انا لله وانا اليه راجعون
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un ...
Ketentuan itu akhirnya datang menghampiri mamie pada hari Rabu 14 Agustus 2013 jam 02.30 dinihari.
Seluruh kesiapan mental yang dipersiapkan untuk menghadapi hari tersebut diuji sampai titik nadirnya.
Alhamdulillah, ba'da dzuhur prosesi fardhu kiffayah selesai dilaksanakan. Berbarengan langkah kaki meninggalkan pemakaman, maka hubungan dengan standar dunia menjadi terputus dan tinggalah shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta doa anak shaleh yang mampu menembusnya.
Insha Allah mamie mendapatkan sebaik baik tempat disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Uwa Liza, Ompung Menek, Uwa Ati, Ompung Godang dan dua orang kerabat (berdiri) Anno 1937 |
Catatan kecil ini
terlalu sederhana kalau mau disebut sebagai refleksi kehidupan dari mamie, yang
lahir di Permonangan
pada 17 Agustus 1938
dan diberi nama Nur Intan Siregar.
Wilayah Permonangan tempat mamie dilahirkan saat ini menjadi bagian dari areal konsesi PTPN IV Kebun Bah Birong Ulu yang berada diseputaran Kota Pematang Siantar.
Saat kelahiran mamie tersebut, Permonangan menjadi tempat bermukim ompung godang kami H Mulia Siregar dan ompung menek Hj Siti Mariam Pohan saat ompung bekerja sebagai petugas administrasi di Nederlandsch Indisch Land Syndicaat (NILS) suatu perusahaan perkebunan teh zaman kolonial belanda dari grup konglomerasi Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM).
Berpuluh tahun kemudian kenangan itu muncul kembali ; mamie berjumpa dengan salah seorang tetangganya yaitu H Syamsir Sastrowirono yang menjabat sebagai Direktur Produksi di PNP V Sei Karang tempat papie bertugas tahun 1968 sampai 1973, dan tanpa sengaja berlanjut dikarenakan salah seorang anak beliau Ir. H Tom Subakti bernaung di PTPN V tempat yang sama dengan perusahaan kami bekerja.
Suasana Di Perkebunan Teh PTPN IV Bah Birong Ulu |
Sepertinya masa
masa di Permonangan ini memberikan kenangan yang manis bagi mamie yang lahir sebagai
anak ke 4 dari 10 bersaudara. Kami mengingat beberapa kali mamie bersaudara
khususnya dengan bujing Hj Purnama Siregar dan bujing Hj Basaria Siregar BA
beberapa kali bernostalgia ke kebun teh ini.
Memang terlalu
sederhana kalau catatan ini mau disebut refleksi, karena apabila dibandingkan
dengan apa yang diperbuat papie
Drs. H Sorimuda Pulungan ketika beliau mengenang kepergian ompung menek kami Hj. Nurmala Daulay,
maka beliau menumpahkan perasaannya melalui tulisan yang kemudian
diterbitkan sebagai buku untuk kalangan terbatas yang diberi judul “Ombak dan Gunung” beberapa
hari setelah ompung menek meninggal tahun 1996. Kepergian ompung menek
mendahului kepergian ompung
godang kami H Djafar Pulungan pada tahun 1985.
Catatan kecil ini
kami beri judul seperti diatas untuk mengingatkan ungkapan yang sering
disampaikan anak mamie tertua Ir H Madja Sortan Mulia Pulungan semasa pra
remaja. Pada masa itu Ucok
menjadi anak yang paling susah makan (ternyata
sampai sekarang lho ma, kata Teh Meike), sehingga setiap paginya
mamie akan menanyakan mau dipersiapkan lauk yang dapat membangkitkan
selera abang kami tersebut. Tapi ternyata sering kejadian setelah mamie
mempersiapkannya, maka abang kami tersebut tetap susah makan ; dan ketika mamie
menanyakan kenapa, maka akan dijawab “ga
enaaaak ma” disertai dengan wajah memelas.
Ketika catatan ini
kami mulai, mamie baru berpulang tiga hari lamanya ; yang bersamaan dengan satu
hari sebelum perayaan ulang tahun mamie ke 79
seandainya mamie masih bersama kami pada 17 Agustus 2013 ini ; rasa dan suasananya memang sudah “Ga Enak Ma”.
Sortan, Martum, Mamie, Linda. Anno 1964. |
Gamang rasanya ma,
walaupun insyallah jiwa dan raga ini ikhlas dunia akhirat untuk melepas mamie
kembali ketempat tujuan akhir kita sebagai manusia. Perasaan gamang itu muncul
karena mamie sebagai ibu berperan besar dalam manajemen rumah tangga kita.
Mamie berfungsi sebagai balancer dan tempat berkonsultasi di keluarga kita.
Ketika papie masih bersama kita maka pembuat dan pengambil keputusan
adalah beliau, tetapi setelah beliau berpulang maka kondisi tersebut tidak
mamie ambil alih melainkan sesuai adat mandailing kita berubah kepada mufakat
dari anak mamie Ir H
Madja Sortan Mulia Pulungan yang lahir di Banjarmasin 21 April 1960, Hj Linda
Pulungan SH yang lahir di Jogyakarta 9 Mei 1961 dan H Martum Delo Pulungan SE,
MM yang lahir 7 Maret 1964 di Medan. Mufakat ini secara teknis
biasanya dirembukkan bersama para menantu mamie Hj Meike Amilia SH, dr.H Halomoan Hutagalung dan Hj
Desy Nikmathasanah SE,SH.
Masa bermukim mamie
di Permonangan berakhir bersamaan dengan apa yang disebut Belanda dengan Aksi
Polisionil. Mamie terkadang bercerita tentang penderitaan pada masa itu.
Bagaimana sulitnya transportasi bagi anak berusia 10 tahun yang ditempuh dari
Pematang Siantar menuju Batu Horpak di Sipirok, kampung ompung kami H
Mulia Siregar yang menjadi tujuan pengungsian.
Kesulitan transportasi
tersebut masih disertai dengan perubahan kondisi yang mamie alami. Kenyamanan
dan rasa aman berkehidupan di perkebunan yang lengkap sarana bertukar dengan
kondisi berbeda di pengungsian ; walaupun dalam skala desa sarana dan prasarana
bagi keluarga ompung menurut kami cukup memadai.
Apabila kita
berkunjung dan berdiam di Batu Horpak, kami melihat rumah peninggalan ompung
lebih dari cukup untuk ditinggali satu keluarga. Di depan rumah tersebut
terdapat lumbung tempat penyimpanan bahan persediaan makanan dari sawah, ladang
dan kolam ikan milik ompung yang berjarak sekitar 800 meter dari rumah.
Berjalan dari rumah ke sawah ompung terdapat mesjid kampung batu
horpak, dimana kalau kami tinggal di kampung ; maka kamar mandi umum yang
bersumber dari pancuran dengan airnya yang segar dan bersih dilingkungan mesjid
ini menjadi tempat untuk membersihkan diri sehabis bermain di persawahan
warisan ompung.
Sehabis pengakuan
kedaulatan, dimulai dengan ompung godang ; seluruh keluarga kembali dari daerah
pengungsian. Ompung H Mulia Siregar tidak kembali ke Permonangan, tetapi
melanjutkan karirnya sebagai staf administrasi di perusahaan Senembah Maatschappij di
Tanjung Morawa.
Kembalinya dari pengungsian ini disertai dengan berubahnya
susunan keluarga. Dalam masa pengungsian dua anak ompung berumah tangga. Anak
pertama ompung ; Hj Nurhayati Siregar berumah tangga dengan A Muluk Ritonga,
anak kedua Nurhaliza Siregar dengan Benjamin Siahaan ; yang mana kedua menantu
ompung tersebut berkarir sebagai militer. Pada era Tanjung Morawa ini
yang ikut bersama ompung adalah anak
ketiga Parlaungan Siregar, anak keempat Nur Intan Siregar, anak kelima Purnama
Bulan Siregar, anak keenam Hamonangan Siregar, anak ketujuh Basaria
Siregar untuk selanjutnya ditambah dengan kelahiran anak kedelapan Juniar
Masdinar Siregar , anak kesembilan Rosida Hanum Siregar dan anak kesepuluh Isa
Ansyari Siregar. Sehari hari Ompung tidak sepenuhnya bermukim di
Tanjung Morawa, karena untuk anaknya yang sudah dewasa dan melanjutkan
pendidikan di Medan ; ompung menyediakan rumah di Jalan Puri Medan. Hal
tersebut yang menyebakan mamie tidak ikut bermukim di Tanjung Morawa.
Mamie berjumpa
dengan papie ketika papie in de kost dirumah kerabat mamie seorang pelukis, Hasan Siregar
di Jalan Nilam. Papie
in de kost di Medan untuk melajutkan pendidikan SMA dari kota kelahiran papie
di Sibolga, yang mana hubungan ini terus berlanjut walaupun papie
meninggalkan Medan melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Ekonomi UGM di
Jogyakarta. Didalam biografi yang kami temukan secara tidak disengaja beliau
menceritakan kisah perjumpaan sampai menikah dengan mamie. Konsep biografi ditemukan secara tidak sengaja ; beberapa hari
setelah beliau berpulang kami membuka laptopnya dan menemukan konsep biografi
dengan tanggal update terakhir tepat sebulan sebelum beliau berpulang pada 27
Desember 2001. Selanjutnya setahun kemudian bertepatan dengan haul pertama
papie ; kami para ahliwaris menerbitkannya dengan judul sesuai dengan konsep
yaitu “Bukti Kepada
Generasi Penerus” untuk kalangan terbatas.
Didalam biografinya
papie menceritakan bahwa sebagai mahasiswa ikatan dinas pada departemen PP dan
K (saat ini Kemdiknas), sesuai perjanjian maka setelah menyelesaikan tingkat bachaulerat
(BA) wajib untuk ditempatkan sebagai pegawai PP dan K di daerah. Untuk hal
tersebut papie ditempatkan sebagai Direktur SMA I Banjarmasin di Kalimantan
Selatan. Dimana dalam menjalani tugas di Banjarmasin inilah papie melamar mamie
dan selanjutnya perkawinan dilaksanakan di Jakarta pada 16 Desember 1958.
Hal tersebut menjadi sebab tempat kelahiran abang kami pertama di Banjarmasin.
Barisan Raja (ki-ka) : H Raja Inal Siregar, H BAR Poeloengan, H Regen Pulungan |
Haul (peringatan
wafat) pertama papie pada 27 Desember 2002, dilaksanakan bersamaan dengan
pelaksanaan acara adat “Mambulungi”.
Acara Mambulungi ini sejatinya dalam adat Batak adalah acara adat
penguburan bagi sesorang yang sudah berstatus “Saur Matua”, yaitu ketika seorang pria
yang meninggal sudah dengan status keseluruhan anaknya telah berkeluarga dan
mempunyai cucu lakilaki dari anak lakilaki sebagai generasi penerus.
Mengingat
prosesi memakan waktu yang pasti lebih dari satu hari dan pasti akan
bertentangan dengan sunah untuk menyegerakan pemakaman mayit, maka biasanya
dilingkungan Batak Mandailing acara ini dilaksanakan pada waktu tersendiri,
yang berbeda dengan hari pemakaman.
Dian Pada Saat Prosesi. |
Puncak acara
prosesi ini adalah pemasangan Bulang (tutup kepala tradisional Mandailing) dan
dan penyematan keris disertai penabalan gelar sang kakek kepada cucu lelaki
tertuanya oleh sidang raja adat. Dalam prosesi papie tersebut, barisan raja
adat terdiri dari H Barnang Armino Pulungan SH, H Raja Inal Siregar Gubernur
Sumut tahun 1988-1998 dan H Regen Pulungan.
Dian Selesai Prosesi |
Pemasangan bulang
sekaligus acara penabalan gelar bagi sang cucu ini, pada keluarga kami diberikan
kepada anak kami Achmad Richdian Suryanegara Pulungan (Dian).
Rasa rasanya masih teringat
suasana acara tersebut, bagaimana mamie harap harap cemas melihat kondisi dan kesiapan mental Dian
dalam mengikuti seluruh rangkaian upacara.
Duduk berjam jam
seorang diri dengan baju adat lengkap berhadapan dan dikelilingi oleh para raja
adat yang menggunakan bahasa Batak yang belum dimengerti bukanlah suasana yang
nyaman bagi seorang anak yang berusia 7 tahun.
Alhamdulillah, sampai dengan
akhir prosesi tersebut ; yaitu ketika alm H Barnang Armino Pulungan memasangkan
bulang, menyematkan keris dan menabalkan gelar papie “Sutan Kalimuda”
(yang diterima papie dari ompungnya) untuk diteruskan kepada Dian ; kelihatannya Dian tetap nyaman bahkan
tersenyum bangga dengan Bulang dan kerisnya.
Menurut kami, masa awal
pembentukan keluarga muda ini merupakan masamasa perjuangan bagi papie ; khususnya
mamie. Mamie kembali masuk ke kondisi survive dari kondisi nyaman.
Berpindah tempat tinggal dan kenyamanan dari rumah yang disediakan ompung di
Medan ke "hotel dinas" (istilah papie) yaitu fasilitas tempat tinggal berupa
kamar hotel yang disediakan pemerintah.
Tidak berselang
lama dari kelahiran anak pertamanya, papie mendapat tugas untuk melanjutkan
tugas belajarnya yaitu melengkapi tingkat doctoral sarjana ekonomi yang mengakibatkan
keluarga kecil papie berpindah dari Banjarmasin kembali ke Jogyakarta.
Kehidupan sebagai keluarga dengan pendapatan sebagai mahasiswa ikatan dinas
tentunya bukan situasi yang nyaman. Kelahiran anak kedua mamie, yaitu kakak
kami Linda Pulungan pada 9 Mei 1961 di Jogyakarta menambah berat kodisi tersebut. Ada satu
momen yang kami ingat untuk kelahiran Linda ini yaitu, bahwasanya Papie sudah
bersiap untuk menjual cincin kawin sebagai biaya persalinan dan terselamatkan
karena kiriman dari Uwa Nurhaliza dan Uwa Ben datang pada saat yang
tepat.
Rumah tangga papie di Jogyakarta bertambah dengan dengan adanya
adik papie Ir. H Imran Pulungan yang menuntut ilmu di Fakultas Pertanian
UGM dan adik mamie Hj Basaria Siregar BA yang menuntut ilmu Fakultas
Sospol UGM.
Pada masa inilah
kemampuan dan kehandalan mengelola keuangan rumah tangga dipelajari dan
dipraktekkan secara langsung oleh mamie. Prinsip cost conciusness menjadi
prinsip dasar dalam kehidupan manajemen rumah tangga yang dikelola mamie dan
konsisten sampai dengan akhir usianya, untuk selanjutnya diturunkan sebagai
ilmu dan pedoman kepada kami anak anaknya.
Papie menyelesaikan
pendidikannya di UGM pada tahun 1962 untuk selanjutnya mendapatkan penempatan
sebagai pegawai negeri PP dan K di Universitas Gajah Mada. Penempatan pertama
ini tidak lama diemban papie, selanjutnya papie ditempatkan di Medan sebagai
staf pengajar di Fakultas Ekonomi USU di Medan tahun 1962.
Karier papie sebagai pegawai negeri tidaklah lama, pada tahun 1966 papie mengundurkan diri sebagai staf pengajar dengan mengemban jabatan struktural terakhir sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi USU (yang pertama),bersama OK Harmaini sebagai Pembantu Dekan II dan Saman Sembiring sebagai Pembantu Dekan III dibawah pimpinan Prof. Dr Hadibroto sebagai Dekan. Didalam perjalanan hidupnya papie berprinsip ; mengundurkan diri sebagai PNS berstatus staf pengajar adalah suatu hal, dan menjalani profesi sebagai dosen adalah hal lain yang berbeda.
Karier papie sebagai pegawai negeri tidaklah lama, pada tahun 1966 papie mengundurkan diri sebagai staf pengajar dengan mengemban jabatan struktural terakhir sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi USU (yang pertama),bersama OK Harmaini sebagai Pembantu Dekan II dan Saman Sembiring sebagai Pembantu Dekan III dibawah pimpinan Prof. Dr Hadibroto sebagai Dekan. Didalam perjalanan hidupnya papie berprinsip ; mengundurkan diri sebagai PNS berstatus staf pengajar adalah suatu hal, dan menjalani profesi sebagai dosen adalah hal lain yang berbeda.
Karier papie
sebagai dosen yang dimulai begitu papie berdomisili di Medan, ternyata tidak
didukung dengan penghasilan yang memadai untuk memenuhi kewajiban sebagai
kepala keluarga.
Sebagai usaha dalam rangka mencukupi kebutuhan
finansial keluarga, papie juga menjadi dosen di Universitas Islam Sumatera
Utara dan berbagai akademi yang ada di Medan (saat itu mendirikan
universitas masih sulit, baru di era 80’an mulai banyak berdiri universitas)
selain bekerja di Pertekstilan TD Pardede di Medan.
Sebagai dosen di FE
USU papie baru benar benar berhenti pada tahun 1982 bertepatan dengan masuknya kami sebagai
mahasiswa di FE USU ; kami masih ingat pada daftar pilihan mata kuliah semester
I Tahun Ajaran 1982, nama papie masih tercantum sebagai dosen mata kuliah
Ekonomi Pertanian I dan Ekonomi Pertanian II untuk Jurusan Studi Pembangunan.
Ketika kondisi tersebut kami pertanyakan, beliau menjawab bahwasanya beliau
berusaha menghindari conflict of interest dan untuk tetap menjaga independensi.
Selain di USU, sampai dengan berpulangnya papie aktif mengajar di Universitas
Medan Area, IAIN Sumatera Utara serta berbagai akademi di Medan.
Karena
melihat
kecintaanya kepada profesi sebagai dosen tersebut, pada kesempatan lain
pernah
kami pertanyakan kenapa papie berhenti sebagai staf pengajar berstatus
PNS yang mana untuk itu beliau memberi jawaban singkat : ... ekonomi … khas papie, pendek, mantap dan
lugas.
Papie Sebagai Sekretaris Menteri Berdikari Mendampingi DR TD Pardede Kunjungan Kerja Ke Daerah. |
Papie berkarir di
Pertekstilan TD Pardede mulai dari tahun 1962 sampai dengan tahun 1966, dimulai
sebagai staf di Bahagian Pembukuan kemudian di Bahagian Pendidikan selanjutnya
sebagai Sekretaris Direksi dan sebagai Sales Manager PT. Surya Sakti, anak
perusahaan Pardede Group yang bergerak di bidang penjualan. Papie
mengakhiri karirnya di Pertekstilan TD Pardede sebagai Sekretaris Menteri ; ketika TD Pardede menjabat sebagai
Menteri Berdikari di Kabinet 100 Menteri dimasa pemerintahan Presiden RI I
Soekarno.
TD Pardede adalah seorang yang sangat dihormati papie,
beliau sering bercerita kepada kami mengenai "Pak Katua" sembari
memujinya sebagai manusia yang brilian (kayaknya
papie jarang kagum sama orang ya Ma, hehehehee ... ). Kekaguman
itu juga ditunjukkan saat saya lahir sebagai anak yang ke 3, dimana saya diberi
nama Martum Delo yang berasal dari singkatan Maret sebagai bulan kelahiran dan
nama lengkap "Pak Katua" Tumpal Dorianus Pardede.
Papie Sebagai Sekretaris Menteri Berdikari Mendampingi DR TD Pardede Kunjungan Kerja Ke Jepang. |
Sebagai pekerja
papie mendapatkan fasilitas perumahan di kompleks TD Pardede, di beberapa
kesempatan kami diajak bernostalgia ke kompleks tersebut dan pada suatu ketika
berkesempatan kami berjumpa langsung dengan "Pak Katua" yang
berkebetulan juga sedang ada dirumah beliau di kompleks tersebut.
Dalam
kunjungan nostalgia papie biasanya melihat rumah yang pernah kami tempati, dan
juga melihat klinik perusahaan tempat saya dilahirkan, yang konon
merupakan cikal bakal RS Herna.
Di periode TD Pardede ini
papie sudah mulai "merdeka" secara ekonomi, hal ini disampaikan mamie
kepada kami dengan mengatakan bahwasanya kebutuhan nutrisi bagi anak2nya yang
masih balita sudah dapat dicukupi dengan lebih leluasa.
Ada kenangan yang tidak
pernah dilupakan mamie, untuk menuju pasar tempat berbelanja diluar kompleks,
mamie memiliki jalan pintas yaitu pagar kawat "yang kebetulan" koyak
dibelakang rumah yang kami tempati. Jalan pintas ini dipilih mamie untuk
mengurangi jarak tempuh lebih jauh yaitu memutar dari pintu gerbang kompleks
menuju pasar, sementara secara kasat mata pasar tersebut berada diseberang
jalan dari rumah yang ditempati mamie. Hal lain yang selalu diingat mamie
adalah pada masa ini mamie merawat ketiga anaknya tanpa bantuan pembantu,
sehingga mamie membuat berbagai trik akrobatik agar dapat menjalankan tugas
kerumah tanggaannya, antara lain membersihkan rumah sambil mengawasi anak
pertama dan kedua mandi atau, menyiapkan masakan sambil mengawasi anak terkecil
bermain diatas meja ... heheheheeeee ...
Pada periode ini
papie sering bergaul dengan alm H BAR Poeloengan SH yang biasanya kami panggil Uwa
Barnang. Kompleks TD Pardede di Jalan Binjai Km 10,8 yang saat itu masih terasa jauh
dari Medan didekatkan Uwa Barnang dengan sering menjemput
dan mengajak
keluarga kecil papie untuk berplesir ke Medan. Uwa Barnang selain
membawa
plesir juga membuka wawasan dan lingkup pergaulan yang lebih luas di
Medan kepada papie.
Hubungan tersebut terus berlanjut, sampai kepada saat pelaksanaan acara
adat Mambulungi yang notabene acara pengebumian papie, Uwa Barnang
berperan secara aktif sebagai raja adat. Dapat dikakatakan bahwasanya
Uwa berperan sebagai saudara tua dan bersifat sebagai mentor.
Papie bekerja di
Pertekstilan TD Pardede dan staf pengajar adalah sampai dengan tahun 1966.
Segera setelah terjadinya perubahan kepemimpinan negara, orientasi negara juga
mengalami perubahan ; dari sebelumnya cenderung kepada kekuatan politik beralih
kepada orientasi ekonomi. Industri perkebunan negara yang dominan dan bersifat
strategis di Sumatera Utara langsung merasakan efeknya.
Pandangan
sebelumnya
yang memandang perkebunan negara sebagai sumber devisa semata telah
mengakibatkan kurangnya pemeliharaan dan peremajaan tanaman serta
investasi baru di perkebunan.
Perubahan paradigma
menyebabkan diundangnya para narasumber berlatar belakang manajemen
untuk melakukan in house training bagi karyawan pimpinan perkebunan termasuk juga mengundang narasumber yang
mumpuni dibidang teknis tanaman dan pengolahan untuk memacu efisiensi.
In house training
bagi staf dam pimpinan kebun dilaksanakan perusahaan bekerja sama dengan
Fakultas Ekonomi USU dimana papie berperan aktif didalamnya. Aktifitas papie
ini akhirnya membawanya bekerja sebagai staf di Inspektorat Aneka Tanaman
dengan tugas utama membuat dan mengalisa kinerja perusahaan lingkup Inspektorat
Aneka Tanaman SUMUT-ACEH.
Berpindah kerjanya
papie dari Pertekstilan TD Pardede ke Inspektorat Aneka Tanaman SUMUT-ACEH,
menyebabkan keluarga papie berpindah ke Jalan Puri. Rumah ompung di Jalan Puri
tidak ditempati karena, setelah pensiun dari PPN KARET II sebagai kelanjutan
Senembah Maatschappij pasca nasionalisasi 1959 ; maka ompung menempati rumahnya
yang lain di Jalan Gajah Mada Medan. Perpindahan ini tidaklah masalah bagi
mamie, mengingat mamie berada dirumah dan lingkungan tersebut semasa gadis ; sehingga
sangat familiar dengan suasana dan tetangga yang ada.
Didalam memoarnya papie
menyebutkan mamie begitu senang tatkala menerima gaji pertama dari Inspektorat
Aneka Tanaman ; sehingga seolah tidak percaya. Papie masih berpindah lagi dari
Inspektorat ke Kantor Pemasaran Bersama, tetapi tidak merubah struktur dalam
sistem personalianya.
Papie
sebagai anggota Rombongan Inspeksi ke ANTAN VI Kayu Aro
Bersama Direktur Utama BPU PPN Antan Radjamin Lubis |
Pada masa ini anak
anak mamie sudah mulai bersekolah ; anak pertama dan kedua mamie di tingkat SD
sementara saya di STK pada perguruan Bhayangkara Medan. Biasanya kami berangkat
kesekolah bersamaan dengan berangkatnya papie ke kantor dengan diantar oleh Pak
Sungkrah (reminisce, my hero at that time), driver kami pada saat itu.
Masa masa di Jalan Puri ini sudah adalah
masa yang sudah masuk ke memori saya. Antara lain yang masih diingat adalah
betapa hebohnya pemberitaan di media masa sehubungan penjatuhan hukuman mati
bagi gerilyawan Indonesia saat masa konfrontasi yaitu prajurit KKO (marinir)
Usman dan Harun yang dieksekusi pemerintah Singapura tahun 1968.
Kejadian ini
sangat membekas karena pemberitaannya di Radio diberi latar belakang lagu2 yang
sedih, sehingga membuat sangat membekas di hati. Selain itu yang sangat kami
ingat adalah ritual sore hari, dimana kalau tidur siang (kan cuma Sortan yang
suka lari lompat jendela ya ma ...) maka akan diperbolehkan membeli roti dari
tukang roti yang rutin lewat setiap jam 4.30 didepan rumah.
Tahun 1968 papie
pindah kerja ke PNP V Sei Karang, dimana dengan kepindahan ini kamipun ikut berpindah
rumah.
Menempati rumah di kompleks perkebunan merupakan hal yang baru bagi kami
anak anak, tetapi tidak bagi mami. Mamie tidak menjumpai masalah tinggal di
perkebunan dikarenakan sudah pernah mengalami saat praremajanya.
Dengan cepat
mamie beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kami masih mengingat mamie aktif
disetiap kegiatan baik sosial maupun keagamaan dilingkungan Sei Karang dan
sekitarnya. Kami anak anaknya juga berpindah, Sortan dan Linda di SD I sedangkan
kami di TK.
Rumah pertama yang sejajar dengan Pasanggrahan itu kami tempati
bertetangga dengan Keluarga Ali Sati Siregar, Keluarga Benyamin, Keluarga
Hadamen dan Keluarga Anton Hudaya. Setelah keluarga Anton Hudaya berpindah ke
Gunung Pamela, rumah tersebut menjadi Club House Pamitran Golf Club yang
sekarang sudah tidak ada lagi.
Bersama Papie diatas Honda C 50 di Pantai Cermin. |
Papie membelikan
mamie sebuah sepeda motor Honda C 50 berwarna hijau sebagai sarana buat mamie
"melalak" (heheheeeee, jangan marah ya Ma ...) yang menurut mamie
mirip dengan sepeda kumbang yang diberikan ompung godang kepada mamie semasa
mamie gadis.
Kami tidak lama
tinggal dirumah ini, setahun kemudian ketika papie dipromosi maka posisi rumah kami berpindah kesamping kantor Teknologi.
Rumah dengan 3 kamar dibangunan induknya ini dinaungi oleh pohon beringin
dihalaman depannya ini (waktu kecil rasanya buoasaaar kalilah ma ... ) bertetangga dengan
Keluarga Sembiring, Keluarga Siwabessy, Keluarga Samosir sedangkan didepannya
bertetangga dengan Keluarga Pohan, Keluarga Saptohadi, Keluarga Nursalim dan
Keluarga Pratiknyo Cokrowardoyo.
Apabila pohon Beringin tersebut
berbuah, maka burung berbagai jenis terutama kepodang yang berwarna
kuning akan berada didepan rumah kami, sungguh suatu hal yang
merindukan.
Situasi di
perkebunan akhir '60 an yang masih lekat dengan suasana perkebunan zaman
sebelum nasionalisasi, terasa sangat nyaman. Mandi di "sembat"
(zwembad (nd)/swiming bath (eng)/kolam renang), bermain tennis, badminton atau
basket tinggal "nyebrang" kedepan rumah, atau nonton film (di Gedung
Pamitran kalo mo nyaman tapi harus pakaian resmi ; di "Lapangan
Segitiga" dengan suasana lebih meriah, tapi harus liat kondisi cuaca
karena berstatus "misbar").
Seperti ditulis Ir Hasjrul Harahap dalam
otobiografinya "Dari
Mandor Jadi Menteri" kehidupan di Sei Karang saat itu sangat
guyub dan kental kekeluargaannya. Kerap diadakan acara dilingkungan perkebunan
dengan mengikut sertakan seluruh keluarga, masih terbayang bagaimana situasi
saat "rewang"
yaitu gotong royong untuk menyiapkan santapan yang akan menjadi jamuan para
undangan ; heboh, berisik dan penuh canda tawa. Seingat kami papie aktif
mengikuti setiap kegiatan olahraga sedangkan mamie biasanya berstatus
penggembira saja.
Kami tinggal di Sei
Karang sampai dengan tahun 1973, selanjutnya ketika papie dipromosi ke PTP II
maka kami berpindah rumah ke Tanjung Morawa.
Rumah peninggalan kolonial
itu berseting sama dengan rumah di Sei Karang, rumah induk 3 kamar dihubungkan
oleh selasar ke bangunan tambahan dibelakang rumah yang terdiri dari dapur,
kamar tambahan dan garasi. Yang menarik dari rumah ini adalah posisinya yang
terletak disamping kolam besar yang membelah kompleks perumahan Tanjung Morawa menjadi
dua bagian.
Rumah dinas papie
bertetangga langsung dengan rumah Keluarga Syarifuddin Siregar, Keluarga LM
Siahaan dan Keluarga Masdoeki. Dengan keluarga Syarifuddin Siregar yang masih
kerabat mamie ada kisah yang sampai saat ini masih jadi bahan bercanda tatkala
saling berjumpa ; permasalahan tersebut kerap muncul apabila memasuki musim
panen rambutan.
Diantara rumah kami
dan rumah keluarga Syarifuddin Siregar yang dibatasi parit, tumbuh sebatang
pohon rambutan tua yang besar. Pohon tersebut tumbuh di areal rumah keluarga
Syarifuddin Siregar dan "celakanya" topping dan buahnya lebih banyak
masuk ke areal rumah kami. Ketika musim rambutan tentunya buah rambutan yang
merah itu sangat menggoda untuk diambil, sungguh godaan yang berbahaya karena
yang jaga seram semua ... heheheeee ... Sampai dengan saat ini kami masih belum
mengerti kenapa sering sekali kena "operasi
tangkap tangan" yang dilaksanakan oleh Yus, Tetty dan
Midah (disemprot satu boru Siregar saja sudah seram kali Ma ... , apalagi
disemprot tiga boru Siregar sekaligus ... wkwkwkwkwk). Keheranan muncul dikarenakan posisi
pohon rambutan itu cukup jauh dari rumah induk mereka dan tertutup oleh garasi.
Papie Dan Rombongan Meninjau Persiapan Peresmian Proyek Tritura (saat ini PTPN II Kebun Sawit Hulu) (Ki-Ka) Masdoeki, Syarifuddin Siregar, Papie, LM Siahaan. |
Sortan dan Linda
tidak ikut pindah, tetap tinggal in de kost dirumah Bujing Basaria dan Oom Jon di Sei
Karang untuk melanjutkan sekolahnya di
SMP YPAK, yang saat itu dikenal dengan mutunya yang baik ; sedangkan kami ikut
berpindah dan melanjutkan sekolah di SD Negeri I Kiri Hulu Tanjung Morawa.
Karena lokasinya
yang dekat dengan Medan, aktifitas papie diluar pekerjaan sehari harinya
bertambah sibuk. Pada era ini papie mengikuti program S3 di Fakutas Ekonomi
UGM, selain daripada itu secara rutin setiap hari kamis mengajar di FE UISU dan
menerima mahasiswa yang mentoren maupun memberikan bimbingan untuk penulisan
skripsi. Papie cukup serius dalam menjalankan fungsinya sebagai pengajar. Kami
masih mengingat, untuk memudahkan mahasiswa, papie menyediakan mesin stensil untuk
mencetak diktat pelajaran yang dibagikan kepada mahasiswanya (pada masa itu
foto copy masih langka dan mahal, kalau mau foto copy di Medan cuma ada di
kantor Xerox Astra Graphia, Medan Building (sekarang Mandiri Building) di Jalan
Imam Bonjol).
Selain daripada
itu, sebagai counterpart pada tim penyusunan sistem akuntansi perkebunan yang
dikoordir oleh Kantor Akuntan Publik SGV (SyCip Gorres Velayo & Co) dari
Filipina, papie dan anggota timya sering bekerja di rumah pada malam
hari. Di zaman yang hampir 90% pekerjaan administrative masih dikerjakan secara
manual, maka dapat dibayangkan kondisi berkas dan kertas yang berserakan. Kami
mengingat (sebenarnya baru mengerti setelah bekerja di lingkup BUMN perkebunan)
; konsep Neraca Percobaan yang dibuat hampir selebar meja. Kesibukan papie ini
diimbangi mamie yang sebagai bentuk support seorang istri dalam rangka
menunjang karier suami dengan selalu stand bye menyiapkan "logistik"
ataupun menemani dan meladeni ketika ada mahasiswa yang datang untuk menemui
papie.
Di Tanjung Morawa,
seperti biasanya ini mamie aktif di kegiatan istri karyawan dan juga kegiatan
keagamaan (ketika bertugas di kebun, terkadang kalo lagi menerima rombongan ibu ibu dalam rangka 17'an
jadi suka ingat moment ini loh Ma ...).
Tahun 1976 Ucok dan
Linda menyelesaikan pendidikan SMP nya dari Sei Karang untuk selanjutnya
menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Medan sedangkan saya menyelesaikan SD di Tanjung
Morawa untuk kemudian dilanjutkan di SMP Negeri I Medan yang dijalani hanya pada kelas I
nya saja. Hal tersebut disebabkan pada tahun ajaran 1977, penyelenggaraan
pendidikan Kelas II di SMP Negeri I hanya dilaksanakan pada sore hari yang mengakibatkan
kendala dalam persoalan antar jemput. Pada akhirnya persoalan ini diselesaikan
dengan kepindahan saya ke SMP Kristen Immanuel II mulai tahun ajaran 1977.
Pada Tahun 1980
papie pindah ke PTP VII, kami tidak ikut berpindah ke Bah Jambi melainkan ke
Medan. Pada 1979 status pendidikan Sortan adalah mahasiswa di Fakultas Teknik
Mesin USU, Linda mahasiswi di Fakultas Hukum USU sedangkan kami melanjutkan
pendidikan di SMA Negeri I Medan.
Tidak banyak yang kenangan menyangkut era Bah Jambi ini karena kami tidak ikut bermukim disana. Beberapa hal yang menjadi catatan bagi kami adalah, biasanya Papie dan Mamie kembali ke Bah Jambi pada hari minggu sore kalau tidak ada acara pada minggu malam dan senin subuh kalau ada acara. Dalam rangka menjaga hubungan dengan anak anaknya, biasanya mamie mendahului datang ke Medan dari Bah Jambi pada tengah minggu.
mamie, papie dan cucu pertamanya xonya (dr. Haflin Soraya Hutagalung Sp.S) |
Selama priode Bah
Jambi ini, ada dua peristiwa penting bagi keluarga yang terjadi yaitu pernikahan
Linda dengan dr Halomoan Hutagalung pada 1981 dan diterimanya kami menjadi
mahasiswa di Fakultas Ekonomi USU pada 1982.
Pada saat itu
sebenarnya ada fasilitas transportasi udara bagi pimpinan puncak, yaitu dengan
menggunakan pesawat terbang yang berangkat dari Bandara Polonia dan mendarat di
lapangan rumput Air Strip Bah Jambi dengan waktu tempuh 40 Menit. Pesawat yang digunakan
adalah jenis Piper PA 23 Aztec buatan Piper Aircraft tahun 1974 dari Amerika
Serikat berkapasitas 5 penumpang dengan registrasi PK-PNP.
Mamie tidak pernah
mau menggunakan fasilitas ini ; sedangkan papie menggunakannya dalam kondisi
mendesak. Pada suatu ketika, saya diajak papie ke Bah Jambi dengan menumpang
pesawat ini dan memang menjadi pengalaman yang sulit dilupakan. Mulai berangkat
dari Medan sampai ke Bah Jambi dilalui dengan kondisi cuaca hujan dan petir,
sementara ketinggian pesawat kog rasanya hanya sedikit diatas pohon sawit
(heheheeeee …) sementara komunikasi antara pilot dengan tower langsung dapat didengar
karena tidak ada pembatas di cabin antara pilot dengan penumpangnya ; yang berujung bagaimana situasi didepan ikut diketahui penumpang secara live report.
Kondisi itu mungkin mempengaruhi
mimik wajah saya yang merupakan salah satu penumpang di pesawat yang berisi dua
orang penumpang ; yaitu papie dan saya. Melihat mimik saya itu papie tersenyum sambil berkata “semua kondisi secara teknis tentu sudah diperhitungkan, kalau tidak safe tentu
pilot tidak berangkat” … seperti biasa khas papie … yang pasti dari Bah Jambi kembali ke Medan saya memilih memakai mobil ... wkwkwkwkwk ...
Pesawat
berigistrasi PK-PNP ini akhirnya pada 25 Nopember 1982 hilang dalam perjalanan
dari Kebun PTP III Aek Nabara menuju Bandara Polonia Medan dengan membawa 4
orang penumpang, dua orang diantaranya dikenal dengan baik oleh papie yaitu OB
Siahaan yang merupakan pimpinan papie di KPB Medan dan Masdoeki yang menjadi
tetangga kami di Tanjung Morawa. PK-PNP baru ditemukan pada tahun tahun 1996 oleh empat
pencari kayu ulin, dilereng bukit
hutan kawasan Desa Tenggulun, Kejuruan Muda, Aceh Timur, 135 kilometer dari
Kota Medan.
Pada tahun 1983 papie pindah ke
Bandarlampung karena promosi ke PTP X (saat ini PTPN VII). Priode Bandarlampung
ini sama dengan priode Bah Jambi ; kami tidak ikut berpindah, cuma mamie yang
menemani papie disana.
Biasanya Mamie sebulan dalam masa tiga bulan tinggal dan dua bulannya menemani papie di Bandarlampung.
Pada tahun 1985, papie pindah ke LPP
Kampus Jogya. Di periode Jogya ini mamie dan papie serasa mengulang kehidupan
yang 25 tahun sebelumnya. Yang kami ingat pada priode ini mamie dan papie banyak
melakukan perjalanan mengeliling tempat peristirahatan di sekitar Jawa termasuk
mengajak ompung menek Nurmala Daulay untuk napak tilas perjalanan pengembangan
islam di pulau Jawa.
Pada tahun 1987, papie mutasi dari LPP
Kampus Jogya ke LPP Kampus Medan sehingga setelah 5 tahun kita berkumpul serumah lagi Jalan Sei Putih. Ketika papie dan mamie kembali ke Medan, kondisi sudah sangat berubah ; Sortan sudah menyelesaikan pendidikannya sembari nyambi sebagai assisten dosen di Fakultas Teknik Mesin USU sebelum selanjutnya menjadi PNS di Kemenperin (dapatnya cita citanya banyak dinas keluar negeri ya Ma ...), Linda sudah mempunyai anak sementara Martum sedang mempersiapkan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana.
Paragraf diatas memang untuk pembuktian, walaupun kami ditinggalkan papie dan mamie untuk mencari nafkah ; insyallah kami dapat bertanggung jawab dengan berbuat seperti yang papie dan mamie harapkan.
Hari ini mamie telah 10 hari meninggalkan kami ... "Kullu Nafsin Dzaa Iqatul Maut" semoga mamie berada disebaik baik tempat disisi Allah SWT.
Ada pepatah Melayu yang dijadikan sub judul pada buku karangan HT Luckman Sinar SH "Sekali Air Bah, Sekali tepian Terbelah", walaupun sudah diihlaskan dan walaupun akal maupun perasaan sudah dapat menerima tetapi segala sesuatunya tidak akan sama lagi.
Tidak ada lagi yang membuat masakan kesukaan apabila kami ke Medan, tidak ada lagi mamie sebagai penutup akhir dalam "makkobar makan fajar" saat saling bermaafan di fajar pertama Aidil Fitri dan juga tidak ada lagi yang akan melarang untuk touring jarak jauh. Itu semua tidak akan ada lagi Ma ...
Cucu mamie Xonya sudah menyelesaikan pendidikannya sebagai spesialis saraf dan sedang merintis karirnya sebagai staf pengajar di FK USU serta berpraktek dibeberapa rumah sakit di Medan sementara suaminya Fadhli sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya ; cucu mamie Ririn sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya sedangkan suaminya Taufik sudah menyelesaikan pendidikannya sebagai spesialis penyakit dalam dan sedang merintis karirnya sebagai staf pengajar di FK USU serta berpraktek dibeberapa rumah sakit di Medan, cucu mami Dian tahun ini memulai statusnya sebagai mahasiswa di FK-UISU. Sementara Alya yang masih di SMA, Eza di SMP dan Zahra yang masih SD tentunya akan kami bimbing untuk dapat lebih baik lagi.
Cicit mamie Mazaya dan Fathan juga sudah mulai memasuki dunia pendidikan setingkat preschool.
Jadi everything looks like ok kog ma ... mamie dan papie sudah berbuat yang terbaik ; bagi kami sekarang tinggal berusaha untuk dapat masuk kedalam golongan anak yang shalih, agar doa yang kami mintakan untuk kebaikan mamie dan papie diijabah Allah SWT.
Kami yakin papie sudah menunggu mamie, dan kalau mamie sudah bersama lagi dengan papie maka pertahankanlah sifat mamie yang dulu ; kalau papie diam diam masukin soft drink dan snack ke kulkas di ruang belajarnya melalui pintu samping, atau curi curi merokok, tetaplah mamie pura puranya nggak tahu ... heheheheee ...
Hari ini mamie telah 10 hari meninggalkan kami ... "Kullu Nafsin Dzaa Iqatul Maut" semoga mamie berada disebaik baik tempat disisi Allah SWT.
Ada pepatah Melayu yang dijadikan sub judul pada buku karangan HT Luckman Sinar SH "Sekali Air Bah, Sekali tepian Terbelah", walaupun sudah diihlaskan dan walaupun akal maupun perasaan sudah dapat menerima tetapi segala sesuatunya tidak akan sama lagi.
Tidak ada lagi yang membuat masakan kesukaan apabila kami ke Medan, tidak ada lagi mamie sebagai penutup akhir dalam "makkobar makan fajar" saat saling bermaafan di fajar pertama Aidil Fitri dan juga tidak ada lagi yang akan melarang untuk touring jarak jauh. Itu semua tidak akan ada lagi Ma ...
Cucu mamie Xonya sudah menyelesaikan pendidikannya sebagai spesialis saraf dan sedang merintis karirnya sebagai staf pengajar di FK USU serta berpraktek dibeberapa rumah sakit di Medan sementara suaminya Fadhli sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya ; cucu mamie Ririn sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya sedangkan suaminya Taufik sudah menyelesaikan pendidikannya sebagai spesialis penyakit dalam dan sedang merintis karirnya sebagai staf pengajar di FK USU serta berpraktek dibeberapa rumah sakit di Medan, cucu mami Dian tahun ini memulai statusnya sebagai mahasiswa di FK-UISU. Sementara Alya yang masih di SMA, Eza di SMP dan Zahra yang masih SD tentunya akan kami bimbing untuk dapat lebih baik lagi.
Cicit mamie Mazaya dan Fathan juga sudah mulai memasuki dunia pendidikan setingkat preschool.
Jadi everything looks like ok kog ma ... mamie dan papie sudah berbuat yang terbaik ; bagi kami sekarang tinggal berusaha untuk dapat masuk kedalam golongan anak yang shalih, agar doa yang kami mintakan untuk kebaikan mamie dan papie diijabah Allah SWT.
Kami yakin papie sudah menunggu mamie, dan kalau mamie sudah bersama lagi dengan papie maka pertahankanlah sifat mamie yang dulu ; kalau papie diam diam masukin soft drink dan snack ke kulkas di ruang belajarnya melalui pintu samping, atau curi curi merokok, tetaplah mamie pura puranya nggak tahu ... heheheheee ...