Saturday, October 4, 2025

SAWIT SEBERANG

Intro.

Sawit Seberang adalah nama onderneming (kebun) yang merupakan bagian dari Concessie Batang Serangan, Beneden Langkat. Deli Maatschapij mendapatkan kontrak seluas 59.330 Bouw (41.531 Ha) dari Sultan Langkat Tuanku Sultan Haji Musa Al Khalid Al Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad (bertahta 1840-1893) pada tahun 1888 yang dieksploitasi menjadi Onderneming (Kebun) Tandjong Slamat (Karet), Ond. Batang Serangan (Karet), Ond. Soengei Litoer (Karet) dan Ond. Sawit Seberang (Kelapa Sawit).


Onderneming en Oliepalmen Fabriek Sawit Sebrang yang didirikan pada tahun 1926 oleh Deli Maatschappij, ditahun 1958 dinasionalisasi ; yang mengubah kepemilikan dan pengelolaan Sawit Seberang ke Republik Indonesia melalui PPN Baru ; tahun 1961 melalui PPN Kesatuan Sumatera Utara II, tahun 1963 melalui PPN Aneka Tanaman II, tahun 1968 melalui PNP II, tahun 1969 otonom sebagai PNP SWS sister company PNP II, 1976 kembali berwadah disatu manajemen dalam PTP II, 1996 melalui PTPN II ,2014 melalui PTPN III Holding dan 2023 melalui PTPN IV PalmCo Regional II.

 Hal menarik untuk dijadikan catatan khusus adalah ; Sawit Seberang secara tidak langsung menjadi laboratorium percobaan bagi program pemerintah melalui Departemen Pertanian saat terjadinya pergantian kekuasaan ditahun 1968. Kesan tersebut dapat dirasakan dengan mengamati visi Kabinet Pembangunan I (1968-1973) dimana terlihat program utama kabinet adalah peningkatkan taraf hidup rakyat melalui pembangunan terutama di bidang pertanian,  sebagai dasar pembangunan tahap selanjutnya ; sebagai bentuk penjabaran program jangka panjang berkelanjutan produk hukum MPRS  dalam bentuk GBHN.

Departemen Pertanian sebagai departemen teknis menjabarkan hal tersebut menjadi konsep pembangunan perkebunan dengan tujuan penyertaan rakyat untuk memperoleh kemakmuran dalam tiga tahapan program Tahap Pertama (1969 - 1972) yaitu,  memberikan bantuan kredit bank dunia kepada 7 PNP/PTP ; Tahap Kedua (1973 - 1977)   yaitu, merintis prototype proyek Pola UPP dan Pola PIR ; dan Tahap Ketiga (mulai 1977) yaitu, mengembangkan perkebunan dengan pola PIR.

PNP II sebagai induk dari Kebun dan PKS Sawit Seberang menjadi objek langsung implementasi program Departemen Pertanian sebagai berikut ; Program Tahap Pertama melalui Sawit Sebarang Oil Palm Estate Project: Loan No. 15-INO(SF) lebih dikenal dengan Proyek Rehabilitasi Kebun dan PKS Sawit Seberang, Tahap Kedua melalui North Sumatra Rubber and Oil Palm Project: Loan No. 63-INO(SF) lebih dikenal dengan “Proyek Tritura” dan  Tahap Ketiga melalui Palm Oil Processing and Smallholder Development Project: Loan No. 499-INO lebih dikenal dengan “Proyek PIR NES ADB Besitang”.

Zaman Pra Kemerdekaan.

Concessie Batang Serangan mulai dieksploitasi pada tahun 1888 diawali dengan budidaya (Karet) Ficus Elastica pada tahun 1901 dan Hevea Brasiliensis ditahun 1907 ; proses yang berlanjut termasuk saat Ond. Tandjong Slamat , Ond. Soengei Litoer dan Ond. Soengei Tassik menjadi bagian Ond. Batang Serangan.
Pada tanggal 7 Desember 1891, Deli Maatschappij mengakuisisi perusahaan Ond. Tandjong Slamat, Ond. Serapo dan Ond. Glen Bervie dari Langkat Maatschappij karena kesulitan likuiditas dan dilikuidasi melalui pelelangan umum. Setelah dilikwidir Ond. Tandjong Slamat tetap mengeksplotasi budidaya tembakau sedangkan dua lainnya ditutup dan kontrak mereka dikembalikan ke Sultan Langkat.

Ond. Sawit Sebrang mulai dieksploitasi tahun 1926, sekaligus menandai dimulainya eksplotasi budidaya kelapa sawit dilingkup perusahaan Deli Maatschappij. Pada dasarnya kelapa sawit bukanlah barang baru bagi Deli Maatschappij, sejak tahun 1918 atas inisiatif GH Andreae, Hoofd Administrateur saat itu (1916 – 1924), kelapa sawit sudah ditanam di lahan seluas 150 Ha di Ond. Batang Serangan. Hasil uji coba yang memuaskan, memberi keyakinan bagi manajemen dan membuat keputusan untuk membuka perkebunan kelapa sawit di Sawit Sebrang pada tahun 1926. Sampai dengan tahun 1930 Ond. Sawit Sebrang telah memiliki luas tanaman 3.500 Ha, dimana kelapa sawit yang ditanam pertama kali ditahun 1927 telah berproduksi.



Untuk mengolah hasil produksi ; Deli Maatschappij membangun fasilitas pengolahan yang diberi nama Sawit Sebrang Oliepalmen Fabriek.  Pabrik dirancang tahun 1927; alat dan kelengkapan yang digunakan adalah atas saran dan rekomendasi dari Ir. Vincent Schmidt (Administrateur Deli Spoorweg Maatschappij) dan dipasok pabrik peralatan dan mesin Gebr. Stork & Co, Hangelo di Belanda tahun 1928. Sawit Sebrang Oliepalmen Fabriek beserta sarana dan prasarananya yang mulai dibangun tahun 1929 dan diselesaikan pada tahun 1931. Seluruh proses pembangunan berada dibawah pengawasan Ir. J.Thod Hoofd Ingenieur Deli Maatschappij.


Pekerjaan konstruksi berbagai bangunan menghabiskan 400 ton besi struktural, 2,2 juta batu bata, dan sekitar 6.000 barel semen Portland yang setara dengan 1.035 Ton, sedangkan untuk prasarana transportasi produksi dibangun jaringan kereta api dengan mengoperasikan lokomotif jaringan jalur sempit sepanjang hampir 100 km (62 mil).

Penyediaan tenaga listrik diperoleh dari pembangkit berupa ketel pipa air, mesin uap horizontal, dan dua dinamo yang memasok energi listrik ke berbagai stasiun kilang. Air yang dibutuhkan untuk kilang dipompa dari Sungai Batang Serangan dan disaring dua kali sebelum digunakan. 
Laboratorium dan kantor terintegrasi dengan bangunan pabrik. Di dekat pabrik, terdapat bengkel dengan depo lokomotif, gudang barang, gudang bahan bakar, dan rumah-rumah para pekerja pabrik; semua ini dilindungi oleh saluran pemadam kebakaran dan dilengkapi dengan penerangan listrik, begitu pula rumah para pimpinan.


Pada tahun 1932 Sawit Sebrang Oliepalmen Fabriek selesai dibangun dan setelah menjalani berbagai test untuk peralatan direncanakan memasuki tahapan komisioning pada tahun 1932. Namun terjadinya dinamika perekonomian internasional (malaise) yang diawali dengan jatuhnya pasar saham Amerika pada Oktober 1929 dan menyebabkan anjloknya aktivitas ekonomi secara drastis menyebabkan manajemen Deli Maatschaapij mengambil keputusan untuk menunda  tahapan komisioning.

Akhirnya, Sawit Sebrang Oliepalmen Fabriek resmi dioperasikan pada 10 Januari 1933 ditandai dengan pengguntingan pita oleh Ny. Van Houten  istri Sekretaris Perusahaan A. J. van Houten yang sekaligus membuka akses ke pintu rebusan (stasiun sterilisasi). Setelah pengguntingan pita ; H.C.A. Gransberg pelaksana Hoofd Adminstrateur Deli Maatschappij  bahwasanya pabrik telah resmi  beroperasi diiringi sorak sorai dari para hadirin dan sirene pabrik yang meraung-raung.

Masa Kemerdekaan.

Semasa revolusi sosial pasca proklamasi ; Sawit Seberang tercatat dan menjadi bagian  kronologi kejadian malam kelam 3 Maret 1946 di Istana Kesultanan Langkat. Geografis Sawit Seberang yang berjarak 25 Km dari Tanjung Pura menjadi pilihan gerombolan komunis sebagai tempat penahanan Sultan Langkat dan keluarganya.
Gerombolan komunis menyerang istana tengah malam dan menjelang subuh seluruh penghuni istana termasuk Sultan beserta keluarga dan para pejabat dibariskan dan dengan sehelai kain sepinggang dipaksa berjalan kaki menuju perkebunan Sawit Seberang. Rombongan ini selanjutnya dipecah menjadi beberapa kelompok, kelompok pertama dibawa ke dekat sungai di sekitar Sawit Seberang dan langsung dipenggal kepalanya satu persatu.  Sementara kelompok Sultan dengan anak dan istrinya melanjutkan perjalanan dan ditawan di  perkebunan Sawit Seberang.
Dari Sawit Seberang sebagian tawanan Kesultanan Langkat dipindahkan ke Kamp Umum Kampung Merdeka Berastagi dan lainnya termasuk Putri Sultan diselamatkan pasukan TKR dan dibawa ke Medan. Belakangan setelah ditangkap laskar  Hizbullah yang bersimpati terhadap Kesultanan Langkat, 2 pimpinan Laskar yaitu Marwan dan Usman parinduri yang juga merupakan pemerkosa Putri Sultan itu mengakui membunuh 13 orang di Sawit Seberang. Marwan dan Usman Parinduri yang bersalah ditangkap dan dihukum mati oleh organisasi pemuda Islam.

Masa Orde Baru.

Pergantian rezim tahun 1966 membawa arah baru dalam pengelolaan perkebunan. Program Kabinet Pembangunan I (1968-1973) dengan program Proyek Peremajaan Rehabilitasi Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE) untuk mendapatkan devisa menjadi pembuka jalan bagi PNP II termasuk kebun Sawit Seberang untuk merehabilitasi tanaman maupun sarana dan prasarananya. Program yang diselenggarakan secara nasional tersebut, bersifat interdep dengan Departemen Pertanian sebagai koordinator didampingi departemen teknis terkait, sedangkan sumber pendanaannya berasal dari World Bank.

PNP II yang sudah diappraise pada tahun 1967 mulai menjalani program proyek rehabilitasi ditahun 1969. Didalam pelaksanaannya, kontrak kredit dari Asian Development Bank untuk PNP II mempunyai keistimewaan tersendiri ; karena dalam persyaratannya PNP II dan Kebun Sawit Seberang dipisah secara administratif menjadi PNP II dan PNP SWS. Pemisahan tersebut bertujuan agar PNP II (standalone) secara financial bisa memenuhi persyaratan kredit perbankan (bankable). Selain itu bagi Kebun Sawit Seberang (standalone) sebagai proyek membutuhkan rentang kendali yang lebih pendek dan agar bisa berkoordinasi dengan Direksi secara langsung tanpa melalui birokrasi bagian teknis. 

PNP II mendapat kredit rehabilitasi perkebunan sebesar US$ 7.410.000  (North Sumatra Rubber and Oil Palm Project : Loan No. 63-INO(SF)) dan PNP SWS  sebesar US$ 2.400.000 (Sawit Seberang Oil Palm Estate Project : Loan No. 15-INO(SF)) yang disepakati kontraknya pada Oktober 1969.

“Proyek Rehabilitasi Kebun dan PKS Sawit Seberang“ atau Sawit Sebarang Oil Palm Estate Project: Loan No. 15-INO(SF).

Sawit Sebarang Oil Palm Estate Project adalah proyek pertama World Bank di sektor perkebunan. Proyek ini bertujuan merehabilitasi 9.061 Ha existing plants dan menanam 2.441 Ha extended area kelapa sawit di Sawit Seberang, sedangkan untuk fasilitas pengolahan proyek berkonsentrasi pada rehabilitasi dan revitalisasi pabrik kelapa sawit dengan target mencapai kapasitas 30 ton tandan buah segar (TBS/Jam).
Biaya keseluruhan proyek direncanakan US$ 5.100.000 sedangkan yang didanai bank sebagai paket pinjaman adalah sebesar US$ 2.400.000. Konsentrasi utama pada proyek ini adalah perlengkapan produksi tanaman, peralatan perkebunan dan pabrik, kendaraan, perumahan dan infrastruktur pendukung lainnya ; dengan unsur pendukung jasa konsultan agronomi, manajemen perkebunan, manajemen operasional pabrik serta pelatihan staf. Proyek mulai diimplementasi pada tahun 1970 dan direncanakan selesai pada tahun 1975. 
Pada saat pelaksanaan terjadi deviasi terhadap pada target program penanaman kelapa sawit dan rehabilitasi pabrik ; seperti kekurangan bibit karena kurang detailnya kebutuhan jumlah tegakan. Deviasi tersebut menyebabkan bertambah lamanya waktu penyelesaian proyek dari yang direncanakan.
Pada saat dilakukan penilaian, kinerja  kebun menunjukkan hasil yang baik.  Kondisi tanah dan agroklimat mendukung tumbuhnya kelapa sawit, disertai aktifitas pemeliharaan tanaman yang memuaskan. Hasil panen puncak telah melampaui 25 ton/Ha TBS yang untuk sebagian besar perkebunan baru dan lahan rehabilitasi muda dinilai memuaskan dibandingkan dengan lahan kelapa sawit lainnya di Indonesia maupun mancanegara. Hasil panen yang tinggi ini terus berlanjut seiring bertambahnya usia kelapa sawit, dan hasil panen kelapa sawit berusia 22 dan 23 tahun tetap di atas 15 ton/ha. Hasil panen rata-rata dengan perbaikan Proyek lebih dari dua kali lipat hasil panen pra Proyek sebesar 9 ton/ha. Tingkat ekstraksi pabrik kelapa sawit cukup memuaskan, yaitu sekitar 20,15 persen untuk minyak sawit dan 4,30 persen untuk inti sawit.

“Proyek Tritura” atau North Sumatra Rubber and Oil Palm Project: Loan No. 63-INO(SF).

Ketika Proyek Rehabilitasi Sawit Seberang memasuki tahap akhir ; PNP II mendapat penugasan untuk membangun satu kebun yang originally baru. Proyek ini merupakan ujian kemampuan terhadap manajemen PNP, mengingat sampai saat itu belum ada kebun yang didesain, dibuka, dibangun dan berproduksi oleh komponen Republik Indonesia. 
Secara konsep, proyek ini bertujuan untuk meningkatkan pasokan minyak nabati dalam negeri dan ekspor minyak sawit dan inti sawit. Sedangkan dari sudut implementasi proyek ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan ekspor bagi pemerintah. 
Analisa kredit yang disetujui pada Maret 1971 memperhitungkan kebutuhan biaya mencapai US$ 20.800.000 dengan pendanaan bank sebesar US$ 7.500.000 sedangkan sisanya ditanggung pemerintah. Dalam proyek ini, PNP II diproyeksikan membangun perkebunan kelapa sawit baru seluas 7.500 Ha (Realisasi 9.671 Ha, mulai Tahun Tanam 1972).

Proyek diresmikan pada hari Senin tanggal 2 September 1974 dengan nama “Kebun Sawit Hulu” oleh Dirjen Perkebunan A. Muluk Lubis. Selama Kebun Sawit Hulu belum mempunyai pabrik, produksinya diolah di PKS Sawit Seberang.

Epilog.

Bagi kebanyakan orang, Sawit Seberang mungkin cuma dipandang sebagai entitas agribisnis. Tetapi ; kalau kita mendalami panjangnya rentang waktu yang telah dilaluinya, membuat kita merenung sejenak akan eksistensinya.

Difase akhir 1960an sampai 1980an ; tanpa deklarasi maupun upaya untuk menarik perhatian khalayak (yang sekarang akrab disebut pencitraan), Sawit Seberang dan PT Perkebunan II sebagai government enterprise entity menyelesaikan tantangan dari Asian Development Bank Cq World Bank. 

Tantangan berupa program didasarkan kepada penjabaran program jangka panjang berkelanjutan sebagai produk hukum MPRS  dalam bentuk GBHN yang menjadi konsentrasi Kabinet Pembangunan I (1968-1973) ; sebagai interpretasi program peningkatkan taraf hidup rakyat melalui pembangunan terutama di bidang pertanian,  yang menjadi dasar pembangunan tahap selanjutnya.

Departemen Pertanian sebagai departemen teknis, merumuskan hal tersebut dalam tiga tahapan sebagai berikut ; Tahap I (1969 - 1972) yaitu,  memberikan bantuan kredit bank dunia kepada 7 PNP/PTP ; Tahap II (1973 - 1977)   yaitu, merintis prototype proyek Pola UPP dan Pola PIR ; dan Tahap III (mulai 1977) yaitu, mengembangkan perkebunan dengan pola PIR.

PN Perkebunan II sebagai korporasi menjadi implementer dari perumusan ini dalam obyek ; Proyek Revitalisasi Kebun dan PKS Sawit Seberang pada Tahapan I, Proyek Tritura pada Tahapan II dan Proyek PIR Besitang pada tahapan III. 

Sehingga tidaklah berlebihan bila disimpulkan bahwasanya Sawit Seberang menjadi ruang pembuktian kemampuan BUMN Planters menghadapi tantangan melalui eksperimen dan uji coba rencana besar program jangka panjang berkelanjutan.

---------------------------------------------------



Thursday, September 25, 2025

SEI GARO PIR NES II ADB

INTRO.

Sei Garo sebagai sebuah entitas dan produk ekonomi diselimuti nuansa konsep pembangunan pemerintah saat itu ; yaitu, akselerasi pembangunan dengan tujuan terjaminnya kemakmuran ekonomi masyarakat melalui koperasi sebagai alat.

Kesan tersebut dapat dirasakan dengan mengamati visi Kabinet Pembangunan I (1968-1973) dimana terlihat program utama kabinet adalah peningkatkan taraf hidup rakyat melalui pembangunan terutama di bidang pertanian,  sebagai dasar pembangunan tahap selanjutnya ; sebagai bentuk penjabaran program jangka panjang berkelanjutan produk hukum MPRS  dalam bentuk GBHN. 

SEJARAH PROGRAM PERKEBUNAN RAKYAT.

Konsep pembangunan perkebunan dengan tujuan penyertaan rakyat untuk memperoleh kemakmuran ; sebenarnya sudah dimulai dari masa awal kemerdekaan. Konsep PIR adalah produk kebijakan yang menjadi bagian sejarah panjang dunia perkebunan dan milestone pembentukan pola dasar pembangunan ekonomi pertanian nasional. Pemikiran tersebut timbul dengan dasar fakta sejarah bahwasanya pertanian dan perkebunan  yang dikelola secara kapitalis terbukti berhasil dan menjadi backbone perekonomian pemerintahan Hindia Belanda.

PERKEBUNAN INTI RAKYAT (PIR).

Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan pemerintahan saat itu, konsep pembangunan perkebunan yang menyertakan rakyat sebagai subjek diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan ; dikenal dengan nama NES bantuan Bank Dunia, selanjutnya seri Asian Developmen Bank (ADB/Bank Pembangunan Asia), seri Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW/Bank Pembangunan Jerman).

Konsep pelaksanaan PIR melibatkan perusahaan besar sebagai inti untuk membina perkebunan rakyat sebagai plasma. Awalnya pemerintah menilai perkebunan swasta belum mampu sehingga pilihan jatuh pada BUMN perkebunan untuk mengembangkan pola PIR dengan harapan terlaksana sesuai dengan standar teknis yang berlaku.

Untuk hal tersebut terhadap perusahaan yang dicalonkan sebagai bapak angkat dilakukan proses penguatan, yang dapat dibagi dalam tiga tahapan sebagai berikut : Tahap Pertama (1969 - 1972) yaitu,  memberikan bantuan kredit bank dunia kepada 7 PNP/PTP ; Tahap Kedua (1973 - 1977)   yaitu, merintis prototype proyek Pola UPP dan Pola PIR ; dan Tahap Ketiga (mulai 1977) yaitu, mengembangkan perkebunan dengan pola PIR.

PIR NES II ADB SEI GARO.

Proyek ini dirumuskan pada tahun 1985 sebagai proyek perkebunan inti dan kelapa sawit rakyat (PKR), berdasarkan hasil studi kelayakan yang dibuat tim interdep dikoordinir Departeman Pertanian, dengan tiga elemen pokok yaitu Pengembangan Petani Kecil, Pengembangan Perkebunan Inti dan Layanan Dukungan.

Untuk Asian Development Bank sebagai pendana ; Loan ADB No.687-lNO dengan nama Proyek untuk Perkebunan Kelapa Sawit dan Petani Kecil sebesar 857 Juta USD di Sei Garo,  Kabupaten Kampar dan Sei Galuh, Kabupaten Siak Hulu di Provinsi Riau yang disetujui pada tanggal 28 Agustus 1984 ; berbeda dengan skema terdahulu, ADB tidak lagi mendanai secara keseluruhan kebutuhan proyek tetapi sebagiannya ditanggung oleh pemerintah RI berkaitan dengan produksi dalam negeri sebagai komponen domestik.

Studi kelayakan ini menetapkan tujuan proyek adalah untuk membantu pemerintah meningkatkan produksi minyak kelapa sawit bersamaan dengan pembangunan pedesaan yang seimbang dan pemanfaatan penuh sumber daya lahan.

Dalam pelaksanaanya proyek ini berkonsentrasi kepada 4 hal;(1) Perekrutan transmigran dan petani miskin yang tinggal di wilayah Proyek sebagai petani kecil;(2) Pendirian pemukiman baru bagi petani kecil, dengan infrastruktur fisik berikut infrastruktur sosialnya;(3) Pengembangan lahan hutan terdegradasi menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat dan perkebunan inti; dan (4) Pengolahan kelapa sawit dari perkebunan yang dapat dikembangkan.

PT. Perkebunan V (Persero) Sei Karang, mendapat penugasan Pemerintah melalui SK Mentan No 734/Mentan/IX/1983 tanggal 26 September 1983 dan SK Bersama Menteri Pertanian No. KB.320/734/Mentan/IX/1983 tanggal 26 September 1983 tentang penunjukan/pendirian kebun/penetapan proyek Perkebunan Inti Rakyat di Sei Garo.

Implementasi dari penugasan tersebut dilaksanakan dengan dasar SK Gubernur Riau No. KPTS.185/IV/1984 tanggal 12 April 1984 tentang pencadangan lahan seluas 21.490 Ha dan persetujuan Menteri Kehutanan sesuai surat No. 10/VII-4/1987 tanggal 12 Januari 1987. Dari pencadangan tersebut yang bisa terealisasikan adalah seluas 17.035 Ha dan sisanya seluas 4.445 Ha dikembalikan ke Pemerintah Daerah Tingkat I Riau pada tahun 1992.

Dasar pemilihan terhadap PT. Perkebunan V (Persero) Sei Karang untuk melaksanakan Proyek tersebut adalah dijustifikasi keterbatasan kemampuan finansial dan teknis dari perkebunan swasta saat itu, justifikasi tersebut ditambah lagi dengan pengalaman PTP V yang luas dibidang perkebunan, pengolahan, dan pemasaran komoditas perkebunan kelapa sawit. 

Proyek Sei Garo berlokasi di Kabupaten Kampar di Provinsi Riau yang dapat diakses melalui jalan darat dengan jarak sekitar 90 Km dari Pekanbaru. Pengiriman produk minyak sawit dari lokasi proyek dilakukan melalui pelabuhan Dumai yang berjarak 150 Km.

Perencanaan proyek meliputi pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 7.000 Ha untuk 3.500 keluarga petani kecil, penyediaan lahan terbuka seluas 1.750 Ha untuk petak rumah dan kebun, penyediaan lahan yang belum dibuka seluas 1.750 Ha untuk pengembangan selanjutnya oleh petani kecil untuk menanam tanaman pangan, 3.500 rumah serta infrastruktur fisik dan sosial pendukung.



Proyek ini telah menempatkan 2.599 keluarga (87 persen dari target penilaian), yang bermakna secara signifikan mendukung program transmigrasi Pemerintah, meskipun perekrutan petani berjalan lambat pada awal pelaksanaan berjalan lambat karena kecilnya anggaran Kementerian Transmigrasi.


Para petani ditempatkan di 7 desa di Sei Garo, dengan ukuran desa bervariasi dari 209 hingga 620 keluarga. Proyek ini menyediakan perumahan serta infrastruktur fisik dan sosial seperti jalan (230 km di Sei Garo), sekolah, sumur dangkal, klinik kesehatan, dan masjid. Infrastruktur fisik dan sosial yang disediakan secara memadai. Jalan utama di perkebunan dan desa petani kecil dirawat dengan baik oleh koperasi desa (KUD).

Pada saat realisasi dari target 7.000 Ha dapat direalisasikan seluas 5.974 Ha ; kekurangan seluas 1.026 Ha terjadi sebagai akibat timbulnya polemik berkaitan penggunaan lahan antara PT Perkebunan V Sei Karang sebagai pelaksana proyek yang didasari SK Gubernur Riau No. KPTS.185/IV/1984 tanggal 12 April 1984 tentang pencadangan lahan seluas 21.490 Ha dan persetujuan Menteri Kehutanan sesuai surat No. 10/VII-4/1987 tanggal 12 Januari 1987 dengan PT Caltex Pacific Indonesia yang berpegang kepada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi yang mengatur tentang Hak Pemegang Konsesi Pertambangan. Polemik ini berjalan berlarut larut dan memakan waktu panjang berdampak terganggunya progress proyek. 

Mengacu kepada kondisi faktual dilapangan, secara kasat mata dapat dilihat bahwasanya daerah yang diklaim PT CPI bagian konsesinya adalah dipenuhi dengan pompa dan jalur lintas pipa. Kondisi tersebut sesuai seperti dimaksud dalam peraturan pertambangan khususnya berkaitan dengan lalu lintas pemipaan yang lazim dan dikenal didunia pertambangan dengan nama right of way.




Polemik tersebut sangatlah mengganggu, dapat dilihat dari rekaman data progress proyek. Tahun 1986 saat awal pembangunan fisik dilaksanakan, dimana segala pekerjaan berjalan dengan lancer capaian progress mencapai 7.986 Ha dari target 10.000 Ha atau 80 % dari target. Proyek ditutup dengan realisasi tanaman Kebun Inti seluas 3.106 Ha dari target 2.000 Ha  sedangkan areal Kebun Plasma dapat direalisasi seluas 5.974 Ha dari target 7.000 Ha. Selisih 1.026 Ha adalah areal Kebun Plasma terkena klaim PT CPI yang dipertukarkan dengan ke areal Kebun Inti untuk mengantisipasi kemungkinan kerugian bagi petani peserta. 

Lebih miris lagi berkaitan dengan pembangunan PKS sebagai fasilitas pengolahan, progress yang sudah mencapai pematangan lahan dan fondasi terpaksa dihentikan dan dimulai lagi dari awal di lokasi baru.

PKS Sei Garo selesai dibangun pada tanggal 21 Agustus 1994, dan mulai operasi komersial pada 17 Oktober 1994, 28 bulan terlambat dari rencana awal, sementara produksi lapangan seluas 7.986 Ha telah mulai berproduksi tahun 1990. Kondisi tersebut menyebabkan hasil produksi diolah di PKS PTP V Sei Galuh yang berjarak 40 Km dan mengakibatkan extra cost biaya pengangkutan. Biaya ini bukan cuma merugikan Kebun Inti, efek terbesarnya justru dirasakan petani karena biaya tersebut tersebut akan mengurangi pendapatan petani peserta.

Situasi penuh ketidak pastian baru berakhir tahun 1997 dengan keluarnya keputusan bersama antara Menteri Pertambangan dan Menteri Pertanian dimana untuk areal jalur merah diberikan izin eksploitasi untuk jangka waktu satu siklus tanaman kelapa sawit (25 tahun) dengan menjadikan Keputusan Menteri  Pertambangan  Dan Energi No 300.K/38 /M. PE/ 1997 Tentang Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak Dan Gas Bumi  Pasal 8 berkaitan Pipa  Penyalur  dan  ruang   untuk   Hak Lintas  Pipa   (Right   Of   Way)  serta   memenuhi ketentuan  Jarak  Minimum sebagai dasar.

Proyek ini telah menempatkan 2.987 keluarga di Sei Garo (85 persen dari target penilaian sebanyak 3.500 keluarga). Sekitar 74 persen dari para pemukim adalah transmigran 87 persen di Sei Garo (sekitar 2.599 keluarga). Dengan demikian, Proyek ini secara signifikan mendukung program transmigrasi Pemerintah, meskipun perekrutan petani kecil pada tahun-tahun awal pelaksanaan Proyek berjalan lambat karena dukungan anggaran yang tidak memadai dari Kementerian Transmigrasi. 

EPILOG.


Perubahan rezim dari era orde lama ke yang lazim disebut era orde baru, secara tidak langsung berdampak dan melahirkan Sei Garo beserta eksistensinya ; dan sejarah berulang saat terjadi perubahan rezim kepada yang disebut dengan era reformasi.  Konflik berkaitan dengan klaim jalur merah dengan poin terpenting hak ekspolitasi perkebunan hanya untuk satu siklus tanaman kelapa sawit akhinya gugur dan an untuk arealnya sudah mempunyai standing legal yang jelas dalam bentuk HGU.


Saat ini seluruh tanaman kelapa sawit di areal kebun inti dan sebagian diareal kebun plasma sudah diremajakan. Kondisi masyarakatnya juga telah sangat jauh berkembang baik secara sosial maupun ekonomi.

Pasar Flamboyan yang merupakan pasar tradisionil dan merupakan fasilitas sosial untuk pemukiman transmigran peserta di Desa Tanjung Sawit, saat ini telah berkembang menjadi kota kecil. Perkembangan kawasan mampu menarik perhatian pelaku bisnis seperti bank (lebih dari 5 KCP), dealer mobil resmi atpm, termasuk berbagai bisnis terutama barang konsumsi lainnya di Flamboyan. Hal tersebut dapat memberi gambaran dinamika dan perputaran uang dikawasan Sei Garo sangat menarik bagi para pelaku bisnis.

Suatu hal yang sangat menggembirakan dan menerbitkan harapan lebih cerah kemasa hadapan …

--------------------------------------------------------------------

Monday, September 15, 2025

PERKEBUNAN DI RIAU MASA PRA KEMERDEKAAN

Banyak orang beranggapan bahwa perkebunan modern di Riau berawal ditahun 1980an, suatu hal yang dapat diyakini ketidak benarannya ; karena sejarah perkebunan modern di Riau adalah sama panjangnya dengan sejarah perkebunan di daerah lain di Indonesia.

BENGKALIS 
Intro.

Hindia Belanda sebagai negara jajahan yang menjadi bagian sistem pemerintahan Eropa menjadikannya secara alami dipengaruhi dan selalu terdampak dinamika dan situasi geopolitik Eropa.

Perang Eropa  I (1803-1815) yang diakhiri dengan kekalahan Napoleon di Waterloo mengakibatkan pergantian penguasaan Nederlands Indië dari Belanda  ke Inggris (selama 5 tahun/1811-1816), karena ; saat itu Belanda adalah dan menjadi daerah taklukan Perancis.

Tetapi, penguasaan Inggris itu berusia singkat ; perjanjian Anglo-Dutch di London tahun 1814, menyebakan Inggris harus mengembalikan daerah yang didudukinya pada 1811 kepada Belanda ditambah pertukaran beberapa daerah seperti Temasek (Singapura saat ini) dan New Amsterdam (New York saat ini) dengan Bengkulu.

Dalam perkembangannya Traktat 1814 ini tidak mampu menurunkan situasi kompetisi perebutan pengaruh maupun kekuatan antara Belanda dan Inggris terutama persoalan laten yaitu berkenaan dengan yang disebut sebagai “tanah merdeka” yaitu daerah yang belum menjadi koloni baik Belanda maupun Inggris, seperti pantai timur Sumatera, Jambi dan Kepulauan Riau.

Runcingnya kompetisi tersebut berkaitan dengan posisi dan keberadaan Kesultanan Johor-Riau yang sangat stategis dan pengaruhnya yang sangat signifikan di area tersebut. Johor-Riau sebagai kelanjutan Kesultanan Melaka yang dikalahkan Portugis pada 1511 berubah menjadi Kesultanan Johor-Riau dan menjadikan kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera dan kepulauan Riau sebagai vasalnya.

Kondisi persaingan ini menghambat pengembangan potensi daerah pantai timur Sumatera bagi Belanda dan pengembangan tanah semenanjung Malaya terutama pembangunan pelabuhan Singapura sebagai pusat perdagangan kawasan menggantikan Penang bagi pihak Inggris.

Perebutan pengaruh dengan potensi peperangan ini baru dapat terselesaikan melalui Traktak London 1824 dengan beberapa kesepakatan ; diantaranya (dan yang paling penting) membagi Kesultanan Johor,  Pahang dan Singapura menjadi teritori Inggris sementara Kesultanan Siak, Indragiri dan Lingga menjadi bagian teritori Belanda.

Belanda bertindak sigap dalam mensikapi hal tersebut dengan mendirikan pemerintahan setingkat Residensi di daerah pantai timur Sumatera. Melalui Staatsblad No. 16 tahun 1819 Belanda mendirikan sistem pemerintahan bernama Residensi Riau dengan wilayah mencakup wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura beserta daerah taklukannya sepanjang pantai timur Sumatera mulai dari Tamiang sampai Indragiri yang dipusatkan di Bengkalis  (sebelum berpindah ke Tanjung Pinang di tahun 1887).

Ekspansi Perkebunan di Riau.

Dari data terdokumentasi ; pantai timur Sumatera pertama kali disurvey melalui Ekspedisi John Anderson untuk kepentingan pemerintah Inggris tahun 1823 dan ekspedisi Eliza Netscher kepentingan pemerintah Belanda pada tahun 1861.

 
Saat itu sebenarnya komoditas dari Sumatera telah menjadi komoditi perdagangan di pasar internasional. Pulau Penang di Selat Malaka menjadi pintu gerbang pasar internasional (Singapura belum berfungsi) berfungsi sebagai bursa komoditas utama di area Asia Tenggara.

Komoditas unggulan hasil bumi yang tersedia seperti vanili, rotan, tembakau, gambir, kemenyan disamping hasil hutan seperti lilin lebah (Beeswax) dan gading gajah menjadi komoditas ekspor utama sedangkan barang barang konsumtif dan bahan sandang menjadi barang impor utama.

Netscher yang berdomisili di Bengkalis menjadi pejabat pemerintahan kolonial tertinggi pantai timur Sumatera, berperan penting dalam “membuka” daerah pantai timur Sumatera.

  

Eliza Netscher (1825-1880) menjabat sebagai residen Riau (1861-1870) yang mencakup wilayah Kesultanan Siak dan taklukannya menggantikan JH Tobias. Sebagai pejabat kolonial, Netscher secara cerdik menempatkan dirinya sebagai penasehat Sultan Assayyidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Sultan Sayid Ismail (1827-1864).  Posisi penasehat tersebut dimanfaatkannya guna mempermudah penguasaan daerah daerah taklukan Kerajaan Siak. Bagi pemerintah Belanda, pekerjaan Netscher dipandang berhasil dan untuk itu dia dianugerahi Virtus Nobilitat (Ksatria Orde Singa Belanda) ditahun 1864 dan mendapat promosi sebagai Gubernur Sumatra Westkust di Padang ditahun 1870. Penaklukan Siak dan daerah taklukannya dalam bentuk Korte Verklaring menjadi dasar dan pembuka jalan berdirinya perusahaan perkebunan di Riau, Deli dan Langkat. 

Di Riau sendiri, tecatat sejak abad ke 13/14 ada banyak kerajaan yang  berdiri sendiri, misalnya kerajaan Kandis karena daerahnya yang subur menyebabkan rakyatnya hidup makmur dengan bertani menanam rempah demikian juga masyarakat kerajaan Singingi  yang giat berkebun lada.

Sultan Syarif Hasyim I pengganti Sultan Ismail, mengerti akan kekuatan Belanda sehingga tidak menunjukkan sifat konfrontatif untuk melawan Belanda. Pemerintahanya diarahkannya untuk perbaikan ekonomi masyarakat dan negara, peningkatan perdagangan dan intensifkasi usaha perkebunan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai dan volume perdagangan di pesisir timur Sumatera.

Perkembangan keadaan dan ramainya migrasi penduduk ke pesisir pantai timur Sumatera mendorong pemerintah Belanda untuk memekarkan Residentie Riouw. Rentang kendali yang sangat penjang dan rentang wilayah yang sangat luas serta maraknya investasi perkebunan di pesisir timur Sumatera menjadi alasan utama pemekaran tersebut. 

Karena berbagai alasan tersebut akhirnya pada 1873 daerah taklukan Siak mulai dari Tamiang sampai Bagan Siapiapi di pesisir timur Sumatra berpisah dari Residentie Riau menjadi Residentie Sumatra Oost Kust dengan pusat pemerintahan di Bengkalis (pindah ke Medan 1887) sedangkan Residentie Riouw yang mencakup Riau daratan dan Riau kepulauan dipusatkan di Tanjung Pinang.

Perkembangan perusahaan perkebunan di Residentie Riouw.

Sampai dengan tahun 1886 Sultan Siak telah menerbitkan Concessie pekebunan yang diratifikasi Residen Riau sebanyak 22 kontrak di daerah Siak (Rijk Van Siak) tidak termasuk kawasan Sumatra Oost Kust (onder afdeling Deli, Serdang, Langkat dan Asahan).

Kontrak yang diterbitkan tersebut tidak seluruhnya tereksekusi ; Onderneming Gading Japura di Onderafdeling Indragiri tercatat sebagai perkebunan yang pertama dibuka di Indragiri tahun 1893, selanjutnya perkebunan tembakau Onderneming Air Molek tahun 1894 diikuti diikuti Onderneming Sungai Lala dan Onderneming Bukit Selasih tahun 1895. Seluruh rangkaian areal perkebunan ini nantinya lebih dikenal dengan sebutan Air Molek Complex. Areal perkebunan ini masih eksis sampai sekarang ; yang setelah beberapa kali berganti kepemilikan akhirnya beralih menjadi asset PT Perkebunan IV Gunung Pamela melalui akuisisi ditahun 1984.


Kegagalan dalam usaha mengeksploitasi usaha perkebunan banyak dijumpai, misalnya Konsursium HVA yang mendapat konsesi Onderneming Decima seluas 10.000 Ha di muara Sei Tapung untuk ditanami tembakau. Awalnya, berdasarkan rekomendasi tim survey dinyatakan lahan yang tersedia sangat cocok untuk pengembangan budidaya tembakau. Mutu dan kualitas tanah tersedia berkualifikasi dibawah Deli tetapi sejajar dengan mutu tanah di Serdang. Saat eksekusi, situasi areal yang jauh memasuki pedalaman sementara infrastruktur yang ada sangat minim serta kondisi awal dimulai pembukaan hutan perawan mengakibatkan pendapatan yang dihasilkan sangat jauh dibanding biaya perolehannya. Faktor budidaya tembakau sebagai tanaman musiman, akhirnya memaksa HVA dengan berat hati mengembalikan konsesi Decima kepada Sultan Siak setelah beroperasi selama 3 tahun. 


Konsesi terbesar yang pernah diberikan Sultan Siak ditahun 1928 kepada Okura Gumi sebuah perusahaan multi nasional asal Jepang seluas 50.000 Ha dengan investasi senilai 2 Juta Yen diarea Pakan Baroe. Areal tersebut terbagi menjadi 4 onderneming, yaitu Roembai, Leboeai I, Leboeai II dan Leboeai III yang rencananya ditanami Karet dan Kelapa Sawit (lihat lampiran). Sayangnya, sangat sedikit informasi yang didapat mengenai Okura, informasi terakhir berdasarkan statistik terbitan Departement Van Landbouw En Visscherij Afd. Ondernemingslandbouw Cultuurondernemingen Op Sumatra Ondernemings Gegevens,p 15,Juni 1948 ; situasi Okura di tahun 1944 adalah eksploitasi budidaya Karet seluas 292 Ha dan Kelapa Sawit seluas 1.048 Ha  dibawah naungan Gouvernement Landbouw Bedrijven (Kantor Perusahaan Perkebunan Pemerintah) sebagai dampak kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Walaupun sedikit, tapi informasi sangat penting untuk menjadi bukti Kelapa Sawit sudah dibudidayakan sejak pra Perang Dunia II.

Ditahun 1915 diseluruh Wijk Riouw (Siak Sri Indrapura, Indragiri, Kuantan, Kepulauan Riau) telah berdiri 12 onderneming dan ditahun 1922 berkembang menjadi 27 onderneming dengan luas 89.851 Bows/62.895 Ha. Concessie luas terdapat di Japura, Kelawat, Sungai Lala, Sungai Parit Gading, Air Molek dan Sungai Sagu .

Untuk masyarakat umum dan petani, Sultan Siak mendorong perkembangan usaha perkebunan dengan menyebarkan bibit Karet dan Kelapa Sawit yang didatangkan sendiri dari Melaka untuk dibagikan secara gratis ke masyarakat.

 

--------------------------------------------