Friday, August 23, 2013

"UDAH NGGA ENAK LAGI MA"

  انا لله وانا اليه راجعون

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un ... 
Ketentuan itu akhirnya datang menghampiri mamie pada hari Rabu 14 Agustus 2013 jam 02.30 dinihari. 
Seluruh kesiapan mental yang dipersiapkan untuk menghadapi hari tersebut diuji sampai titik nadirnya.
Alhamdulillah, ba'da dzuhur prosesi fardhu kiffayah selesai dilaksanakan. Berbarengan langkah kaki meninggalkan pemakaman, maka hubungan dengan standar dunia menjadi terputus dan tinggalah shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta doa anak shaleh yang mampu menembusnya.
Insha Allah mamie mendapatkan sebaik baik tempat disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


Uwa Liza, Ompung Menek, Uwa Ati, Ompung Godang dan  dua orang kerabat (berdiri)  Anno 1937
Catatan kecil ini terlalu sederhana kalau mau disebut sebagai refleksi kehidupan dari mamie, yang lahir di Permonangan pada 17 Agustus 1938 dan diberi nama Nur  Intan Siregar. 

Wilayah Permonangan tempat mamie dilahirkan saat ini menjadi bagian dari areal konsesi PTPN IV Kebun Bah Birong Ulu yang berada diseputaran Kota Pematang Siantar. 
Saat kelahiran mamie tersebut, Permonangan menjadi tempat bermukim ompung godang kami H Mulia Siregar dan ompung menek Hj Siti Mariam Pohan saat ompung bekerja sebagai petugas administrasi di Nederlandsch Indisch Land Syndicaat (NILS) suatu perusahaan perkebunan teh zaman kolonial belanda dari grup konglomerasi Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). 

Berpuluh tahun kemudian kenangan itu muncul kembali ; mamie  berjumpa dengan salah seorang tetangganya yaitu H Syamsir Sastrowirono yang menjabat sebagai Direktur Produksi di PNP V Sei Karang tempat papie bertugas tahun 1968 sampai 1973, dan tanpa sengaja berlanjut dikarenakan salah seorang anak beliau Ir. H Tom Subakti bernaung di PTPN V tempat yang sama dengan perusahaan kami bekerja.

Suasana Di Perkebunan Teh PTPN IV Bah Birong Ulu
 
Sepertinya masa masa di Permonangan ini memberikan kenangan yang manis bagi mamie yang lahir sebagai anak ke 4 dari 10 bersaudara. Kami mengingat beberapa kali mamie bersaudara khususnya dengan bujing Hj Purnama Siregar dan bujing Hj Basaria Siregar BA beberapa kali bernostalgia ke kebun teh ini.

Memang terlalu sederhana kalau catatan ini mau disebut refleksi, karena apabila dibandingkan dengan apa yang diperbuat papie Drs. H Sorimuda Pulungan ketika beliau mengenang kepergian ompung menek kami Hj. Nurmala Daulay, maka beliau menumpahkan perasaannya melalui tulisan yang kemudian  diterbitkan sebagai buku untuk kalangan terbatas yang diberi judul “Ombak dan Gunung”  beberapa hari setelah ompung menek meninggal tahun 1996. Kepergian ompung menek mendahului kepergian ompung godang kami H Djafar Pulungan pada tahun 1985.

Catatan kecil ini kami beri judul seperti diatas untuk mengingatkan ungkapan yang sering disampaikan anak mamie tertua Ir H Madja Sortan Mulia Pulungan semasa pra remaja. Pada masa itu Ucok menjadi anak yang paling susah makan (ternyata sampai sekarang lho ma, kata Teh Meike), sehingga setiap paginya mamie akan menanyakan mau dipersiapkan lauk  yang dapat membangkitkan selera abang kami tersebut. Tapi ternyata sering kejadian setelah mamie  mempersiapkannya, maka abang kami tersebut tetap susah makan ; dan ketika mamie menanyakan kenapa, maka akan dijawab “ga enaaaak ma” disertai dengan wajah memelas.

Ketika catatan ini kami mulai, mamie baru berpulang tiga hari lamanya ; yang bersamaan dengan satu hari sebelum perayaan ulang tahun mamie ke 79 seandainya mamie masih bersama kami pada 17 Agustus 2013 ini ; rasa dan suasananya memang sudah “Ga Enak Ma”. 

Sortan, Martum, Mamie, Linda. Anno 1964.
 
Gamang rasanya ma, walaupun insyallah jiwa dan raga ini ikhlas dunia akhirat untuk melepas mamie kembali ketempat tujuan akhir kita sebagai manusia. Perasaan gamang itu muncul karena mamie sebagai ibu berperan besar dalam manajemen rumah tangga kita. Mamie berfungsi sebagai balancer dan tempat berkonsultasi di keluarga kita. Ketika papie masih bersama kita  maka pembuat dan pengambil keputusan adalah beliau, tetapi setelah beliau berpulang maka kondisi tersebut tidak mamie ambil alih melainkan sesuai adat mandailing kita berubah kepada mufakat dari anak mamie  Ir H Madja Sortan Mulia Pulungan yang lahir di Banjarmasin 21 April 1960, Hj Linda Pulungan SH yang lahir di Jogyakarta 9 Mei 1961 dan H Martum Delo Pulungan SE, MM yang lahir 7 Maret 1964 di Medan. Mufakat ini secara teknis biasanya dirembukkan bersama para menantu mamie Hj Meike Amilia SH, dr.H Halomoan Hutagalung dan Hj Desy Nikmathasanah SE,SH.

Masa bermukim mamie di Permonangan berakhir bersamaan dengan apa yang disebut Belanda dengan Aksi Polisionil. Mamie terkadang bercerita tentang penderitaan pada masa itu. Bagaimana sulitnya transportasi bagi anak berusia 10 tahun yang ditempuh dari Pematang Siantar menuju Batu Horpak di Sipirok, kampung  ompung kami H Mulia Siregar yang menjadi tujuan pengungsian.  
Kesulitan transportasi tersebut masih disertai dengan perubahan kondisi yang mamie alami. Kenyamanan dan rasa aman berkehidupan di perkebunan yang lengkap sarana bertukar dengan kondisi berbeda di pengungsian ; walaupun dalam skala desa sarana dan prasarana bagi keluarga ompung menurut kami cukup memadai.

Apabila kita berkunjung dan berdiam di Batu Horpak, kami melihat rumah peninggalan ompung lebih dari cukup untuk ditinggali satu keluarga. Di depan rumah tersebut terdapat lumbung tempat penyimpanan bahan persediaan makanan dari sawah, ladang dan kolam ikan milik ompung yang berjarak sekitar 800 meter dari rumah. Berjalan dari rumah  ke sawah ompung  terdapat mesjid kampung batu horpak, dimana kalau kami tinggal di kampung ; maka kamar mandi umum yang bersumber dari pancuran dengan airnya yang segar dan bersih dilingkungan mesjid ini menjadi tempat untuk membersihkan diri sehabis bermain di persawahan warisan ompung.

Sehabis pengakuan kedaulatan, dimulai dengan ompung godang ; seluruh keluarga kembali dari daerah pengungsian. Ompung H Mulia Siregar tidak kembali ke Permonangan, tetapi melanjutkan karirnya sebagai staf administrasi di perusahaan Senembah Maatschappij di Tanjung Morawa

Kembalinya dari pengungsian ini disertai dengan berubahnya susunan keluarga. Dalam masa pengungsian dua anak ompung berumah tangga. Anak pertama ompung ; Hj Nurhayati Siregar berumah tangga dengan A Muluk Ritonga, anak kedua Nurhaliza Siregar dengan Benjamin Siahaan ; yang mana kedua menantu ompung tersebut berkarir sebagai militer. Pada era  Tanjung Morawa ini yang ikut bersama ompung adalah anak ketiga Parlaungan Siregar, anak keempat Nur Intan Siregar, anak kelima Purnama Bulan Siregar, anak keenam Hamonangan Siregar,  anak ketujuh Basaria Siregar untuk selanjutnya ditambah dengan kelahiran anak kedelapan Juniar Masdinar Siregar , anak kesembilan Rosida Hanum Siregar dan anak kesepuluh Isa Ansyari Siregar. Sehari hari Ompung tidak sepenuhnya bermukim di Tanjung Morawa, karena untuk anaknya yang sudah dewasa dan melanjutkan pendidikan di Medan ; ompung menyediakan rumah di Jalan Puri Medan. Hal tersebut yang menyebakan mamie tidak ikut bermukim di Tanjung Morawa.

Mamie berjumpa dengan papie ketika papie in de kost dirumah kerabat mamie seorang pelukis, Hasan Siregar di Jalan Nilam. Papie in de kost di Medan untuk melajutkan pendidikan SMA dari kota kelahiran papie di Sibolga, yang mana hubungan ini terus berlanjut  walaupun papie meninggalkan Medan melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Ekonomi UGM di Jogyakarta. Didalam biografi yang kami temukan secara tidak disengaja beliau menceritakan kisah perjumpaan sampai menikah dengan mamie. Konsep biografi ditemukan secara tidak sengaja ; beberapa hari setelah beliau berpulang kami membuka laptopnya dan menemukan konsep biografi dengan tanggal update terakhir tepat sebulan sebelum beliau berpulang pada 27 Desember 2001. Selanjutnya setahun kemudian bertepatan dengan haul pertama papie ; kami para ahliwaris menerbitkannya dengan judul sesuai dengan konsep yaitu “Bukti Kepada Generasi Penerus” untuk kalangan terbatas.

Didalam biografinya papie menceritakan bahwa sebagai mahasiswa ikatan dinas pada departemen PP dan K (saat ini Kemdiknas),  sesuai perjanjian maka setelah menyelesaikan tingkat bachaulerat (BA) wajib untuk ditempatkan sebagai pegawai PP dan K di daerah. Untuk hal tersebut papie ditempatkan sebagai Direktur SMA I Banjarmasin di Kalimantan Selatan. Dimana dalam menjalani tugas di Banjarmasin inilah papie melamar mamie dan selanjutnya perkawinan dilaksanakan di Jakarta pada 16 Desember 1958. Hal tersebut menjadi sebab tempat kelahiran abang kami pertama di Banjarmasin.

Barisan Raja (ki-ka) : H Raja Inal Siregar, H BAR Poeloengan, H Regen Pulungan
Haul (peringatan wafat) pertama papie pada 27 Desember 2002,  dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan acara adat “Mambulungi”.  
Acara Mambulungi ini sejatinya dalam adat Batak adalah  acara adat penguburan bagi sesorang yang sudah berstatus “Saur Matua”, yaitu ketika seorang pria yang meninggal sudah dengan status keseluruhan anaknya telah berkeluarga dan mempunyai cucu lakilaki dari anak lakilaki sebagai generasi penerus. 
Mengingat prosesi memakan waktu yang pasti lebih dari satu hari dan pasti akan bertentangan dengan sunah untuk menyegerakan pemakaman mayit, maka biasanya dilingkungan Batak Mandailing acara ini dilaksanakan pada waktu tersendiri, yang berbeda dengan hari pemakaman.

Dian Pada Saat Prosesi.
Puncak acara prosesi ini adalah pemasangan Bulang (tutup kepala tradisional Mandailing) dan dan penyematan keris disertai penabalan gelar sang kakek kepada cucu lelaki tertuanya oleh sidang raja adat. Dalam prosesi papie tersebut, barisan raja adat terdiri dari H Barnang Armino Pulungan SH, H Raja Inal Siregar Gubernur Sumut tahun 1988-1998 dan H Regen Pulungan.

Dian Selesai Prosesi
Pemasangan bulang sekaligus acara penabalan gelar bagi sang cucu ini, pada keluarga kami diberikan kepada anak kami Achmad Richdian Suryanegara Pulungan (Dian)
Rasa rasanya masih teringat suasana acara tersebut, bagaimana mamie harap harap cemas melihat kondisi dan kesiapan mental Dian dalam mengikuti seluruh rangkaian upacara. 

Duduk berjam jam seorang diri dengan baju adat lengkap berhadapan dan dikelilingi oleh para raja adat yang menggunakan bahasa Batak yang belum dimengerti bukanlah suasana yang nyaman bagi seorang anak yang berusia 7 tahun. 
Alhamdulillah, sampai dengan akhir prosesi tersebut ; yaitu ketika alm H Barnang Armino Pulungan memasangkan bulang, menyematkan keris dan menabalkan gelar papie “Sutan Kalimuda”  (yang diterima papie dari ompungnya) untuk diteruskan kepada Dian ; kelihatannya Dian tetap nyaman bahkan tersenyum bangga dengan Bulang dan kerisnya.

Menurut kami, masa awal pembentukan keluarga muda ini merupakan masamasa perjuangan bagi papie ; khususnya mamie. Mamie kembali  masuk ke kondisi survive dari kondisi nyaman. Berpindah tempat tinggal dan kenyamanan dari rumah yang disediakan ompung di Medan ke "hotel dinas" (istilah papie) yaitu fasilitas tempat tinggal berupa kamar hotel yang disediakan pemerintah.

Tidak berselang lama dari kelahiran anak pertamanya, papie mendapat tugas untuk melanjutkan tugas belajarnya yaitu melengkapi tingkat doctoral sarjana ekonomi yang mengakibatkan keluarga kecil papie berpindah dari Banjarmasin kembali ke Jogyakarta. 
Kehidupan sebagai keluarga dengan pendapatan sebagai mahasiswa ikatan dinas tentunya bukan situasi yang nyaman. Kelahiran anak kedua mamie, yaitu kakak kami Linda Pulungan pada 9 Mei 1961 di Jogyakarta menambah berat kodisi tersebut. Ada satu momen yang kami ingat untuk kelahiran Linda ini yaitu, bahwasanya Papie sudah bersiap untuk menjual cincin kawin sebagai biaya persalinan dan terselamatkan karena kiriman dari Uwa Nurhaliza dan Uwa Ben datang pada saat  yang tepat. 
Rumah tangga papie di Jogyakarta  bertambah dengan dengan adanya adik papie Ir. H Imran Pulungan yang  menuntut ilmu di Fakultas Pertanian UGM dan adik mamie  Hj Basaria Siregar BA yang menuntut ilmu Fakultas Sospol UGM.

Pada masa inilah kemampuan dan kehandalan mengelola keuangan rumah tangga dipelajari dan dipraktekkan secara langsung oleh mamie. Prinsip cost conciusness menjadi prinsip dasar dalam kehidupan manajemen rumah tangga yang dikelola mamie dan konsisten sampai dengan akhir usianya, untuk selanjutnya diturunkan sebagai ilmu dan pedoman kepada kami anak anaknya.

Papie menyelesaikan pendidikannya di UGM pada tahun 1962 untuk selanjutnya mendapatkan penempatan sebagai pegawai negeri PP dan K di Universitas Gajah Mada. Penempatan pertama ini tidak lama diemban papie, selanjutnya papie ditempatkan di Medan sebagai staf pengajar di  Fakultas Ekonomi USU di Medan tahun 1962.  

Karier papie sebagai pegawai negeri tidaklah lama, pada tahun 1966 papie mengundurkan diri sebagai staf pengajar dengan mengemban jabatan struktural terakhir sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi USU (yang pertama),bersama OK Harmaini sebagai Pembantu Dekan II dan Saman Sembiring sebagai Pembantu Dekan III  dibawah pimpinan Prof. Dr Hadibroto sebagai Dekan.  Didalam perjalanan hidupnya papie berprinsip ; mengundurkan diri sebagai PNS berstatus staf pengajar adalah suatu hal, dan menjalani profesi sebagai dosen adalah hal lain yang berbeda.

Karier papie sebagai dosen yang dimulai begitu papie berdomisili di Medan, ternyata tidak didukung dengan penghasilan yang memadai untuk memenuhi kewajiban sebagai kepala keluarga.  
Sebagai usaha dalam rangka  mencukupi kebutuhan finansial keluarga, papie juga menjadi dosen di Universitas Islam Sumatera Utara dan berbagai akademi  yang ada di Medan (saat itu mendirikan universitas masih sulit, baru di era 80’an mulai banyak berdiri universitas) selain bekerja di Pertekstilan TD Pardede di Medan.

Sebagai dosen di FE USU papie baru benar benar berhenti pada tahun 1982 bertepatan dengan masuknya kami sebagai mahasiswa di FE USU ; kami masih ingat pada daftar pilihan mata kuliah semester I Tahun Ajaran 1982, nama papie masih tercantum sebagai dosen mata kuliah Ekonomi Pertanian I dan Ekonomi Pertanian II untuk Jurusan Studi Pembangunan. 
Ketika kondisi tersebut kami pertanyakan, beliau menjawab bahwasanya beliau berusaha menghindari conflict of interest dan untuk tetap menjaga independensi. Selain di USU, sampai dengan berpulangnya papie aktif mengajar di Universitas Medan Area, IAIN Sumatera Utara serta berbagai akademi di Medan. 

Karena melihat kecintaanya kepada profesi sebagai dosen tersebut, pada kesempatan lain pernah kami pertanyakan kenapa papie berhenti sebagai staf pengajar berstatus PNS yang mana untuk itu beliau memberi jawaban singkat  : ... ekonomi … khas papie, pendek, mantap dan lugas.

Papie Sebagai Sekretaris Menteri Berdikari Mendampingi DR TD Pardede Kunjungan Kerja Ke Daerah.
 
Papie berkarir di Pertekstilan TD Pardede mulai dari tahun 1962 sampai dengan tahun 1966, dimulai sebagai staf di Bahagian Pembukuan kemudian di Bahagian Pendidikan selanjutnya sebagai Sekretaris Direksi dan sebagai Sales Manager PT. Surya Sakti, anak perusahaan Pardede Group yang bergerak di bidang penjualan.  Papie mengakhiri karirnya di Pertekstilan TD Pardede sebagai Sekretaris Menteri ; ketika TD Pardede menjabat sebagai Menteri Berdikari di Kabinet 100 Menteri dimasa pemerintahan Presiden RI I Soekarno

TD Pardede adalah seorang yang sangat dihormati papie, beliau sering bercerita kepada kami mengenai "Pak Katua" sembari memujinya sebagai manusia yang brilian (kayaknya papie jarang kagum sama orang ya Ma, hehehehee ... ).  Kekaguman itu juga ditunjukkan saat saya lahir sebagai anak yang ke 3, dimana saya diberi nama Martum Delo yang berasal dari singkatan Maret sebagai bulan kelahiran dan nama lengkap "Pak Katua"  Tumpal Dorianus Pardede.

Papie Sebagai Sekretaris Menteri Berdikari Mendampingi DR TD Pardede Kunjungan Kerja Ke Jepang.
 
Sebagai pekerja papie mendapatkan fasilitas perumahan di kompleks TD Pardede, di beberapa kesempatan kami diajak bernostalgia ke kompleks tersebut dan pada suatu ketika berkesempatan kami berjumpa langsung dengan "Pak Katua" yang berkebetulan juga sedang ada dirumah beliau di kompleks tersebut. 
Dalam kunjungan nostalgia papie biasanya melihat rumah yang pernah kami tempati, dan juga melihat klinik perusahaan tempat saya dilahirkan, yang konon merupakan cikal bakal RS Herna.

Di periode TD Pardede ini papie sudah mulai "merdeka" secara ekonomi, hal ini disampaikan mamie kepada kami dengan mengatakan bahwasanya kebutuhan nutrisi bagi anak2nya yang masih balita sudah dapat dicukupi dengan lebih leluasa. 
Ada kenangan yang tidak pernah dilupakan mamie, untuk menuju pasar tempat berbelanja diluar kompleks, mamie memiliki jalan pintas yaitu pagar kawat "yang kebetulan" koyak dibelakang rumah yang kami tempati. Jalan pintas ini dipilih mamie untuk mengurangi jarak tempuh lebih jauh yaitu memutar dari pintu gerbang kompleks menuju pasar, sementara secara kasat mata pasar tersebut berada diseberang jalan dari rumah yang ditempati mamie. Hal lain yang selalu diingat mamie adalah pada masa ini mamie merawat ketiga anaknya tanpa bantuan pembantu, sehingga mamie membuat berbagai trik akrobatik agar dapat menjalankan tugas kerumah tanggaannya, antara lain membersihkan rumah sambil mengawasi anak pertama dan kedua mandi atau, menyiapkan masakan sambil mengawasi anak terkecil bermain diatas meja ... heheheheeeee ...

Pada periode ini papie sering bergaul dengan alm H BAR Poeloengan SH yang biasanya kami panggil Uwa Barnang.   Kompleks TD Pardede di Jalan Binjai Km 10,8 yang saat itu masih terasa jauh dari Medan didekatkan Uwa Barnang dengan sering menjemput dan mengajak keluarga kecil papie untuk berplesir ke Medan. Uwa Barnang selain membawa plesir juga membuka wawasan dan lingkup pergaulan yang lebih luas di Medan kepada papie. Hubungan tersebut terus berlanjut, sampai kepada saat pelaksanaan acara adat  Mambulungi yang notabene acara pengebumian papie, Uwa Barnang berperan secara aktif sebagai raja adat.  Dapat dikakatakan bahwasanya Uwa berperan sebagai saudara tua dan bersifat sebagai mentor.

Papie bekerja di Pertekstilan TD Pardede dan staf pengajar adalah sampai dengan tahun 1966. Segera setelah terjadinya perubahan kepemimpinan negara, orientasi negara juga mengalami perubahan ; dari sebelumnya cenderung kepada kekuatan politik beralih kepada orientasi ekonomi. Industri perkebunan negara yang dominan dan bersifat strategis di Sumatera Utara langsung merasakan efeknya. 
Pandangan sebelumnya yang memandang perkebunan negara sebagai sumber devisa semata telah mengakibatkan kurangnya pemeliharaan dan peremajaan tanaman serta investasi baru di perkebunan.

Perubahan paradigma menyebabkan diundangnya para narasumber berlatar belakang manajemen untuk melakukan in house training bagi karyawan pimpinan perkebunan termasuk juga mengundang narasumber yang mumpuni dibidang teknis tanaman dan pengolahan untuk memacu efisiensi.

In house training bagi staf dam pimpinan kebun dilaksanakan perusahaan bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi USU dimana papie berperan aktif didalamnya. Aktifitas papie ini akhirnya membawanya bekerja sebagai staf di  Inspektorat Aneka Tanaman dengan tugas utama membuat dan mengalisa kinerja perusahaan lingkup Inspektorat Aneka Tanaman SUMUT-ACEH.

Berpindah kerjanya papie dari Pertekstilan TD Pardede ke Inspektorat Aneka Tanaman SUMUT-ACEH, menyebabkan keluarga papie berpindah ke Jalan Puri. Rumah ompung di Jalan Puri tidak ditempati karena, setelah pensiun dari PPN KARET II sebagai kelanjutan Senembah Maatschappij pasca nasionalisasi 1959 ; maka ompung menempati rumahnya yang lain di Jalan Gajah Mada Medan. Perpindahan ini tidaklah masalah bagi mamie, mengingat mamie berada dirumah dan lingkungan tersebut semasa gadis ; sehingga sangat familiar dengan suasana dan tetangga yang ada. 

Didalam memoarnya papie menyebutkan mamie begitu senang tatkala menerima gaji pertama dari Inspektorat Aneka Tanaman ; sehingga seolah tidak percaya. Papie masih berpindah lagi dari Inspektorat ke Kantor Pemasaran Bersama, tetapi tidak merubah struktur dalam sistem personalianya.
Papie sebagai anggota Rombongan Inspeksi ke ANTAN VI Kayu Aro
Bersama Direktur Utama BPU PPN Antan Radjamin Lubis
 
Pada masa ini anak anak mamie sudah mulai bersekolah ; anak pertama dan kedua mamie di tingkat SD sementara saya di STK pada perguruan Bhayangkara Medan. Biasanya kami berangkat kesekolah bersamaan dengan berangkatnya papie ke kantor dengan diantar oleh Pak Sungkrah (reminisce, my hero at that time), driver kami pada saat itu. 

Masa masa di Jalan Puri ini sudah adalah masa yang sudah masuk ke memori saya. Antara lain yang masih diingat adalah betapa hebohnya pemberitaan di media masa sehubungan penjatuhan hukuman mati bagi gerilyawan Indonesia saat masa konfrontasi yaitu prajurit KKO (marinir)  Usman dan Harun yang dieksekusi pemerintah Singapura tahun 1968. 
Kejadian ini sangat membekas karena pemberitaannya di Radio diberi latar belakang lagu2 yang sedih, sehingga membuat sangat membekas di hati. Selain itu yang sangat kami ingat adalah ritual sore hari, dimana kalau tidur siang (kan cuma Sortan yang suka lari lompat jendela ya ma ...) maka akan diperbolehkan membeli roti dari tukang roti yang rutin lewat setiap jam 4.30 didepan rumah.

Tahun 1968 papie pindah kerja ke PNP V Sei Karang, dimana dengan kepindahan ini kamipun ikut berpindah rumah. 
Menempati rumah di kompleks perkebunan merupakan hal yang baru bagi kami anak anak, tetapi tidak bagi mami. Mamie tidak menjumpai masalah tinggal di perkebunan dikarenakan sudah pernah mengalami saat  praremajanya. 
Dengan cepat mamie beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kami masih mengingat mamie aktif disetiap kegiatan baik sosial maupun keagamaan dilingkungan Sei Karang dan sekitarnya. Kami anak anaknya juga berpindah, Sortan dan Linda di SD I sedangkan kami di TK. 
Rumah pertama yang sejajar dengan Pasanggrahan itu kami tempati bertetangga dengan Keluarga Ali Sati Siregar, Keluarga Benyamin, Keluarga Hadamen dan Keluarga Anton Hudaya. Setelah keluarga Anton Hudaya berpindah ke Gunung Pamela, rumah tersebut menjadi Club House Pamitran Golf Club yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Bersama Papie diatas Honda C 50 di Pantai Cermin.
 
Papie membelikan mamie sebuah sepeda motor Honda C 50 berwarna hijau sebagai sarana buat mamie "melalak" (heheheeeee, jangan marah ya Ma ...) yang menurut mamie mirip dengan sepeda kumbang yang diberikan ompung godang kepada mamie semasa mamie gadis.

Kami tidak lama tinggal dirumah ini, setahun kemudian ketika papie dipromosi maka posisi rumah kami berpindah kesamping kantor Teknologi. Rumah dengan 3 kamar dibangunan induknya ini dinaungi oleh pohon beringin dihalaman depannya ini (waktu kecil rasanya buoasaaar kalilah ma ... ) bertetangga dengan Keluarga Sembiring, Keluarga Siwabessy, Keluarga Samosir sedangkan didepannya bertetangga dengan Keluarga Pohan, Keluarga Saptohadi, Keluarga Nursalim dan Keluarga Pratiknyo Cokrowardoyo
Apabila pohon Beringin tersebut berbuah, maka burung berbagai jenis terutama kepodang yang berwarna kuning akan berada didepan rumah kami, sungguh suatu hal yang merindukan.

Situasi di perkebunan akhir '60 an yang masih lekat dengan suasana perkebunan zaman sebelum nasionalisasi, terasa sangat nyaman. Mandi di "sembat" (zwembad (nd)/swiming bath (eng)/kolam renang), bermain tennis, badminton atau basket tinggal "nyebrang" kedepan rumah, atau nonton film (di Gedung Pamitran kalo mo nyaman tapi harus pakaian resmi ; di "Lapangan Segitiga" dengan suasana lebih meriah, tapi harus liat kondisi cuaca karena berstatus "misbar").

Seperti ditulis Ir Hasjrul Harahap dalam otobiografinya "Dari Mandor Jadi Menteri" kehidupan di Sei Karang saat itu sangat guyub dan kental kekeluargaannya. Kerap diadakan acara dilingkungan perkebunan dengan mengikut sertakan seluruh keluarga, masih terbayang bagaimana situasi saat "rewang" yaitu gotong royong untuk menyiapkan santapan yang akan menjadi jamuan para undangan ; heboh, berisik dan penuh canda tawa. Seingat kami papie aktif mengikuti setiap kegiatan olahraga sedangkan mamie biasanya berstatus penggembira saja.

Kami tinggal di Sei Karang sampai dengan tahun 1973, selanjutnya ketika papie dipromosi ke PTP II maka kami berpindah rumah ke Tanjung Morawa.  

Rumah peninggalan kolonial itu berseting sama dengan rumah di Sei Karang, rumah induk 3 kamar dihubungkan oleh selasar ke bangunan tambahan dibelakang rumah yang terdiri dari dapur, kamar tambahan dan garasi. Yang menarik dari rumah ini adalah posisinya yang terletak disamping kolam besar yang membelah kompleks perumahan Tanjung Morawa menjadi dua bagian.

Rumah dinas papie bertetangga langsung dengan rumah Keluarga Syarifuddin Siregar, Keluarga LM Siahaan dan Keluarga Masdoeki. Dengan keluarga Syarifuddin Siregar yang masih kerabat mamie ada kisah yang sampai saat ini masih jadi bahan bercanda tatkala saling berjumpa ; permasalahan tersebut kerap muncul apabila memasuki musim panen rambutan. 

Diantara rumah kami dan rumah keluarga Syarifuddin Siregar yang dibatasi parit, tumbuh sebatang pohon rambutan tua yang besar. Pohon tersebut tumbuh di areal rumah keluarga Syarifuddin Siregar dan "celakanya" topping dan buahnya lebih banyak masuk ke areal rumah kami. Ketika musim rambutan tentunya buah rambutan yang merah itu sangat menggoda untuk diambil, sungguh godaan yang berbahaya karena yang jaga seram semua ... heheheeee ... Sampai dengan saat ini kami masih belum mengerti kenapa sering sekali kena "operasi tangkap tangan"  yang dilaksanakan oleh Yus, Tetty dan Midah (disemprot satu boru Siregar saja sudah seram kali Ma ... , apalagi disemprot tiga boru Siregar sekaligus ... wkwkwkwkwk). Keheranan muncul dikarenakan posisi pohon rambutan itu cukup jauh dari rumah induk mereka dan tertutup oleh garasi.

Papie Dan Rombongan Meninjau Persiapan Peresmian Proyek Tritura (saat ini PTPN II Kebun Sawit Hulu) (Ki-Ka) Masdoeki, Syarifuddin Siregar, Papie, LM Siahaan.
 
Sortan dan Linda tidak ikut pindah, tetap tinggal in de kost dirumah Bujing Basaria dan Oom Jon di Sei Karang  untuk melanjutkan sekolahnya di SMP YPAK, yang saat itu dikenal dengan mutunya yang baik ; sedangkan kami ikut berpindah dan melanjutkan sekolah di SD Negeri I Kiri Hulu Tanjung Morawa.

Karena lokasinya yang dekat dengan Medan, aktifitas papie diluar pekerjaan sehari harinya bertambah sibuk. Pada era ini papie mengikuti program S3 di Fakutas Ekonomi UGM, selain daripada itu secara rutin setiap hari kamis mengajar di FE UISU dan menerima mahasiswa yang mentoren maupun memberikan bimbingan untuk penulisan skripsi. Papie cukup serius dalam menjalankan fungsinya sebagai pengajar. Kami masih mengingat, untuk memudahkan mahasiswa, papie menyediakan mesin stensil untuk mencetak diktat pelajaran yang dibagikan kepada mahasiswanya (pada masa itu foto copy masih langka dan mahal, kalau mau foto copy di Medan cuma ada di kantor Xerox Astra Graphia, Medan Building (sekarang Mandiri Building) di Jalan Imam Bonjol).

Selain daripada itu, sebagai counterpart pada tim penyusunan sistem akuntansi perkebunan yang dikoordir oleh Kantor Akuntan Publik SGV (SyCip Gorres Velayo & Co) dari Filipina, papie dan anggota timya  sering bekerja di rumah pada malam hari. Di zaman yang hampir 90% pekerjaan administrative masih dikerjakan secara manual, maka dapat dibayangkan kondisi berkas dan kertas yang berserakan. Kami mengingat (sebenarnya baru mengerti setelah bekerja di lingkup BUMN perkebunan) ; konsep Neraca Percobaan yang dibuat hampir selebar meja. Kesibukan papie ini diimbangi mamie yang sebagai bentuk support seorang istri dalam rangka menunjang karier suami dengan selalu stand bye menyiapkan "logistik" ataupun menemani dan meladeni ketika ada mahasiswa yang datang untuk menemui papie.
Di Tanjung Morawa, seperti biasanya ini mamie aktif di kegiatan istri karyawan dan juga kegiatan keagamaan (ketika bertugas di kebun, terkadang kalo lagi menerima rombongan ibu ibu dalam rangka 17'an jadi suka ingat moment ini loh Ma ...).

Tahun 1976 Ucok dan Linda menyelesaikan pendidikan SMP nya dari Sei Karang untuk selanjutnya menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Medan  sedangkan saya menyelesaikan SD di Tanjung Morawa untuk kemudian dilanjutkan di SMP Negeri I Medan yang dijalani hanya pada kelas I nya saja. Hal tersebut disebabkan pada tahun ajaran 1977, penyelenggaraan pendidikan Kelas II di SMP Negeri I hanya dilaksanakan pada sore hari yang mengakibatkan kendala dalam persoalan antar jemput. Pada akhirnya persoalan ini diselesaikan dengan kepindahan saya ke SMP Kristen Immanuel II mulai tahun ajaran 1977.

Pada Tahun 1980 papie pindah ke PTP VII, kami tidak ikut berpindah ke Bah Jambi melainkan ke Medan. Pada 1979 status pendidikan Sortan adalah mahasiswa di Fakultas Teknik Mesin USU, Linda mahasiswi di Fakultas Hukum USU sedangkan kami melanjutkan pendidikan di SMA Negeri I Medan.

Tidak banyak yang kenangan menyangkut era Bah Jambi ini karena kami tidak ikut bermukim disana. Beberapa hal yang menjadi catatan bagi kami adalah, biasanya Papie dan Mamie kembali ke Bah Jambi pada hari minggu sore kalau tidak ada acara pada minggu malam dan senin subuh kalau ada acara. Dalam rangka menjaga hubungan dengan anak anaknya, biasanya mamie mendahului datang ke Medan dari Bah Jambi pada tengah minggu.

mamie, papie dan cucu pertamanya xonya (dr. Haflin Soraya Hutagalung Sp.S)
 
Selama priode Bah Jambi ini, ada dua peristiwa penting bagi keluarga yang terjadi yaitu pernikahan Linda dengan dr Halomoan Hutagalung pada 1981 dan diterimanya kami menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi USU pada 1982.


Pada saat itu sebenarnya ada fasilitas transportasi udara bagi pimpinan puncak, yaitu dengan menggunakan pesawat terbang yang berangkat dari Bandara Polonia dan mendarat di lapangan rumput Air Strip Bah Jambi dengan waktu tempuh 40 Menit. Pesawat yang digunakan adalah jenis Piper PA 23 Aztec buatan Piper Aircraft tahun 1974 dari Amerika Serikat berkapasitas 5 penumpang dengan registrasi PK-PNP.

Mamie tidak pernah mau menggunakan fasilitas ini ; sedangkan papie menggunakannya dalam kondisi mendesak. Pada suatu ketika, saya diajak papie ke Bah Jambi dengan menumpang pesawat ini dan memang menjadi pengalaman yang sulit dilupakan. Mulai berangkat dari Medan sampai ke Bah Jambi dilalui dengan kondisi cuaca hujan dan petir, sementara ketinggian pesawat kog rasanya hanya sedikit diatas pohon sawit (heheheeeee …) sementara komunikasi antara pilot dengan tower langsung dapat didengar karena tidak ada pembatas di cabin antara pilot dengan penumpangnya ; yang berujung bagaimana situasi didepan ikut diketahui penumpang secara live report
Kondisi itu mungkin mempengaruhi mimik wajah saya yang merupakan salah satu penumpang di pesawat yang berisi dua orang penumpang ; yaitu papie dan saya. Melihat mimik saya itu papie tersenyum sambil berkata “semua kondisi secara teknis tentu sudah diperhitungkan, kalau tidak safe tentu pilot tidak berangkat” … seperti biasa khas papie … yang pasti dari Bah Jambi kembali ke Medan saya memilih memakai mobil ... wkwkwkwkwk ...

Pesawat berigistrasi PK-PNP ini akhirnya pada 25 Nopember 1982 hilang dalam perjalanan dari Kebun PTP III Aek Nabara menuju Bandara Polonia Medan dengan membawa 4 orang penumpang, dua orang diantaranya dikenal dengan baik oleh papie yaitu OB Siahaan yang merupakan pimpinan papie di KPB Medan dan Masdoeki yang menjadi tetangga kami di Tanjung Morawa. PK-PNP baru ditemukan pada tahun tahun 1996 oleh empat pencari kayu ulin, dilereng bukit hutan kawasan Desa Tenggulun, Kejuruan Muda, Aceh Timur, 135 kilometer dari Kota Medan.

Pada tahun 1983 papie pindah ke Bandarlampung karena promosi ke PTP X (saat ini PTPN VII). Priode Bandarlampung ini sama dengan priode Bah Jambi ; kami tidak ikut berpindah, cuma mamie yang menemani papie disana.
Biasanya Mamie sebulan dalam masa tiga bulan tinggal dan dua bulannya menemani papie di Bandarlampung.

Pada tahun 1985, papie pindah ke LPP Kampus Jogya. Di periode Jogya ini mamie dan papie serasa mengulang kehidupan yang 25 tahun sebelumnya. Yang kami ingat pada priode ini mamie dan papie banyak melakukan perjalanan mengeliling tempat peristirahatan di sekitar Jawa termasuk mengajak ompung menek Nurmala Daulay untuk napak tilas perjalanan pengembangan islam di pulau Jawa. 

Pada tahun 1987, papie mutasi dari LPP Kampus Jogya ke LPP Kampus Medan sehingga setelah 5 tahun kita berkumpul serumah lagi Jalan Sei Putih. Ketika papie dan mamie kembali ke Medan, kondisi sudah sangat berubah ; Sortan sudah menyelesaikan pendidikannya sembari nyambi sebagai assisten dosen di Fakultas Teknik Mesin USU sebelum selanjutnya menjadi PNS di Kemenperin (dapatnya cita citanya banyak dinas keluar negeri ya Ma ...), Linda sudah mempunyai anak sementara Martum sedang mempersiapkan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana.

Paragraf diatas memang untuk pembuktian, walaupun kami ditinggalkan papie dan mamie untuk mencari nafkah ; insyallah kami dapat bertanggung jawab dengan berbuat seperti yang papie dan mamie harapkan.

Hari ini mamie telah 10 hari meninggalkan kami ... "Kullu Nafsin Dzaa Iqatul Maut" semoga mamie berada disebaik baik tempat disisi Allah SWT. 

Ada pepatah Melayu yang dijadikan sub judul pada buku karangan HT Luckman Sinar SH "Sekali Air Bah, Sekali tepian Terbelah", walaupun sudah diihlaskan dan walaupun akal maupun perasaan sudah dapat menerima tetapi segala sesuatunya tidak akan sama lagi.

Tidak ada lagi yang membuat masakan kesukaan apabila kami ke Medan, tidak ada lagi mamie sebagai penutup akhir dalam "makkobar makan fajar" saat saling bermaafan di fajar pertama Aidil Fitri dan juga tidak ada lagi yang akan melarang untuk touring jarak jauh. Itu semua tidak akan ada lagi Ma ...

Cucu mamie Xonya sudah menyelesaikan pendidikannya sebagai spesialis saraf dan sedang merintis karirnya sebagai staf pengajar di FK USU serta berpraktek dibeberapa rumah sakit di Medan sementara suaminya Fadhli sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya ; cucu mamie Ririn sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya sedangkan suaminya Taufik sudah menyelesaikan pendidikannya sebagai spesialis penyakit dalam dan sedang merintis karirnya sebagai staf pengajar di FK USU serta berpraktek dibeberapa rumah sakit di Medan, cucu mami Dian tahun ini memulai statusnya sebagai mahasiswa di FK-UISU. Sementara Alya yang masih di SMA, Eza di SMP dan Zahra yang masih SD tentunya akan kami bimbing untuk dapat lebih baik lagi.

Cicit mamie Mazaya dan Fathan juga sudah mulai memasuki dunia pendidikan setingkat preschool.

Jadi everything looks like ok kog ma ... mamie dan papie sudah berbuat yang terbaik ; bagi kami sekarang tinggal berusaha untuk dapat masuk kedalam golongan anak yang shalih, agar doa yang kami mintakan untuk kebaikan mamie dan papie diijabah Allah SWT.

Kami yakin papie sudah menunggu mamie, dan kalau mamie sudah bersama lagi dengan papie maka pertahankanlah sifat mamie yang dulu ; kalau papie diam diam masukin soft drink dan snack ke kulkas di ruang belajarnya melalui pintu samping, atau curi curi merokok, tetaplah mamie pura puranya nggak tahu ... heheheheee ...


------------------------------------------