Saturday, January 5, 2013

ENERGI NUKLIR


Di Indonesia ketersediaan energi sudah menjadi suatu issue yang sangat strategis. Pemerintah harus mencari jalan untuk mendapatkan energi murah, sementara sumber daya energi semakin terbatas sedangkan rekayasa untuk energi alternatif belum berjalan sesuai dengan harapan. Sehingga penggunaan nuklir yang sebenarnya sudah sangat lama dikaji harus menjadi alternatif yang utama.

Secara sederhana Nuklir adalah hasil proses pelepasan energi yang terjadi sebagai reaksi dari penggabungan (fusi) atau pembelahan (fisi) inti atom, melalui “pengayaan” atau “enrichment”, sedangkan persoalan biasanya akan mulai muncul pada saat sebuah Negara mempunyai fasilitas yang mampu menjalankan proses pengayaan.

Sebuah Negara yang mempunyai PLTN membutuhkan fasiltas pengayaan Uranium untuk membangkitkan tenaga nuklir pada reactor sebesar 5%.  Akan tetapi jika sebuah negara telah mempunyai instalasi yang dapat memperkaya uranium alami menjadi uranium diperkaya sampai dengan 5%, maka secara teoritis negara tersebut juga mampu dengan teknologi atau instalasi yang sama memperkaya uranium sampai di atas 90% ; dimana Uranium dengan pengayaan di atas 90% ini sudah dapat  dimanfaatkan untuk memproduksi senjata nuklir.

Indonesia menggunakan tehnologi nuklir sudah sejak lama, yaitu dimulai pada tahun 1954 dengan pembentukan panitia "Penyelidikan Radioaktivitet" diketuai Prof. Dr. GA. Siwabessy yang ditunjuk Presiden Soekarno dan bertugas untuk menyelidiki sebaran jatuhan debu radioaktif akibat uji coba senjata nuklir di lautan Pasifik, disamping menyelidiki tenaga atom sebagai energi baru dalam pembangunan nasional. 

Logo Badan Tenaga Nuklir Nasional
Selanjutnya berubah nama  menjadi  Dewan Tenaga Atom (1956), Lembaga Tenaga Atom (1958), Badan Tenaga Atom Nasional (1964) dan saat ini menjadi Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)  ; yang berfungsi sebagai  pelaksana tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir. 

Reaktor nuklir pertama yang dimiliki Indonesia adalah reaktor Triga Mark II di Bandung yang diresmikan pada 20 Februari 1965 oleh presiden  Soekarno ;  saat reaktor berdaya 250 kW  ini mencapai kekritisan sekaligus peresmian penggunaannya sebagai reaktor riset penghasil fluks neutron untuk sarana penelitian dan produksi radioisotop yang diperlukan di bidang pertanian, industri, hidrologi, kesehatan, serta pendidikan.

Reaktor Triga Mark II ini telah mengalami dua kali peningkatan daya, yaitu 1971 menjadi 1.000 kw (1 mw) dan tahun 2000 menjadi 2 .000 kw (2 mw).

Selain daripada reaktor Triga Mark II di Bandung, Indonesia juga memiliki reactor riset di  DI Yogyakarta sebesar 100 kw (dirancangbangun dan dikonstruksi sendiri oleh bangsa Indonesia) mulai beroperasi pada tahun 1979, dan di Serpong berdaya 30 mw yang mulai beroperasi pada tahun 1987.

Sebagai sumber energy, nuklir dapat digunakan untuk kepentingan damai ataupun sebagai alat persenjataan ;

Penggunaan Nuklir Untuk Kepentingan Damai. 

Secara umum penggunaan nuklir untuk kepentingan damai dapat dibagi menjadi dua, yaitu untuk Penelitian, Kedokteran dan Pertanian serta sebagai Bahan Energy pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir.

Penelitian, Kesehatan dan Pertanian. 

Sejak ditemukaannya zat radioaktif di akhir abad 19 oleh para fisikawan maka dimulailah pengembangan teknologi nuklir, dan sejak awal abad ke-20 teknologi nuklir telah digunakan oleh ilmu kedokteran ; tetapi, dengan terjadinya Perang Dunia Kedua, penelitian mengenai manfaat nuklir telah diselewengkan ke arah pembuatan senjata, untuk selanjutnya setelah perang berakhir  para peneliti kembali memusatkan perhatiannya kepada pemanfaatan nuklir untuk tujuan damai.  
BATAN yang berfungsi sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program penelitian, pengembangan, dan rekayasa di Indonesia telah menghasilkan tehnologi berbasis nuklir yang sudah dikonsumsi diantaranya

a. Pertanian dan Pangan (Mis Bibit Padi Unggul Padi Cilosari, Atomita IV tersebar dan ditanam petani a.l. di Sulut, Sulsel, NTB, DIY, Wonosobo, Garut, Bengkulu, Kab. Deli Serdang, Asahan, Sumut), 

b. Kelautan dan Kebumian ( Mis Penggunaan Teknik Isotop Hidrologi yang telah diterapkan dalam eksplorasi panas bumi, Kamojang, Sibayak, Lahendong, bekerjasama dengan Pertamina), 

c. Kesehatan (Mis Penggunaan Renograf-prototipe untuk  Diagnosis fungsi ginjal pada RS. M. Jamil - Padang, RSUD Mataram, RS Polri Kramat Jati Jakarta, dan Yangon General Hospital, Myanmar), 

d. Informatika (Mis Perangkat Lunak untuk Pemantauan Keamanan dan Keselamtan Kawasan PUSPIPTEK),  

e. Energi Nuklir (Mis Penguasaan Teknologi Elemen Bakar Reaktor Riset dan Reaktor Daya bagi reaktor riset RSG-GAS di Serpong), 

f.  Manufuktur ( Mis Penggunaan alat  uji  teknologi keandalan yang berfungsi untuk menguji Kualitas material pengelasan, konstruksi logam, perpipaan, bejana tekan yang telah digunakan di Pertamina, PT. Garuda Indonesia, PT. South East Asia Pipe Industry, PT. Total Indonesia, PT. PLN Persero, PT. Tripolita, PT. Texmaco, PT. Semen Gresik ). 

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. 

PLTN bekerja tidak ubahnya seperti prinsip kerja dari sebuah pembangkit listrik yang memanfaatkan panas sebagai pembangkit uap. Uap air yang bertekanan tinggi digunakan untuk menggerakkan turbin, kemudian turbin menggerakkan generator, dan generator menghasilkan listrik. 

Perbedaan utama antara PLTN dengan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) konvensional adalah terletak pada pemanfaatan bahan bakar yang digunakan untuk menguapkan air. Kebanyakan PLTN saat menggunakan Uranium sebagai bahan bakarnya, sedangkan PLT konvensional untuk menghasilkan panas menggunakan bahan bakar berupa minyak, gas alam, batubara (energi fosil). 

Secara ringkas dan sederhana, rancangan PLTN terdiri dari air mendidih, boiled water reactor bisa mewakili  PLTN pada umumnya, yakni setelah ada reaksi nuklir fisi, secara bertubi-tubi, di dalam reaktor, maka timbul panas atau tenaga lalu dialirkanlah air di dalamnya.Kemudian uap panas masuk ke turbin dan turbin berputar poros turbin dihubungkan dengan generator yang menghasilkan listrik. 

Indonesia sendiri sudah merencanakan pembangunan PLTN sejak tahun 1972 dengan membentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN.
Komisi bertugas untuk melakukan pemilihan lokasi, dan pada 1975 setelah lokasi diteliti BATAN bekerjasama dengan NIRA dari Italia terpilih 14 lokasi potensial yaitu 11 lokasi di pantai utara dan 3 lokasi di pantai selatan Pulau Jawa. 
Selanjutnya  pada Desember 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan agar BATAN melaksanakan studi kelayakan dan bekerjasama dengan NewJec (New Japan Enginereering Consultant Inc) melaksanakan studi tapak dan studi kelayakannya di area perkebunan kakao di Ujung Lemah Abang, Ujung Watu dan Ujung Genggrengan di Kecamatan Bangsri dan Keling  kabupaten Jepara Jawa Tengah sebagai calon lokasi PLTN Muria.

Pemerintah Indonesia diwakili  Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Korea Selatan diwakili Korean Hydro Nuclear Power  Co. LTD, (KHNP)  juga telah menandatangani kontrak untuk pembangunan PLTN Muria.

PLTN Muria semula direncanakan akan dibangun mulai tahun 2011 dengan kapasitas 6000 MW., dengan menggunakan teknologi yang saat ini banyak dipakai di dunia yaitu PWR (Pressurized Water Reactor) yang sementara ini dinilai aman oleh beberapa pihak.

Selain di Muria , Indonesia juga merencanakan pembangunan PLTN di Madura dimana menurut hasil penelitian yang dilakukan sesuai dengan peringkat calon tapak adalah di Sokobanah (Sampang), Ketapang (Sampang) dan di Pasongsongan (Sumenep). 

Pada tanggal 10 Oktober 2001 BATAN bersama KAERI (Korean Atomic Energy Research Institute) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) sebesar 200 juta dollar untuk studi kelayakan (feasibility study) berkaitan dengan rencana pembangunan PLTN Madura tahun 2008 yang diharapkan beroperasi pada tahun 2015.

PLTN yang akan dikembangkan di Madura adalah PLTN SMART (System Modular Advanced Reactor) 2 unit @ 100 MW, menggunakan teknologi desalinasi (proses penyulingan air laut menjadi air tawar) yang akan menghasilkan listrik 200 MW. 

Penggunaan Nuklir  Sebagai Senjata.


Menjelang pecahnya PD II, tepatnya 2 Agustus 1939, Albert Einstein mengirim surat kepada Presiden AS Franklin Delano Roosevelt dan menginformasikan  bahwa Nazi Jerman tengah giat memurnikan Uranium 235 untuk membuat  bom nuklir ; dan menyarankan agar pihak AS untuk mendahului pengembangan bom nuklir sebelum Jerman melakukannya.
 
Franklin D Roosevelt
Presiden AS menerima saran tersebut dan menggelar suatu proyek rahasia bersandi "Manhattan Project" ; berlokasi di  Hanford, Washington, Oak Ridge, Tennese, dengan laboratorium utamanya di Los Alamos, New Mexico seluas 20.000 hektar. 
Banyak pekerja tidak mengetahui apa yang dikerjakan, sedangkan para Insinyur penting mungkin mengerti, namun mereka lebih memilih bekerja tanpa banyak bicara dibawah pengawasan penuh J. Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika nuklir. 

Albert Einstein dan Oppenheimer
Pada tanggal 16 Juli 1945 tepat pada jam 5:29:45 waktu setempat, dengan menyemburkan kilatan putih di lembah gurun Jemez, utara New Mexico ; yang dikenal dengan nama “Trinity”,  bom nuklir pertama yang diberi nama “The Gadget” berhasil menguak tenaga inti dan membuka era baru dalam tenaga atom.
Little Boy(depan) dan Fat Man (belakang)
Setelah percobaan yang berhasil tersebut, bom nuklir kedua adalah “Little Boy” ; berat bom ini sekitar 4,5 ton menggunakan bahan ledak uranium bermassa superkritis Uranium 235 sebesar 50 kg, dijatuhkan di Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 jam 8:15.  Selanjutnya  , bom nuklir ketiga adalah “Fat Man” ;  berat bom ini sekitar 4,6 ton menggunakan bahan ledak Plutonium bermassa superkritis Plutonium 239 sebesar 16 kg, dijatuhkan di Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945.

Pada uraian diatas telah disampaikan secara sederhana proses terjadinya fisi dan fusi, yaitu bahwa inti atom berat (radioaktif) bisa dibelah dengan menembakkan sebuah netron ; karena zarah ini tidak bermuatan sehingga tidak menimbulkan gaya tolak coulomb terhadap inti-inti atom bermuatan positif, proton. Reaksi pembelahan (fisi) sebuah inti akan menghasilkan rata-rata 2,5 netron dan beberapa inti baru. 

Pada bom atom, reaksi pembelahan ini akan terus berantai tidak terkendali karena netron baru tidak dicegah untuk menumbuk inti-inti yang telah dihasilkan.
Yang sangat bahaya, karena dalam setiap pembelahan inti akan terjadi pelepasan energi yang besar. 

Contohnya, pada pembelahan satu inti uranium dilepaskan energi sebesar 208 MeV. Satu MeV setara dengan energi listrik 4,45 x 10-20 kWh. Itu baru untuk satu nuklida (inti atom). Bila menilik ukuran atom, mungkin kita sulit percaya bahwasanya sebuah nuklida yang tersusun oleh proton-proton dan netron ukurannya berada dalam orde 10-15 meter. Untuk membuat bayangan sederhana, baiklah ukuran inti atom kita perbesar seukuran kelereng. Maka, bila kita tempatkan kelereng itu di tengah lapangan sepak bola, itulah gambaran nuklida di dalam atom. Sungguh kecil. Namun demikian, inti atom ternyata mengandung lebih dari 99,9 persen massa atomnya, atau setara dengan 1.800 kali massa sebuah orbitalnya, elektron.

Keberhasilan  Amerika Serikat tersebut segera diikuti oleh  Uni Soviet pemilikan senjata atom (1949) dan senjata termonuklir (1954), Inggris yang pemilikan bom atom (1952) dan bom hidrogen (1957), Perancis pemilikan bom atom (1960) dan bom hidrogen (1968), RRC pemilikan bom atom (1964) dan bom hidrogen tahun (1966). Di luar negara anggota tetap Dewan Keamanan di atas, pemilikan senjata nuklir meluas ke India, pemilikan bom atom plutonium (1974) dan Pakistan (1998) ; selain itu masih ada negara yang diayakini telah mempunyai bom nuklir tetapi belum pernah mempublikasikannya ; yaitu  Israel diperkirakan memiliki sekitar 200 bom nuklir, Korea Utara dan Iran.

Perlombaan kepemilikan bom nuklir tersebut, terutama pada era perang dingin (’50 an – ’70 an) dan terjadinya Krisis Misil Kuba yang dimulai ketika Uni Soviet menempatkan misil-misil nuklir di Kuba dan diarahkan ke Amerika Serikat pada 1962 diyakini sebagai saat terdekat dunia dengan bencana nuklir ; krisis itu dapat dihindari dengan imbalan janji AS untuk menyingkirkan misil-misil nuklir serupa di Turki dan untuk tidak pernah menyerang Kuba lagi. 

Kecemasan akan bencana yang bisa terjadi akibat perang nuklir, menerbitkan kesadaran pada lima negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States / NWS) untuk tidak mentransfer teknologi senjata nuklir maupun hulu ledak nuklir ke negara lain, dan negara-negara non-NWS setuju untuk tidak meneliti atau mengembangkan senjata nuklir melalui Traktat Nonproliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty / NPT) yang mulai diberlakukan tahun 1970 dan telah diratifikasi oleh 190 Negara. 

Selain daripada itu sejumlah negara dalam suatu kawasan menetapkan zona bebas nuklir, seperti di Pasifik Selatan (berdasarkan Persetujuan Rarotonga, 1985), di Amerika Latin (Persetujuan Tlatelolco, 1967), dan di Asia Tenggara (Deklarasi SEANWFZ, Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara/Persetujuan Bangkok, 1995). Sementara di lingkungan elite nuklir sendiri ditegakkan larangan uji nuklir secara komprehensif melalui CTBT (Comprehensive Test Ban Treaty), 1996. 

Mobilitas Senjata Nuklir.

Masa pemakaian senjata nuklir strategis sebagai senjata berbentuk besar untuk  menghancurkan taget besar seperti kota sudah berakhir.
Pada masa ini senjata nuklir strategis telah digantikan dengan senjata nuklir taktis yang berbentuk lebih kecil, tetapi memberikan mobilitas dan akurasi yang tinggi.
Parade ICBM di Lapangan Merah Kremlin
Hal tersebut dapat terjadi karena misil yang berhulu ledak nuklir dapat diangkut oleh kenderaan darat yang dikenal dengan sebutan MIRV (Multiple Independent Re-entry Vehicle) yang secara umum terdiri dari satu kenderaan sebagai penarik dengan rangkaian peluncur berkemampuan melontarkan misil mencapai ketinggian sub-orbit dan orbit serta satu unit misil berhulu ledak nuklir.
Oleh karena taktis dan meningkatnya tehnologi misil nuklir mengakibatkan misil-misil pada masa ini mempunyai  kemampuan destruktif yang jauh lebih tinggi dari “Fat Man” dan “Little Boy”, perbandingannya dapat dilihat di tabel berikut :