ketua SBPN sebelum bubar. "Saudara Hasjrul, kedudukan Ketua SBPN saat ini kosong, tapi SBPN mau dibubarkan, bersediakah Saudara meinimpin SBPN sampai dibubarkan ?" kata Mentan.
Hasjrul sudah mendengar mengenai kedudukan Ketua SBPN yang lowong tapi tidak menyangka sama sekali dirinya yang ditunjuk menjadi Ketua SBPN. "Siapa sih yang mau mengantarkan suatu lembaga ke kuburan ?" ujarnya tersenyum. Tapi Hasjrul tak bisa menolak panggilan tugas. Jawabnya "Baik Pak, akan saya laksanakan. Tapi bagaimana dengan kedudukan saya di PTP XXIII ?". "Itu tetap Saudara pegang seperti biasa. Dengan kata lain saudara merangkap Ketua SBPN", jelas Mentan. Jadilah Hasjrul Ketua SBPN sambil masih menjadi Dirut PTP XXIII dari bulan Oktober 1982 sampai bulan Juni 1983. Dengan demikian Hasjrul mundar mandir Surabaya-Jakarta, karena SBPN berkantor di Jl. Cut Mutia, Jakarta.
Ada kericuhan yang tertinggal di SBPN yang harus diselesaikan Hasjrul yaitu mengenai pemasaran kelapa sawit. Ketika itu ada ketentuan bahwa pemasaran produk perkebunan dilakukan di Kantor Pemasaran Bersama (KPB) di daerah masing-masing. Ada KPB di Medan, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Tapi kenyataannya pemasaran kelapa sawit lebih banyak dilakukan KPB di Jakarta. Pabrik-pabrik minyak goreng di Jakarta memang membutuhkan CPO dalam jumlah besar, tapi itu bukan alasan untuk melanggar ketentuan.
"Mulai sekarang silakan kalian urus sendiri pemasaran kelapa sawit", kata Hasjrul kepada pengurus KPB di berbagai daerah. Suatu waktu seorang Dirut perkebunan kelapa sawit di Sumut menyampaikan keluhan kepada Hasjrul. "Bagaimana Pak, kami harus bayar sewa tangki minyak sawit di Tanjung Priok, padahal tidak pernah kami pakai, karena pembeli datang mengambil sendiri ke Medan".
Dalam hal ini memang ada kebijakan dari Ketua SBPN sebelumnya, yaitu menyewa tangki di Tanjung Priok, Jakarta, untuk menampung minyak sawit (CPO) dan berbagai daerah sebelum nantinya diedarkan atau dibagikan kepada industri di Pulau Jawa. Tapi kebijakan tersebut tidak jalan karena masing-masing pengusaha mengambil sendiri CPO secara langsung di tempatnya.
Pikir Hasjrul, kebijakan itu harus bisa dilaksanakan dan tangki harus benar-benar dimanfaatkan. Maka Hasjrul memutuskan selurh CPO yang masuk ke Pulau Jawa, memang harus dimasukkan lebih dulu ke tangki tersebut. CPO harus diambil oleh pembeli dari tangki di Tanjung Priok itu dan dikutip sewa penyimpanan CPO dan pembeli.
"Jadi tidak boleh mengambil CPO itu sendiri-sendiri secara langsung, karena ada kemungkinan bisa lari ke mana-mana,” kata Hasjrul. Kemudian dijelaskannya, "Sesungguhnya keputusan itu diambil karena adanya dugaan dan info bahwa CPO itu bisa saja tidak sampai ke Pulau Jawa tapi diselundupkan ke Singapura".

Pada bulan Maret 1983, secara tak disangka tak dinyana, Hasjrul  ditunjuk menjadi Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras (Menmud UPPTK) dan masih merangkap Ketua SBPN sampai bulan Juni 1983. Mungkinkah pengangkatannya sebagai Menmud UPPTK itu hikmah di balik kesediaan Hasjrul mengantar SBPN "ke kuburan ?".
Hasjrul  meninggalkan kedudukannya sebagai Dirut PTP XXIII untuk menjadi Menmud UPPTK dengan tak lupa berpamitan kepada Gubernur Jawa Timur dan jajarannya para Bupati, Panglima Brawidjaya dan para Kodim, para ulama dan masyarakat.
"Datang tampak muka, pergi tampak punggung", demikianlah Hasjrul  menerapkan falsafah para leluhur.