Music

Thursday, September 25, 2025

SEI GARO PIR NES II ADB

INTRO.

Sei Garo sebagai sebuah entitas dan produk ekonomi diselimuti nuansa konsep pembangunan pemerintah saat itu ; yaitu, akselerasi pembangunan dengan tujuan terjaminnya kemakmuran ekonomi masyarakat melalui koperasi sebagai alat.

Kesan tersebut dapat dirasakan dengan mengamati visi Kabinet Pembangunan I (1968-1973) dimana terlihat program utama kabinet adalah peningkatkan taraf hidup rakyat melalui pembangunan terutama di bidang pertanian,  sebagai dasar pembangunan tahap selanjutnya ; sebagai bentuk penjabaran program jangka panjang berkelanjutan produk hukum MPRS  dalam bentuk GBHN. 

SEJARAH PROGRAM PERKEBUNAN RAKYAT.

Konsep pembangunan perkebunan dengan tujuan penyertaan rakyat untuk memperoleh kemakmuran ; sebenarnya sudah dimulai dari masa awal kemerdekaan. Konsep PIR adalah produk kebijakan yang menjadi bagian sejarah panjang dunia perkebunan dan milestone pembentukan pola dasar pembangunan ekonomi pertanian nasional. Pemikiran tersebut timbul dengan dasar fakta sejarah bahwasanya pertanian dan perkebunan  yang dikelola secara kapitalis terbukti berhasil dan menjadi backbone perekonomian pemerintahan Hindia Belanda.

PERKEBUNAN INTI RAKYAT (PIR).

Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan pemerintahan saat itu, konsep pembangunan perkebunan yang menyertakan rakyat sebagai subjek diawali dengan seri proyek PIR Berbantuan ; dikenal dengan nama NES bantuan Bank Dunia, selanjutnya seri Asian Developmen Bank (ADB/Bank Pembangunan Asia), seri Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW/Bank Pembangunan Jerman).

Konsep pelaksanaan PIR melibatkan perusahaan besar sebagai inti untuk membina perkebunan rakyat sebagai plasma. Awalnya pemerintah menilai perkebunan swasta belum mampu sehingga pilihan jatuh pada BUMN perkebunan untuk mengembangkan pola PIR dengan harapan terlaksana sesuai dengan standar teknis yang berlaku.

Untuk hal tersebut terhadap perusahaan yang dicalonkan sebagai bapak angkat dilakukan proses penguatan, yang dapat dibagi dalam tiga tahapan sebagai berikut : Tahap Pertama (1969 - 1972) yaitu,  memberikan bantuan kredit bank dunia kepada 7 PNP/PTP ; Tahap Kedua (1973 - 1977)   yaitu, merintis prototype proyek Pola UPP dan Pola PIR ; dan Tahap Ketiga (mulai 1977) yaitu, mengembangkan perkebunan dengan pola PIR.

PIR NES II ADB SEI GARO.

Proyek ini dirumuskan pada tahun 1985 sebagai proyek perkebunan inti dan kelapa sawit rakyat (PKR), berdasarkan hasil studi kelayakan yang dibuat tim interdep dikoordinir Departeman Pertanian, dengan tiga elemen pokok yaitu Pengembangan Petani Kecil, Pengembangan Perkebunan Inti dan Layanan Dukungan.

Untuk Asian Development Bank sebagai pendana ; Loan ADB No.687-lNO dengan nama Proyek untuk Perkebunan Kelapa Sawit dan Petani Kecil sebesar 857 Juta USD di Sei Garo,  Kabupaten Kampar dan Sei Galuh, Kabupaten Siak Hulu di Provinsi Riau yang disetujui pada tanggal 28 Agustus 1984 ; berbeda dengan skema terdahulu, ADB tidak lagi mendanai secara keseluruhan kebutuhan proyek tetapi sebagiannya ditanggung oleh pemerintah RI berkaitan dengan produksi dalam negeri sebagai komponen domestik.

Studi kelayakan ini menetapkan tujuan proyek adalah untuk membantu pemerintah meningkatkan produksi minyak kelapa sawit bersamaan dengan pembangunan pedesaan yang seimbang dan pemanfaatan penuh sumber daya lahan.

Dalam pelaksanaanya proyek ini berkonsentrasi kepada 4 hal;(1) Perekrutan transmigran dan petani miskin yang tinggal di wilayah Proyek sebagai petani kecil;(2) Pendirian pemukiman baru bagi petani kecil, dengan infrastruktur fisik berikut infrastruktur sosialnya;(3) Pengembangan lahan hutan terdegradasi menjadi perkebunan kelapa sawit rakyat dan perkebunan inti; dan (4) Pengolahan kelapa sawit dari perkebunan yang dapat dikembangkan.

PT. Perkebunan V (Persero) Sei Karang, mendapat penugasan Pemerintah melalui SK Mentan No 734/Mentan/IX/1983 tanggal 26 September 1983 dan SK Bersama Menteri Pertanian No. KB.320/734/Mentan/IX/1983 tanggal 26 September 1983 tentang penunjukan/pendirian kebun/penetapan proyek Perkebunan Inti Rakyat di Sei Garo.

Implementasi dari penugasan tersebut dilaksanakan dengan dasar SK Gubernur Riau No. KPTS.185/IV/1984 tanggal 12 April 1984 tentang pencadangan lahan seluas 21.490 Ha dan persetujuan Menteri Kehutanan sesuai surat No. 10/VII-4/1987 tanggal 12 Januari 1987. Dari pencadangan tersebut yang bisa terealisasikan adalah seluas 17.035 Ha dan sisanya seluas 4.445 Ha dikembalikan ke Pemerintah Daerah Tingkat I Riau pada tahun 1992.

Dasar pemilihan terhadap PT. Perkebunan V (Persero) Sei Karang untuk melaksanakan Proyek tersebut adalah dijustifikasi keterbatasan kemampuan finansial dan teknis dari perkebunan swasta saat itu, justifikasi tersebut ditambah lagi dengan pengalaman PTP V yang luas dibidang perkebunan, pengolahan, dan pemasaran komoditas perkebunan kelapa sawit. 

Proyek Sei Garo berlokasi di Kabupaten Kampar di Provinsi Riau yang dapat diakses melalui jalan darat dengan jarak sekitar 90 Km dari Pekanbaru. Pengiriman produk minyak sawit dari lokasi proyek dilakukan melalui pelabuhan Dumai yang berjarak 150 Km.

Perencanaan proyek meliputi pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 7.000 Ha untuk 3.500 keluarga petani kecil, penyediaan lahan terbuka seluas 1.750 Ha untuk petak rumah dan kebun, penyediaan lahan yang belum dibuka seluas 1.750 Ha untuk pengembangan selanjutnya oleh petani kecil untuk menanam tanaman pangan, 3.500 rumah serta infrastruktur fisik dan sosial pendukung.



Proyek ini telah menempatkan 2.599 keluarga (87 persen dari target penilaian), yang bermakna secara signifikan mendukung program transmigrasi Pemerintah, meskipun perekrutan petani berjalan lambat pada awal pelaksanaan berjalan lambat karena kecilnya anggaran Kementerian Transmigrasi.


Para petani ditempatkan di 7 desa di Sei Garo, dengan ukuran desa bervariasi dari 209 hingga 620 keluarga. Proyek ini menyediakan perumahan serta infrastruktur fisik dan sosial seperti jalan (230 km di Sei Garo), sekolah, sumur dangkal, klinik kesehatan, dan masjid. Infrastruktur fisik dan sosial yang disediakan secara memadai. Jalan utama di perkebunan dan desa petani kecil dirawat dengan baik oleh koperasi desa (KUD).

Pada saat realisasi dari target 7.000 Ha dapat direalisasikan seluas 5.974 Ha ; kekurangan seluas 1.026 Ha terjadi sebagai akibat timbulnya polemik berkaitan penggunaan lahan antara PT Perkebunan V Sei Karang sebagai pelaksana proyek yang didasari SK Gubernur Riau No. KPTS.185/IV/1984 tanggal 12 April 1984 tentang pencadangan lahan seluas 21.490 Ha dan persetujuan Menteri Kehutanan sesuai surat No. 10/VII-4/1987 tanggal 12 Januari 1987 dengan PT Caltex Pacific Indonesia yang berpegang kepada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi yang mengatur tentang Hak Pemegang Konsesi Pertambangan. Polemik ini berjalan berlarut larut dan memakan waktu panjang berdampak terganggunya progress proyek. 

Mengacu kepada kondisi faktual dilapangan, secara kasat mata dapat dilihat bahwasanya daerah yang diklaim PT CPI bagian konsesinya adalah dipenuhi dengan pompa dan jalur lintas pipa. Kondisi tersebut sesuai seperti dimaksud dalam peraturan pertambangan khususnya berkaitan dengan lalu lintas pemipaan yang lazim dan dikenal didunia pertambangan dengan nama right of way.




Polemik tersebut sangatlah mengganggu, dapat dilihat dari rekaman data progress proyek. Tahun 1986 saat awal pembangunan fisik dilaksanakan, dimana segala pekerjaan berjalan dengan lancer capaian progress mencapai 7.986 Ha dari target 10.000 Ha atau 80 % dari target. Proyek ditutup dengan realisasi tanaman Kebun Inti seluas 3.106 Ha dari target 2.000 Ha  sedangkan areal Kebun Plasma dapat direalisasi seluas 5.974 Ha dari target 7.000 Ha. Selisih 1.026 Ha adalah areal Kebun Plasma terkena klaim PT CPI yang dipertukarkan dengan ke areal Kebun Inti untuk mengantisipasi kemungkinan kerugian bagi petani peserta. 

Lebih miris lagi berkaitan dengan pembangunan PKS sebagai fasilitas pengolahan, progress yang sudah mencapai pematangan lahan dan fondasi terpaksa dihentikan dan dimulai lagi dari awal di lokasi baru.

PKS Sei Garo selesai dibangun pada tanggal 21 Agustus 1994, dan mulai operasi komersial pada 17 Oktober 1994, 28 bulan terlambat dari rencana awal, sementara produksi lapangan seluas 7.986 Ha telah mulai berproduksi tahun 1990. Kondisi tersebut menyebabkan hasil produksi diolah di PKS PTP V Sei Galuh yang berjarak 40 Km dan mengakibatkan extra cost biaya pengangkutan. Biaya ini bukan cuma merugikan Kebun Inti, efek terbesarnya justru dirasakan petani karena biaya tersebut tersebut akan mengurangi pendapatan petani peserta.

Situasi penuh ketidak pastian baru berakhir tahun 1997 dengan keluarnya keputusan bersama antara Menteri Pertambangan dan Menteri Pertanian dimana untuk areal jalur merah diberikan izin eksploitasi untuk jangka waktu satu siklus tanaman kelapa sawit (25 tahun) dengan menjadikan Keputusan Menteri  Pertambangan  Dan Energi No 300.K/38 /M. PE/ 1997 Tentang Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak Dan Gas Bumi  Pasal 8 berkaitan Pipa  Penyalur  dan  ruang   untuk   Hak Lintas  Pipa   (Right   Of   Way)  serta   memenuhi ketentuan  Jarak  Minimum sebagai dasar.

Proyek ini telah menempatkan 2.987 keluarga di Sei Garo (85 persen dari target penilaian sebanyak 3.500 keluarga). Sekitar 74 persen dari para pemukim adalah transmigran 87 persen di Sei Garo (sekitar 2.599 keluarga). Dengan demikian, Proyek ini secara signifikan mendukung program transmigrasi Pemerintah, meskipun perekrutan petani kecil pada tahun-tahun awal pelaksanaan Proyek berjalan lambat karena dukungan anggaran yang tidak memadai dari Kementerian Transmigrasi. 

EPILOG.


Perubahan rezim dari era orde lama ke yang lazim disebut era orde baru, secara tidak langsung berdampak dan melahirkan Sei Garo beserta eksistensinya ; dan sejarah berulang saat terjadi perubahan rezim kepada yang disebut dengan era reformasi.  Konflik berkaitan dengan klaim jalur merah dengan poin terpenting hak ekspolitasi perkebunan hanya untuk satu siklus tanaman kelapa sawit akhinya gugur dan an untuk arealnya sudah mempunyai standing legal yang jelas dalam bentuk HGU.


Saat ini seluruh tanaman kelapa sawit di areal kebun inti dan sebagian diareal kebun plasma sudah diremajakan. Kondisi masyarakatnya juga telah sangat jauh berkembang baik secara sosial maupun ekonomi.

Pasar Flamboyan yang merupakan pasar tradisionil dan merupakan fasilitas sosial untuk pemukiman transmigran peserta di Desa Tanjung Sawit, saat ini telah berkembang menjadi kota kecil. Perkembangan kawasan mampu menarik perhatian pelaku bisnis seperti bank (lebih dari 5 KCP), dealer mobil resmi atpm, termasuk berbagai bisnis terutama barang konsumsi lainnya di Flamboyan. Hal tersebut dapat memberi gambaran dinamika dan perputaran uang dikawasan Sei Garo sangat menarik bagi para pelaku bisnis.

Suatu hal yang sangat menggembirakan dan menerbitkan harapan lebih cerah kemasa hadapan …

--------------------------------------------------------------------

Monday, September 15, 2025

PERKEBUNAN DI RIAU MASA PRA KEMERDEKAAN

Banyak orang beranggapan bahwa perkebunan modern di Riau berawal ditahun 1980an, suatu hal yang dapat diyakini ketidak benarannya ; karena sejarah perkebunan modern di Riau adalah sama panjangnya dengan sejarah perkebunan di daerah lain di Indonesia.

BENGKALIS 
Intro.

Hindia Belanda sebagai negara jajahan yang menjadi bagian sistem pemerintahan Eropa menjadikannya secara alami dipengaruhi dan selalu terdampak dinamika dan situasi geopolitik Eropa.

Perang Eropa  I (1803-1815) yang diakhiri dengan kekalahan Napoleon di Waterloo mengakibatkan pergantian penguasaan Nederlands Indië dari Belanda  ke Inggris (selama 5 tahun/1811-1816), karena ; saat itu Belanda adalah dan menjadi daerah taklukan Perancis.

Tetapi, penguasaan Inggris itu berusia singkat ; perjanjian Anglo-Dutch di London tahun 1814, menyebakan Inggris harus mengembalikan daerah yang didudukinya pada 1811 kepada Belanda ditambah pertukaran beberapa daerah seperti Temasek (Singapura saat ini) dan New Amsterdam (New York saat ini) dengan Bengkulu.

Dalam perkembangannya Traktat 1814 ini tidak mampu menurunkan situasi kompetisi perebutan pengaruh maupun kekuatan antara Belanda dan Inggris terutama persoalan laten yaitu berkenaan dengan yang disebut sebagai “tanah merdeka” yaitu daerah yang belum menjadi koloni baik Belanda maupun Inggris, seperti pantai timur Sumatera, Jambi dan Kepulauan Riau.

Runcingnya kompetisi tersebut berkaitan dengan posisi dan keberadaan Kesultanan Johor-Riau yang sangat stategis dan pengaruhnya yang sangat signifikan di area tersebut. Johor-Riau sebagai kelanjutan Kesultanan Melaka yang dikalahkan Portugis pada 1511 berubah menjadi Kesultanan Johor-Riau dan menjadikan kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera dan kepulauan Riau sebagai vasalnya.

Kondisi persaingan ini menghambat pengembangan potensi daerah pantai timur Sumatera bagi Belanda dan pengembangan tanah semenanjung Malaya terutama pembangunan pelabuhan Singapura sebagai pusat perdagangan kawasan menggantikan Penang bagi pihak Inggris.

Perebutan pengaruh dengan potensi peperangan ini baru dapat terselesaikan melalui Traktak London 1824 dengan beberapa kesepakatan ; diantaranya (dan yang paling penting) membagi Kesultanan Johor,  Pahang dan Singapura menjadi teritori Inggris sementara Kesultanan Siak, Indragiri dan Lingga menjadi bagian teritori Belanda.

Belanda bertindak sigap dalam mensikapi hal tersebut dengan mendirikan pemerintahan setingkat Residensi di daerah pantai timur Sumatera. Melalui Staatsblad No. 16 tahun 1819 Belanda mendirikan sistem pemerintahan bernama Residensi Riau dengan wilayah mencakup wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura beserta daerah taklukannya sepanjang pantai timur Sumatera mulai dari Tamiang sampai Indragiri yang dipusatkan di Bengkalis  (sebelum berpindah ke Tanjung Pinang di tahun 1887).

Ekspansi Perkebunan di Riau.

Dari data terdokumentasi ; pantai timur Sumatera pertama kali disurvey melalui Ekspedisi John Anderson untuk kepentingan pemerintah Inggris tahun 1823 dan ekspedisi Eliza Netscher kepentingan pemerintah Belanda pada tahun 1861.

 
Saat itu sebenarnya komoditas dari Sumatera telah menjadi komoditi perdagangan di pasar internasional. Pulau Penang di Selat Malaka menjadi pintu gerbang pasar internasional (Singapura belum berfungsi) berfungsi sebagai bursa komoditas utama di area Asia Tenggara.

Komoditas unggulan hasil bumi yang tersedia seperti vanili, rotan, tembakau, gambir, kemenyan disamping hasil hutan seperti lilin lebah (Beeswax) dan gading gajah menjadi komoditas ekspor utama sedangkan barang barang konsumtif dan bahan sandang menjadi barang impor utama.

Netscher yang berdomisili di Bengkalis menjadi pejabat pemerintahan kolonial tertinggi pantai timur Sumatera, berperan penting dalam “membuka” daerah pantai timur Sumatera.

  

Eliza Netscher (1825-1880) menjabat sebagai residen Riau (1861-1870) yang mencakup wilayah Kesultanan Siak dan taklukannya menggantikan JH Tobias. Sebagai pejabat kolonial, Netscher secara cerdik menempatkan dirinya sebagai penasehat Sultan Assayyidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Sultan Sayid Ismail (1827-1864).  Posisi penasehat tersebut dimanfaatkannya guna mempermudah penguasaan daerah daerah taklukan Kerajaan Siak. Bagi pemerintah Belanda, pekerjaan Netscher dipandang berhasil dan untuk itu dia dianugerahi Virtus Nobilitat (Ksatria Orde Singa Belanda) ditahun 1864 dan mendapat promosi sebagai Gubernur Sumatra Westkust di Padang ditahun 1870. Penaklukan Siak dan daerah taklukannya dalam bentuk Korte Verklaring menjadi dasar dan pembuka jalan berdirinya perusahaan perkebunan di Riau, Deli dan Langkat. 

Di Riau sendiri, tecatat sejak abad ke 13/14 ada banyak kerajaan yang  berdiri sendiri, misalnya kerajaan Kandis karena daerahnya yang subur menyebabkan rakyatnya hidup makmur dengan bertani menanam rempah demikian juga masyarakat kerajaan Singingi  yang giat berkebun lada.

Sultan Syarif Hasyim I pengganti Sultan Ismail, mengerti akan kekuatan Belanda sehingga tidak menunjukkan sifat konfrontatif untuk melawan Belanda. Pemerintahanya diarahkannya untuk perbaikan ekonomi masyarakat dan negara, peningkatan perdagangan dan intensifkasi usaha perkebunan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai dan volume perdagangan di pesisir timur Sumatera.

Perkembangan keadaan dan ramainya migrasi penduduk ke pesisir pantai timur Sumatera mendorong pemerintah Belanda untuk memekarkan Residentie Riouw. Rentang kendali yang sangat penjang dan rentang wilayah yang sangat luas serta maraknya investasi perkebunan di pesisir timur Sumatera menjadi alasan utama pemekaran tersebut. 

Karena berbagai alasan tersebut akhirnya pada 1873 daerah taklukan Siak mulai dari Tamiang sampai Bagan Siapiapi di pesisir timur Sumatra berpisah dari Residentie Riau menjadi Residentie Sumatra Oost Kust dengan pusat pemerintahan di Bengkalis (pindah ke Medan 1887) sedangkan Residentie Riouw yang mencakup Riau daratan dan Riau kepulauan dipusatkan di Tanjung Pinang.

Perkembangan perusahaan perkebunan di Residentie Riouw.

Sampai dengan tahun 1886 Sultan Siak telah menerbitkan Concessie pekebunan yang diratifikasi Residen Riau sebanyak 22 kontrak di daerah Siak (Rijk Van Siak) tidak termasuk kawasan Sumatra Oost Kust (onder afdeling Deli, Serdang, Langkat dan Asahan).

Kontrak yang diterbitkan tersebut tidak seluruhnya tereksekusi ; Onderneming Gading Japura di Onderafdeling Indragiri tercatat sebagai perkebunan yang pertama dibuka di Indragiri tahun 1893, selanjutnya perkebunan tembakau Onderneming Air Molek tahun 1894 diikuti diikuti Onderneming Sungai Lala dan Onderneming Bukit Selasih tahun 1895. Seluruh rangkaian areal perkebunan ini nantinya lebih dikenal dengan sebutan Air Molek Complex. Areal perkebunan ini masih eksis sampai sekarang ; yang setelah beberapa kali berganti kepemilikan akhirnya beralih menjadi asset PT Perkebunan IV Gunung Pamela melalui akuisisi ditahun 1984.


Kegagalan dalam usaha mengeksploitasi usaha perkebunan banyak dijumpai, misalnya Konsursium HVA yang mendapat konsesi Onderneming Decima seluas 10.000 Ha di muara Sei Tapung untuk ditanami tembakau. Awalnya, berdasarkan rekomendasi tim survey dinyatakan lahan yang tersedia sangat cocok untuk pengembangan budidaya tembakau. Mutu dan kualitas tanah tersedia berkualifikasi dibawah Deli tetapi sejajar dengan mutu tanah di Serdang. Saat eksekusi, situasi areal yang jauh memasuki pedalaman sementara infrastruktur yang ada sangat minim serta kondisi awal dimulai pembukaan hutan perawan mengakibatkan pendapatan yang dihasilkan sangat jauh dibanding biaya perolehannya. Faktor budidaya tembakau sebagai tanaman musiman, akhirnya memaksa HVA dengan berat hati mengembalikan konsesi Decima kepada Sultan Siak setelah beroperasi selama 3 tahun. 


Konsesi terbesar yang pernah diberikan Sultan Siak ditahun 1928 kepada Okura Gumi sebuah perusahaan multi nasional asal Jepang seluas 50.000 Ha dengan investasi senilai 2 Juta Yen diarea Pakan Baroe. Areal tersebut terbagi menjadi 4 onderneming, yaitu Roembai, Leboeai I, Leboeai II dan Leboeai III yang rencananya ditanami Karet dan Kelapa Sawit (lihat lampiran). Sayangnya, sangat sedikit informasi yang didapat mengenai Okura, informasi terakhir berdasarkan statistik terbitan Departement Van Landbouw En Visscherij Afd. Ondernemingslandbouw Cultuurondernemingen Op Sumatra Ondernemings Gegevens,p 15,Juni 1948 ; situasi Okura di tahun 1944 adalah eksploitasi budidaya Karet seluas 292 Ha dan Kelapa Sawit seluas 1.048 Ha  dibawah naungan Gouvernement Landbouw Bedrijven (Kantor Perusahaan Perkebunan Pemerintah) sebagai dampak kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Walaupun sedikit, tapi informasi sangat penting untuk menjadi bukti Kelapa Sawit sudah dibudidayakan sejak pra Perang Dunia II.

Ditahun 1915 diseluruh Wijk Riouw (Siak Sri Indrapura, Indragiri, Kuantan, Kepulauan Riau) telah berdiri 12 onderneming dan ditahun 1922 berkembang menjadi 27 onderneming dengan luas 89.851 Bows/62.895 Ha. Concessie luas terdapat di Japura, Kelawat, Sungai Lala, Sungai Parit Gading, Air Molek dan Sungai Sagu .

Untuk masyarakat umum dan petani, Sultan Siak mendorong perkembangan usaha perkebunan dengan menyebarkan bibit Karet dan Kelapa Sawit yang didatangkan sendiri dari Melaka untuk dibagikan secara gratis ke masyarakat.

 

--------------------------------------------

 

Friday, September 5, 2025

DELI MAATSCHAPPIJ JUBILEUM 75 Perayaan "Hari Besar 5 Mei" HUT 75 Tahun Deli Maatschappij 1938

Kedatangan Jacobus Nienhuys didaerah yang selanjutnya dikenal dan disebut sebagai Pantai Timur Sumatera (Sumatra Oostkust) awalnya bertujuan untuk melakukan perdagangan hasil bumi, adalah suatu peristiwa yang tanpa diduga apalagi direncanakan menjadi perjalanan yang bersejarah.

Mengutip pepatah melayu “sekali air bah , sekali tepian berubah" ; kedatangan Nienhuys di Kuala Deli tanggal 7 Juli 1863 tersebut membawa perubahan secara revolusioner kawasan, bukan hanya berkaitan dengan bisnis tetapi juga dibidang ekonomi dan budaya bahkan sistem politik serta sistem pertahanan keamanan.

Berawal dari tujuan untuk melakukan ekspansi bidang agribisnis ; Nienhuys sebagai agen dari Firma Van Den Arend memimpin suatu konsursium pengusaha tembakau untuk melakukan ekspedisi ke pantai timur Sumatera. Suatu ekspedisi sebagai tindak lanjut atas presentasi Said Abdullah Ibnu Umar Bilsagih, seseorang yang mengaku sangat berpengaruh di Kesultanan Deli.

Didepan para pengusaha perkebunan di Surabaya, Bilsagih mempresentasikan prospek tanaman tembakau yang sudah dibudidayakan masyarakat secara luas, ketersediaan tanah yang sangat subur dan kesempatan mendapatkan hak monopoli untuk hasil bumi dari Sultan Deli ; suatu hal yang nantinya akan diketahui amat jauh berbeda dari fakta saat ditinjau secara faktual. 

Di Deli Nienhuys bertekad bertahan untuk tetap tinggal, saat para anggota tim konsorsium memilih kembali kes Surabaya ketika mendapati kenyataan yang jauh berbeda dengan presentasi Bilsagih.

Bagi Nienhhuys sendiri, hal tersebut bukanlah berarti suatu hal yang mudah. Berbagai macam kegagalan baik teknis maupun non teknis memberikan tekanan bagi Nienhuys yang berpuncak kepada pengunduran dirinya dari Firma Van Den Arend karena konflik internal sudah tidak dapat dikompromikan. Kinerjanya selama 4 tahun di Deli tidak dapat memuaskan perusahaan terutama dari sisi financial.


Secara work progress keberadaan Nienhuys sebagai Administrateur Firma Van Den Arend di Deli (1863-1867),  yang diawali dengan eksploitasi lahan kontrak 100 Bahu dari Sultan Deli telah berkembang menjadi perkebunan tembakau seluas 5.000 hektar di Kebun Sunggal, Arendsburg, Sadowa, Königgratz ; 30.000 pohon pala, dan 16.000 pohon kelapa.

Setelah mundur dari Firma Van Den Arend, tahun 1867 Nienhuys kembali ke Belanda dengan  membawa obsesi bisnis model perkebunan tembakau di Deli sebagai proposal ; bermodal utama product experience sebagai intangible asset penarik minat calon investor.

Seorang pedagang tembakau asal Amsterdam bernama G.C. Clemen yang sangat memahami perilaku dan kebutuhan pasar tembakau di Belanda menjadi linking Nienhuys dan mengenalkannya kepada PW Janssen seorang pialang terkemuka di bursa tembakau Amsterdam. Atas jaminan Clemen pula, PW Janssen memutuskan untuk menyediakan sejumlah NLG 10.000 yang diperlukan Nienhuys untuk kelanjutan bisnis perkebunannya.

Keterlibatan Janssen ini menarik minat Nederlandsche Handel Maatschappij perusahaan terbesar di Belanda bahkan dunia saat itu ; dan menyetujui pembentukan Deli Maatschappij sebagai sebuah perseroan perkebunan pada 1869 dengan NHM sebagai support system. Suatu persepakatan bisnis normal biasa yang menjadi legenda sejarah.

Dasawarsa pertama kedatangan Nienhuys, perkebunan tembakau yang berawal pada kontrak tanah 100 Bahu dari Sultan Deli telah berkembang menjadi berbagai kontrak perkebunan dikawasan Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang dan selanjutnya ke area Kesultanan Langkat.

Perkembangan Deli Maatschappij yang dipimpin langsung oleh Nienhuys sangatlah progressif. Melalui metoda akuisisi maupun eksploitasi areal baru, dalam jangka waktu 5 tahun  Deli Maatschappij  telah menjadi leader company di Pantai Timur Sumatera dan memiliki asset sebesar 30 % dari total areal yang dieksplotasi (lihat peta ilustrasi).

Bagi para Deli Planters terutama dimasa sebelum nasionalisasi,  Nienhuys adalah person yang sangat dihormati. Di Residensi Sumatra Oostkust, ketibaan Nienhuys pertama kali di Labuhan Deli pada 5 Mei 1863 dirayakan sebagai “Hari Besar 5 Mei” setiap tahunnya.  Perayaan tersebut bukan cuma untuk mengingat saat kedatangan Nienhuys tetapi juga untuk meneladani keteguhan, perjuangan serta influence yang dibuatnya. Nienhuys secara pribadi dan atau bersama Deli Maatschappij dalam waktu tidak sampai 20 tahun mampu mengubah dataran Deli dari daerah  rawa rawa menjadi menjadi kawasan pertanian modern yang bagi pihak luar daerah disebut “Cultuurland” (Belanda : Negeri Perkebunan). 

Tidak juga berlebihan apabila jejakan kaki pertamanya itu menjadi dasar pembentukan Residentie (1875-1915) selanjutnya menjadi Provincie Sumatra Oostkust (1915-1942) dengan memindahkan pusat administrasinya dari Bengkalis ke Labuhan Deli, kota utama tempat kediaman Sultan dan pusat pemerintahan saat itu.  

Akselerasi populasi maupun aktifitas yang sangat cepat sementara daya tampungnya sangat terbatas (terutama kegagalan untuk mendapatkan sumber air minum/tawar) menjadi alasan untuk membangun sebuah kota yang representatif sebagai pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi regional.

Dari berbagai alternatif yang disajikan tim survey bentukan Deli Maatschappij, diputuskanlah area Medan Puteri pada Onderneming Medan Estate yang termasuk Concessie Mabar-Deli Toea untuk dibangun menjadi kota baru modern secara lanskap dan kelengkapan sarana prasarana diera 1880an.

Sebuah kota baru yang diberi nama Medan sesuai dengan nama pertapakan Kampung Medan Putri berada di pertemuan dua sungai besar, Sungai Deli dan Sungai Babura ; sungai yang menjadi jalur transportasi perdagangan dan berkembang menjadi pelabuhan transit penting dimasa Kesultanan Deli. Kota baru yang dibangun secara modern tersebut menjadi pusat pemerintahan, pusat bisnis serta pusat kegiatan pantai timur Sumatera dan disebut serta dikenal sebagai Parijs Van Sumatra karena keindahannya.

Membandingkan foto dimasa awal kedatangan Nienhuys pada 1863 dengan foto saat perayaan ke 75 pada tahun 1938 menimbulkan kekaguman atas peran Nienhuys. Besarnya pengaruh itu sangat terasa apabila kita menyadari betapa besarnya effort untuk dapat mengubah sebidang tanah seluas 40 Bows yang ditanami tembakau di Titi Papan tahun 1863 menjadi lebih 1.000.000 Ha pada 1938 yang ditanam beragam tanaman perkebunan ; dalam kondisi hampir seluruhnya dibuka secara manual (pembukaan diatas tahun 1910 baru memasukkan unsur mekanis) dan kemampuan rekrutmen tenaga kerja mencapai lebih sejuta tenaga kerja pada 1930 menggambarkan ketrampilan managerial luar biasa.

Selain daripada itu, suatu hal luarbiasa adalah efeknya dibidang legal bisnis dan pemerintahan. Para investor eropa yang sudah terbiasa menggunakan fasilitas perbankan dalam menjalankan bisnisnya membutuhkan regulasi pasti agar segala persayaratan perbankan dapat dilengkapi.

Untuk hal tersebut dapat dilihat bagaimana geliat industri perkebunan direspon secara cepat oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan membentuk pemerintahan daerah di Medan yang merupakan pemindahan ibukota residensi Sumatra Timur dari Bengkalis pada tahun 1873. 

Demikian juga dengan dunia perbankan ; Chartered Bank membuka cabangnya tahun 1880, Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) pada tahun 1884, Nederlandsche Handel Maatschappij membuka kantor sub agent tahun 1888, sementara  Mercantile Bank menunjuk Brown & Co. telah beroperasi di Medan sebagai perwakilan sejak tahun 1889.
Nederlandsche Handel Maatschappij, telah membuka kantor sub agent tahun 1888 Pesaingnya, Chartered Bank, sempat menetap di Medan pada tahun 1880 Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) membuka kantor di Penang pada tahun 1884. Perusahaan perdagangan Brown & Co. Telah beroperasi di Medan sebagai perwakilan Mercantile Bank sejak tahun 1889.

Perayaan “Hari Besar 5 Mei” ke 75 tahun 1938 dirayakan besar besaran di Medan dan di Amsterdam secara serentak.

Di Medan, kawasan Deli berada ; perayaan sebagai bentuk penghormatan kepada pionir pertama Deli Planters dihadiri ribuan orang menggunakan kostum Deli Planters dan dipusatkan di Air Mancur Nienhuys zona Esplanade yang juga merupakan titik 0 Km Kota Medan. 




Perayaan dibuka oleh Ir.Visser, Hoofd Administrateur Deli Maatschappij, yang  menyampaikan pidato. Selesai berpidato Visser meletakkan karangan bunga di Air Mancur Nienhuys diikuti pimpinan dan perwakilan institusi, organisasi dan perusahaan perkebunan yang ada di kawasan pantai timur Sumatra.


Dijalanan dilaksanakan pawai karnaval kendaraan transportasi yang pernah digunakan di Deli, misalnya Kereta Lembu (Gerobak Sapi), Rickshaw Hongkong (Becak), mengelilingi Esplanade sebagai alun-alun utama Kota Medan. Acara diakhiri dengan berkumpul untuk makan siang di Hotel De Boer dengan menu mie dan nasi goreng serta minuman es bir dingin sesuai tradisi Deli Planters untuk 1.000 lebih tetamu. 

Perayaan “Hari Besar 5 Mei” ke 75 tahun 1938 di Amsterdam kota tempat perusahaan berpusat, dilaksanakan secara lebih eksklusif dan mewah.

Perayaan dilaksanakan di Hotel Carlton yang mewah dan megah di Amsterdam. Para undangan, termasuk diantaranya Nyonya Nienhuys-Versteeg, menantu perempuan Nienhuys; Direktur Deli Maatschappij Tuan Herbert Cremer dan istri, Ketua Dewan Direksi Institut Kolonial, mantan Menteri Lidt de Jeude, mantan Gubernur Kempen, dan tentunya para Deli Planters yang berprofesi dibidang perkapalan, perbankan dan kantor dagang, pengacara, orang D.S.M. 

Lagu-lagu Deli Planters yang termasyhur "Geen Enkele Deli Planter Is Ooit Gestorven Van Verdriet Of Woede" atau "Dat Is Deli Planters, Wij Willen Weten", yang penuh kemeriahan menjadi pembangun suasana reuni bagi para undangan yang sudah lama tidak bertemu.


HJ Bool, pensiunan Sekretaris Perusahaan Deli Maatschappij, seorang Deli Planters yang tinggal di Deli selama 50 tahun menyampaikan kesan dan pesan mewakili para undangan. Dalam sambutannya, HJ Bool tidak hanya berupa glorifikasi tetapi juga kesulitan dan drama yang menghiasi 75 tahun keberadaan Deli Maatschappij. Bool menceritakan dan menyampakain bagaimana rasa dan suasana serta situasi yang dialami ketika rasa percaya diri seorang Deli Planters menembus titik terendah.

Saat saat harus berjalan dengan telanjang kaki karena sepatu adalah barang mewah dimasa awal pembangunan Deli Maatschappij, rasa frustasi menghadapi kelambanan birokrasi, kegagalan masa tanam, merelakan pengembalian kontrak ke Sultan karena penutupan kebun yang dianggap gagal, harga jual di bursa yang tak sesuai harapan sungguh, menjadi perihal yang sangat menguras kekuatan moral dan mental seorang Deli Planters. Chauvinisme Deli Planters berbentuk keteguhan hati dan semangat juang tak kenal menyerah akhirnya membawa kesuksesan dan kebanggaan. Deli lebih dulu memiliki fasilitas air minum, membangun fasilitas sanitasi dan melakukan vaksinasi bagi masyarakat, seluruh onderneming yang terhubung dengan jalur kereta api dan fasilitas telepon telagraph menjadi contoh tindakan berhasil yang bahkan juka dibandinkan dengan kondisi perkebunan di Jawa.

Perayaan ini secara personal didedikasikan untuk mengenang Nienhuys, Janssen dan Cremer. Para perintis yang melalui pengaruhnya telah merubah sebidang hutan purba di pantai timur Sumatera menjadi hamparan perkebunan modern sepanjang 459 Kilometer sebagai murni karya hasil inisiatif pihak swasta.

Jacob Nienhuys (1836-1928), Peter Wilhelm Janssen (1821 – 1903) dan Jacob Theodoor Cremer (30 Juni 1847 – 14 Agustus 1923) sebagai pionir menjadi ikon dan model bagi para Deli Planters. Fenomena kesuksesan yang menjadi inspirasi bagi para pemuda di Eropa untuk mengadu untung di Deli.

Bagi para pionir ini, masyarakat Deli mendirikan monumen untuk mengenang jasa dan dedikasi mereka. Monumen Jacob Nienhuys diresmikan tahun 1913 dengan bentuk air mancur didepan Kilometer 0 Kantor Pos Medan, monumen untuk Peter Wilhelm Janssen dengan bentuk bangku di halaman depan rumah sakit Saint Elisabeth  Medan diresmikan tahun 1932 dan untuk Jacob Theodoor Cremer dengan bentuk patung dirinya di halaman Deli Planters Vereeniging (DPV) tahun 1928. Monumen Nienhuys dan monumen Janssen dihancurkan saat memuncaknya sentimen nasionalisasi perusahaan Belanda yang berkaitan dengan isu pembebasan Irian Barat ditahun 1958.

------------------------------------------------