Friday, February 1, 2013

SEJARAH ITU BERNAMA PERKEBUNAN INTI RAKYAT.



Mungkin sudah banyak yang melupakan nama itu, Perkebunan Inti Rakyat ...

Perkebunan Inti Rakyat adalah suatu konsep pembangunan ideal hasil pemikiran para pemimpin bangsa yang berpandangan jauh ke depan berdasarkan pandangan sektor pertanian subsektor perkebunan sebagai tulang punggung perekonomian nasional.

Idealisme dasar konsep ini adalah menggabungkan keunggulan perkebunan besar dengan ketangguhan perkebunan rakyat, dimana perkebunan besar sebagai unsur ekonomi berkembang bersama dengan perkebunan rakyat sebagai sumber kesejahteraan nasional.

PIR memang sudah menjadi bagian dari masa lalu, namun dengan mempelajari konsepsi secara menyeluruh kita akan mendapatkan referensi dan pandangan tentang bagaimana sebaiknya pembangunan perkebunan diselenggarakan dalam kerangka perekonomian nasional.

Terlebih apabila dikaitkan dengan agenda besar pembangunan ekonomi masa depan yang bertitik tolak kepada pemberdayaan usaha Mikro Kecil Menengah, PIR dapat menjadi salah satu acuan yang layak untuk disimak, dan jika ingin mengetahui pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, maka memahami konsepsi PIR adalah sesuatu yang bersifat wajib dan tidak dapat dinafikan bahwasanya PIR merupakan langkah atau tonggak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Lahirnya Perkebunan Inti Rakyat.

Konsep ekonomi sektor pertanian dengan perkebunan sebagai subsektornya sudah menjadi dasar pemikiran para pemimpin bangsa sejak awal Indonesia merdeka. Cita cita itu membutuhkan waktu yang panjang dalam penerapan dikarenakan geliat kondisi perekonomian dan perpolitikan negara, sehingga secara konkrit baru menjadi bagian dari perencanaan secara nasional pada tahun 1969 yang ditetapkan pada Garis Besar Haluan Negara.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memuat rencana jangka panjang 25 tahun pertama yang dituangkan dalam serangkaian Repelita, (Repelita I sampai V) dimulai sejak 1969/1970 secara tegas menetapkan implementasi pelaksanaan yang diwujudkan dalam bentuk proyek pembangunan.

GBHN ini menggariskan bahwa setiap kebijakan dan program departemen dan semua lembaga harus berdasarkan amanah Trilogi Pembangunan yaitu : pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas nasional.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Perkebunan inti rakyat merupakan konsep Bank Dunia, yang mana pendapat tersebut perlu ditinjau secara bijaksana, karena konsep ini lebih merupakan pemikiran murni anak bangsa.

PIR adalah suatu sejarah panjang dalam dunia perkebunan di Indonesia, dan menjadi milestone didalam pola dasar pembangunan ekonomi pertanian secara nasional sampai masa kini. Ide awal para pendahulu pemimpin bangsa ini lahir ketika mempelajari sejarah panjang pertanian secara umum dan perkebunan khususnya yang dimulai dari zaman VOC, Cultuur Stelsel 1830 sampai dengan Agrarisch Wet 1870, terlihat bahwa pertanian menjadi tulang punggung perekonomian Hindia Belanda.

Pemerintah penjajahan mampu mendapatkan keuntungan ekonomis yang sangat besar dari hasil pertanian. Di zaman prakemerdekaan hasil pertanian tersebut dikelola dengan pola kapitalis, sehingga hasil yang besar tersebut tidak dinikmati oleh rakyat hindia belanda karena peranannya yang sangat kecil didalam rantai ekonomi perkebunan pada saat itu.

Segera setelah Republik Indonesia berdiri secara defacto pada 1949, salah satu tindakan ekonomi yang langsung dilaksanakan adalah dengan menasionalisasi perkebunan milik Negara Belanda pada tahun 1951 (terbentuknya Perusahaan Perkebunan Negara / PPN Lama), nasionalisasi ini berlanjut lagi dengan kebijakan kebijakan lain dalam rangka mengatur konsepsi peran pertanian secara umum dan perkebunan khususnya dalam kerangka konsep pembangunan nasional.

Tonggak berikutnya terjadi pada 10 Desember 1957, dimana dalam rangka perjuangan mengembalikan Irian Barat kepang­kuan RI, dilakukan pengambil alihan perkebunan milik swasta Belanda. Perkebunan Swasata Belanda ini selanjutnya disebut dengan PPN Baru. PPN Lama dan PPN Baru kemudian digabung menjadi Badan Pim­pinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN).

Dengan PP No. 142 sampai dengan 175 tahun 1961, selu­ruh perkebunan di Indonesia dikelompokkan ulang menjadi 34 kesatuan/ unit, dan hal menjadi ini merupakan reorganisasi pertama dari serangkaian reorganiasi didalam pengelolaan BUMN perkebunan.

Tindak lanjut dari penggabungan itu adalah dibentuknya BPU-PPN Cabang. BPU-PPN Cabang ini bertugas melakukan konsolidasi, penataan, dan penguatan sehingga berkemampuan untuk mendukung pembangunan perkebunan rakyat.

Hasil dari penggabungan dan konsolidasi tersebut dapat dilihat dari berkembangnya BUMN perkebunan sehingga memiliki unit-unit yang mampu berperan strategis dalam mendukung pengembangan perkebunan. Unit-unit milik bersama BUMN tersebut antara lain adalah tumbuhnya Pusat-Pusat Lembaga Penelitian untuk menjadi sumber pa­ket teknologi, Kebun-Kebun Induk sebagai sumber bibit ber­mutu, dan Lembaga Pendidikan untuk pengembangan SDM.

Dalam rangka mendukung upaya pengembangan perkebunan rakyat, BUMN perkebunan juga mempunyai peran kunci sebagai perusahaan inti pengembangan perkebunan pola PIR. Didalam sejarah perkembangan BUMN perkebunan, tidak dapat dilepaskan peran dari Direktorat Jenderal Perkebunan sebagi pembina BUMN perkebunan ditingkat departemen.

Ditjen Perkebunan mempunyai sejarah yang panjang dalam proses kelahirannya. Diawali oleh Kabinet Dwikora, 27 Agustus 1964 - 25 Maret 1966, untuk pertama kalinya dibentuk Departemen Perkebunan dengan ruang lingkup hanya Perkebunan Besar.

Penyesuaian dilakukan pada kabinet Ampera, 25 Juli 1966 -17 Oktober 1967. Departemen Perkebunan membawahi Ditjen Perkebunan Negara dan Ditjen Perkebunan Rakyat, tetapi belum mencakup perkebunan besar swasta. Baru pada tahun 1968, di bawah Departemen Pertanian dibentuk Ditjen Perkebunan yang merupakan penggabungan lengkap dari Ditjen Perkebunan Negara dan Ditjen Perkebunan Rakyat serta ditambah dengan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap perkebunan besar swasta.

Dalam sejarah panjang perkebunan nasional, harus diakui bahwa peran besar Direktur Jenderal Perkebunan saat itu sangatlah besar. Mayor Jenderal (Purn) A. Moeloek Loebis (alm), sebagai Direktur Jenderal Perkebunan pertama periode 1968-1976 yang juga masih merangkap sebagai ketua BKU PPN memiliki visi bahwa perkebunan rakyat harus dikembangkan sejajar dengan perkebunan besar, dan menuangkannya dalam kerangka landasan untuk kesiapan langkah implementasinya.

Konsep awal tersebut kemudian dimantapkan dan disosialisasikan oleh Mayor Jenderal (Purn) R. Pang Suparto Direktur Jenderal Perkebunan periode 1976-1982 yang selanjutnya disempurnakan dan diutuhkan oleh Dr. Ir Rachmat Soebiapradja Direktur Jenderal Perkebunan periode 1982-1992.

Sebelum masa kemimpinan A Moeloek Loebis, peran Dirjen perkebunan lebih banyak sebagai administrator bagi perkebunan besar baik BUMN maupun swasta, sedangkan BUMN perkebunan sendiri lebih banyak menjadi sumber eksploitasi bagi kepentingan ekonomi negara sehingga mengabaikan perannya sebagai sumber kesejahteraan rakyat dengan mengabaikan investasi dan eksploitasi yang seharusnya dilaksanakan dalam pengelolaan perusahaan perkebunan.

Membaiknya situasi ekonomi Indonesia sejalan dengan perubahan peta politik membuka pula peluang untuk memulai lagi cita cita lama membangun BUMN perkebunan yang kuat berbarengan dengan perkebunan rakyat.

Sesuai dengan kondisi yang dihadapi pada waktu itu salah satu langkah peletakan dasar yang ditempuh ialah pemanfaatan kredit bantuan luar negeri untuk subsektor perkebunan mulai tahun 1969. Dalam perkembangannya, tata cara pemanfaatan kredit luar negeri tersebut telah diupayakan sebaik mungkin melalui suatu proses dari periode ke periode.

Proses tersebut berlangsung lewat serangkaian pengkajian dan pembahasan yang dilakukan bersama instansi terkait, sehingga dapat dicapai kesepahaman pendekatan pelaksanaannya. Untuk pelaksanaan kegiatannya, diperlukan dukungan pembiayaan yang besar, apalagi pelaksanaannya dilakukan secara simultan dibanyak lokasi.

Mengingat pada waktu itu penyediaan kredit jangka panjang dalam negeri belum tersedia, maka pendanaan dilakukan dengan bantuan kredit luar negeri.

Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan tersebut, pengembangan pola PIR diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan yang kemudian dikenal dengan nama NES bantuan Bank Dunia, yang kemudian diikuti oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman.

Persyaratan kredit Bank Dunia bersifat detail, teliti, ketat, mendikte, dan cenderung menekan, utamanya terhadap isu-isu global yang sedang berkembang seperti pelestarian lingkungan hidup, konservasi dan kelayakan sosial. Persyaratan Bank Dunia tersebut, ternyata sangat bermanfaat dalam meletakkan dasar bagi perjalanan pengembangan perkebunan kelapa sawit ke depan. Persyaratan yang dimaksud pada hakekatnya memperkenalkan penerapan kriteria layak secara ekonomi, secara sosial dan ramah lingkungan yang merupakan unsur-unsur pokok konsep pembangunan berkelanjutan.

Pelaksanaan konsep PIR melibatkan perusahaan besar sebagai inti yang akan membina perkebunan rakyat sebagai plasma, dimana pada saat awal konsep ini dijalankan perkebunan swasta masih dianggap belum terlalu kuat sehingga pilihan jatuh pada BUMN untuk mengembangkan pola PIR. Agar pembangunan perkebunan pola PIR dapat dilaksanakan menurut standar teknis yang berlaku, fungsi Perusahaan Inti memegang peranan yang penting dan menentukan.
Situasi dan kondisi areal yang akan di land clearing
Persyaratan umum setiap rencana proyek bantuan Bank Dunia cukup ketat, detail dan teliti. Selain persyaratan kelayakan fisik dan teknis rencana proyek, juga dikaji secara mendalam kemampuan teknis maupun kemampuan keuangan perusahaan inti, dimana untuk perusahaan inti yang dicalonkan sebagai bapak angkat dikaji posisi dan proyeksi menyeluruh keuangannya. Analisa yang dilakukan meliputi penyediaan dana sendiri dan kemampuan mempertahankan posisi keuangan yang sehat.

Untuk hal tersebut kepada perusahaan yang dicalonkan sebagai bapak angkat dilakukan proses penguatan, yang dapat dibagi dalam tiga tahapan sebagai berikut :

Tahapan Pertama (1969 - 1972). Memberikan bantuan Kredit Bank Dunia kepada 7 PTP. Penguatan perusahaan tersebut nantinya menjadi bukti kesanggupan calon Perusahaan Inti dalam mengimplementasikan pola PIR.

Tahap Kedua (mulai 1973). Merintis prototype proyek pola UPP dan pola PIR yang dimulai dengan pembentukan Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU) sebagai prototype pola UPP/PMU (Project Management Unit) dan Proyek Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional (P2TRSN) sebagai prototype pola PIR.

Tahap Ketiga (mulai 1977). Mengembangkan perkebunan dengan pola PIR.

Penandatanganan perjanjian pinjaman proyek NES I dilakukan pada tahun 1977 untuk pengembangan karet di Alue Ie Mirah Provinsi NAD dan Tebenan di Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 80an, yaitu proyek NES IV Betung.

Pada setiap NES yang dibangun selalu ada komponen untuk memperkuat PTP lainnya. Ini dilakukan sebagai persiapan untuk menjadikannya inti pada tahap pengembangan PIR selanjutnya.

Bantuan Bank Dunia di setiap rencana pengembangan proyeknya secara garis besar meliputi studi kelayakan, apraisal, dan negosiasi. Studi kelayakan dilakukan oleh perusahaan konsultan internasional dengan tujuan meneliti dan mengkaji kelayakan dari aspek teknis, sosial, finansial, ekonomi, lingkungan, pemasaran, dan manajamen. Sedangkan apraisal merupakan kegiatan penilaian yang mendalam oleh pihak lender untuk menilai dan mengkaji hasil studi kelayakan yang tujuan akhirnya untuk menentukan layak atau tidaknya calon proyek pola PIR tersebut. 

Pada saat negosiasi, rencana perjanjian pinjaman calon bank pelaksana sudah harus ditetapkan. Sejak awal pembangunan, subsektor perkebunan sudah diletakkan sebagai salah satu kekuatan andalan dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal tersebut terkait dengan ciri umum usaha perkebunan yang hasil produksinya merupakan bahan baku industri atau ekspor dan pengusahanannya sebagian besar merupakan usaha perkebunan rakyat. Oleh sebab itu, keberhasilan subsektor perkebunan berarti keberhasilan juga dalam melaksanakan amanat Trilogi Pembangunan.

Pemilihan BUMN sebagai wahana pembangunan khususnya dalam pengembangan PIR bukanlah tanpa alasan. Paling tidak dapat dilihat bahwa BUMN mempunyai peran historis dalam pembangunan perkebunan pada umumnya. Ditinjau dari sejarah pembentukannya, BUMN terkait langsung dengan peristiwa pengakuan kedaulatan dan perjuangan perebutan Irian Barat pada tanggai 10 Desember 1957

Hal ini berarti bahwa kelahiran BUMN merupakan bagian dari proses langkah patriotik perjuangan sejak revolusi fisik sampai dengan tercapainya keutuhan kedaulatan. Proses konsolidasi, penataan dan penguatan yang dimaksud sangat penting artinya karena bila potensi peluang yang akan hilang kalau tidak dilakukan langkah konsolidasi atau bahkan yang dilakukan justru membagi menjadi unit kecil atau bahkan dilepaskan pemilikannya kepada pihak lain.

Sebagai sebuah perusahaan perkebunan besar, BUMN memiliki kemampuan menyediakan berbagai kemudahan dalam mendukung pengembangan usaha perkebunan rakyat seperti : sumber benih/bibit berbagai jenis komoditas utama perkebunan melalui kebun-kebun induk yang dimiliki, sebagai sumber paket teknologi baik dari hasil Pusat Penelitian yang dimiliki maupun pengalaman praktek pengelolaan kebunnya, dan peningkatan keterampilan SDM melalui Lembaga Pendidikan Perkebunan. Dengan demikian, BUMN berperan sangat strategis dalam mewarnai berlangsungnya kegiatan pengembangan perkebunan, khususnya PIR.

Melalui peran strategis dan kepioniran BUMN perkebunan, tercapai keberhasilan pengembangan perkebunan PIR dan penyediaan berbagai akses kemudahan bagi kegiatan pengembangan usaha perkebunan rakyat sehingga perkembangannya terus meningkat, jangkauannya semakin menyebar termasuk berhasil mengantarkan Indonesia menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar didunia sejak tahun 2006, dan sekitar 40% dari total luas areal merupakan usaha perkebunan rakyat.

Selanjutnya peran BUMN perkebunan selaku perusahaan inti menjadi contoh dan stimulan bagi perkebunan besar swasta untuk turut serta membangun perkebunan di wilayah bukaan baru. Pada awal tahun 80an areal perkebunan kelapa sawit swasta hanya seluas 88 ribu Ha atau 30% dari total areal seluas 294 ribu Ha, namun kemudian pada tahun 2008 areal meningkat menjadi 2.903 ribu Ha atau 41% dari total areal perkebunan kelapa sawit seluas 7.020 ribu Ha. Sebaliknya areal perkebunan rakyat pada awal tahun 80’an masih nol (0) Ha, pada tahun 2008 telah menjadi 3.178 ribu Ha atau 45% dari total areal perkebunan kelapa sawit sebesar 7.020 ribu Ha. Dengan demikian maka terdapat titik hubungan nyata untuk menjadikan tanggai 10 Desember 1957 sebagai Hari Perkebunan yaitu harinya seluruh masyarakat perkebunan.

Perencanaan Pelaksanaan

Agar kegiatan pembangunan perkebunan dapat dilakukan secara simultan diberbagai tempat dan sesuai dengan persyaratan yang digariskan, maka ditempuh pendekatan pola pengembangan perkebunan rakyat.
Situasi Base Camp Proyek PIR, ditengah rimbunan hutan 
dan sarana serta prasarana terbatas..
Sarana Penyeberangan di PIRSUS Sei Siasam, Riau 1987
Land Clearing di PIR NES II ADB Riau, 1988,
dengan latar belakang hutan perawan.
Konsisten dengan pemikiran tersebut, maka pengembangan perkebunan rakyat melalui PIR dipersiapkan untuk berbagai komoditi utama perkebunan. Penyebaran lokasi proyek PIR dikondisikan selain untuk kegiatan pengembangan, sekaligus juga diproyeksikan untuk dapat berperan sebagai acuan kegiatan sejenis pada tahap-tahap pengembangan selanjutnya di sekitar masing-masing wilayah proyek.

Dengan pertimbangan bahwa pengembangan perkebunan akan dapat mempersembahkan berbagai manfaat dalam pemecahan agenda besar masalah pembangunan nasional, maka secara seksama dipersiapkan langkah pengembangan dalam skala besar dan sekaligus diharapkan menjadi landasan tahapan pengembangan berikutnya.

Untuk maksud tersebut pula, secara simultan disiapkan rencana proyek seri pola PIR dan pola UPP dengan sumber dana bantuan luar negeri.

Pelaksanaan proyek PIR diawali dengan sumber dana bantuan Bank Dunia, yaitu proyek NES I sampai dengan NES VII. 

Agar proyek PIR dapat segera ditingkatkan kemampuan jangkauan pelaksanaannya, maka kemudian disiapkan seri proyek pola PIR Swadana, yaitu PIR Khusus dan PIR Lokal. Pola pendanaannya mengikuti pola perkreditan untuk proyek PRPTE (Peremajaan, Rehabilitasi, Perluasan Tanaman Ekspor) sesuai Surat Menteri Keuangan 20 Maret 1979.

Pola pembiayaan untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial mengacu kepada pembiayaan program Transmigrasi. Kerangka rumusan PIR Khusus dan PIR Lokal mengacu kepada PIR Berbantuan. Melalui pengembangan seri proyek pola PIR semenjak awal tahun 80'an secara simultan pengembangannya mencakup 12 Provinsi dengan pengklasifikasian sebagai berikut :

Seri Proyek Pola NES sebanyak 13 proyek untuk rencana pengembangan kebun plasma seluas 31.400 ha dan kebun inti 74.125 ha, seluruhnya berjumlah 105.605 Ha.

Seri Proyek Pola PIR Khusus sebanyak 10 proyek untuk rencana pengembangan kebun plasma seluas 27.774 Ha dan kebun inti seluas 57.000 Ha, seluruhnya berjumlah 84.774 ha.

Seri Proyek Pola PIR Lokal sebanyak 8 Proyek untuk rencana pengembangan kebun plasma seluas 32.656 Ha kebun inti seluas 8.500 Ha sehingga seluruhnya seluas 41.456 Ha.

Total rencana seri proyek pola PIR berjumlah 31 proyek dengan rencana pengembangan kebun plasma seluas 163.781 Ha dan kebun inti seluas 67.754 Ha, seluruhnya menjadi 231.535 Ha. Jumlah ini hampir menyamai luas areal perkebunan kelapa sawit yang sudah diusahakan sejak zaman penjajahan sampai dengan 1979, yaitu seluas 257.814 Ha yang bentuk usahanya hanya dilakukan sebagai usaha perkebunan besar. Secara sadar dan terencana, sejak awal pengembangan perkebunan kelapa sawit dikondisikan sebagai langkah imple-mentasi Trilogi Pembangunan, khususnya pemerataan dan pertumbuhan.

Rencana Pengembangan Seri Provek PIR Kelapa Sawit (keadaan sampai Desember 2006)

Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan
Bahkan pengembangan direncanakan mencapai dua kabupaten ujung Papua, yaitu PIRSUS II di Arso di ujung timur serta NES II ADB dan PIRSUS II di Prafi, ujung barat Papua. Dampak positif juga dirasakan oleh PTP sebagai perusahaan inti. Usahanya berkembang melalui penanaman baru dan pembangunan pabrik. Jika proyek berjalan sesuai rencana, maka akan tercipta komplek perkebunan baru yang akan menumbuhkan serta mengembangkan ekonomi baru pada wilayah bukaan baru.

Sarana Transportasi Jalan Yang Dibangun
Waktu yang tersedia untuk mensosialisasi makna yang terkandung pada rencana kegiatan proyek, relatif sangat terbatas, sehingga dapat dimaklumi apabila sempat timbul sejumlah pertanyaan dan kekhawatiran. Selaku perusahaan inti pengembangan proyek pola PIR tersebut, PTP mendapat penugasan oleh Menteri Pertanian. Direksi PTP dihadapkan pada situasi yang tidak punya pilihan, kecuali melaksanakan tugas yang diberikan tersebut.

Pemahaman mengenai keterlibatan PTP hanya sekedar menjalankan perintah perlu diantisipasi agar tidak timbul berbagai implikasi yang berdampak panjang. Lokasi proyek PIR pada umumnya terpencil dan fasilitas yang tersedia masih terbatas, sehingga siapapun yang ditempatkan di lokasi tersebut, akan merasakan sebagai beban yang cukup berat. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan iklim yang ada di lingkungan manajemen PTP pada waktu itu, bahwa persepsi yang menilai keterlibatan dalam proyek PIR sebagai tugas yang tidak bisa di hindari, pada dasarnya dapat dipahami mengingat PTP sebagai organisasi usaha sesungguhnya kondisi pada waktu itu dapat dikatakan belum begitu siap untuk melakukan tugas pembangunan dan pengembangan.

Kegiatan pembangunan dalam areal yang relatif besar seperti proyek PIR, akan menimbulkan semacam cultural shock dipihak manajemen PTP yang bersangkutan. 

Terkait dengan itu, pada awal tahun 1980an diintrodusir satupos baru yaitu Direktur Pengembangan yang bertugas menangani pelaksanaan proyek PIR dalam keseluruhan aspeknya. Melalui langkah tersebut terjadi perkembangan yang lebih positif terhadap keterlibatan BUMN perkebunan dalam pembangunan perkebunan pada umumnya. Dalam perjalanannya beberapa direktur pengembangan berhasil menduduki kursi Direktur Utama. Bahkan beberapa BUMN perkebunan telah mendulang keuntungan usaha dan menempatkan proyek PIR sebagai salah satu profit center.

Pengalaman semakin banyak staff yang ditugaskan ke proyek mulai bergeser menjadi staff senior bagi yang menunjukan prestasi baik. Timbul arus kesadaran baru bahwa keterlibatan PTP dalam proyek PIR Perkebunan bukanlah sekedar misi sosial, tetapi adalah sebagai agen pembangunan (Agent of Development).
Food Crop Area
Padi di Food Crop Area Yang Siap Panen
Keberadaan proyek-proyek PIR secara nyata telah memperluas skala usaha BUMN perkebunan bahkan sebagian besar "dimiliki" tanpa harus melakukan investasi, yaitu komponen plasma. 

Seremoni Tanam Perdana
Beberapa BUMN perkebunan telah mulai memetik keuntungan usaha, dan menempatkan proyek PIR Perkebunan sebagai salah satu profit center yang patut diandaikan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa melalui proyek-proyek PIR telah terjadi revolusi pada "budaya perusahaan" (Corporate Culture). Jika sebelumnya berciri statis, maka dalam waktu satu dekade terakhir telah berubah menjadi dinamis dengan berorientasi kepada pembangunan, bahkan mengambil peran sebagai pelopor pembangunan perkebunan di berbagai tempat pengembangan baru di Indonesia.

Realisasi Dan Capaian.

Perkebunan Inti Rakyat adalah suatu pemikiran baru yang melibatkan petani-petani baru di wilayah bukaan baru, maka menjadi wajar kalau pada awalnya pengembangan serba terbatas keberadaan kondisinya. Tapi semangat dan tekad yang dimiliki para pendahulu mendobrak batas tersebut sehingga hasil yang diharapkan tidak jauh meleset dari rencana. Semua proyek dapat terlaksana sesuai rencana pengembangannya, baik untuk pembangunan kebun inti maupun pembangunan kebun plasma. Perubahan besar terjadi, perkebunan kelapa sa­wit yang tadinya hanya diusahakan sebagai usaha perkebunan besar dengan penyebaran hanya terbatas di Sumatera bagian. utara dan selatan menjadi diusahakan sebagai usaha perke­bunan rakyat dan perkebunan besar yang tersebar di 12 Provinsi (sebelum pemekaran).

Sesuai konsepsi pengembangan pola PIR, kebun yang telah memasuki umur produksi dikonversi pemilikannya kepada petani plasma. Pelaksanaan cicilan beban utang juga ber jalan mulus sesuai harapan.

Dampak positif juga terasa dalam hal pembangunan prasarana transportasi. Beberapa contoh pembangunannya sebagai berikut : 

PIRSUS Sei Bahar Jambi ; sebelum proyek, dari Jambi ke lokasi ditempuh lebih dari 4 jam. Sejak tahun 1990 telah dibangun jalan aspal beton sampai ke gerbang pabrik, jarak tempuh menjadi tinggal 1 jam.
PIRSUS Sintang Kalbar ; sebelum proyek, daerah ini sangat terisolir, hanya dapat dicapai melalui sungai. Setelah ada proyek, pemerintah membuat jalan sampai ke lokasi proyek sehingga dari Pontianak ke Sintang dapat dilalui dengan jalan darat.
NES II Air Molek Riau ; sebelum proyek, dari Pekanbaru ke Air Molek ditempuh lebih dari 12 jam karena masih ada jalan tanah dan 3 penyeberangan sungai yang harus dilalui dengan rakit. Setelah ada proyek, dibangun jalan aspal beton permanen sehingga dapat ditempuh dalam 6 jam.
NES II Danau Tiga Riau ; sebelum proyek, terdapat suku terasing yang bermukim di sekitar proyek. Setelah ada proyek, jalan yang melintasi Danau Tiga menjadi aspal beton. Wilayah menjadi semakin terbuka, suku terasing telah membaur dengan masyarakat dan ada yang menjadi peserta proyek.

Rencana dan Realisasi Pembangunan Proyek Pola PIR Kelapa Sawit  (keadaan sampai Desember 2006)


Realisasi Tanam dan Konversi, Beban Utang dan Cicilan Utang Petani Pembangunan Proyek Pola PIR Kelapa Sawit

Proyek PIR turut membantu menampung para peladang berpindah. Melalui kerja sama antara Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, dengan Ditjen Perkebunan, untuk menekan meluasnya kerusakan hutan oleh para peladang berpindah, maka pada tahun anggaran 1988/1989 dan 1989/1990, sebanyak 1.250 KK peladang berpindah telah dimukimkan sebagai petani peserta proyek pola PIR, dengan perincian :

Dari daerah Lampung dipindahkan ke PIRSUS Bagan Sinembah Riau sebanyak 625 KK, PIRSUS Bei Sei Bahar Jambi 206 KK, dan PIRSUS Muara Enim Sumsel 175 KK.
Dari Jeneponto Sul-Sel dipindahkan ke PIRSUS Mamuju Sulsel/Sulbar sebanyak 50 KK.
Dari Gunung Kerinci Jambi dipindahkan ke PIRSUS Sei Bahar Jambi sebanyak 200 KK.

Di samping itu, pada tahun 1989/1990 telah ditempatkan korban bencana alam Pulau Alor NTT ke NES Tujuh Pasir sebanyak 157 KK.

Sebagai perusahaan inti, BUMN perkebunan mampu mengembangan wilayah barunya dengan luasan yang cukup signifikan sehingga dipandang perlu dilakukan restrukturisasi berdasarkan wilayah agar pengelolaannya lebih efisien.

Perubahan ini sekaligus dibarengi perubahan nama Badan Hukum dari PTP menjadi PTP Nusantara (PTPN) pada tahun 1996. Tadinya total PTP berjumlah 32 buah lalu disusutkan menjadi 14 PTPN. Itupun sudah termasuk dengan tiga PTPN yang baru muncul akibat meluasnya lahan perkebunan akibat proyek PIR. Unit-unit PTP baru yang dimaksud yaitu PTPN V untuk provinsi Riau, PTPN VI untuk provinsi Jambi dan Sumatera Barat dan PTPN XIII untuk seluruh wilayah Pulau Kalimantan. Karena dibentuk dari himpunan kebun-kebun proyek pola PIR, maka ketiga PTPN baru tersebut punya keunikan, yaitu kebun plasmanya lebih luas dari kebun inti dengan penjabaran sebagai berikut :

PTPN V, kebun inti seluas 86.259 ha, kebun plasma seluas 96.669 ha atau sebesar 53% dari total areal, yaitu 182.928 Ha.
PTPN VI, kebun inti seluas 30.633 ha, kebun plasma seluas 63.022 ha atau sebesar 67% dari total areal, yaitu 93.655 Ha.
PTPN XIII, kebun inti 54.523 ha, kebun plasma seluas 85.877 ha atau sebesar 62% dari total areal, yaitu 140.400 ha.

Trilogi pembangunan semakin terasa dapat dicapai melalui pola PIR. Beberapa capaian sasaran fungsional dipaparkan sebagai berikut :

Peningkatan Kesejahterahaan Dan Pendapatan Petani

Berbeda dengan berbagai tujuan proyek yang pada umumnya dinyatakan secara kualitatif, pengembangan pola PIR seperti dicanangkan pada Repelita III sub/sektor perkebunan dinyatakan secara konkrit untuk meningkatkan pen dapatan keluarga petani hingga mencapai U$ 1500 pertahun. 
Situasi Awal Di Areal Pemukiman PIR
Situasi Saat Ini Di Areal Pemukiman PIR
Sedemikan konkritnya tujuan yang disebutkan dalam kaitan dengan pendapatan petani sehingga di satu pihak mudah untuk mengukur tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dan di lain pihak menunjukan adanya tingkat keyakinan yang cukup tinggi terhadap berbagai asumsi yang digunakan sebagai dasar perkiraan sewaktu proyek dipersiapkan. Sejauh ini, pendapatan petani yang ditargetkan sebelumnya secara umum tercapai, bahkan terlampaui.

Petani menjadi mengerti efek dari harga jual dipasar internasional sehingga mampu untuk mengantisipasi isu-isu internasional yang menyangkut kelapa sawit. Petani plasma menjadi petani yang modern. Mereka tahu harga sawit yang sekarang berlaku di Amsterdam, satu fakta yang tidak terbantahkan adalah bahwa petani peserta PIR kelapa sawit cukup makmur dibanding petani budidaya tanaman lain pada umumnya.

Kemitraan Yang Saling Menguntungkan

Banyak pihak yang awalnya skeptis terhadap konsepsi pola PIR, terutama terhadap kemungkinan dapat terciptanya hubungan kemitraan di antara pihak inti dan plasma yang sebelumnya hidup dan berkembang dalam dua sub sistem yang berbeda.

Merubah kehidupan yang dualistis dan mentransformasikannya ke dalam suatu tata hubungan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan adalah pekerjaan besar. Butuh kesabaran dan kesadaran yang tinggi dari kedua belah pihak terhadap manfaat dari hubungan kemitraan yang terjalin.

Perjalanan proyek PIR sampai saat ini menyimpulkan bahwa terbentuknya hubungan kemitraan itu bukanlah sesuatu yang muskil. Dalam kenyataannya, konsep tata hubungan kemitraan tersebut dapat terwujud, bahkan terus berlanjut dan berkembang sampai saat ini. Namun, pengalaman menunjukkan hubungan tersebut akan lebih cepat berkembang apabila perusahaan inti mengambil prakarsa yang lebih aktif.

Hubungan kemitraan yang memberikan kedudukan sama bagi Perusahaan Inti dan Petani Plasma, secara psikologis menimbulkan kepercayaan diri yang cukup besar di kalangan petani peserta plasma. Kepastian usaha melalui jaminan pemasaran telah menumbuhkan kemampuan petani untuk menolong diri sendiri. Kelompok-kelompok tani telah terbentuk dan berkembang dengan berorientasi kepada upaya untuk mengoptimalkan usaha tani. Para petani sadar bahwa kebun adalah sandaran hidupnya sehingga mereka mengelolanya dengan baik.

Famcap / Family Cappers, Panen beserta keluarga
Pengumpulan TBS Hasil Kebun Plasma
Pada proyek-proyek yang kelompok taninya telah berjalan baik, ditemukan kebun-kebun yang terpelihara dengan rapi dan baik. Melalui kelompok tani, petani peserta semakin menyadari bahwa usaha tani yang dimiliki bukanlah usaha tani yang dapat berdiri sendiri, terpisah dari petani lainnya, melainkan merupakan suatu elemen dalam sebuah bangunan kebersamaan dengan petani lainnya, bahkan antara petani dengan perusahaan inti. Tumbuh dan berkembangnya rasa kebersamaan di kalangan petani ini menjadi embrio dalam memasuki kehidupan berkoperasi.

Dengan pertimbangan ciri umum yang berlangsung pada usaha tani perkebunan kelapa sawit, maka di wilayah PIR diizinkan membentuk KUD (Koperasi Unit Desa) untuk mengelola kegiatan bersama di bidang perkebunan di kalangan petani peserta. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dengan Menteri Koperasi tanggai 15 Agustus 1988, dan kemudian ditindak-lanjuti dengan penerbitan Petunjuk Pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perkebunan bersama Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi tanggai 12 Januari 1989.

Pusat Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Lokasi yang dipilih dalam proyek pengembangan PIR, kecuali PIR Lokal, sangat terpencil dan terisolir. Pada umumnya, lokasi tersebut adalah daerah bukaan baru yang sebelumnya merupakan hutan muda dan berat. Prasarana transportasi yang sangat minim menyulitkan pengadaan bahan. Namun, dengan dukungan berbagai pihak, terutama Departemen Pekerjaan Umum, masalah-masalah tersebut secara bertahap dapat diatasi. Melalui pembangunan sarana jalan ke lokasi proyek, maka lokasi tersebut menjadi lebih terbuka.

Contoh Petani Plasma Yang Berkembang dan Sukses
Bergeliatnya pembangunan turut serta menciptakan lapangan pekerjaan di luar sektor perkebunan. Setelah tanaman mulai menghasilkan pun, proses aliran modal dari wilayah perkotaan ke pedesaan masih terus berlanjut, selain untuk usaha perkebunan, juga untuk investasi baru, seperti transportasi dan unit-unit pendukungnya, perbankan, penginapan, penyediaan logistik dan kegiatan-kegiatan ekonomi terkait lainnya. Bermacam toko alat-alat pertanian dan toko yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari berjamuran. Dengan demikian secara bertahap dan pasti lokasi-lokasi pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR tumbuh dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Tumbuhnya kegiatan ekonomi tersebut bahkan kemudian menjadi embrio dilakukannya pemekaran wilayah.

Pola PIR melahirkan pengembangan wilayah yang utuh terdiri dari komponen utama yang meliputi pembangunan perkebunan inti dan pembangunan pemukiman yang terdiri dari lahan pekarangan dan lahan pemukiman serta komponen penunjang yang meliputi pembangunan prasarana umum dan fasilitas sosial. Pembangunan semua komponen yang dimaksud harus terjamin keterpaduannya sejak tahap persiapan, pelaksanaan, penyelesaian pelaksanaan dan pengembangannya serta kelanjutan pembinaannya.

Sejak semula, pembangunan pemukiman dirancang agar sesuai dengan ketentuan untuk pembentukan satu pemerintahan desa seperti telah diatur melalui Permendagri No. 04 tahun 1987.

Seperti halnya sasaran pembangunan kebun, sasaran pengembangan komponen pemukiman juga dapat tercapai seperti yang diharapkan. Setiap wilayah pengembangan pola PIR telah tumbuh. Desa-desa baru yang terbentuk telah menjadi desa definitif. Banyak wilayah yang berkembang menjadi wilayah-wilayah pemekaran tingkat kecamatan, kabupaten, bahkan ada yang tingkat provinsi.

Secara lebih sederhana, pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui proyek pola PIR secara nyata mampu berperan sebagai pengganda dari agenda besar pembangunan nasional, seperti : 1) pengganda peningkatan pendapatan, 2) pengganda peningkatan kesempatan kerja, 3) pengganda kegiatan ekonomi, 4) pengganda berkembangnya pembangunan daerah serta pemekaran wilayah, 5) pengganda pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, dan 6) pengganda wilayah pemukiman baru.

PENYELESAIAN SISA MASALAH

Sistem pendanaan proyek pola PIR mengikuti mekanisme APBN. Dana non-kredit dituangkan dalam Daftar Isian Proyek (DIP) dan dana untuk pembangunan kebun plasma dituangkan dalam Daftar Isian Pembiayaan Proyek (DIPP). Untuk mencairkan DIPP, harus dibuat perjanjian kredit antara petani dengan Direksi Bank Pelaksana.

Karena pada saat proyek akan dimulai atau sedang dibangun petaninya belum ada, maka untuk memenuhi perjanjian kredit tersebut, maka ditempuh upaya terobosan yang dipandang cukup berani, yaitu dengan cara penandatanganan dilakukan antara Direktur Jenderal Perkebunan atas nama petani dan Direksi Bank Pelaksana yang bersangkutan sebesar alokasi dana tahunan. Perjanjian ini dibuat dengan mencantumkan jumlah kumulatif dana kredit sepanjang proyek berjalan. Pada saat konversi, jumlah dana yang dikonversi kepada petani peserta mengurangi tanggungan beban kredit Direktur Jenderal Perkebunan.

Apabila terjadi kegagalan sebelum konversi maka sepenuhnya menjadi risiko pemerintah, sedangkan apabila terjadi kemacetan pengembalian kredit setelah konversi, maka pemerintah menanggung 70% risiko. 

Pada masa pembangunan, pemerintah menyediakan bantuan subsidi bunga. Dengan pendekatan ini dalam perjalanannya, ternyata Bank menjadi kurang begitu berminat untuk bersama mengupayakan agar konversi dapat terlaksana tepat waktu.

Tertundanya pelaksanaan konversi menyebabkan pemerintah harus terus menanggung beban subsidi bunga dan Dirjen Perkebunan harus tetap berutang. Oleh sebab itu, perlu modifikasi agar hambatan yang mengancam tercapainya sasaran konversi tepat waktu dapat dihindari. Agar beban bunga petani murah maka sumber dana Bank untuk pembangunan kebun petani adalah gabungan dari dana Bank Pelaksana, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan.

Direktur Jenderal Perkebunan silih berganti sekaligus memberikan tunggakan utang kepada Dirjen yang baru. Hebatnya, setelah diangkat, Dirjen baru tidak mengelak dari utang dan tidak menyalahkan Dirjen penggagas PIR. Sampai suatu ketika muncul ide untuk mengalihkan utang Dirjen Perkebunan tersebut ke Bank menjadi utang ke pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan.

Melalui serangkaian pembahasan yang cukup panjang, didapat apabila dana Bank Pelaksana diganti oleh pemerintah dan cicilan petani sepenuhnya menjadi hak pemerintah, ternyata masih dapat menutup uang pemerintah yang dikeluarkan untuk mengganti dana Bank Pelaksana. Maka kemudian pemerintah memutuskan untuk mengganti uang yang bersumber dari Bank Pelaksana. Langkah terobosan yang dimak-sud dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor S-1220/MK.017/1993 tanggai 29 desember 1993 dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan tanggai 12 Maret 1994 No.Kep/059/KM.17/1994 dengan pokok-pokok perubahan sebagai berikut :

1. Penyertaan dana Bank Pelaksana yang telah digunakan untuk membiayai proyek diganti oleh Pemerintah/Departemen Keuangan, sehingga selanjutnya sumber dana yang akan menjadi beban petani hanya bersumber dari Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, tidak ada lagi dana Bank Pelaksana.

2. Fungsi Bank selanjutnya berubah dari Bank Pelaksana/ executing menjadi bank penyalur. Perjanjian Pinjaman Direktur Jenderal Perkebunan dengan Bank Pelaksana untuk membiayai pembangunan ke-bun dengan sendirinya menjadi tidak berlaku lagi.

3. Konversi kredit kepada petani berubah dari akad kredit antara petani dengan Bank Pelaksana menjadi Surat Pengakuan Utang (SPH) kepada Pemerintah.

4. Kebun yang  telah mencapai  umur menghasilkan seluruhnya dapat dikonversi dengan beban utang secara proporsional sesuai dengan potensi hasil kebun.

Berbeda dengan proyek-proyek lingkup sektor pertanian pada umumnya yang kegiatan pokoknya bersifat pembinaan, penyuluhan bimbingan, dan bantuan agro input seperlunya, proyek pola PIR mencakup kegiatan pembangunan fisik kebun dan perangkat pendukungnya yang merupakan kegiatan lintas sektor.

Pengembangan proyek pola PIR untuk kelapa sawit saja jumlahnya sebanyak 31 proyek, belum lagi proyek-proyek pola PIR komoditi lain serta proyek-proyek pola UPP. Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab Dirjen Perkebunan menjadi cukup berat. Untuk menanggulanginya, dibentuk satu Tim yang menjadi titik temu dan titik bagi yang menghubungkan Dirjen Perkebunan dengan para Pemimpin Proyek pola PIR.

Tidak mudah membentuk Tim Khusus tersebut. Pada tahap awal, dibentuk Desk Officers untuk membantu kelancaran pelaksanaan proyek. Namun, setelah berjalan sekitar satu tahun, Desk Officers dipandang tidak efektif. Selanjutnya, pada tahun 1978, Dirjen Perkebunan membentuk Tim Koordinasi antarinstansi tingkat pusat yang beranggotakan 23 Instansi terkait. Tim Koordinasi bertugas membantu menetapkan kebijakan pelaksanaan proyek dan mengkoordinasikan semua fungsi dari masing-masing instansi terkait. Sayangnya, pembentukan Tim ini pun tidak efektif karena sulitnya menyelenggarakan rapat pleno secara lengkap.

Usaha berlanjut dengan membentuk Tim Khusus Proyek Kerjasama Luar Negeri (TKPKLN) melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 1979 yang kemudian diikuti pembentukan Tim Khusus PIR Swadana melalui SK-Mentan tahun 1981. Karena tugas yang sejenis, maka berdasarkan SK-Mentan tahun 1983, kedua tim ini dilebur menjadi Tim Khusus Proyek Perkebunan Berbantuan (TKP2B) yang mencakup seluruh proyek PIR Perkebunan.

Penyesuaian dilakukan melalui SK-Mentan tahun 1986 dengan mengubah TKP2B menjadi Tim Khusus Proyek Perkebunan Inti Rakyat (TK-PIR). Tim ini menjadi sumber data/informasi bagi banyak pihak terkait.

Pekerjaan besar berikutnya adalah mengembangkan model usaha budidaya kelapa sawit tanpa mengubah model yang sedang berjalan, sehingga masing-masing masih terus berlanjut sampai selesai sesuai konsepsinya.

Hampir seluruh PTP yang dinilai mampu sudah ditugaskan untuk menggodok pola PIR, maka kemudian perlu mengajak sektor swasta untuk ikut serta menjadi perusahaan inti. Pemikiran ini juga terpicu karena pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui seri proyek pola PIR yang sedang berjalan dengan dana APBN ternyata selain kurang memacu pelaksanaan konversi tepat waktu, juga sangat membebani pemerintah, diantaranya :

Tingkat suku bunga pada masa tenggang/sebelum kon-versi sebesar 10,5% dibayar oleh pemerintah kemudian setelah konversi tingkat suku bunga yang ditetapkan dibayar oleh petani, 4,5% dibiayai oleh pemerintah.

Kegagalan kredit sebelum konversi menjadi tanggungan pemerintah sepenuhnya, sedangkan risiko kemacetan cicilan pengembalian kredit setelah konversi ditanggung pemerintah sebesar 70%, Bank Pelaksana sebesar 25%, dan Bank Indonesia sebesar 5%.

Dirjen Perkebunan atas nama petani bertindak sebagai peminjam kepada bank pelaksana, untuk kemudian setelah tanaman memenuhi standar menghasilkan, pinjaman atas nama Dirjen Perkebunan dikonversikan menjadi pinjaman atas nama masing-masing petani.

Tidak pernah dapat tercapai pencairan anggaran tepat waktu sehingga kurang mendukung kelancaran/keberhasilan pelaksanaan proyek.

Persyaratan kelengkapan administrasi untuk pertanggungjawaban pengeluaran (SPJ) cukup rumit dan berat sehingga sulit untuk dapat diselesaikan tepat waktu. Keterlambatan pertanggungjawaban berakibat keterlambatan pencairan tahap berikutnya. Keterlambatan pencairan mengancam keberhasilan proyek.

Selain memikirkan deregulasi agar dapat menekan beban anggaran pemeritah dan menghindari keterlambatan konversi, harus juga dijajaki kemungkinan perkebunan besar swasta untuk ikut mengembangkan PIR.

Pengembangan pola PIR merupakan kegiatan lintas sektor, karenanya modifikasi kelanjutan pelaksanaan pengembangannya harus dapat diterima oleh berbagai unit fungsional terkait. Pembahasan demi pembahasan terus dilakukan sampai didapat kerangka konsepsi pendekatan kelanjutan pengembangan pola PIR yaitu pola PIR-TRANS untuk kelanjutan pola PIR bukaan baru dan pola Kemitraan untuk kelanjutan pola PIR Lokal.

Pembangunan Berkelanjutan.

Menyesuaikan dengan lemahnya kondisi perekonomian waktu itu, proyek PIR diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan yang kemudian dikenal dengan seri proyek NES (Nucleus Estate Smallholders) bantuan Bank Dunia.

Menyulitkan di satu sisi tapi di sisi lain menjadi pijakan kuat agar sejak awal tertanam bahwa perkebunan kelapa sawit harus layak secara ekonomi, secara sosial, dan ramah lingkungan. Layak secara ekonomi adalah basis utama yang dicermati. Bahkan selanjutnya, pada tahap kegiatan supervisi tidak ada kompromi ketika terjadi penyimpangan terhadap baku teknis. Penerapan layak secara sosial, yaitu ditetapkan bahwa calon petani pesertanya berasal dari para penduduk setempat, peladang berpindah, dan masyarakat sekitar rencana proyek. Sedangkan aspek ramah lingkungan menetapkan kaidah-kaidah konservasi dan lingkungan hidup. Tidak adakomproni untuk hal ini. Segala proyek berbantuan dari Bank Dunia mutlak harus melakukan konservasi.

Sebagai perusahaan inti, PTP disodorkan banyak syarat yang mengharuskannya ramah lingkungan. Dengan demikian, tumbang sudah isu negatif yang mencitrakan perkebunan kelapa sawit merusak lingkungan, selama pengelola taat aturan. Memang masih ada kasus-kasus yang menyebabkan kelapa sawit berdampak buruk bagi lingkungan tapi alat hukum sudah mencukupi untuk menindak penyelewengan tersebut. Tinggal bagaimana menegakkannya saja.

Selain persyaratan kelayakan fisik dan teknis rencana proyek, Bank Dunia juga mengkaji kemampuan teknis maupun kemampuan keuangan perusahaan inti. Analisa yang dilakukan meliputi penyediaan dana sendiri dan kemampuan mempertahankan posisi keuangan yang sehat. Dengan demikian, berbagai persyaratan dari Bank Dunia tersebut membentuk proyek pola PIR yang meletakkan dasar-dasar konsep pembangunan berkelanjutan.

Tidak lama setelah Bank Dunia memberikan bantuan, Bank Asia dan Bank Pembangunan Jerman Barat ikut juga bergabung mendanai proyek PIR. Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada tahap-tahap berikutnya mengacu pada PIR Proyek Bantuan Bank Dunia/NES yang sudah jelas menanamkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Bank Dunia pada tahun 2009 mengeluarkan publikasi berjudul “Berinvestasi untuk Indonesia yang Lebih Berkelanjutan”, antara lain menyampaikan bahwa berinvestasi menuju Indonesia yang lebih berkelanjutan adalah jika :

Menurunkan biaya degradasi lingkungan sehingga semakin sedikit kekayaan yang dialihkan dari pertumbuhan;
Berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dengan mengurangi dampak pada masyarakat miskin dan pembagian keuntungan yang lebih baik ;
Menggunakan sumber daya terbarukan secara berkelanjutan, sementara yang tidak terbarukan dikembangkan secara bijaksana untuk investasi pada modal manusia ; dan Membuat warga Negara sadar dan ikut menanggulangi masalah lingkungan.

Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa pengembangan pola PIR merupakan upaya sadar terencana untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Unsur-unsur pokok pengembangan pola PIR secara umum senapas dengan arah menuju Indonesiayanglebihberkelanjutan, seperti disampaikan pada Buletin Bank Dunia tahun 2009.

PIR Trans Stimulan Investasi.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak akan signifikan jika hanya mengandalkan PTP. Presiden menangkap hal tersebut kemudian mengeluarkan Inpres untuk mendukung swasta turut serta berinvestasi pada perkebunan kelapa sawit lewat pola PIR-Trans.


Suasana Saat Pengundian Kapling Kepemilikan Petani
Keberlanjutan pola PIR dilakukan terus dengan melakukan modifikasi dan penyempurnaan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada tahun-tahun awal pelaksanaannya, pola PIR secara umum telah menunjukkan gambaran keberhasilannya yang akan memberikan dampak besar yang langsung terkait masalah pembangunan nasional, diantaranya peningkatan pendapatan petani, kesempatan kerja, pembangunan daerah dan penggerak kegiatan ekonomi lainnya. Manfaat ekonomi tersebut semakin penting, karena lokasi pengembangan pola PIR berada di wilayah pedesaan, bukaan baru, terpencil dan bahkan terisolir serta berlangsung di luar Pulau Jawa.

Menyimak keberhasilan awal pengembangan pola PIR tersebut, maka tumbuh kesamaan pandangan bahwa seri proyek pola PIR yang sedang berjalan harus tetap dilanjutkan dan diselesaikan sesuai dengan konsepsinya, sekaligus perlu mulai dipikirkan dan disiapkan kelanjutan bahkan peningkatan pengembangan pola PIR baru.

Beberapa tahun awal, PIR kelapa sawit digawangi oleh PTP sebagai perusahaan inti. Namun, kemampuannya sudah digunakan maksimal untuk pengembangan proyek pola PIR. Peningkatan tidak akan signifikan kalau terus mengandalkan PTP. Lirikan kemudian beralih ke perusahaan swasta yang dianggap telah berhasil untuk kemudian diundang menjadi perusahaan inti. Sementara itu, program penyelenggaraan transmigrasi yang sedang berlangsung saat itu, memerlukan pemantapan pengembangan usaha taninya. Oleh karena itu, muncul ide untuk mengawinkan keduanya. Kelanjutan pengembangan pola PIR dilakukan dengan mengundang perusahaan swasta sebagai perusahaan inti yang penyelenggaraannya dikaitkan dengan program transmigrasi. Pola ini selanjutnya disebut pola PIR Trans.

Lahirnya Inpres Nomor 1 Tahun 1986

PIR TRANS menggunakan pendekatan yang sama dengan PIR lainnya, hanya berbeda pada penanggung jawab pelaksanaannya. Pada pola PIR lainnya, pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah sedangkan pada pola PIR-Trans beralih menjadi tanggungjawab perusahaan inti.

Untuk menjalankannya, tentu perusahaan inti butuh kejelasan ketentuan urutan proses pelaksanaan dan segala hal yang menyangkut pola PIR-Trans. Paket ketentuan tersebut sekaligus menjadi kontrol bagi keberlanjutan pengembangan kelapa sawit. Pola NES yang menjadi acuan utama sudah mengajarkan tentang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan sehingga dengan sendirinya pola PIR-Trans juga menjalankan hal tersebut.

Menindaklanjuti pemikiran-pemikiran tersebut, Menteri Pertanian ketika itu menggariskan :

1. Setiap permohonan izin prinsip baru pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan swasta harus dengan pola PIR yang selanjutnya disebut PIR Swasta kelapa sawit. Tata cara pelaksanaannya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No 469/KPTS/KB.510/6/1985, dan
2. Kepada PTP kelapa sawit kuat diberikan penugasan baru untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat dengan pola PIR, selanjutnya disebut PIR Akselerasi. PTP yang ditugaskan yaitu PTP II, PTP IV, PTP V, PTP VI dan PTP VII.

Pola ideal yang ada dalam NES Bank Dunia menjabarkan tentang pembangunan dua komponen utama, yaitu kebun dan pemukiman. Namun, kebijakan PIR Swasta kelapa sawit dan PIR Akselerasi hanya menyangkut pembangunan perkebunannya saja, belum ada kejelasan tentang pembangunan pemukiman sehingga tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan.

Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, pada salah satu sidang kabinet diambil keputusan yang intinya :

1. Proyek pola PIR yang sedang berjalan terus dilanjutkan pelaksanaannya sampai selesai.
2. Pengembangan pola PIR baru perlu diusahakan dengan mengundang dunia usaha swasta kuat untuk menjadi perusahaan inti. Pelaksanaannya dikaitkan dengan program transmigrasi.

Perlu Dipikirkan Tata Cara Pelaksanaannya.

Menindaklanjuti hasil sidang kabinat tersebut, Prof. Dr. J. B. Sumarlin selaku Menteri Ketua Bappenas, langsung melakukan langkah-langkah sosialisasi dan konsultasi kepada internal Pemerintah dan pihak swasta yang dipandang berminat. Pertemuan demi pertemuan dilaksanakan. Pada pertemuan pertama yang dipimpin oleh Menteri Ketua Bappenas dengan para pimpinan perusahaan swasta, dijelaskan bahwa proyek pola PIR yang sedang berjalan telah dirasakan potensi manfaat keberhasilannya. Pelaksanaannya perlu dilanjutkan dengan mengundang pengusaha swasta dan mengintegrasikannya dengan program transmigrasi.

Pada pertemuan pertama yang dipimpin oleh Bapak Menteri Ketua Bappenas dengan para pimpinan perusahaan swasta yang diundang, secara umum dijelaskan bahwa :

1.  Proyek pola PIR yang sedang berjalan telah mulai dirasakan potensi manfaat keberhasilannya. Oleh sebab itu perlu terus dijaga kelanjutan pelaksanaannya sampai dengan selesai sesuai dengan konsepsinya.
2. Proyek pola PIR yang sedang berjalan telah melibatkan seluruh PTP kelapa sawit kuat untuk bertindak selaku perusahaan inti. Oleh sebab itu tidak mungkin lagi untuk mendapat tugas selaku perusahaan inti pada pengembangan pola PIR baru.
3. Dengan maksud meningkatkan perluasan jangkauan pengembangannya pemerintah bermaksud akan terus melanjutkan dengan mengundang keikutsertaan pelaku usaha swasta yang berminat.
4. Mengenai pola pengembangan tetap seperti proyek pola PIR yang sedang berjalan namun pelaksanaannya dikaitkan dengan program transmigrasi.

Setelah penjelasan disampaikan maka dibuka kesempatan tanya jawab, tanggapan dan pembahasan terhadap pelaksanaan kebijakan rencana Pemerintah yang dimaksud.

Para peserta rapat pada umunya memahami rencana pemerintah tersebut, hanya saja dibutuhkan kejelasan tata cara pelaksanaan, persyaratan, dan fasilitas yang disediakan. Di kalangan pengusaha juga timbul keraguan tentang kesetiaan plasma maka imbangan inti dan plasma masih dipertanyakan. Menanggapi keraguan itu, maka pemerintah mengharap kalangan pengusaha melakukan pertemuan yang membahas kendala ini dengan mendetail untuk kemudian menjadi masukan pemerintah.

Sesuai kesimpulan pertemuan tersebut, maka para pengusaha yang pernah diundang rapat dan peserta lainnya, sepakat menghimpun dan merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan disampaikan pada Pemerintah. Setelah bahan yang diperoleh dari para pengusaha swasta dipelajari dan dibahas oleh unit fungsional Pemerintah terkait, maka lahir konsep tentang tata cara penyelenggaraan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dikaitkan dengan program Transmigrasi. Konsep itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pertanian dan Menteri Transmigrasi untuk kemudian disampaikan dalam satu forum pertemuan yang dipimpin langsung oleh Menteri Ketua Bappenas.

 
Aktifitas dan Keseharian di Proyek PIR
Kekhawatiran muncul dari Menteri Ketua Bappenas bahwa SKB tersebut tidak akan berjalan baik karena banyaknya instansi yang harus terlibat. Untuk itu, disusunlah konsep Instruksi Presiden (Inpres) kepada seluruh pihak terkait, tentu berdasarkan SKB yang telah disiapkan. Serangkaian pembahasan akhirnya melahirkan Inpres Nomor 1 tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi (PIR-Trans) tertanggal 3 Maret 1986. Dengan landasan hukum berupa Inpres tersebut akan menjadi jelas tugas fungsi dan tanggung jawab unit fungsional terkait, sehingga dapat le-bih mempertegas tata cara mekanisme saling keterkaitan dan ketergantungan yang dibutuhkan.

Kepada 11 Menteri/pimpinan lembaga, sebagaimana tercantum pada amar I Inpres No 1 tahun 1986 diinstruksikan untuk menyelenggarakan kerjasama dan koordinasi yang se-baik-baiknya dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan pro-gram-program kegiatan yang berkaitan dengan PIR-TRANS.

Tugas yang diberikan kepada Menteri Pertanian dan Menteri Muda UPPTK dalam Inpres sudah cukup untuk memprakarsai agar langkah awal segera dimulai dan tidak saling menunggu. Keduanya, pada Bab III tentang lain-lain ayat (a), disebutkan dalam melaksanakan Inpres ini, Menteri Pertanian membentuk Tim Koordinasi yang diketuai Menteri Muda UPPTK dan anggota-anggotanya terdiri dari para pejabat yang terkait dalam pengembangan perkebunan pola PIR-TRANS.
Segera, Menteri Pertanian membentuk tim tersebut melalui SK Mentan tertanggal 5 April 1986. Menteri Muda UPPTK, Dr. Ir. Hasjrul Harahap MM, kemudian dengan cepat mengadakan rapat tim koordinasi pada tanggai 29 April 1986. Rapat tersebut menyepakati agenda rapat-rapat koordinasi, tata kerja, serta percepatan penyelesaian masalah mendesak, yaitu terbitnya Peraturan/Ketentuan Pelaksanaan oleh ma-sing-masing Menteri dan ketua lembaga terkait. Harapannya, masing-masing memberikan kepastian dan kejelasan tentang cara dan persyaratan proses yang harus dipedomani dalam satu kesatuan utuh dalam sebuah paket yang terbit tepat waktu.

Tiap rapat Tim koordinasi, terus dikembangkan kesamaan pemahaman tentang peran strategis masing-masing unit fungsional. Pemahaman itu intinya adalah potensi manfaat yang cukup besar jika rencana dapat terlaksana sesuai harapan. Sebaliknya, jika tidak berjalan lancar, maka risikonya juga besar karena mencakup upaya penyejahteraan banyak penduduk miskin dan pembangunan daerah dengan biaya yang cukup tinggi.

Koordinasi sangat esensial karena ketika satu unit tidak jalan maka akan menghambat unit lain. Sayangnya, pendekatan koordinasi konvensional yang biasa dilakukan tidak berjalan lancar seperti yang diharapkan, karena faktor hirarki koordinasi, ketidaklengkapan kehadiran, dan ketidaksesuaian petugas yang mewakili. Maka kemudian pendekatan ditempuh dengan membatasi pembahasan melalui forum rapat pleno, lalu lebih banyak melalaikan pendekatan diskusi dan konsultasi untuk menumbuhkan kesamaan semangat bersama dalam mencari solusi.

Ketentuan-ketentuan dalam pola PIR-Trans meletakkan tanggung jawab sepenuhnya pada perusahaan inti. Berhasil atau gagal akan berimbas langsung padanya. Keadaan itu menjadi dorongan besar bagi manajemen perusahaan untuk bekerja profesional. Dorongan ini tidak banyak dirasakan pada pola PIR sebelumnya.

Demikian sekilas pembahasan Perkebunan Inti Rakyat yang telah menorehkan tinta emas dalam pembangunan ekonomi Republik Indonesia, suatu model pola pembangunan yang tidak hanya mengedepankan aspek ekonomis semata tetapi juga berprinsip untuk betumbuh dan membesar bersama rakyat.

Pustaka :

TONGGAK PERUBAHAN, Melalui PIR Kelapa Sawit Membangun Negeri, M.Badrun, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2010.

HASJRUL HARAHAP, Dari Mandor Jadi Menteri, Aristides Katoppo - Nina Pane, Aksara Karunia, 2008.