Pengantar.
Konsep otobiografi ini ditemukan secara tidak sengaja ; beberapa hari
setelah beliau berpulang kami anak beserta menantu memasuki ruangan belajar almarhum tempat beliau banyak menghabiskan waktu setelah kesehatannya mulai menurun.
Diruangan tersebut selain melihat catatan2 yang ada, kami juga membuka laptopnya dimana kami menemukan konsep otobiografi dengan tanggal update terakhir tepat sebulan sebelum beliau berpulang pada 27 Desember 2001.
Kalender November 2001, dengan catatan pada tanggal 12 dan 13. "The Coming Generation" comment pada foto cucunya. |
Selanjutnya bertepatan dengan haul pertama almarhum ; kami para ahliwaris menerbitkannya dengan judul sesuai dengan konsep yaitu “Bukti Kepada Generasi Penerus” untuk kalangan terbatas.
Membuat tinjauan ataupun berbicara dengan mengambil topik “Drs HS Pulungan” bagi saya tentunya sangat menarik, bukan cuma kedudukannya sebagai ayah tetapi juga mengingat sosoknya yang multi dimensi.
Meja Baca diruangan belajar |
Shock itu terjadi antara lain di tahun 2003 ; pada suatu kesempatan saat mengunjungi mamie ke Medan, dalam salah satu pembicaraan beliau bertanya "Mamie baru terima transfer dari penerbit Gadjah Mada University Press. Baiknya uangnya buat apa ?", saya kemudian bertanya "Transfer dari mana Ma, untuk apa". Mamie kemudian menguraikan bahwasanya mamie baru menerima transfer sehubungan dengan cetak ulangnya buku "Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit" dimana papie menjadi salah satu penulisnya dan penerbit membayar royalti terhadap cetakan pertama dari buku itu.
Shockingly … karena dalam pikiran maupun perasaan kami terbersit rasa walaupun beliau telah tiada tetapi masih berkemampuan untuk memberikan uang kepada mamie sebagai istrinya.
Salah Satu Sudut Ruang Belajar Papie |
Selain dari pada hubungan biologis, ada beberapa unsur yang berkebetulan sama, antara lain bidang studi dan bidang pekerjaan. Kesamaan unsur itu ternyata berbeda didalam hal perkembangan hasil. Hal tersebut menyebabkan kami mempunyai rasa "takut" akan timbulnya bias terhadap tinjauan yang yang dibuat. Karena berkemungkinan tidak secara pas menangkap "ruh" ataupun "soul" dari apa yang tertulis ; namun secara sadar kami berusaha untuk dapat semaksimal mungkin menangkap "ruh" dari apa yang tertulis.
Selain daripada itu, kemampuan kami dalam penulisan juga terasa masih kurang mumpuni untuk membahas karya tulis Drs HS Pulungan.
Sebagai penulis beliau terhitung cukup produktif melahirkan karya tulis baik berupa artikel di koran maupun buku ; baik yang diterbitkan secara pribadi ataupun secara bersama, dan yang dicetak sendiri maupun oleh penerbit.
Dua dari karya tulisnya tercatat sebagai koleksi Library Of Congress, Washington, D.C. (http://openlibrary.org/authors/OL571342A/H._S._Pulungan), yaitu yang buku yang berjudul "Pengalaman mengikuti kegiatan Javanologi Yogyakarta sebagai bahan perbandingan dalam pengkajian kebudayaan Batak" menjadi koleksi pada 1991 dan "JACINI Refleksi Pensiunan Karyawan Perkebunan" menjadi koleksi pada 1994.
_______________________________________________________________
MASA KANAK-KANAK
(1933 – 1942)
Bagian
ini adalah bagian yang paling awal, dan tentunya saya tidak ingat apa yang
terjadi, sehingga cerita ini disusun sesuai dengan sumber berita yang saya
terima dari berbagai sumber.
Menurut
cerita umak, saya dilahirkan ke dunia ini pada hari Sabtu pagi, 30 September
1933, bersamaan dengan dentang lonceng gereja Katolik yang terletak di tengah
kota.
Saya
teringat pada rumah tua, dimana saya dilahirkan, yang terletak dibatas kota
(waktu itu) di jalan Sibolga-Padang Sidempuan (saat ini bernama Jalan
Sisingamangaraja), di daerah Timbangan. Dikatakan berada dibatas kota karena
penerangan listrik hanya sampai disitu, demikian juga kuburan Belanda dan
kuburan Cina.
Dinamakan
Timbangan karena waktu itu disitu terletak jembatan timbang. Dikaki bukit di
seberang pekuburan itu terletak sebidang tanah yang agak rata dipinggir jalan,
dibatasi anak sungai.
Rumah
ini adalah rumah panggung, punya kolong yang merangkap gudang dan kandang ayam,
terbuat dari papan dengan atap daun rumbia. Sesudah remaja, saya sering membeli
atap rumbia dan mengganti atap yang bocor Rumah itu adalah setipe dengan rumah
rumah Melayu yang masih dijumpai di kampung-kampung Melayu. Rumah ini tidak
dicapai oleh jaringan listrik dan air bersih, walaupun pipa air dari Sungai
Sarudik lewat di depan rumah. Lampu yang digunakan sampai saya tamat SMP adalah
lampu templok atau lampu semprong dengan bahan bakar minyak tanah. Sewaktu
anak-anak membersihkan semprong lampu dan menambah minyak tanah merupakan
keasyikan tersendiri.
Fasilitas
air bersih diperoleh dari pancuran dibelakang rumah yang airnya bersumber dari
hutan kecil dikaki bukit, yang kami namakan gunung, yang berada di belakang
rumah. Seingat saya kemarau sepanjang apapun pancuran itu pernah kering.
Keperluan
WC dilaksanakan di sungai di depan rumah yang bernama sungai Muara Bayuon yang
mengalir dari Sentiong menuju ke laut, dimana terdapat kandang babi. Namun,
sebelumnya ada kuburan untuk para nara pidana yang waktu itu dinamakan Sitarapan,
dari bahasa Belanda straf hukuman. Kuburan ini sama sekali tidak terawat,
sering dijumpai bagian bagian tulang belulang manusia berserakan.
Sitarapan
ini mempunyai arti sosiologis, keluarga miskin yang tidak punya keluarga, kalau
meninggal mayatnya diusung oleh para sitarapan ini.
Waktu
itu belum ada cerita tentang HAM, sehingga pengkaryaan ini biasa-biasa saja,
Nama Muara Bayuon itu tidak dikenal masyarakat, saya mengetahuinya setelah
membaca catatan-catatan kakek yang terdapat di laci meja.
Sayangnya
rumah tua ini telah dihanyutkan banjir pada tahun 1956, waktu saya masih berada
di Yogyakarta. Baru tahun 1957 saya bisa kembali dengan menggadaikan dua bulan
ikatan dinas, sedang untuk pulang kembali ke Yogyakarta mengharapkan uang dari
orang tua.
Sebidang
tanah rata antara kaki gunung dengan sungai itu biasa dikenal dengan nama Kebun
Jambu, karena dulunya terutama pada masa saya kanak-kanak disana banyak
terdapat pohon jambu. Disitu juga terdapat beberapa pintu rumah sewa, disamping
beberapa.puluh pohon kelapa dan pohon jambu, yang biasa disebut jambu air. Saya
biasa jadi penjual jambu bila musim jambu tiba.
Memanjat
kelapa, mengambil kelapa tua atau kelapa muda adalah pekerjaan rutin saya,
demikian juga memanjat pohon mangga yang buahnya saya jual ke pekan dan
hasilnya saya belikan tekstil untuk celana. Ada juga satu gudang yang pernah
disewakan jadi bengkel mobil, dan sebagai gudang kapok yang disewa oleh seorang
tukang kasur. Tukang kasur ini adalah orang Minang.
Di
gudang ini juga ada kayu bahan bangunan yang saya tidak tahu berasal dari mana,
demikian juga di kolong rumah. Sewaktu rumah panggung runtuh, bahan-bahan
bangunan yang berumur puluhan tahun itu dimanfaatkan jadi bahan membangun rumah
baru.
Orang
orang Minang "menguasai" perekonomian, sebagai tukang tilam, tukang
pangkas, tukang peci, tukang jahit, rumah makan dan lain lain.
Kekayaan
ayah selain terdiri dari sebidang tanah itu, dekat jembatan timbang ada juga
beberapa rumah sewa, namun kemudian habis terjual. Ada setapak tanah yang terpaksa
dijual untuk mengembalikan kredit dari BRI yang digunakan untuk berdagang beras
yang tidak bisa dikembalikan. Kenyataan ini membuat kami berada dalam posisi
kontroversial. Kami dikatakan kaya karena mempunyai tanah yang cukup lebar
dengan beberapa rumah sewa, namun kami adalah miskin karena sumber
penghasilannya sebahagian besar hanya dari sewa rumah itu. Selain dari pada
beberapa pintu rumah sewa yang telah ada sejak dahulu, kemudian kami
adik-beradik sesudah punya kemampuan menambah beberapa pintu lagi.
Saya
dilahirkan di rumah tua itu dengan mendatangkan bidan yang bernama Siti
Anggur untuk menolong. Saya masih kenal bidan itu sampai saya dewasa,
karena di kota kecil seperti Sibolga pergaulan masih sangat erat sehingga sang
bidan dianggap sebagai keluarga dan bukan semata-mata sebagai tenaga kerja
professional.
Menurut
cerita ibu, seperti telah disinggung diatas, saya lahir bersamaan dengan
berdentangnya lonceng gereja Katolik menandakan waktu jam 06.00 pagi pada hari
Sabtu 30 September 1933. Gereja Katolik ini berdiri sejak tahun 1929, tahun
berdirinya paroki Sibolga, yang sebelumnya berpusat di Padang.
Ada
yang mengatakan bahwa hidup manusia adalah waktu, karena bila ia meninggal
waktunya juga sudah berakhir untuk berada di dunia ini. Karena itu kesadaran
akan waktu dan kesadaran akan jam berapa adalah sangat penting. sehingga alat
penunjuk waktu juga jadi penting.
Sampai
saya meninggalkan kota kelahiran pada usia 17 tahun, lonceng gereja Katolik dan
tabuh mesjid Raya merupakan petunjuk waktu, kami tidak punya sesuatu yang
bernama jam.
Ayah
dan umak mempunyai sembilan orang anak. tujuh laki laki dan dua orang
perempuan, namun dua orang diataranya, satu laki laki dan satu perempuan jarang
disebut-sebut karena meninggal diwaktu kecil. Yang hidup sampai dewasa ada
tujuh orang, masing masing bernama : Sorimuda, Syarifuddin, Imran, Darlan,
Iwan, Ramlan dan Rosmanida.
Seorang
diantaranya, Syarifuddin meninggal pada tanggal 2 Oktober 1989. Sesudah ayah
meninggal pada tanggal 21 Mei 1985. Syarifuddin lah yang mendampingi umak.
Kemudian
sesudah Syarifuddin berpulang, kami sepakat bahwa yang mendampingi umak tinggal
di Sibolga adalah adik yang bernama Iwan beserta isteri dan anak anaknya.
Ayah
meninggalkan wasiat, bahwa sepeninggalnya tanah Kebun Jambu tidak boleh
dibagi-bagi, supaya dimanfaatkan bersama Bagi yang dipercayakan menjaga dan
menjalankan usaha, agar diberikan bagian yang sesuai. Namun belakangan, atas
permintaan adik-adik tanah itu dibagi, dan ada yang telah menjual bagiannya.
Ayah
adalah seorang anak tunggal. Sedangkan anak-anaknya berjumlah sembilan orang,
tujuh orang diantaranya hidup sampai berumah tangga. Satu menjadi tujuh adalah
suatu rahmat. Dari anak-anak ayah, anak laki-laki adalah langka, hanya satu
atau dua orang. Mudah-mudahan anak yang banyak ini menjadi rahmat dan bukan
laknat.
Sampai
tamat Sekolah Rakyat satu pun tidak ada jam dirumah. Dentang lonceng gereja
dengan setia menunjuk waktu setiap jam enam pagi, jam dua belas siang dan jam
enam petang sore, sedangkan tabuh mesjid agung dipalu setiap waktu sembahyang
lima waktu tiba. Namun barangkali sesuai dengan bahannya. dentang lonceng lebih
nyaring dan tabuh mesjid. Kemudian dengan adanya kemajuan tehnologi timbullah
semacam perlombaan adu keras suara. Di kota-kota besar tidak jarang sebuah
rumah berada "dibawah daerah gaung pengeras suara".
Keadaan
jauh berbeda dengan sekarang, berkat kemajuan teknologi dan ekonomi telah
memungkinkan berdirinya pabrik jam dimana-mana sehingga harganya sangat
terjangkau, hampir setiap rumah punya jam, tidak jarang lebih dari satu. Saya
pernah merasa malu menaksir harga jam dinding disalah satu toko koperasi,
ternyata taksirannya : diatas harga yang sebenarnya.
Walaupun
dimana-mana ada pabrik jam, negara-negara seperti Swiss dan beberapa negara terkemuka
lainnya tetap menjadi penghasil jam mahal dan bergengsi.Teknologi yang
memungkinkan pembuatan jam yang artistik, telah menambah fungsi jam yang
tadinya hanya sebagai penunjuk waktu bertambah menjadi perhiasan atau bagian
dari perhiasan dengan harga yang sangat tinggi.
Sayangnya
jam yang tidak mewahpun difungsikan sebagai perhiasan dan bukan sebagai
petunjuk waktu, sehingga walaupun orang punya jam belum tentu bisa menjaga
waktu, datang ke pertemuan tepat pada waktunya, menyelesaikan pekerjaan dalam
waktu yang ditentukan. Waktu adalah hidup manusia, karena selama ia hiduplah ia
punya waktu, dan waktu ini merupakan anugerah Tuhan yang sangat berharga.
Sadar
atau tidak sadar masalah alat penunjuk waktu ini sudah jadi
"penyakit", sehingga saya telah menjadi kolektor jam, walaupun bukan
jam yang mahal-mahal. Kadang kadang saya tertawa sendiri, kalau mengingat di
kamar belajar saya yang sederhana, hampir disetiap meja dan disetiap dinding
ada jam, belum termasuk jam tangan dan jam saku yang dipakai berganti-ganti.
Saya tidak tahu apa penyebabnya, namun sejak kecil saya sangat menjaga waktu,
lebih suka menunggu sampai waktu pertemuan dimulai dari pada datang terlambat.
Mungkin penyebab utamanya takut kena marah kalau terlambat.
Sejak
dari kecil saya telah mengenal pentingnya waktu, sehingga tanpa sebuah jam di
rumah, saya belum pernah terlambat sampai ke sekolah. Terlambatnya seseorang
tidaklah semata-mata ditentukan ada tidaknya jam. Struktur masyarakat dan
infrastruktur lingkungan serta alat transpor juga ikut menentukan.
Tumbuhnya
kota-kota besar secara spontan tanpa perencanaan sebelumnya banyak menjadi
penyebab dari sulitnya menjaga waktu. Para pelajar sekolah di kota besar sering
diancam dengan menutup pintu gerbang sekolah sesudah jam pelajaran dimulai,
sering menghadapi murid yang datang tepat waktu adalah sedikit sehingga alat
disiplin mati menutup pintu terpaksa ditinjau ulang.
Seperti
telah disinggung, Sibolga adalah sebuah kota kecil di pantai barat Sumatera.
Pantai ini merupakan bagian dari teluk Tapian Nauli, sebuah teluk yang ideal
sebagai pelabuhan kapal-kapal layar tempo dulu.Teluknya yang tenang yang
dikelilingi hutan-hutan pantai yang penuh dengan pohon yang menghasilkan papan
dan tiang untuk reperasi kapal.
Sejak
kecil saya sering berkunjung ke pantai, khususnya ke pantai yang bernama
Ketapang. Dinamakan Ketapang, mungkin karena disana banyak tumbuh pohon
Ketapang. Ketapang ini terletak dekat dengan Simare Mare, daerah pemukiman
elit. Disana kita dapat memandang laut sepuas-puasnya, laut tenang yang
ditaburi pulau-pulau kecil. Saya masih ingat cerita guru di Sekolah Rakyat
bahwa teluk ini nomor dua cantiknya di dunia. Sayangnya pantai indah itu telah
ditelan manusia, artinya sudah jadi pemukiman, termasuk pantai laut dimana
dibangun rumah-rumah diatas air laut, dan gunung kecil antara pantai dengan
kota juga telah penuh rumah.
Kenyataan
ini menimbulkan "Penipuan Statistik", Sibolga merupakan penduduk per
Ha nya sangat tinggi, karena jumlah penduduk dibagi dengan luas daratan dan
tidak termasuk lautan dimana banyak rakyat bermukim.
Sejak
zaman dahulu kala daerah di sekitar teluk ini merupakan sumber hasil bumi
seperti kemenyan, kulit manis dan kopi, yang merupakan mata dagangan
intemasional. Tidak heran kalau daerah ini merupakan daerah perdagangan
internasional, kapal-kapal Portugis, Belanda, Inggeris, Amerika Serikat dan
China silih berganti mengunjungi daerah ini. Saya sering mengadakan dugaan
bahwa ada hubungan erat antara teknologi pelayaran dengan pelabuhan yang ada
pada waktu itu. Kapal-kapal kecil yang mengandalkan tenaga : angin dapat
berlabuh di muara muara sungai.
Namun,
masa romantis ini berakhir dengan munculnya kapal-kapal yang menggunakan tenaga
uap, dan bahkan kemudian ditambah lagi dengan adanya tenaga diesel dan tenaga nuklir
Ini membawa revolusi dalam teknologi pelayaran, sehingga beberapa pelabuhan
ideal tempo dulu menjadi bagian dari sejarah, kecuali beberapa pelabuhan yang
dapat menyesuaikan diri.
Di
sebelah selatan Sibolga terdapat kota kecil Natal, disebut-sebut sebagai
pelabuhan dimana pelaut Portugis pernah tiba disana pada hari Natal. Natal ini
menjadi tambah terkenal karena ada bagian tertentu dari buku Max Havelaar karya
Multatuli yang berkisah mengenai daerah ini. Sejak lama Inggeris telah
mempunyai pos perdagangan di pulau Poncan yang terletak di telukTapian Nauli.
Sing
Kuang, sebuah kampung kecil di selatan teluk ini disebut-sebut sebagai
pelabuhan yang pernah dikunjungi dan dibina oleh pelaut Muslim Cina Cheng Ho,
seorang pelaut legendaris, yang berkunjung ke berbagai tempat dikawasan ini.
Semenjak dari Semarang, Malaka dan tempat tempat lainnya. Ada berbagai tempat
di AsiaTenggara yang mengaku menjadi tempat dimana Cheng Ho terkubur Di Banda
Aceh sendiri ada artefak yang diakui sebagai lonceng pemberian Cheng Ho kepada
Raja Pasai.
Daerah
pantai, selain berfungsi sebagai pelabuhan tempat singgah kapal-kapal asing,
juga berhubungan erat dengan pedalaman (hinterland) sebagai sumber hasil bumi.
Sebaliknya, daerah pedalaman ini memerlukan garam yang dihasilkan dari air laut
serta barang barang lainnya seperti barang impor Benang dan manik-manik yang
merupakan bagian utama dari ulos Batak yang legendaris itu adalah bahan yang
diimpor dari India. Penggunaan bahan impor ini sebagai bahan baku ulos
digunakan sebagai bukti yang membantah orang Batak dizaman dulu menjalankan
politik isolasi.
Daerah
pantai juga berfungsi sebagai penghasil garam. Dari pelajaran sejarah saya
mengetahui bahwa bahasa Inggeris "salary" yang berarti gaji, berasal
dari kata Romawi salarium yang berarti garam, karena tempo dulu pasukan Romawi
dibayar gajinya sebahagian dengan garam.
Pada
zaman Jepang dan awal revolusi, disaat hubungan dengan daerah penghasil garam
Madura terputus, di pantai ini mulai marak kembali industri garam. Seorang
kenalan saya yang pernah menjadi Heiho, pasukan Indonesia pembantu tentara
Jepang pernah bercerita bagaimana sulitnya hidup tersesat di hutan terutama
karena ketiadaan garam, dan sebagai gantinya digunakan abu dari rotan.
Berbeda
dengan pembuatan garam di JawaTimur dan Madura yang menggunakan sinar matahari
sebagai sumber energi untuk pengeringan, proses yang digunakan di pantai ini
adalah sangat sederhana, merebus air laut sampai garamnya mengkristal. Untuk
perebusan air laut ini digunakan kayu yang tersedia di hutan pantai. Salah satu
“intermezzo" dari industri ini adalah pencelupan ikan kedalam air garam
untuk kemudian disantap.
Daerah
pantai ini tempo dulu berfungsi sebagai daerah industri garam, sampai sekarang
masih ada kampung yang namanya Penangkalan yang berarti tempat pembuatan garam.
Daerah pantai ini merupakan "daerah koloni" penduduk dari daerah
pedalaman terdekat, dari daerah Silindung.
Diawal
abad 20 yang lalu, Belanda mengkonsolidasikan kekuasaannya di daerah ini dengan
mendirikan Keresidenan Tapanuli, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Tapanuli
Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.
Daerah
Tapanuli Selatan yang lebih dahulu dikuasai Belanda, yang tadinya digabungkan
dengan propinsi Sumatera Barat, dipindahkan menjadi bagian dari keresidenan
Tapanuli, Daerah ini jugalah yang lebih dahulu mendapat
"pembudayaan", adanya tenaga-tenaga terpelajar (sebatas tamatan
sekolah dasar), lulusan dari sekolah yang didirikan Belanda. Dalam rangka
konsolidasi daerah ini, Belanda membangun jalan mulai dari Mandailing ke
Sibolga dan dari Sibolga dengan menembus Bukit Barisan menuju Tarutung dan
akhimya mencapai Parapat di Simalungun. Sebelumnya, jalan yang ada hanya dari
Padang Sidempuan sampai Lumut, dan melalui muara sungai Lumut perjalanan ke
Sibolga dilanjutkan melalui jalan laut. Daerah Pandan sempat dinamakan Danau
Pandan dan sebahagian dari jalan baru yang dibangun itu melewati Danau Pandan
ini.
Pusat
pemerintahan yang tadinya berada di Pulau Poncan dipindahkan ke pantai Sibolga.
Hal ini adalah gejala yang biasa. Bahkan ibukota propinsi Riau pindah dari laut
(Tanjung Pinang) ke darat (Pekanbaru) pada tahun enam puluhan.
Kota
ini hidup dari tiga sumber penghasilan utama, sebagai kota pemerintahan,
sebagai kota pelabuhan dan sebagai daerah penghasil ikan. Sebagai kota
pemerintahan, disana bermukim pegawai-pegawai berbangsa Belanda dan tentu saja
dibantu oleh pegawai-pegawai Indonesia. Mereka ini merupakan golongan elit dan
tinggal di kompleks yang bernama Simare-Mare. Disini juga terdapat Hotel
Rijtema, hotel elit tempo dulu. Daerah Tapanuli Selatan yang lebih dahulu
mengenyam pendidikan merupakan sumber pegawai dan baru kemudian disusul
Tapanuli Utara. Dari sejarah kita mengetahui bahwa pantai barat Sumatera
dikuasai silih berganti oleh penguasa dari Aceh dan Minangkabau. Semua itu
menyebabkan berbagai suku bangsa dijumpai di kota ini
Di
kota ini juga terdapat Kampung China yang terletak disekitar pelabuhan, yang
dihuni oleh pedagang-pedagang China yang aktif sebagai pengumpul dan pengekspor
hasil bumi.Tempo dulu masyarakat China di daerah ini dipimpin oleh seorang
Kapten China. Diberbagai tempat, masyarakat Cina ini dipimpin oleh kepalanya
sendiri yang diberi pangkat militer yang pangkatnya berbeda-beda sesuai dengan
besar kecilnya masyarakat yang bersangkutan. Di Medan mendapat pangkat Majoor
dan di Sibolga diberi pangkat Kapitein. Ada beberapa nama yang disebut-sebut
sebagai konglomerat tempo dulu, seperti Liem Hong Lap yang mempunyai perusahaan
Liem Auto Dienst Liem Hong Lap, bioskop, punya paberik es dan paberik minyak
makan.
Sebagai
pelabuhan, selain menampung hasil bumi dari daerah pedalaman, juga merupakan
pusat pengumpulan hasil bumi dari pulau-pulau di sekitarnya, seperti Nias yang
menghasilkan babi, minyak kelapa dan kopra. Ada kebijaksanaan pemerintah
kolonial Belanda yang memberikan monopoli perdagangan kepada sebuah perusahaan
pelayaran, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Dengan monopoli ini
perusahaan yang bersangkutan sanggup menjalankan subsidi silang, sehingga mampu
mengadakan pelayaran tetap sampai ke daerah-daerah yang merupakan pos rugi.
Kebijaksanaan inilah yang memungkinkan Sibolga jadi tempat pengumpul hasil bumi
dan pulau-pulau disekitamya, seperti kopra dan babi dari pulau Nias.
Sesudah
penyerahan kedaulatan, sesuai dengan persetujuan KMB, KPM terus beroperasi di
wilayah Indonesia, hal ini ditopang oleh mahalnya biaya transpor darat.
Walaupun untuk selanjutnya bertambah murah dengan semakin baiknya jalan darat
dan alat pengangkutan darat yaitu mobil yang muncul diawal abad XX. Tahun 1950
timbul masalah, karena beberapa kapal KPM digunakan mengangkut pasukan APRI
kemudian APRI menumpas pemberontakan RMS di Ambon. Penggunaan ini mendapat
protes dari simpatisan RMS di negeri Belanda, sedangkan KPM terikat pada
persetujuan KMB. Pada peritiwa nasionalisasi 1957 KPM juga ikut diambil alih,
namun atas tekanan perusahaan asuransi di London, kapal-kapal KPM itu
dilepaskan.
Sebagai
penghasil ikan, sejak dulu bahkan sampai sekarang konsepnya nelayan di Sibolga
masih merupakan perikanan pantai dengan konsep petani laut. Sebagai mana petani
darat setiap hari pulang ke rumah sesudah bekerja di sawah ladang, petani laut
ini juga bergaya demikian. Saya mendengar bahwa konsep modern adalah nelayan pelaut
yang berbulan-bulan melaut mencari ikan jauh dari pantai. Sudah puluhan tahun
nelayan pelaut luar negeri menjarah laut, dan saya mendengarnya sejak tahun
1966 dalam kunjungan saya ke Barus.
Kapankah
nelayan kita beralih dari nelayan petani menjadi nelayan pelaut, belum dapat
ditentukan. Saya bersama teman-teman telah lama berupaya menjadi lobby untuk
memasarkan pemikiran konsep nelayan modern ini, namun belum berhasil.
Kota
Sibolga terletak memanjang di pantai dan daerah landai antara pantai dan gunung
adalah sangat sempit, sehingga kemungkinan perluasan sangat kecil. Ada usaha
usaha Bupati sekarang dengan membuka jalan-jalan terobosan kearah kabupaten
lain, dan saya khawatir perluasan ini akan melebihi daya pikul alam, yang bisa
membahayakan.
Rupa
rupanya sudah merupakan kebijaksanaan pemerintah kolonial waktu itu,
pengembangan pendidikan menengah diadakan di ibukota kedua kabupaten lainnya,
Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara, dimana dijumpai pendidikan menengah. Saya
percaya bahwa kota kecil ini akan lain nasibnya kalau satu masa pemerintah
bertukar haluan dan berorientasi ke darat menjadi berorientasi ke laut (marine
oriented) dimana pandangan berobah, laut adalah penghubung antara pulau-pulau
besar dan kecil seperti yang terkandung dalam konsep KPM tersebut diatas.
Walaupun
sumber kehidupan utama di Sibolga adalah pemerintahan, pelabuhan dan perikanan,
kehidupan keluarga kami tidak termasuk pada salah satunya. Kehidupan keluarga
terbatas dari penerimaan sewa rumah dan sedikit hasil pertanian pekarangan dan
hasil karet dari kebun di luar kota, Ompung dari pihak ayah adalah seorang
pengusaha yang giat dalam perusahaan transpor pedati antara Sibolga dan Padang
Sidempuan, ibu kota kabupaten Tapanuli Selatan.
Menurut
cerita, Ompung adalah seorang pengusaha yang berhasil. Buktinya, pada saat
mobil sedan T Ford masuk ke Tapanuli pada awal abad ini, ompung merupakan salah
seorang pemilik dan pengguna sedan tersebut. Kekaguman terhadap sedan dan
sukses ompung ini, membuat saya ingin memiliki sedan seperti itu, dan walau
tidak sama, yang mirip pun jadi. Itulah sebabnya saya bangga menggunakan mobil
Marvia berbody fibre glass dan mesin Suzuki buatan tahun 1987, dengan no polisi
BK 33 DL. Nomor ini sengaja dipesan, dimana 33 berasal dari 1933, tahun kelahiran
saya. Karena mobil ini pernah dipinjam dua kali dalam pembuatan sinetron
Pariban Dari Bandung, kadang kadang orang menjuluki mobil kesayangan saya itu
sebagai mobil Pariban Dari Bandung. Belakangan mobil itu saya jual karena biaya
perawatannya terlampau mahal.
Ayah
adalah anak tunggal dalam keluarga. Sewaktu kecil pernah sekolah di HIS dan
masih bisa berbahasa Belanda. Ayah pernah dikirim ke Mekkah untuk belajar dan
menurut. cerita seangkatan dengan Syekh Mandili, namun dipanggil pulang setelah
Ompung meninggal.
Beberapa
tahun kemudian ayah berumah tangga dan saya lahir sebagai anak pertama.
Masyarakat disekitar termasuk penghuni rumah sewa adalah rakyat kecil, tukang
sate, tukang mie, pedagang kecil, montir bengkel mobil dan pegawai pegawai
kecil lainnya. Inilah "masyarakat" saya, tidak punya masyarakat lain
tempat bergaul dan mengembangkan diri. Rakyat kecil yang serba kekurangan
inilah yang jadi cermin bagi saya, membentuk cakrawala berpikir yang sangat
terbatas.
Ada
yang mengatakan money doth makes a man, tetapi juga benar income makes a man.
jauh kemudian saya mendengar cerita bahwa seorang Akbar Tanjung jadi
"pemimpin" karena ia punya “pengikut", antara lain karena
kemampuan membantu menyediakan keperluan keperluan bersama seperti piknik dan
rapat-rapat.
Tentunya
ini tidak terlepas dari ada tidaknya bakat kepemimpinan dari yang bersangkutan.
Saya seolah olah terpasung, tidak melihat jalan untuk maju. Pakaian saya sangat
minim, dan tidak punya bayangan bila akan berobah. Perabotan rumah tangga
seperti meja, kursi, tempat tidur terbatas pada apa yang ada dan saya tidak
punya bayangan, bahkan harapan akan ada perbaikan. No hope, begitulah
barangkali istilah menterengnya.
Sewaktu
berumur 6 tahun saya mulai sekolah, jelas saya tidak akan diterima di ELS dan
HIS, satu-satunya kemungkinan adalah diterima di Sekolah Rakyat. Pada saat itu
ada tiga jenis sekolah rakyat, ELS untuk kelas masyarakat tertinggi yaitu
anak-anak Belanda, HIS untuk golongan menengah dan Sekolah Rakyat untuk
golongan rendah. Berbeda dengan ayah yang bersekolah di HIS, karena kedudukan
ekonomi Ompung, saya hanya dimasukkan ke HIS swasta, programnya program HIS
namun merupakan sekolah swasta.
Sekolah
itu punya nama julukan AMS, kependekan dari Abdul Munip School, diambil dari
nama pendirinya, Abdul Munip Lubis. Zaman itu adalah zaman kolonial Belanda,
sebagai anak yang berumur 6 tahun tidak banyak yang saya ingat dari zaman itu,
baik di sekolah maupun di luar sekolah.Yang saya ingat antara lain adalah suatu
waktu mereka "makan besar" di sekolah, masing masing diberikan
beberapa tusuk sate padang dan beberapa buah salak katanya dalam rangka
perayaan ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina.
Jauh
sesudahnya, pada masa pendudukan Belanda tahun 1949, saya baru melihat wajah
Wilhelmina di film penerangan Belanda, sehubungan dengan pergantian Ratu
Belanda dari Wilhelmina kepada Juliana, dan sekarang yang jadi ratu adalah
cucunya Beatrix yang pernah berkunjung ke Indonesia.
Selain
dari pada itu yang saya ingat adalah sosok polisi, karena orang tua selalu
menakut nakuti, kalau nakal akan diadukan ke polisi. Dalam benak saya terpaku
bayangan polisi sebagai sosok yang menakutkan, sebagai tukang tangkap. Naluri
itu tidak pernah hilang sampai sekarang. Dimasa Sekolah Rakyat ini juga saya
belajar membaca dan menulis, dan seingat saya, saya sudah bisa menulis surat
fiksi sebanyak satu halaman batu tulis.
Dikelas
satu ini juga saya sudah bisa membaca. Menarik juga untuk mengenang kembali
dari mana timbulnya hasrat mengkoleksi buku, dan dari mana sumber buku-buku
itu. Kenangan ini kembali kepada masa yang jauh, pada masa kanak kanak.
Pada
waktu saya masih duduk dikelas satu Sekolah Rakyat yang sekarang bemama Sekolah
Dasar, sebagaimana biasa saya mendapat pelajaran membaca dan menulis. Pada
waktu itu alat yang digunakan adalah batu tulis dengan alat penulisnya yang
dinamakan anak batu tulis atau dalam istilah lokal dinamakan gerep.
Disekolah
masih ada buku-buku pelajaran dan bahan bacaan lainnya, tetapi jumlahnya tidak
banyak Pada waktu itu. kebetulan ayah saya iseng-iseng membuat usaha peminjaman
buku. Bukunya tidak banyak hanya seisi peti sabun jadi dapat juga dinamakan
perpustakaan peti sabun.
Buku-bukunya
pada umumnya adalah roman picisan terbitan pengarang-pengarang Medan. Jauh
sesudahnya saya berkenalan dengan salah seorang penulisnya, almarhum Yoesoef
Souy'b, yang puluhan tahun kemudian jadi dosen saya dalam mata kuliah Sejarah
Islam di Dirasatul 'Ulya, yang akan saya ceritakan kemudian.
Pengetahuan
membaca yang saya miliki saya gunakan untuk membaca buku-buku itu, sengaja atau
tidak sengaja ayah tidak melarangnya. Sedangkan isinya sebenarnya adalah untuk
orang dewasa. Alangkah indahnya kalau pada waktu itu ada buku-buku yang sesuai
untuk dibaca anak- anak.
Sesudah
saya menginjak SMP dalam era kancah revolusi fisik juga tidak ada buku bacaan.
Baru pada masa pendudukan Belanda dimasa agresi II pada tahun 1948 , dimana SMP
dirobah jadi IMS.
Ada
beberapa buku, surat kabar dan majalah propaganda tersedia di perpustakaan atau
ruang baca sekolah. Ada pedagang Tionghoa yang punya mata jeli, yang segera
mengadakan kios buku yang terletak disamping bioskop Horas, kios yang pertama
saya kenal dalam usia 13 tahun, tempat saya pertama kali melihat dan sangat
tertarik kepada tabloid Star Weekly.
MASA PENDUDUKAN JEPANG
(1942 – 1945)
Waktu
itu saya baru berumur 8 tahun. Namun, ada juga orang tua yang menceritakan
kepada saya tentang soal perang, diantaranya adanya pesawat yang melintasi pada
malam hari. Makin dekat pada pendaratan Jepang, kami mengungsi ke Sibabangun.
Di
kampung ini jugalah saya menonton kedatangan pasukan Jepang, kalau tidak salah
pada tahun 1942. Dilokasi pasukan dan pegawal Belanda menjelang Jepang masuk,
telah membiasakan rakyat melihat dan menonton iring iringan mobil yang
dinamakan konvoi. Mendengar deru mobil yang berjumlah banyak, orang kampung
meninggalkan sawah dan berlari menuju pinggir jalan menonton konvoi truk yang
membawa pasukan Jepang. Pasukan Jepang ini berperawakan kecil, dengan pakaian
seragam yang ke kuning-kuningan dan bukan hijau.
Beberapa
hari kemudian muncul tontonan berikutnya, barisan pasukan bersepeda Jepang
dalam perjalanan menuju Padang Sidempuan. Saya mendengar bisik-bisik tentang
pemuda kampung yang berbondong-bondong menuju kota untuk menjarah toko China. Saya
tidak mengerti mengapa toko China harus dijarah.
Di
Sibolga kami mempunyai tetangga orang orang China, yang merupakan penyewa rumah
dan keadaan ekonominya tidaklah menonjol.Toke China yang jadi langganan orang
tua yang tinggal di tengah kota juga merupakan orang biasa, kami biasa menerima
kiriman kue pada hari hari besar China dan sebaliknya juga mengantar lemang
kepada sang China pada saat hari raya Idul Fitri.
Penjarahan
ini segera ditumpas pasukan Jepang, dan karena takut, banyak barang-barang
jarahan yang dibuang ke sungai. Setelah padi sawah yang diusahakan ibu dituai
dan dijual, kami kembali kekota Sibolga. Saya pun kembali masuk sekolah di
Sekolah Rakyat II, yang terletak hanya sekitar beberapa ratus meter dari rumah,
dekat Timbangan. Saya ingat saya masuk dikelas II, dan sampai akhir pendudukan
Jepang duduk di kelas VI.
Saya
masih ingat syair lagu dalam bahasa daerah yang memuja-muja Jepang sebagai
berikut:
Nada piga bangso
amang
Songon bangso ni
rajanta amang
Bangso Nippon do
goarna amang
Na garang marporang
do da amang
Sai horas ma Nippon
i
Sai horas ma Nippon
i
Terjemahan Bebas:
Tidak banyak bangsa
Seperti bangsa raja kita
Namanya bangso Nippon
Yang berani dan gagah dalam berperang
Selamatlah Jepang
Selamatlah Jepang
Sayangnya
harapan yang didengung-dengungkan mengenai kedatangan saudara tua itu tidak
sesuai dengan kenyataan. Sebagai anak yang berumur sembilan tahun saya melihat
bagaimana gembiranya rakyat menyambut kedatangan Bala Tentara Jepang. Merah
Putih dikibarkan disamping bendera Jepang untuk kemudian dilarang.
Memang
ada kebanggaan melihat pemuda-pemuda Indonesia diterima dan dilatih jadi Heiho
dan Gyu Gun. Di rumah-rumah yang puteranya diterima jadi Heiho ditempelkan
papan kecil yang bertulisan "Rumah yang Berbakti". Namun lebih banyak
pemuda yang dikerahkan jadi romusha, manusia yang dipaksa kerja melaksanakan
proyek-proyek Jepang, seperti pembukaan jalan kereta api dari Sumatera Timur
Selatan disambung sampai ke Riau.
Kenangan
pada pengalaman di Sekolah Rakyat, adalah pelajaran meliputi apa yang dikatakan
dengan R 3, reading, writing dan (a) rithmetic. Pelajaran yang bertambah pada
SD zaman Jepang itu adalah pelajaran bahasa Jepang, menulis huruf Hiragana dan
Katakana dan pelajaran bahasanya sendiri. Selain dari itu digiatkan juga olah
raga.
Kegemaran
pada berhitung juga cukup lumayan, dan pada tahap berikutnya sesudah duduk di
SMP saya ditempatkan di bagian B atau bagian llmu Pasti Alam. Namun saya sangat
ketinggalan dalam bidang yang berupa seni. Saya menganggap tidak bisa bernyanyi
tanpa pernah berlatih. Bahkan saya meyakinkan diri tidak bisa menggambar
walaupun belum berusaha untuk berlatih. Saya sangat menyayangkan tidak pernah
mendapat bimbingan dalam kedua bidang tersebut yang akibatnya sangat
mempengaruhi jalan hidup.
Saya
mengalami kesukaran dalam praktikum Zoologi dan Botani yang memerlukan
imaginasi dan kemampuan menggambar. Ketidak berdayaan ini nantinya menyebabkan
saya meninggalkan Fakultas Pertanian dan pindah ke Fakultas Ekonomi. Kekurangan
dalam bernyanyi dan menari menyebabkan kekakuan dalam bergaul, sehingga
pergaulan sangat terbatas. Bila ada pergaulan yang diikuti dengan dansa dan
tari, biasanya saya hanya duduk menyendiri.
Seingat
saya, saya belum pernah bernyanyi di depan umum. Hal yang sama saya alami juga
dalam bidang olah raga. Saya baru ikut dalam olah raga badminton setelah duduk
di SMA Karena itu, saya sangat mengharapkan agar ada semacam bimbingan dan
bantuan bakat sehingga pengembangan pribadi seseorang bisa tercapai maksimal.
Disamping
itu saya merupakan seorang "penakut", tidak berani menyontek, saya
lebih suka belajar mati-matian dari pada bekerja sama secara illegal. Dalam
kehidupan selanjutnya ketakutan berbuat curang ini membuat saya tersisih dalam
pergaulan, saya bukanlah seorang pemain dalam dunia yang sekarang disebut KKN.
Saya
juga sangat ketinggalan dalam bidang pengajian. Saya tidak pernah ikut belajar
di madrasah atau pendidikan formal dan non formal lainnya. Saya hanya pernah
mendapat pendidikan informal di rumah, dan itupun terbatas pada latihan membaca
Juz Amma atau yang biasa dikenal dengan nama alip alip. Saya masih ingat, di
sekolah disamping pelajaran biasa kami juga diberi pelajaran bahasa Jepang dan
tulisan Katakana dan dilanjutkan dengan Hiragana, tapi tidak sampai pada huruf
Kanji.
Menurut
cerita guru, Katakana dan Hiragana diciptakan Jepang untuk menembus kesukaran
dalam mempelajari huruf Kanji, yang merupakan gambar makna dan bukan gambar
bunyi. Saya juga masih ingat gerakan senam pagi, kalau tidak salah namanya
radio taisho (senam taisho diiringi music dari radio), yang dipelopori oleh
Jepang, yang diadakan di pagi hari di depan rumah residen Jepang, yang diiikuti
murid-murid dan guru sekolah serta para pegawal negeri, Sayangnya gerakan yang
baik ini tidak berkembang.
Keadaan
kehidupan dizaman Jepang itu sangat menderita. Produksi padi dicaplok oleh
Jepang, demikian juga produksi ikan laut. Rakyat banyak yang makan ubi, atau
nasi campur jagung. Bahan tekstil juga sangat kurang, banyak orang yang
berpakaian compang-camping, dan ada yang menggunakan goni dan terpal sebagai
bahan pakaian, bahkan ada juga yang menggunakan lembaran karet.
Namun
ada sedikit "anomaly" dalam taraf kehidupan. Kalau dizaman Belanda
kehidupan keluarga kami hanya tergantung pada sewa rumah dan sedikit hasil
kebun dan pekarangan, maka dizaman Jepang ini justru hidup lebih baik. Ayah
membuka usaha, bengkel besi disamping rumah, yang memproduksikan paku untuk
keperluan Jepang. Saya yang sering bermain-main di bengkel itu sering melihat
bahwa bahan baku paku itu adalah sembarang besi. Disamping itu, di depan rumah,
juga diusahakan satu warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari, dan para
pelanggannya adalah para penyewa rumah, dan saya sering bertugas menjaga warung
itu.
Untuk
menambah kekuatannya, pasukan Jepang membentuk pasukan Gyu Gun dan untuk itu
mereka mengadakan latihan kilat untuk melatih calon-calon perwira. Pada waktu
para calon ini dilantik menjadi perwira, mereka dilengkapi dengan pedang
samurai dan beberapa pedang ini juga dikerjakan di bengkel kecil itu.
Pakaian
seragam perwira perwira Gyu Gun ini sama dengan perwira Jepang kecuali pistol,
dan yang membanggakan pedang dan sepatu lars adalah buatan lokal.
Pada
zaman kemerdekaan topi angkatan laut juga buatan lokal. Dalam suasana perang
ini, para pelajar diberi pelajaran baris-berbaris yang lebih intensif. Jepang
juga berusaha memompakan agamanya pada rakyat.
Di
perbukitan Simare Mare Jepang membangun kuil, dan secara periodik kami para
pelajar sekolah diperintahkan secara berombongan mengunjungi dan memberi hormat
pada kuil itu. Kemudian saya mengetahui perintah Jepang untuk membungkuk
seperti rukuk dalam sembahyang/memberi hormat kearah matahari terbit tersebut
dinamakan saikerei. Sementara itu para ulama Islam menganggap Saikerei itu
bertentangan dengan aqidah Islam, yang mana pendapat ulama ini di beberapa
daerah menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah Jepang.
Di
sekolah sendiri kami secara periodik disuruh menghadap kearah matahari terbit
dan memberi hormat. Saya pernah ikut dalam acara yang agak istimewa di lapangan
Simare Mare itu, yang mana upacara tersebut dihadiri pembesar dan militer
Jepang, Upacara itu diadakan dalam rangka memperingati atau menghormati
beberapa serdadu Jepang yang tewas dalam serangan musuh di Pulaupulau Batu, di
pantai barat Sumatera.
Waktu
itu teluk Tapian Nauli dijadikan sebagai pangkalan pesawat amfibi angkatan laut
Jepang.
Saya
sering naik ke bukit di belakang rumah, menonton latihan terbang dan mendarat
pesawat amfibi itu. Saya mendengar bahwa Jepang membangun lapangan terbang di
daerah perkebunan Pinangsori, yang terletak sekitar tiga puluh kilometer di
selatan Sibolga.
Banyak
pembangunan yang dilaksanakan Jepang, yang dikerjakan oleh tenaga kerja paksa
bangsa Indonesia yang dinamakan romusha dan pekerjaan itu sendiri dinamakan
Kinrohosi, gotong royong, dan banyak diantara pekerja itu yang tewas. Ratusan
ribu pemuda Indonesia yang tewas dalam kerja paksa ini, melebihi jumlah
penduduk Jepang yang tewas dalam serangan bom atom. Hal ini perlu dicatat
karena Jepang berusaha mati-matian untuk menggelapkan fakta sejarah kekejaman
pasukannya dizaman pendudukan.
Sebagai
pelajar Sekolah Rakyat kami pernah dikerahkan untuk membantu pembangunan
pangkalan angkatan laut di satu pulau kecil yang bernama pulau Herek (monyet)
tidak jauh dari pantai, bekerja bersama nara pidana. Dalam usia masih muda
belia itu, saya menyaksikan bagaimana manusia melecehkan manusia lain dengan
memperlakukannya semena-mena seperti yang diperagakan mandor terhadap nara pidana.
Menjelang
berakhirnya masa pendudukan Jepang, terasa adanya persiapan tentara Jepang
didalam menambah kekuatannya untuk membela diri. Meriam-meriam penangkis
serangan udara dipasang diperbukitan di pinggir laut namun secara licik
rupa-rupanya di malam hari meriam itu ditukar dengan batang kelapa.
Pernah
juga suatu sore kota dapat serangan tembakan dari kapal selam yang memasuki
teluk. Bahaya serangan udara ini sudah sering terjadi, dan itu nampak apabila
Polisi Jepang mendatangi sekolah menyuruh murid-murid pulang.
MASA AWAL REVOLUSI
(1945 – 1946)
Tangsi
Gyu Gun terletak disebelah lapangan bola, yang sekarang dikenal dengan nama
Stadion Horas. Jalan itu selalu saya lalui apabila ingin ke kota ataupun ke
pekan/pasar. Tangsi itu baru dibangun, artinya dibangun untuk keperluan Gyu Gun
tersebut, yang mana Gyu Gun ini setara dengan tentara PETA di Jawa.
Pada
akhir tahun 1945 itu, tiba-tiba tangsi ini kosong, penghuninya disuruh pulang
ke kampung masing-masing. Tidak jauh dari tangsi itu, di satu jalan terdapat
rumah penduduk yang dikosongkan oleh penghuninya dan dijadikan daerah
lokalisasi wanita yang khusus menghibur tentara Jepang.
Saya
membaca kemudian bahwa, para ulama terpaksa menerima kenyataan ini, karena
dianggap masih lebih baik dari pada tentara Jepang itu mengganggu ketenteramaan
penduduk untuk memenuhi kebutuhan seksnya. Pada saat yang bersamaan dengan
kosongnya tangsi Gyu Gun itu, penghuni jalan lokalisasi inipun ikut kosong.
Belakangan baru diketahui bahwa Jepang telah menyerah pada Sekutu, dan
sementara bertugas sebagai polisi menunggu tentara sekutu mendarat.
Pasukan-pasukan
Jepang tampak berada di jalanan tanpa senjata. Saya merasakan ada sesuatu yang
aneh, ayah berhari-hari tidak berada di rumah. Saya mendengar kemudian bahwa
ayah terlibat dalam pembentukan Badan Keamanan Rakyat, semacam badan keamanan
yang diperlukan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru
diproklamasikan. Beberapa bulan kemudian badan keamanan ini berobah menjadi
Tentara Keamanan Rakyat dan berlanjut menjadi Tentara Republik Indonesia.
Saya
mengetahui bahwa ayah telah tergabung dalam kesatuan Polisi Tentara dengan
pangkat Letnan Dua. Ayah dan pasukannya menempati bekas markas Kenpeitai atau
polisi militer Jepang yang letaknya tidak jauh dari rumah. Saya mendengar dari
teman seperjuangan ayah, mereka mengagumi ayah karena diantara mereka termasuk
yang tertua yang ikut berjuang dalam pasukan bersenjata. Saya sendiri pernah
menggunakan senapan betulan sebagai mainan, senapan mana belakangan saya
ketahui sebagai senapan yang direbut dari pasukan Jepang, dan sementara
disembunyikan ayah di rumah. Di pelabuhan banyak pemuda pemuda yang memancing,
namun bukan memancing ikan tetapi memancing senapan-senapan yang dibuang Jepang
kelaut.
Sibolga
adalah kota kecil, sehingga semuanya jadinya terasa tidak jauh dari rumah.
Hampir saban hari saya bertugas mengantar rantang ke markas dan melihat isi
rantang dimakan bersama-sama oleh pasukannya. Saya mengenal beberapa orang
bekas bawahan ayah, ada yang mencapai pangkat perwira menengah bahkan ada juga
yang mencapai perwira tinggi.
Saya
masih ingat pada waktu itu saya masih duduk di kelas V Sekolah Rakyat, pada
suatu hari kami dikumpulkan di halaman sekolah dan kepala sekolah berpidato
mengatakan bahwa Indonesia telah merdeka. Dalam pidato itu kepala sekolah
mengatakan mungkin sekarang kalian belum mengerti, namun lambat laun kalian
akan mengerti juga arti merdeka.
Inilah
rupanya makna menghilangnya ayah dari rumah, bersama kawan kawannya, membentuk
pasukan untuk mempertahankan kemerdekaan itu. Di lingkungan sekolah. perobahan
yang nyata adalah di halaman sekolah berkibar bendera Merah Putih.
Sekitar
bulan November 1945, bendera itu dikibarkan setengah tiang, kabamya untuk
memperingati korban yang jatuh dalam pertempuran di Surabaya antara
pemuda-pemuda Indonesia dengan pasukan Inggeris.
Saya
tidak ingat bila dimulai, namun pada tahun 1946, setiap tanggal 17 diadakan
Upacara bendera di lapangan Simare-Mare. Residen, pejabat pejabat pemerintah
dan barisan, pasukan dan tentara ikut serta dalam upacara dan termasuk juga
pelajar SMP. Salah satu barisan itu adalah Pesindo, sedangkan saya sendiri
tergabung dalam Pandu Persiapan Pesindo.Tidak jarang anggota pandu ini yang
badannya besar-besar diseludupkan untuk memperbanyak pasukan Pesindo.
Pada
awalnya Pesindo adalah pemuda sosialis Indonesia, yang dekat dengan partai
sosialis, namun kabarnya dalam perkembangannya mulai menceng ke kiri. Sebagai
Komandan Pesindo Istimewa adalah Maraden Panggabean, yang pemah jadi Menhankam
Pangab. Barisan lain adalah barisan Angkatan Laut, dan belakangan saya
mengetahui bahwa pasukan ini tadinya adalah bahagian dari Pesindo Istimewa yang
direlakan jadi Angkataa Laut. Salah seorang pewiranya adalah Letnan Oswald
Siahaan, yang tewas dimasa gerilya.
Namanya
kemudian diabadikan sebagai nama kapal perang TNI Angkatan Laut yang
penabalannya diadakan di pelabuhan Sibolga oleh Panglima ABRI, Jenderal Try
Sutrisno.
Pada
tahun 1946 saya tammat dari Sekolah Rakyat tanpa ada upacara apa-apa sesuai
dengan keadaan waktu itu.
MASA BELAJAR DI SMP
(1946 – 1950)
Saya
melanjutkan pelajaran ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), sekolah yang didirikan
oleh Pemerintah. Kalau sebelum kemerdekaan, Sekolah Menengah Pertama hanya ada
di Padang Sidempuan dan Tarutung. Di Tarutung sekolah itu adalah milik gereja
dan yang di Padang Sidempuan milik Pemerintah, maka salah satu hasil
kemerdekaan adalah dibukanya sekolah menengah pertama di Sibolga.
Didirikannya
sekolah ini disponsori oleh Residen Tapanuli, dr Ferdinand Lumban Tobing. Saya
tidak tahu apakah usaha dokter ini murni atau vested, karena ada beberapa
anaknya yang harus masuk SMP. Namun manapun alasannya, saya mendapat manfaat
dari padanya. Jauh belakangan saya mendengar dari mantan guru kami, Angku Muda
Siahaan, walaupun pembukaan SMP itu merupakan keberanian, namun penuh dengan
kesukaran. Kesukaran itu adalah ketiadaan buku, belum tersedianya
istilah-istilah tekhnis dalam bahasa Indonesia, kekurangan guru yang memenuhi
syarat ; merupakan hal-hal yang tidak mudah mengatasinya.
Dalam
penggunaan istilah saya masih ingat untuk Tata bahasa digunakan istilah llmu
Syaraf, mungkin terambil dari Nahu - Syaraf. Pada saat itu terdengar adanya
semangat, kalau semua ditunggu sampai lengkap dulu, kita tidak akan pernah
merdeka. Ruang sekolah sendiri memanfaatkan gedung milik perguruan Kristen yang
terletak disamping penjara, atau yang sekarang bernama Lembaga Pemasyarakatan.
Murid murid angkatan pertama “disogok" dengan beberapa kg beras saban
bulan asalkan mau menjadi murid SMP. Waktu itu memang Pemerintah mempunyai stok
beras yang ditinggalkan Jepang, Kawan seangkatan terdiri dari pelajar dari dua
sekolah rakyat yang ada di Sibolga. Ada beberapa orang pelajar yang datang dari
Nias. Seorang diantaranya, karena kepintarannya dinaikkan ke kelas dua tanpa
mengikuti kelas satu selama setahun. Selama jadi pelajar SMP hampir semua murid
murid tidak mengenal sepatu, melanjutkan kebiasaan di Sekolah Rakyat.
Celana
dan kemeja hanya satu, dan dicuci setiap hari Minggu. Buku tulis masih terdiri
dari kertas ubi, yang tulisannya kembang bila ditulis dengan tinta. Jadi,
biasanya hanya ditulis dengan pinsil. Guru-gurunya hanya sebahagian kecil
lulusan sekolah menengah atas atau yang sederajat.
Saya
termasuk angkatan kedua yang masuk SMP pada tahun 1946. Angku Muda Siahaan,
dalam keadaan yang sulit itu malah dipindahkan ke Nias membuka SMP baru. Beliau
bercerita bahwa sesudah penyerahan kedaulatan, sebagai penghargaan atas
perjuangannya beliau dipindahkan ke SMP Cikini Jakarta.
Hampir
semua kawan-kawan saya setamatnya dari SMP meninggalkan Sibolga. Alasan utama
adalah untuk melanjutkan pelajaran. Ada yang ke Medan, Jakarta dan Yogyakarta.
Fungsi
Sibolga yang menjadi kota pemerintahan, kota pelabuhan dan kota perikanan
kembali berjalan. Malahan fungsinya bertambah lagi dengan adanya markas divisi
tentara, kalau tidak salah Divisi Gajah II dan adanya fungsi sebagai pangkalan
Angkatan Laut Republik Indonesia.
Setahu
saya Angkatan Laut waktu itu tidak punya kapal. Angkatan Laut ini dipimpin oleh
Letnan Kolonel Ahmad Husin Lubis, adik penulis Mochtar Lubis, yang hanya bekas
Gyu Gun.
Baru
belakangan saya dengar bergabung seorang Simanjuntak, bekas pegawai angkatan
laut Belanda. la banyak memberi latihan-latihan keangkatan lautan, bersiap jadi
angkatan laut yang sesungguhnya. Sesudah penyerahan kedaulatan ia bertugas di
Tanjung Pinang dan disana ia kabarnya "tergelincir".
Fungsi
Sibolga sebagai kota pelabuhan mulai hidup kembali dengan munculnya kapal-kapal
dagang dari Singapura dengan menembus blokade Belanda. Aksi blokade inilah yang
menyebabkan munculnya kapal perang Belanda di teluk Tapian Nauli yang akhimya
menimbulkan serangan kapal perang Belanda, yang menyebabkan terbakarnya kampung
Cina I dan II. Menjelang pertempuran ini, atau atas dasar dugaan pertempuran
akan terjadi, kami sekeluarga mengungsi ke desa Sibuluan, 8 Km diluar kota
kearah Padang Sidempuan.
Pada
waktu itu ayah menjabat sebagai Kepala Penyelidik Polisi Tentara Divisi yang
bermarkas di sebelah sekolah kami. Rakyat kampung menerima para pengungsi
dengan tangan terbuka, ruang tamu dan bahagian bahagian dari rumah ditempati
para pengungsi, namun makan urus sendiri. Mungkin karena hubungan kekeluargaan
tidak begitu dekat, tidak ada curiga mencurigai soal harta, sehingga tidak terjadi
konflik. Lagi pula masa pengungsian itu sangat pendek antara 3-7 hari. Karena
itu bagaimana penderitaan pengungsi, saya telah pernah merasakannya,
Pedagang-pedagang Singapura mencari hasil bumi terutama karet sedangkan kita
sangat memerlukan tekstil.
Belanda
mengadakan blokade
Blokade
itu menimbulkan pertempuran yang tidak seimbang. Meriam-menam kapal perang
Belanda dilawan dengan meriam-meriam peninggalan Belanda oleh pasukan yang
tidak terlatih dan belum berpengalaman. Seorang anak keluarga Nawi Harahap,
seorang pedagang pribumi terkemuka yang sedang mengurus barang dagangannya,
tewas kena peluru nyasar sewaktu berada di pelabuhan pada saat pertempuran
pecah. Guru bahasa Indonesia menyuruh murid-murid menulis kesannya mengenai
pertempuran laut itu, tulisan saya menerima penghargaan.
Diawal
tahun 1947 terjadi reorganisasi tentara, dan ayah dipindahkan ke Padang
Sidempuan. Kami pindah kesana dan menompang dirumah nenek dari pihak ibu.
Daerah ini dinamakan Siborang (seberang). karena untuk sampai kesana menyeberangi
jembatan diatas Batang Ayumi.
Selama
di Padang Sidempuan saya belajar di SMP yang memang sejak dahulu merupakan
bangunan sekolah MULO. setingkat sekolah Menengah Pertama. Selama sekolah saya
pulang pergi menempuh jalan pintas, dengan menyeberangi sungai tanpa lewat
melalui jembatan, dan melewati jalan setapak sampai kerumah potong hewan, dan
sekolah tidak begitu jauh dari situ.
Seperti
telah disinggung dimuka, tidak lama ayah bertugas disana, karena pemerintah
menjalankan rasionalisasi dan reorganisasi tentara, dan praktis berarti
diberhentikan dari ; tentara.
Walaupun
orang tua kembali ke Sibolga, saya masih tinggal di Padang Sidempuan, menunggu
kelas II selesai. Keluarga nenek terdiri dari dua orang saudara ibu yang
praktisi tidak bekerja jadi tidak mempunyai penghasilan tetap, sehingga
hidupnya agak "dibawah" standard, rawan gizi dan rawan kebersihan.
Malam
hari saya harus segera tidur untuk menghemat minyak lampu. Berangkat ke sekolah
hanya sarapan seadanya, dan siang tidak makan. Bahkan pernah beberapa bulan
saya bertugas menjaga bengkel yang agak jauh dari rumah dengan tidur seorang
diri di bengkel itu yang jaraknya sekitar 1 Km dari rumah nenek
Segi
yang lain dari keberadaan saya di Padang Sidempuan ini, saya masih melihati
bersilewerannya Brigade B (Bejo) yang mayoritas orang Jawa dan Brigade A yang
mayoritas orang Karo, bekas- bekas laskar yang mengungsi ke Tapanuli Selatan.
Belakangan dalam peristiwa September 1948, Brigade A dan Brigade B ini melucuti
TNI "Asli” dengan lebih dahulu menembak mati komandanya, Kapten Koima
Hasibuan. Peristiwa September ; ini tidak hanya terjadi di Padang Sidempuan,
namun meliputi seluruh Tapanuli. Terlibat juga Angkatan Laut dan Polisi
Istimewa dibawah pimpinan Komisaris Kadiran, yang, anggotanya banyak dari suku
Jawa. Kedalam pasukan ini juga bergabung pasukan Pesindo yang dibubarkan dalam
rangka pembentukan TNI pada tahun 1947. Saya juga masih pernah melihat Dr Gindo
Siregar yang berpangkat major jenderal TNI naik kuda di tengah kota.
Pernah
satu kali saya pulang vakansi ke Sibolga dan sesampainya dirumah saya lihat
banyak orang berkumpul, ternyata salah seorang adik meninggal. Melihat keadaan
keluarga di Sibolga, saya mengemukakan kepada ibu tidak akan kembali ke Padang
Sidempuan, dan akan membantu ayah bekerja. Namun ibu menolak dengan tegas, saya
harus tetap belajar. Ibu menjelaskan hanya dengan sekolahlah bisa merobah
posisi atau kedudukan keluarga.
Kembali
ke Padang Sidempuan keadaan kesehatan saya sangat menurun, pakaian penuh tusa,
semacam kuman yang bersembunyi di lipatan pakaian yang gigitannya menimbulkan
rasa gatal. Waktu itu saya tidak mengenal sabun cuci apalagi sabun mandi.
Tempat tidur juga dipenuhi kepinding. Tidak heran kalau pelajaran terbengkalai
sehingga saya tinggal kelas. Namun saya dapat dispensasi belajar di kelas III
sesudah kembali ke Sibolga dan ternyata tetap dapat bertahan. Dapat dipahami
umak tidak bisa menerima saya in de kost, sedang rumah nenek ada disana. Jalan
keluarnya saya melanjutkan pelajaran ke Medan.
Sekembalinya
ke Sibolga, saya melanjutkan pelajaran di SMP kembali dan berjumpa dengan
kawan-kawan lama. Ayah yang telah keluar dari tentara kemudian membuka
perusahaan rokok atau tepatnya perusahaan melinting rokok merupakan industri
rumah tangga dengan dua tiga orang pekerja.
Suasana
pada tahun 1948 itu sangat tidak menguntungkan. Akibat persetujuan Renville
pasukan Republik baik eks TRI maupun eks pasukan bersenjata seperti yang lazim
dikenal dengan nama pasukan brigade A dibawah pimpinan Saragih Ras. Brigade B
dibawah pimpinan Bedjo, pasukan Banteng Raiders dibawah pimpinan Liberty Malau
dan lain lain mengungsi ke daerah Tapanuli, dan rebutan lahan antara berbagai
pasukan ini dan gesekan antara pasukan pendatang dan pasukan setempat
menyebabkan terjadinya konflik bersenjata antara sesama pasukan pendatang
dengan pasukan setempat.
Pernah
kami dipulangkan dari sekolah, karena didepan sekolah kami ada seorang tentara
yang "dihajar" habis habisan oleh pasukan lawannya. Dalam suasana
pertempuran inilah saya mulai merokok di depan ayah, mungkin ayah paham suasana
kejiwaan saya menghadapi keadaan waktu itu. Beberapa bulan kemudian suasana
perang saudara ini mereda dengan turun tangannya Wakil Presiden Hatta. Namun
perang kolonial kedua atau yang menurut istilah Belanda aksi polisionil kedua
sudah diambang pintu, penerbangan-penerbangan pengintaian bahkan penembakan
oleh kapal-kapal perang Belanda makin sering terjadi. Melihat gerak gerik
kapal-kapal perang Belanda di perairan, diperkirakan Belanda akan mendarat dari
laut, sehingga untuk kesekian kalinya sebahagian dari penduduk kembali
mengungsi.
Kali
ini kami sekeluarga mengungsi ke suatu kampung kecil di pinggir laut yang
bernama Labuhan Mandailing dan agak jauh dari kota. Kami berjalan kaki diwaktu
subuh menuju Pandan, dan dari sana menyewa perahu menuju desa pantai tersebut.
Dalam perjalanan, ditengah laut diatas kami terbang pesawat pemburu P 51
Mustang, atau yang lazim dinamakan Cocor Merah. Dikejauhan terlihat kapal
perang Belanda menggandeng pesawat PBY 5 A Catalina, mundar mandir di teluk.
Dalam keadaan yang kritis itu ibu saya keguguran.
Seperti
beberapa waktu yang lalu di Sibuluan, disini juga kami tidur di rumah penduduk
bahkan para pria termasuk saya disuruh tidur terpisah, dan itu berarti tidur
diatas pasir laut. Sekarang ke desa pantai itu telah dibangun jalan, bahkan
disekitamya telah dibangun pembangkit tenaga listrik. Dalam salah satu makalah
saya yang diajukan dalam rapat Ikatan Masyarakat Tapanuli Tengah berpuluh tahun
kemudian saya ajukan saran agar dalam rangka pembangunan agar dibuka jalan
sepanjang pantai teluk dan kemudian sebagian besar telah direalisasi.
Persediaan
bahan makanan di pengungsian sangat tipis dan disinilah saya
"menikmati" betapa enaknya makanan apa saja kalau dalam keadaan
lapar. Kami makan pepaya muda yang direbus, mengorek dan memakan daging keong
laut yang didapat di pantai. Di pengungsian ini saya melihat industri garam,
yang merupakan industri rakyat yang berkembang di sepanjang pantai dimasa awal
revolusi. Sebelumnya ada monopoli garam pemerintah Belanda yang mendatangkan
garam dari Madura. Dimana-mana ada gudang garam yang belakangan dijadikan merek
dari rokok kretek yang terkenal.
Memang
dalam masa masa sulit manusia tidak berhenti mencari akal. Dizaman Jepang
ketiadaan bensin sebagai bahan bakar mobil digantikan dengan minyak getah,
minyak yang diproses secara sederhana dari karet. Penganti tekstil digunakan
kulit kayu yang dalam bahasa daerah dinamakan takki. Bahkan dibuat pula baju
kaus dari karet yang sama sekali tidak bisa berfungsi sebagai tekstil. Ada
dihasilkan sepatu "kombet" yang juga terbuat dari karet yang bila
dipakai di panas matahari bisa meleleh. Juga dibuat ban sepeda dari karet, yang
sama sekali tidak bisa berfungsi dengan baik. Untuk memperbanyak nasi dibuatlah
nasi jagung, beras dan jagung yang ditanak bersama sama. "Sayangnya"
setelah penyerahan kedaulatan, supply garam lancar kembali, dan industri garam
itupun kembali lenyap.
Kami
tidak lama berada di desa yang bernama Labuhan Mandailing itu, sesudah Belanda
menduduki kota, kami kembali. Pada saat itu terkenal dua istilah, daerah
pendudukan dan daerah pedalaman. Sesuai dengan namanya daerah pendudukan adalah
daerah Republik yang diduduki Belanda, dan daerah pedalaman adalah daerah yang
belum diduduki. Saya masih ingat penjelasan salah seorang guru bahwa Belanda
lebih dahulu menduduki daerah-daerah makmur seperti Sumatera Timur sebagai
daerah perkebunan. Guru itu setengah menyindir dengan mengatakan bahwa daerah
yang belum diduduki bukanlah karena Belanda takut, tetapi karena tidak termasuk
prioritas untuk diduduki.
Mengapa
kami kembali dari pengungsian ? Dijelaskan oleh ibu, melihat persediaan bahan
makanan telah menipis dan kalaupun ada beberapa potong perhiasan yang dapat
dijual untuk membeli beras, sulit untuk mendapatkan beras untuk dibeli selama
berada di pengungsian disamping kesulitan untuk menjual perhiasan. Kalau
sewaktu menuju pengungsian kami jalan kaki ke Pandan dan dari sana naik perahu
menuju Labuhan Mandailing, pulangnya kami langsung naik perahu dari Labuhan
Mandailing ke Sibolga. Untuk sementara ayah masih tinggal di desa itu. Sebagai
bekas tentara, masih waswas mana tahu ada gangguan dari pihak Belanda.
Waktu
tinggal didesa itu dimanfaatkan untuk mencari kayu api untuk dijual. Saya sendiri
pernah mendorong gerobak yang berisi kayu api untuk memenuhi pesanan rumah
sakit. Ibu mulai berjualan beras di pasar. Mulanya di bagian yang dinamakan
balairung atau dalam bahasa lokalnya balerong bergabung bersama pedagang
lainnya yang berjualan beras. Rupa rupanya orang tua merasa optimis dan berani
mengambil kredit ke Bank, namun seingat saya pembayaran cicilan kredit itu
macet dan untuk penyelesaiannya terpaksa sebidang tanah dijual.
Saya
kembali belajar di Indonesische Middelbare School (IMS), diterima kembali di
kelas III. Namun, kami pindah belajar dari gedung HIS Kristen ke Pastoran
Katholik. IMS sendiri mempunyai program belajar 4 tahun, dan dilanjutkan ke
Voorbereiding Hogere Onderwijs (VHO), persiapan untuk memasuki perguruan
tinggi. Kalau pada masa pendudukan Jepang diberi pelajaran bahasa Jepang,
diajar oleh guru-guru yang hanya beberapa bulan lebih dahulu belajar bahasa
Jepang, maka sekarang kami diberi pelajaran bahasa Belanda oleh guru-guru yang
telah menguasai bahasa Belanda.
Saya
melihat bagaimana pihak Belanda mengadakan seleksi terhadap guru-guru yang lama
dan sebahagian diantaranya tidak memenuhi syarat, ada yang didegradasi jadi
guru sekolah dasar dan ada yang diberhentikan. Saya menyaksikan seorang guru
bernama A.L. tidak diterima, dan ia berhenti dengan dalih tidak mau bekerja
sama dengan Belanda. Belakangan ia jadi pegawal Departemen P dan K pamornya
naik karena menolak kerja sama dengan Belanda.
Saya
juga menyaksikan bagaimana Kepala Polisi Belanda memprotes Kepala Sekolah, karena
Kepala Sekolah masih meneruskan kebiasaan lama, appel pagi dan memberi hormat
pada kepala sekolah, yang dianggap kepala polisi Belanda sebagai praktek
militer.
Salah
satu dampak “positif” dari pendudukan Belanda ini adalah masuknya bahan bacaan
dari daerah pendudukan. Semenjak zaman pendudukan Jepang sampai awal revolusi
bahan bacaan sangat langka. Dizaman Jepang sama sekali tidak ada surat kabar.
Di awal revolusi ada dua surat kabar yang terbit, satu yang dikelola oleh
Jawatan Penerangan dan satu surat kabar swasta.
Surat
kabar swasta ini terbit 1/4 halaman, dan pimpinan surat kabarnya merangkap
sebagai pengantar surat kabar, mengecer surat kabar sambil pulang.
Saya
masih ingat bagaimana saya secara spontan ingin membeli tabloid Star Weekly di
satu kios penjualan majalah dan buku-buku yang baru dibuka, namun uang saya
kurang untuk membelinya. Kalau tidak salah dengan menghutang saya bisa membeli
tabloid itu. Salah satu isinya adalah uraian tentang pertikaian Arab - Israel.
Pertikaian ini, walaupun waktu sudah berjalan 50 tahun, masih terus berjalan
sampai sekarang, bahkan mengembang jadi persoalan Usamah, Al Qa'idah, Taliban,
Bush dan Afghanistan.
Kegemaran
membeli bahan bacaan itu telah tumbuh sejak dini, bahkan dalam usia tua saya
mengalami kesukaran untuk menyusun dan memelihara buku-buku koleksi saya.
Sebagai mana umumnya pengumpul buku, tidak semua buku yang dibeli tammat
dibaca, paling banter diketahui garis-garis besar isinya, dan bisa segera
kembali pada pada buku yang bersangkutan bila topik yang dikemukakan ada
kaitannya dengan masalah yang dihadapi. Akibatnya, tidak jarang ada buku yang
dibeli sampai dua kali.
Dengan
mempunyai koleksi buku membuat kita rendah hati, karena pada dasamya masalah
berkembang berdasarkan sejarah, namun inti permasalahan tidaklah hilang.
Masalah benturan sejarah (clash of civilizations) telah dibahas Toynbee pada
tahun lima puluhan dan diteruskan lagi oleh Paul Samuelson pada tahun sembilan
puluhan di abad yang lalu.
Dimasa
pendudukan itu, untuk kepentingan pertahanannya Belanda membangun air strip
dalam kota dengan mengorbankan lapangan bola dan bangunan serta rumah penduduk
antara lapangan bola dengan laut. Air strip ini dapat didarati pesawat kecil
bermesin satu yang dinamakan pesawat capung atau Piper Cub.
Namun,
barangkali lapangan darurat ini kurang memenuhi syarat, pernah terlihat satu
pesawat terjungkir disitu, sehingga lapangan dipindahkan ke lapangan terbang
Pinangsori yang telah dibangun oleh Jepang.
Air
strip ini juga dijadikan tempat mendrop sayur-sayuran segar setiap hari dari
pesawat Dakota yang terbang dari Medan untuk logistik pasukan Belanda. Hal hal
seperti pembangunan air strip ini jarang tercatat dalam sejarah, seperti orang
tidak ingat bahkan tidak mau tahu bahwa lapangan terbang pertama di Medan
adalah di bekas lapangan pacuan kuda di Pusat Pasar.
Pada
saat pendudukan ini pulalah Belanda kasak kusuk mendirikan Negara Tapanuli,
dengan pentolannya Mr A dan Mr SP. Dengan bertempat di gedung Bank Rakyat
Indonesia yang telah dijadikan semacam gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
diadakanlah rapat-rapat dewan perwakilan rakyat Tapanuli yang memutuskan
pendirian negara Tapanuli, dan beberapa hari kemudian diangkatlah Kepala Negara
Tapanuli. Anehnya, dengan pengembalian daerah Renville ke pangkuan Republik,
janin negara bahagian ini sirna begitu saja. Pegawal-pegawal “pro
federal", demikian istilah cantiknya untuk pegawal-pegawal Republik yang
bekerja sama dengan Belanda telah lebih dahulu menyingkir ke Medan. Wali Negara
terpilih dan Ketua DPR-nya, Mr A dan Mr A.S.S pindah ke Medan jadi pegawal
Belanda sehingga ada sentilan di surat kabar yang mengatakan NST (Negara
Sumatera Timur) adalah Negara Suka Tolong.
Ternyata
kami tidak lama menjadi siswa IMS, tekanan PBB memaksa Indonesia -Belanda berunding
kembali dan daerah Renville dikembalikan kepada Republik pada tanggal 12
Desember 1949. Kami menyaksikan bagaimana pasukan Belanda ditarik dari, kota
dan pada saat yang hampir bersamaan pasukan Republik memasuki kota. Dengani
demikian kami beralih lagi dari pemerintah Belanda ke pemerintahan Republik.
Persetujuan yang menjadi dasarnya adalah persetujuan Roem - Royen, dimana telah
disetujui pula akan diadakannya Konperensi Meja Bundar, dengan pesertanya
Repulik Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam Bijnkomst Federale
Overleg (BFO), gabungan negara negara bahagian persiapan negara federal.
Lucu
juga kedudukan negara-negara bahagian ini, dibentuk dengan surat keputusan
Gubernur Jenderal Belanda yang belakangan bertukar nama menjadi Wakil Agung
Mahkota (WAM).
Kami
kembali jadi pelajar SMP, saya sendiri berkat prestasi dipindahkan dari bagian,
A ke bahagian B (Pasti - Alam). Pada saat akhir masa belajar di SMP ini, malam
saya tidur di kios beras orang tua, yang terletak di balerong beras di depan
mesjid Raya. Saya makan siang dan makan malam dirumah, sedangkan sarapan makan
nasi dingin di kios.
Saya
mandi dan buang air di mesjid dan dapat bonus yang sangat berharga, saya mulai
rajin sembahyang. Di mesjid saya mendengarkan ceramah-ceramah agama yang
diberikan oleh guru- guru mandiri. Guru-guru mandiri ini umumnya adalah orang
orang yang cari makan di siang hari dengan bertindak sebagai pedagang, umumnya
berasal dari Sumatera Barat. Secara bergiliran setiap malam antara magrib dan
isya mereka memberi ceramah di mesjid tanpa honor.
Sudah
tentu subjek yang dibicarakan bervariasi, sesuai dengan kemampuan masing-masing
penceramah. Ada seorang penceramah tiba-tiba berhenti di tengah jalan, mohon
maaf karena tidak sempat mempersiapkan surah. Mungkin juga waktu siangnya
terlampau capek mengurus dagangannya. Bagaimanapun dakwah tanpa honor ini
sangat menunjang wibawa para juru dakwah ini. Disamping penceramah tamu itu ada
juga penceramah yang merupakan guru, antara lain Baharuddin Thalib Lubis yang
lazim dipanggil Guru Medan, adik dari Arsyad Thalib Lubis, ulama terkenal di
Medan.
Saya
pernah mendengar ceramah Guru Medan ini, yang merupakan bantahan terhadap guru
yang lain. Kalau tidak salah tentang isi buku yang mengatakan Imam berkhotbah,
jadi menurut tafsirannya tidak boleh imam lain sementara khatib lain, dengan
konsekuensi yang tua-tua yang tidak bisa berkhotbah jangan lagi jadi imam
sembahyang Jum’at. Saya masih ingat, ikut sembahyang ghaib sehubungan dengan
berpulangnya Jenderal Besar Sudirman, Panglima Besar Kepala Staf Angkatan
Perang Republik Indonesia.
Pada
27 Desember 1949 diadakanlah peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat. Di Jakarta diadakan timbang terima dari
pihak Belanda, Wakil Agung Mahkota kepada Republik Indonesia Serikat, yang
diwakili Sultan Hamangku Buwono IX. Belakangan saya mengetahui komandan pasukan
RIS adalah Kapten Poniman, yang bertahun-tahun kemudian menjadi Pangkowilhan I
Sumatera-Kalbar dengan pangkat Letnan Jenderal, jenderal ini juga jadi kawan
main golf pada tahun tujuh puluhan, beberapa kali main bersama beliau, kalau
jenderal ini berkunjung ke Tanjung Morawa. Secara kebetulan ia mempunyai teman
sekampung sesama orang Cirebon yang juga tinggal di Tanjung Morawa.
Dengan
adanya RIS. RI menjadi negara bahagian dengan Presidennya Mr Assaat dan
ibukotanya Yogyakarta. Sewaktu kabinet RIS diumumkan "ternyata"
beberapa orang “musuh", orang-orang federal seperti Anak Agung Gde Agung
dan Sultan Hamid II duduk jadi menteri. Sewaktu melintas ditengah lapangan bola
yang waktu itu belum dipagar di suatu pagi, sewaktu dalam perjalanan ke
sekolah. saya terpikir bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mendengar bisikan
dalam hati yang mengatakan "robahlah caramu berpikir". Jauh kemudian
saya paham bahwa merobah cara berpikir ini dinamakan merobah out look, merobah
paradigma. Kalau sesuatu tidak dipahami dengan cara berpikir lama, ambillah
cara berpikir baru.
Inilah
yang yang dinamakan pembaharuan, dan penganjurnya dinamakan si pembaharu, sang
pemimpin yang dapat membangkitkan masyarakat yang beku. Inilah yang kemudian
banyak saya jumpai dalam mempelajari agama, materi agama itu tetap, namun cara
pendekatan dan penafsirannya yang berobah. Al Qur'an tetap, namun penafsirannya
senantiasa berobah, sehingga selalu muncul Ilmu Tafsir baru.
Saya
kembali duduk di SMP kelas III, namun tempat belajarnya pindah dari dari gedung
sekolah Protestan ke sekolah Katolik Dapat dimengerti di awal revolusi itu
belum ada gedung sendiri, sehingga gedung yang sudah ada saja yang
dimanfaatkan. Saya kembali mempersiapkan diri untuk ujian akhir, yang mana
seyogianya diadakan setahun yang lalu, andaikata Belanda tidak mengadakan
interupsi.
Menjelang
bulan Agustus 1950 terjadilah pergolakan diberbagai daerah, negara bahagian
membubarkan negara dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Yang agak
alot dan terakhir adalah negara Indonesia Timur dan negara SumateraTimur.
Negara SumateraTimur mempunyai "pasukan" sendiri yang bernama Barisan
Pengawal dibawah pimpinan "Kolonel" Jomat Purba. Negara Indonesia
Timur mempunyai Kapten Andi Azis yang menghadang APRIS sewaktu akan mendarat di
pelabuhan Makassar. Bahkan Dr Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan
dan memberontak Pertempuran di Ambon ini cukup alot karena kegigihan ex pasukan
KNIL yang terlatih baik. Letnan Kolonel Slamet Riady tewas dalam pertempuran
itu.
Ketangguhan
pasukan RMS ini, membuat Kolonel A.E. Kawilarang yang waktu itu jadi Komandan
TT-VII mengusulkan pelatihan pasukan komando, namun karena pada awalnya tidak
disetujui, dibangunlah pendidikan sebatas divisi Siliwangi, dengan Komandannya
Kawilarang yang mutasi dari Sibolga Ke Bandung. Belakangan istilah Komandan ini
diganti dengan istilah Panglima.
Inilah
cikal bakal pasukan komando kita, yang kemudian mekar menjadi Komando Pasukan
Khusus, Kopassus.
Menjelang
Agustus 1950, dimana-mana terjadi gerakan rakyat menuntut dibubarkannya negara
bahagian dan berdirinya negara kesatuan. Pada 17 Agustus 1950 RIS bubar dan
berdirilah Republik Indonesia Kesatuan, berbeda dengan Republik Indonesia
sebagai Negara Bagian.
Samar-samar
saya masih ingat bahwa di daerah bekas negara bahagian Republik Indonesia
stempel-stempel resmi menggunakan istilah Republik Indonesia Kesatuan untuk
membedakan dengan Republik Indonesia negara bagian yang sudah dibubarkan.
Undang
Undang Dasar yang digunakan adalah Undang Undang Dasar 1950. Sukarno kembali
jadi presiden dan beberapa lama kemudian Hatta juga terpilih jadi Wakil
Presiden.
Sistemnya
jadi Kabinet Parlementer dengan Perdana Menterinya adalah M.Natsir dari Partai
Masyumi. Di Jawa Barat masih ada pemberontakan DII/TII yang "belum dapat
diselesaikan" sampai sekarang, artinya pengikutnya sampai sekarang masih
ada.
Bulan
berikutnya saya bersiap menghadapi ujian akhir di SMP dan merasa bersyukur
dinyatakan lulus. Beberapa catatan dapat dituliskan mengenai perkembangan yang
saya alami :
Pertama,
adanya tujuh kali perobahan pemerintahan sulit untuk dipahami, sehingga saya
menempatkan diri sebagai penonton, merasa diri tidak terlibat dalam arus
perobahan yang terjadi.
Sampai
hari ini saya cenderung bersikap sebagai pengamat dari pada pemain. Kedua,
sikap sebagai pengamat dan bukan sebagai pemain menyebabkan saya tidak punya
konstituen dan sulit terlibat dalam kelompok. Karena itu saya merasa jabatan
yang cocok adalah sebagai guru atau dosen, membina orang tidak dalam hubungan
atasan - bawahan. Keengganan untuk mencontek menyebabkan saya sulit terlibat
dalam konspirasi.
Ketiga,
tidak lekas percaya kepada orang lain, baik itu keluarga dekat maupun sahabat,
saya sangat pesimistis atas adanya solidaritas sosial, siap dan bersedia
bergaul dan membantu orang lain namun tanpa mengharapkan apa apa sebagai
balasan. Ini bukan perwujudan dari semboyan yang kemudian dikenal sebagai sepi ing
pamrih, rame ing gawe, ini semata mata karena anggapan bila orang lain tidak
membalas perbuatannya hal itu adalah hal yang biasa.
Dalam
pengetahuan agama yang sangat terbatas, justru saya sangat percaya bahkan
merasakan bahwa ada satu yang selalu menjaga dan memberi, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa. Masa belajar di SMP ini adalah masa terakhir saya bersama orang tua.
Sesudah itu saya senantiasa berada di luar dan hanya kembali dalam hitungan
hari.
Dampaknya
adalah adik-adik saya tidak mengenal saya dan menganggap saya sebagai orang
asing. Tiga orang adik yang yang terakhir, dua diantaranya lahir pada saat saya
belajar di Medan, bahkan yang paling bungsu lahir sewaktu saya sudah jadi
mahasiswa di Yogyakarta.
Sewaktu
tammat dari SMP saya menolak melanjutkan ke SMA Padang Sidempuan, kalau harus
tinggal di rumah nenek. Pengalaman yang lalu, sangat mengganggu pemikiran saya.
Saya ingin in de kost, karena trauma tinggal kelas itu masih membekas di
pikiran saya. Saya memang tidak menceritakan apa yang saya alami selama tinggal
di Padang Sidempuan, dan saya juga tidak menyalahkan siapa-siapa, barangkali
yang dapat disalahkan adalah kemiskinan yang dialami. Saya bersedia melanjutkan
ke Padang Sidempuan, namun tidak tinggal di rumah nenek tetapi indekos, malahan
tempat kosnya telah saya cari. Sebaliknya dengan belajar di Medan, trauma itu
hilang namun orang tua tentu akan mengalami kesukaran memenuhi keperluan.
Akhirnya
diputuskan belajar di SMA Negeri Medan.
Seperti
telah disinggung dimuka, Agustus 1950 adalah masa bubamya Republik Indonesia
Serikat dan digantikan dengan Republik Indonesia Kesatuan. Dengan dibubarkannya
NST ikut juga bubar propinsi Aceh dan Tanah Karo dan Propinsi Tapanuli
SumateraTimur Selatan dan dibentuknya Propinsi Sumatera Utara dengan ibukotanya
Medan.
Persetujuan
KMB berisi ketentuan bahwa perusahaan-perusahaan Belanda. dikembalikan kepada
pemiliknya yang lama, termasuklah perkebunan, kereta api, pelabuhan dan lain
lain.
Saya
berangkat seorang diri dalam arti tidak diantar oleh siapa anggota keluarga,
saya dititipkan pada seorang tetangga yang juga akan berangkat ke Medan. Dengan
menumpang bis Martimbang, untuk pertama kalinya berangkat ke Medan, ternyata
mobil ini hanya sampai ke Pematang Siantar dan para penumpang yang akan ke
Medan harus menginap. Besoknya saya ditompangkan ke mobil yang akan berangkat
ke Medan, dan turun di stasiun Pusat Pasar. Waktu itu mobil penumpang bergabung
sesuai dengan jurusan masing-masing. Medan-Siantar bergabung dalam PMS
(Persatuan Motor Simalungun), bis Brastagi-Medan bergabung dalam PMG (Persatuan
Motor Gunung). Medan Belawan bergabung dalam PMB (Persatuan Motor Belawan)
Medan-Belawan) dan mobil Medan-Langkat bergabung dalam PML (Persatuan Motor
Langkat). Waktu itu stasiun ini merupakan stasiun gabungan dari semua jurusan.
Dari Pematang Siantar, Binjai, Belawan dan Brastagi dan Langkat sehingga orang
yang akan mengadakan perjalanan lanjutan cukup pindah bis. Kalau tidak salah,
sistem ini masih dipertahankan pada stasiun Pudu di Kuala Lumpur. Dewasa ini di
Medan ada beberapa stiasiun seperti Pinang Baris kearah Binjai, Amplas untuk
jurusan P Siantar sehingga seseorang yang akan melanjutkan perjalanan harus
pindah ke stasiun lain dan ini menambah biaya.
Dari
Pusat Pasar saya naik beca menuju Jalan Utama, dimana tinggal keluarga. Sewaktu
saya makan bersama keluarga ini di malam hari, saya mengalami "cultural
shock". yang biasanya makan dengan mengambil daging ikan secubit demi
secubit bertukar dengan mengambil ikan sepotong. Cara makan atau table manner
ini sangat pandai menunjukkan siapa seseorang itu, dari mana ia berasal dan
lain-lain.
Cultural
shock itu dialami juga oleh "opsir-opsir" APRIS dalam pelayaran
pertamanya memakai kapal KPM dalam menumpas pemberontakan RMS, harus makan
bersama penwira perwira kapal, dengan menggunakan pisau, sendok dan garpu untuk
pertami kali sehingga banyak daging yang “loncat", Tidak heran saya dengar
di Akademi Militer Magelang diajarkan tata dahar atau table manner.
Timbul
masalah pakaian kotor. Saya tidak berani mencuci dirumah orang dan saya membawa
ke tukang cuci, namun tukang cucinya tidak bekerja dengan baik sehingga pakaian
kotor yang sudah diserahkan berhari-hari tidak juga dicuci, terpaksa
diambil-kembali dalam keadaan kotor
Sehari
sesudah sampai di Medan, saya mendaftar ke SMA Negeri, di bekas gedung HBS di
Jalan Seram, tidak jauh dari Pusat Pasar. Sekolah ini adalah bekas HBS, dengan
kompleks yang megah, selain dari ruang belajar, juga punya laboratorium,
auditorium dan lapangan olah raga.
Saya
sebagai orang udik yang selama di SMP belajar menumpang di bekas sekolah rakyat
Kristen dan Katholik, sangat terkagum-kagum melihat komplek HBS ini, yang
memang merupakan satu satunya HBS di Sumatera. Sayangnya dengan terbuangnya
waktu ke Padang Sidempuan, ternyata saya terlambat datang dan pendaftaran sudah
ditutup, Kepala Tata Usaha, kalau tidak salah namanya Pak Yuswar menerima
pendaftaran sebagai cadangan karena ada kemungkinan akan dibuka kelas baru bagi
siswa yang datang terlambat, yang datang dari daerah yang jauh dari Medan.
Beliau menganjurkan agar sambil menunggu agar mendaftar dan belajar di sekolah
swasta, disebutkan nama SMA Taman Siswa. Nasehat itu saya ikuti, saya mendaftar
pada SMA Taman Siswa dan menceritakan kepada Kepala Sekolah, bapak Darmosugondo
nasehat Kepala Tata Usaha, agar sambil menunggu agar saya masuk SMA Swasta saja
dulu, mana tahu rencana pembukaan kelas baru tidak jadi diadakan.Ternyata sang
Direktur marah besar karena sekolahnya dijadikan tempat menunggu. Pak Sugondo
ini ternyata bukan hanya Kepala Sekolah, namun juga seorang pejuang yang aktif
dalam mewujudkan pesan proklamasi.
Saya
segera angkat kaki dan melapor kembali kepada Kepala Tata Usaha. Beliau malah
ikut memarahi saya, pantas saja pak Gondo marah kau jadikan sekolahnya sebagai
tempat tunggu saja. Kemudian saya mendaftar di sekolah Kesatria tanpa ngomong
apa apa. Saya melihat gedungnya yang cukup bonafid. Saya tidak menyebutkan
mengapa saya mendaftar dan saya diterima. Namun, saya belajar beberapa hari
saja di SMA swasta tersebut, karena kelas tambahan jadi dibuka di SMA Negeri.
Dalam waktu yang singkat itu saya berkenalan dengan saudara Burhanuddin, anak
Camat Sicanggang.
SMA
Negeri merupakan penggabungan dari VHO dan dengan SMA Perjuangan, sekolah yang
didirikan para republikein, guru-gurunya terdiri dari guru-guru SMA Perjuangan
dan guru- guru bekas VHO yang umumnya adalah guru-guru Belanda yang tidak
kembali ke negeri Belanda. Karena kelas kami adalah orang-orang pedalaman, mungkin
pada tahun pertama kami "bebas” dari guru-guru Belanda. Baru di kelas II
guru-guru Belanda hadir dengan bahasa Belandanya.
Saya
yang hanya beberapa bulan duduk di IMS dizaman pendudukan Belanda merasa
gelagapan juga, dan bersama kawan kawan yang lain, kami "demo"
menemui Kepala Sekolah, Bapak Rondang Simanjuntak menyampaikan protes atas
hadirnya guru-guru berbahasa Belanda tersebut.
Sang
Direktur mengatakan bila tidak bisa menerima silahkan pulang ke pedalaman,
tetapi kalau mau menerima silahkan belajar sendiri bahasa Belanda.
"Kecelakaan” ini ternyata bermanfaat, karena dengan adanya paksaan itu
sampai sekarang saya masih mengerti bahasa Belanda walaupun pasif dan
"berani" membaca buku berbahasa Belanda.
Seperti
telah disinggung diatas, saya mula-mula tinggal di rumah keluarga, namun saya
berpendapat bahwa sebaiknya in de kost saja. Sang keluarga mempunyai kenalan
yang tidak jauh dari rumah yang menerima anak-anak in de kost. Keluarga itu
adalah Pak Pohan, yang juga berasal dari Sibolga, pegawai penerangan yang
pindah ke Medan pada saat Belanda ditarik dari daerah Renville sebelum
penyerahan kedaulatan. Setelah dihubungi, ternyata tempat masih ada dan
pindahlah saya ke rumah itu, yang terletak di jalan Puri, Gang Tengah. Ada
beberapa orang yang kost di tempat itu, semuanya berasal dari Sibolga.
Ada
setahun lebih saya tinggal di rumah ini, pernah pindah ke dua tempat lain yang
saya tidak ingat lagi apa penyebabnya sebelum ia pindah ke tempat kost terakhir
di rumah seorang pelukis, Hasan Siregar di Jalan Nilam. Sebagai lanjutan dari
sikap tertutup yang telah terbentuk, selama tiga tahun di Medan kegiatan saya
terbatas belajar di sekolah. Saya tidak pernah terlibat dengan kegiatan luar
sekolah seperti kepanduan atau yang sekarang dinamakan pramuka, tidak masuk
dalam organisasi olah raga, pengajian dan lain lain. Walau demikian, saya
pernah ikut sembahyang Jum'at menumpang mobil tetangga di mesjid Muhammadiyah
di Jalan Kamboja.
Seperti
yang telah saya singgung diatas, satu satunya yang berkembang adalah kegemaran
saya membaca. Saya merasakan bahwa menguasai bahasa asing seperti bahasa
Belanda walaupun pasif berarti seolah-olah membuka jendela baru dalam memandang
dunia. Sayangnya, walaupun di SMA diajarkan bahasa Jerman, namun tidak saya
kuasai seperti bahasa Inggeris, walaupun bahasa Inggeris saya juga hanya
cukup-cukup makan saja.
Kami
sangat "berdosa", karena diwaktu istirahat guru kami, Van Duurten
sering meninggalkan tasnya di kelas dimana ia akan mengajar waktu jam pelajaran
tiba, pintu kami kunci dari dalam sehingga guru tidak bisa masuk, bahkan ada
kawan yang menggerayangi roti sang guru. Saya sama sekali tidak bisa berbahasa
Jerman, namun ada satu kalimat yang selalu saya ingat : “Kein mens ist
slecht, aber alle Mensen haben Fehler”, yang artinya tidak ada manusia yang
jelek, namun semua manusia punya cacat, atau ringkasnya barangkali semua
manusia punya kekurangan.
Saya
pernah dengar dari seorang pendeta, guru agama Kristen di sekolah dan saya
"nyelonong" masuk sang pendeta mengatakan bila kamu berkeluarga,
terimalah isteri atau suamimu seutuhnya, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Pada waktu diadakan reorganisasi PPN ke PTP beberapa puluh tahun
kemudian, saya dengar istilah terimalah perusahaan dengan alle lasten en
lusten, terima kekayaannya dan hutang-hutangnya.
Dikota
Medan inilah saya baru punya akses yang lebih luas kepada buku-buku. Ada tiga
sumber buku yang tersedia waktu itu, dan saya terdaftar sebagai anggota
perpustakaan USIS, perpustakaan British Council dan Perpustakaan Umum.
Pertama,
Perpustakaan Umum kepunyaan pemerintah di Jalan Serdang, perpustakaan lama yang
ikut diambil alih dari Belanda
Kedua,
Perpustakaan United States Information Service (USIS), perpustakaan yang berada
dibawah naungan United States Council, sebagai usaha untuk memperkenalkan
Amerika pada dunia, khususnya masyarakat Medan.
Gedung
USIS masih ada, satu kantor dengan Konsulat Amerika yang sudah ditutup, namun
USIS sudah lama ditutup dan buku bukunya dialihkan ke Perpustakaan Persahabatan
Indonesia Amerika (PPIA).
Ketiga,
Perpustakaan British Council yang terletak di Jalan Diponegoro sekarang.;
Sekarang sudah tidak ada dan buku-bukunya diserahkan pada Perpustakaan Daerah,:
dan di bekas pertapakannya berdiri Bank Pembangunan Daerah, BPDSU
Ada
suatu "kecelakaan" yang saya alami waktu belajar bahasa Ingeris di
SMP Entah sengaja atau tidak, angka ulangan saya yang biasanya selalu merah,
satu kali saya dapat: angka ulangan 8. Ini merupakan shock therapy buat saya.
Tiba-tiba pandangan saya terhadap diri saya sendiri berobah, saya yang tadinya
yakin bahwa saya dengan deretan angka ulangan merah tidak bisa berbahasa
Inggeris, berobah merasa yakin bahwa saya pun bisa berbahasa Inggeris, dan
kemampuan ini harus dipupuk dengan bekerja keras. Karena itu, setiap guru
seharusnya harus berusaha keras, "memanipulasi" muridnya agar rasa
ingin tahu dan keinginan belajar dapat mekar; dan sekali kali janganlah
mematikan minat belajar itu.
Saya
selalu mengatakan bahwa dengan memberikan angka 6 sebenarnya kita juga
mengatakan ada 4 yang tidak diketahui, namun adalah lebih bijaksana apabila
kita mengatakan bahwa dengan telah mengetahui 6, sang murid mampu menguasai
yang 4 lainnya.
Diterimanya
saya sebagai anggota ketiga perpustakaan itu yang memang tanpa ada persyaratan
yang berat, membuat saya punya akses terhadap buku buku yang berbahasa
Inggeris. Untuk menambah kemampuan, saya membeli kamus bahasa Inggeris. Pada
awalnya kamus itu sangat sering dibuka, namun makin lama makin jarang karena
perbendaharan kata telah bertambah. Malahan saya mulai beralih menggunakan
kamus Inggeris - Inggeris. Saya merasa beruntung sejak awal sekali saya sudah
paham organisasi kamus yang disusun secara alfabetis, sehingga saya tidak
ditertawakan seperti kawan yang terlambat mengenal organisasi itu dan menuduh
orang sombong karena berani mengatakan bahwa dalam kamus tebal dapat diketahui
ada tidaknya kata yang dicari.
Sejak
belajar di SMA itu juga saya telah faham mengenai indexing, menyusun indeks
kata kata penting yang dijumpai dalam buku dan dihalaman berapa. Kalau dalam
indexing yang dicatat kata kata penting, dalam satu buku, katalog merupakan
daftar semua buku yang ada dalam satu perpustakaan, yang merupakan index yang
disusun menurut nama pengarang, atau nama buku, bahkan mengenai kata-kata yang
terdapat dalam berbagai buku. Pada gilirannya masing masing buku itu
digolongkan lagi kedalam beberapa bidang llmu Pengetahuan.
Ada
beberapa sistem yang dianut, yang pernah saya kenal adalah sistem desimal yang
disusun oleh Dewey.
Buku-buku
yang saya pinjam dan baca bukanlah buku-buku wajib yang harus dipelajari di
sekolah, namun saya akui merupakan alat pembantu untuk memperluas wawasan. Saya
sudah mencoba mengingat-ingat kembali buku-buku apa saja yang pernah saya baca,
namun tidak ada nama yang muncul dalam pikiran. Rupa-rupanya salah satu segi
lain dari melek huruf itu tidak saya laksanakan, yaitu membuat catatan harian
ataupun diary. Tidak heran hanya beberapa orang saja yang tekun membuat catatan
harian sehingga menjadi terkenal, seperti The Diary of Anne Frank ataupun
Catatan Harian Ahmad Wahid.
Saya
sudah berani meminjam dan membaca buku berbahasa Inggeris. Kegemaran menulis
terbatas dengan memelihara catatan harian atau diary yang terbatas merupakan
jotting dan tidak lengkap. Bahkan catatan-catatan di SMA itu tercecer entah
kemana, yang utuh adalah catatan harian sejak tahun 1971.
Sesudah
duduk di kelas III SMA, tinggal beberapa bulan lagi sebelum ujian akhir, saya
belum tahu akan kemana sesudah tammat SMA. Jadi kalau ada teori pendidikan yang
mengatakan sejak kelas dua harus sudah diadakan panduan bakat saya sama sekali
tidak mengalami panduan tersebut. Satu-satunya informasi yang saya peroleh
adalah informasi di papan pengumuman tentang lowongan untuk menjadi mahasiswa
ikatan dinas di Fakultas Pertanian jurusan Kehutanan di Bogor atau Yogyakarta.
Sayangnya
ujian akhir pada tahun itu tertunda, karena adanya kebocoran soal-soal ujian
sebelum ujian dimulai, kalau tidak salah pembocoran dilakukan oleh seorang
pegawal kantor pos di Makassar karena anaknya juga akan ikut ujian. Ini berarti
punya waktu lebih banyak untuk menekuni pelajaran, karena untuk dapat diterima
sebagai mahasiswa Ikatan Dinas, dalam ujian akhir nilainya harus mencapai
sekurang kurangnya rata rata 7. Saya mencapai angka itu, dan karena waktu
pendaftaran mahasiswa tidak ditunda, saya harus segera berangkat ke Bogor.
JADI MAHASISWA DI YOGYAKARTA
(1953 – 1958)
Setamatnya
dari SMA di tahun 1953 saya berangkat ke Jawa untuk melanjutkan pelajaran.
Begitu pengumuman diadakan dan ternyata saya lulus dan mencapai angka rata rata
7, saya kembali ke Sibolga untuk pamitan dan segera berangkat menuju Bogor.
Saya
segera kembali ke Medan, karena perlu mengambil ijazah dan mengurus Surat
Keterangan Berkelakuan Baik. Sayangnya dalam sewaktu mengambil ijazah ke
sekolah ternyata ada kesalahan tulis, tanggal lahir yang semestinya 30
September I933 tertulis menjadi 30 November 1933. Karena buru-buru akan
berangkat, kesalahan itu tidak sempat diperbaiki.Ternyata kesalahan itu membawa
kesulitan kemudian, tanggal lahir kadang-kadang tercatat 30 September; kadang
kadang 30 November, ada perbedaan antara KTP, SIM, diploma dan paspor. Terakhir
sewaktu memperpanjang paspor; saya bawa ijazah sejak sekolah rakyat sampai
sarjana dan saya jelaskan sebab terjadinya perbedaan. Dalam satu hari saya
mengurus surat keterangan berkelakuan baik dari polisi dan sorenya sudah naik
kapal KPM di Belawan.
Sebagaimana
kawan-kawan yang lain, saya menjadi penompang kelas dek, yang baru bisa
ditempati sesudah barang-barang selesai dimuat dan palka ditutup. Palka adalah
tempat memasukkan barang atau cargo ke perut kapal. Kami dapat jatah makanan
tiga kali sehari, yang untuk ukuran saya cukup banyak dan enak. Yang sulit
adalah air untuk mandi, orang demikian banyak sedangkan jam air buka dibatasi.
Saya dengan beberapa teman memutuskan untuk tidak mandi dan tidak tukar pakaian
selama di kapal. Alasan lain adalah jumlah pakaian yang sangat tebatas sedang
perjalanan masih jauh.
Kapal
selalu dipenuhi karyawan perkebunan, baik yang baru mau jadi pekerja maupun
yang sudah selesai kontrak kerjanya. Karena itulah muncul istilah kuli kontrak,
yang biasa disingkat dengan kontrak Dari sini jugalah muncul istilah Jadel,
Jawa Deli, yang umumnya terasa berbeda kejawaannya dengan yang masih tinggal di
Pulau Jawa. Belakangan untuk membuang konotasi jelek dari jadel itu, diciptakan
istilah yang lebih manis, Pujakesuma, Putera Jawa Kelahiran Sumatera.
Biasanya
dikapal selalu hadir tukang judi professional, ada yang pura-pura kalah,
menjual arloji, cincin dan lain-lain dan ini membuat para karyawan bersemanagat
untuk : berjudi. Ada yang terpaksa menanda tangani kontrak kembali karena uang
yang dikumpulkannya bertahun-tahun ludes di tikar judi. Ada yang mengatakan
judi di kapal ini disponsori juga oleh pihak perkebunan agar buruh yang habis
kontraknya dan kemudian habis uangnya agar kembali mendaftar sebagai karyawan
baru. Pihak perkebunan memakai sistem kontrak jangka pendek 4 tahun, sehingga
buruh tidak sampai terlampau tua dan anak-anaknya belum terlampau banyak.
Kapal
berlabuh di Singapura untuk membongkar barang, terutama teh hasil perkebunan.
Penompang-penompang yang berduit memilih turun ke darat selama kapal bongkar
muat, namun saya tinggal di kapal karena untuk turun diperlukan duit. Waktu itu
pemeriksaan passport agak longgar tanpa passport pun bisa turun.
Pedagang-pedagang Singapura ada juga yang naik ke kapal menjajakan dagangannya,
seperti baju, biskuit dan lain lain. Selesai bongkar muat pelayaran dilanjutkan
dan berhenti di Muntok, Pulau Bangka untuk menaik - turunkan penumpang.
Sekarang
keadaannya sudah berobah, sudah ada kapal penumpang disamping kapal barang dan
adanya angkutan darat untuk barang.
Di
zaman saya dulu tidak terbayangkan jalan darat dari Medan ke Jakarta. Pelayaran
dari Muntok dilanjutkan diwaktu malam sehingga melewati Laut Cina Selatan.
Ombak besar tidak terasa dan sampai di Tanjung Periok di waktu pagi.
Kedatangan
di Jakarta diharapkan dijemput oleh sahabat ayah, namun yang bersangkutan tidak
muncul, belakangan saya mendengar surat yang dikirimkan ayah diterima
terlambat. Saya sangat bingung, dan akhimya ikut saja dengan teman yang akan
berangkat menuju Yogya.
Teman
sekapal, saudara Burhanuddin akan berangkat menuju ke Yogya, saya bergabung
dengan teman sesama murid SMA Kesatria sewaktu berkesempatan belajar beberapa
hari di Medan, kami menuju Jakarta dan menginap di salah satu losmen di Pasar
Senen.
Dalam
pengumuman di papan tulis sekolah di Medan, ikatan dinas yang sama selain di
Bogor diberikan juga di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sehingga dari pada
menuju Bogor tanpa teman lebih baik menuju Yogyakarta, karena alamat yang
dituju jelas, yaitu asrama mahasiswa Sumatera Utara di Jalan Kumetiran Kidul,
alamat yang dituju teman itu, dimana oomnya yang jadi mahasiswa bertempat
tinggal.
Pagi-pagi
kami berangkat menuju stasiun Gambir, dan ternyata tiket yang ada hanya tiket
kelas satu, yang tanpa saya sadari adalah cukup mahal dan menguras uang saya
yang sedikit.
Sesampainya
di Yogya, dengan bantuan informasi dari mahasiswa senior yang tinggal di asrama
itu, saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Universitas Gadjah Mada.
Kesulitan pertama yang saya hadapi adalah soal orientasi tempat Sebagai mana
kebiasaan setempat, saya hanya kenal kiri kanan dan hilir hulu, sekarang
berhadapan dengan penunjukan arah sesuai mata angin.
Saya
mendaftar pada Fakultas Pertanian jurusan Kehutanan dan sekaligus mengajukan
permohonan ikatan dinas. Sementara itu saya tinggal di asrama Kumetiran Kidul.
Pada waktu itu ada beberapa "model" penampungan untuk mahasiswa yang
datang belajar ke Yogya. Ada yang langsung in de kost di rumah-rumah keluarga
yang menyediakan fasilitas in de kost. Beberapa teman masih ada yang mengalami
"diskriminasi", bila mengaku datang dari “Seberang" segera
disambut dengan pernyataan bahwa tempat kosong sudah terisi.
Dalam
budaya Jawa seberang mengandung arti satu atau dua kelas dibawah pusat atau
pusat kerajaan. Ada yang tinggal di asrama yang diusahakan oleh unversitas,
dimana universitas menyediakan perumahan dan perabotan, sedangkan urusan
selanjutnya diserahkan kepada penghuni, yang umumnya berasal dari daerah yang
sama.
Kemudian
ada asrama yang disediakan olah pemerintah daerah untuk mahasiswa yang berasal
dari daerahnya. Asrama Kumetiran adalah asrama yang mahasiswanya berasal dari
Sumatera Utara, berjumlah 12 orang. Bisa dibagi antara yang beragama Islam dan
beragama Kristen, tetapi dapat juga dibagi antara yang berasal dari Sumatera
Timur dan Tapanuli.
Tinggal
di asrama ini bagi saya merupakan suatu dunia baru, karena terlibat dalam
menyesuaikan diri dengan kawan yang berbeda daerah asal serta berbeda agama dan
juga berbeda adat kebiasaan.
Terus
terang selama berada di Sibolga saya mendapat pendidikan bahwa orang Toba
adalah orang yang kasar sulit untuk dijadikan teman. Namun, saya merasa
beruntung, saya bisa lebih kenal pada kawan-kawan Toba ini, sehingga sewaktu
kemudian saya bekerja di Pertekstilan TD. Pardede, dimana non Toba dan Kristen
dominan, saya tidak merasakan kesulitan apa-apa. Apa yang dipelajari dari kawan
di asrama, adalah bahwa orang Toba adalah manusia yang rasa solidaritasnya
tinggi, dengan akibatnya : sabunmu adalah sabunku, semir sepatuku adalah
semirmu, jaketku adalah jaketmu. Mula mula tidak tidak tahan pada terror ini,
tetapi lama kelamaan saya rasakan juga nikmatnya, sehingga sanggup memakai
jaket teman di malam minggu. Malahan di asrama ini pula saya berupaya menghormati
agama kawan-kawan, bahkan tidak jarang ikut ke gereja untuk mengetahui seluk
beluk agama teman-teman. Mereka tahu bahwa kehadirannya untuk memahami dan
teman-teman membantu dan sepanjang pengalaman tidak ada diantara teman-teman
itu yang berusaha menarik memasuki agama mereka. Yang dianggap mewah adalah
perumahan untuk mahasiswa yang merupakan pegawal tugas belajar dari Kementerian
Dalam Negeri. Pegawai tugas belajar ini banyak juga yang ditampung di
hotel-hotel dan losmen-losmen yang ada di Yogya, sama dengan pegawai pegawal
lainnya yang tidak mendapat perumahan.
Perkuliahan
pada awalnya sementara "diganggu" kegiatan perploncoan. Perploncoan
ini sepenuhnya merupakan kegiatan mahasiswa, walaupun dengan sepengetahuan dan
dan bantuan fakultas. Acara diisi dengan penggonyohan fisik dan pemberian
orientasi perkuliahaan, latihan spontanitas dan mengambil initiatif. Setiap
mahasiswa diberikan nama dan selama perploncoan dan dikenal dengan nama itu.
Setiap
mahasiswa diperintahkan untuk mencari mentor yang diharapkan jadi pembimbingnya
dalam perkuliahan selanjutnya. Saya merasakan bahwa dalam perploncoan ini hanya
sebagai penonton dan bukan sebagai pemain. Saya tidak berhasil mencari mentor
dan juga tidak berhasil membentuk kelompok belajar. Namun, saya mengakui bahwa
perploncoan itu sebenarnya sangat bermanfaat, membuka kepribadian seseorang dan
menggalang rasa setia kawan. Saya merasa sayang, dalam perkembangan waktu
perploncoan itu dihapuskan dan diganti namanya walaupun kegiatannya hampir
sama. Sesuai dengan rencana semula, saya masuk Fakultas Pertanian antara lain
karena adanya pemberian ikatan dinas. Ikatan dinas besarnya Rp 300.- sesuai
dengan gaji pokok pegawal golongan IV. Untuk pertama kali saya menerima uang
ikatan dinas untuk dua atau tiga bulan, saya tidak ingat tepatnya berapa.Yang
lebih dahulu saya beli adalah singlet, sekaligus saya beli setengah lusin,
diluar kebiasaan yang hanya membeli satu biji. Sewaktu akan membayar saya tanya
pada kasir saya dapat diskon berapa. Sang kasir nampaknya bingung, saya juga
bingung mengapa kasir tidak sadar bahwa saya sudah membeli banyak, baru saya
sadar bahwa kemiskinanlah yang membuat saya merasa membeli setengah lusin itu
banyak, sedangkan bagi kasir setengah lusin itu tidak berarti apa apa.
Dalam
mengikuti perkuliahan saya mengalami kesukaran dalam menggambar yang
menyebabkan saya tidak berhasil dalam praktikum Zoologi dan Botani. Keengganan
untuk mencontek ternyata juga "merugikan", saya tahu ada teman yang
mengkhayal, menggambarkan sesuatu yang ternyata bukan merupakan hasil preparat
yang berada di mikroskop. Saya meminjam buku praktikum senior saya saudara
Minjen Ginting, namun buku itu tercecer entah dimana. Saya sudah memasang iklan
di surat kabar namun tidak berhasil menemukan buku itu yang jadi syarat untuk
menempuh ujian Botani pada Prof. Heubult yang sangat garang.
Kesulitan
berikutnya adalah dalam mengikuti kuliah-kuliah gabungan dari beberapa fakultas
yang berada di kompleks Ngasem, Kedokteran, Farmasi dan Pertanian, dimana
pertarungan untuk bisa duduk di depan memaksa harus sudah berada di ruang
kuliah diwaktu subuh, menyebabkan saya kalah dalam bertarung, dan dengan posisi
duduk jauh di belakang dan dengan mata yang berkaca mata, praktis tidak dapat
mengikuti kuliah. Bagaimana mungkin saya membaca rumus rumus Kimia Organik yang
dituliskan di papan tulis dari jarak jauh. Jadi kesukaran yang saya alami bukan
kesukaran "intelektual", namun kesukaran praktis, tidak bisa
menggambar dan tidak bisa melihat dari jauh, ditambah lagi dengan kasus buku praktikum
saudara Minjen. Memang profesor tidak menghukum saudara Minjen, sesudah kami
menemuinya dan saya mengatakan bahwa saya yang menghilangkan buku praktikumnya
dan kalau mau dihukum sayalah yang harus dihukum dan bukan saudara Minjen.
Dengan kemelut yang demikian itu, mau tidak mau saya harus mencari jalan
keluar, jalan keluarnya hanya satu: retreat atau tarik diri.
Keadaan
yang sudah buntu itu membuat saya mencari jalan lain, namun jalan apa ? Dalam
keadaan kebingungan itu dan dalam suasana tanpa ada mentor yang sebenarnya,
kebetulan saya membaca iklan di surat kabar tentang adanya permintaan untuk
calon aktuaris perusahaan asuransi Boemipoetera di kota yang sama, dan saya
iseng iseng melamar. Bahan yang diujikan adalah bahasa Inggeris dan llmu Pasti
tanpa ada wawancara. Ternyata bersama seorang pelamar lainnya saya diterima,
diangkat sebagai calon pegawal dengan tugas belajar jadi aktuaris.
Sebagai
pegawal magang saya didudukkan dekat kepala kantor sehingga dapat melihat gerak
gerik kepala tersebut, bagaimana ia mempelajari surat-surat yang masuk,
menandatangani surat-surat keluar, menerima telepon dan menerima tamu-tamu,
memanggil pegawai dan lain lain. Saya terpikir enak juga bekerja di bidang
ekonomi ini.
Dunia
saya sangat sempit selama ini, sampai tammat SMA tidak pemah menginjak kantor
dagang, kantor perusahaan yang bergerak di bidang ekonomi, tidak pernah bergaul
ataupun ngobrol-ngobrol dengan pegawai perusahaan. Saya baru pemah bertelepon
sesudah menjadi mahasiswa.
Karena
merasa pendidikan formal telah terputus, untuk menambah pengetahuan, selain
magang di Boemi Potera saya juga bermaksud mengambil kursus-kursus, seperti
kursus bahasa Inggeris, Pembukuan dan lain lain. Saya tidak lama jadi pegawai
perusahaan asuransi itu, dan menjelang keluar dari Boemi Putera, saya menulis
catatan berikut, seperti kutipan dibawah ini, dengan ejaan yang sudah
disesuaikan.
Mengenai
episode di Boemi Poetera ini, saya membuat catatan berjudul "111 hari
bercokol di Sriwedari 12" 111 hari itu dihitung mulai saya masuk (7 Mei
1954) sampai keluar (28 Agustus 1954). Sriwedari 12 adalah alamat kantor pusat
asuransi tersebut,: yang sekarang sudah tidak ada, digusur dan menjadi,
shopping centre.
Catatan
tersebut terdiri dari tiga bagian, mengapa ia masuk Boemi Poetera, apa itu
Boemi Poetera dan mengapa ia keluar dari Boemi Poetera. Bagian pertama dan
bagian terakhir nampaknya merupakan bahagian dari sejarah hidup dan
selengkapnya dimasukkan-kembali dalam diary ini, dengan ejaan yang disesuaikan.
Bagian itu adalah bahagian yang berjudul "Mengapa mesti Boemi Poetera
?" dan dilanjutkan dengan bahagian akhir: “Mengapa keluar dari Boemi
Poetera ?”
Mengapa mesti Boemi Poetera ?
Sesuatu
soal makin jelas bagi kita, bila dikenal hubungannya dengan bahagian-bahagian
lain. Apa yang terjadi sebelum hari ini, memberi gambaran mengapa tindakan kita
sekarang terlaksana, dan tindakan kita sekarang ini ditujukan kepada hasil yang
akan diperoleh kemudian hari.
Ide
saya semula yang bermaksud mencapai tempat yang tinggi dengan bahan yang lurus,
walaupun dengan sudut elevasi dalam hitungan menit, terpaksa kutukar dengan
garis-garis patah dan garis bengkok dengan sudut elevasi antara 0 dan 360’.
Jalan makin panjang, bahaya makin hebat, keuntungan satu-satunya ialah
tercapainya kegembiraan dalam hidup ini. Kumulal ceritaku dari keadaan yang
kualami pada bulan-bulan Januari dan Februari dari tahun 1954 ini. Di saat itu
semangatku untuk terus berjuang dalam studi di Fakultas Pertanian mengalami
keadaan yang kritis sekali.
Aku
tidak bisa mengerti mengapa sebagai seorang calon insinyur pertanian saja,
menganggap membuat preparat praktikum botani rtu adalah soal yang berat Ini
merupakan pertentangan yang hebat yang menuju dominansi. Salah satu harus
gugur, kesulitan yang dihadapi ataupun cita cita semula. Akhimya jawaban
ditentukan oleh jalan hidup menjelang dewasa yang tidak pernah langsung atau
tidak langsung menerima didikan dalam memainkan jari yang sepuluh ini.
Sejak
kecil aku sudah tenggelam dalam membaca buku-buku. Di mulai dari roman picisan
yang banyak terdapat di rumah. Di SMP kebutuhanku tidak terpenuhi karena
kekurangan literatur dalam masa pergolakan itu. Di SMA aku banyak membaca buku
yang masih dapat diolah otakku, aku menjadi anggota United States Library,
British Consulate Library serta perpustakaan Negara, dua yang pertama di Jalan
Jakarta, yang ketiga di Jalan Serdang dan semuanya di kota Medan dimana aku
pernah tinggal sebagai pelajar. Kesulitan tersebut tidak dapat kuatasi dan
cita-citaku semula terpaksa kulepaskan.
What
next ? Aku mulai gelisah. Masa yang kosong dalam bulan-bulan pertama tahun 1954
menjadi hampa dalam bulan-bulan berikutnya. Suatu advertensi yang kubaca dalam
surat kabar- surat kabar yang terbit di Yogyakarta menarik perhatianku. Antara
lain berbunyi: Dicari beberapa pemuda yang akan dididik dalam
verzekeringswiskunde dengan syarat syarat.........dst.
Kumasukkan
segera lamaranku. Goal. Disuruh datang untuk diberi penerangan-penerangan. Ada
beberapa orang kami yang datang, mendekati sepuluh jumlahnya. Hampir semua
adalah mahasiswa-mahasiswa yang seperti aku juga, yaitu yang lari dengan
derasnya tanpa tujuan, dan mencari tujuan itu dimana sebenarnya saat badan itu
telah lemas.
Keluarlah
janji-janji (muluk tapi kosong) dari yang kuasa memberi keterangan- keterangan.
Yang mengajar seorang Tionghoa dari Hongkong. Sekarang sudah di Jakarta dan
akan berada disini dalam dua hari. Kita akan mengambil dari dia sebanyak
mungkin pengetahuan yang kita butuhkan. Disuruh kami datang untuk mengikuti
ujian masuk. Ruangan yang kami pakai adalah ruangan yang biasa digunakan oleh
dewan komisaris, bila mengadakan persidangan.
Mula
mula ujian bahasa Inggeris. Sebahagian dari satu fasal dari "Dai Ichi
Mutual Insurance Company." Kuhantam tanpa segan-segan. Ada dua kata yang menjadi
satu. Kutarik garis diantara keduanya. Hargaku naik dimata pengawas
ujian.Tetapi kemudian ternyata kedua kata itu memang dirangkaikan menjadi satu.
Selesai
bahasa, diuji lagi dalam aljabar. Mulai dari yang paling rendah sampai yang
paling tinggi di lingkungan S.M.A. Soalnya dalam bahasa Inggeris juga. Boleh
dijawab dalam bahasa Indonesia.Tidak kuampuni kuhantam menjawabnya dalam bahasa
Inggeris (jangan tanya bagaimana gramatikanya lho!)
Akhlrnya
pos datang membawa surat yang berisi: karena hasil testing saudara memuaskan,
maka.......dst. Resminya aku sudah diterima dan pada hari dan waktu yang
ditentukan aku berada di kantor pusat Boemi Poetera. Mulai bekerja
diperkenalkan dengan apa yang dikatakan polis, bagaimana proses yang dilaluinya
sehingga sampai ke tangan yang dipertanggungkan melalui pemeriksaan Direktur
dan lain lain.
Akhimya
aku biasa dengan apa yang dikerjakan di kantor tersebut dan bersama-sama dengan
pengasuhnya mulailah aku merasakan kekurangan-kekurangan. Apalagi setelah
melihat dan membaca bentuk-bentuk organisasi serta luasnya perseroan Tanggung
Jiwa di luar negeri. Sedikit banyaknya ikut juga aku menyumbangkan tenaga untuk
memberi nilai yang lebih tinggi bagi Boemi Poetera.
Suatu
hal yang kualami dan tak bisa kulupakan ialah bahwa soal umur tidaklah dapat
diabaikan begitu saja dalam hidup kita sehari hari, didalam lapangan mana
sekalipun. Sellsih umur dalam batas-batas tertentu dapat memperkecil perbedaan
pendidikan yang hampir bersamaan.
Seorang
keluaran SMP misalnya yang sudah berumur 25 tahun yang sudah mempunyai
pengalaman kerja 4 tahun tidaklah dapat dianggap lebih rendah dari seorang yang
baru saja lulus dari SMA dalam umur 21 tahun. Hal inilah yang telah kualami.
Dalam batas-batas tertentu pengalaman kerja dapat meniadakan didikan yang
diterima dalam sekolah yang lebih tinggi. Sulit untuk menggambarkan ini hingga
dari deretan kata-kata bisa menjadi jelas tetapi orang yang mengalami hal yang
serupa dengan mudah dapat mengerti.
Kembali
pada soal semula, masuknya aku ke Boemi Poetera adalah suatu hal yang tidak
pernah kucita-citakan dan belum pemah terbayang dalam ingatanku. Walaupun
demikian pengalaman 111 hari bukanlah tidak berarti bagiku.Aku sudah melihat
cara-cara bekerja suatu organisasi ekonomi yang daerah operasinya meliputi
seluruh Indonesia Mungkin hal ini akan kusinggung lagi dalam fasal-fasal lain
dari buku kenang-kenangan ini.
Alangkah
mudahnya timbul cunga bagi seseorang yang baru saja memasuki lapangan hidup hal
ini tidak lain disebabkan oleh ketiadaan pengalaman sehingga trayek suatu
tindakan itu mulai dan nol sampai tidak terhingga menyebabkan sesuatu soal
tidak dapat diletakkan dalam proporsi yang sebenarnya. Dengan pengalaman yang
sedikit ini, aku sudah dapat memberi reaksi terhadap tindakan-tindakan yang mengenai
diriku dengan pertanyaan: "sampai dimana?,” bukan lagi seperti selama ini
dengan jeritan "aduh!”
Mengapa
keluar dari Boemi Poetera ?
"Janji"
yang dahulu dihembuskan Direksi ternyata mengalami kegagalan. "Masa
penghisapan ilmu" selama tuan Yang di Indonesia terpaksa diundur sampai
permulaan tahun 1955 yaitu sesudah selesai tabel baru (sesudah selesai apa lagi
yang mau dikerjakan!), Dan bayangan yang nampak menunjukkan bahwa apa yang akan
diberikan tidak akan memberi harapan seperti yang diharap harapkan. Mengapa ?
Jawaban yang pertama dan objektif ialah : harapan terlampau tinggi! Ingin
menggenggam dunia dalam satu tangan,. yaitu tangan sendiri. Dan alasan-alasan
lainnya sebahagian besar berpangkal pada pengharapan tinggi itu (cita-cita
setinggi bintang ! Bung Karno)
Alasan
lain ialah, keinginan akan keluar itu didorong oleh dua faktor
"Praktek" selama 111 hari itu menunjukkan kenyataan bahwa alangkah
baiknya kalau ilmu yang sudah dituntut itu diteruskan sampai ketitik akhir.
Tiga akhir yang akan dipadu satu : akhir dari pelajaran, akhir dari kesanggupan
otak menerima pelajaran dan akhir dari kesanggupan orang tua membelanjai.
Walaupun
ada 3 akhir tetapi disana tidak ada demokrasi, karena kalau salah satu dari
yang tiga itu berakhir tercapailah akhir dalam menuntut ilmu seperti kebanyakan
orang. Kalau pelajaran yang akan dituntut berakhir maka keluarlah ia dengan
berjaya dan kalau kesanggupan orang tua berakhir tertekanlah rasa dada. Semoga
ketiga akhir itu berakhir pada hari akhir waktu mengikuti ujian akhir pada
tingkat terakhir di universitas.
Pokoknya
keluar dari Boemi Poetera tidak bisa dicegah lagi. Desakan orang tua yang
menyuruh kembali mengikuti kuliah adalah merupakan hidangan yang luar biasa
enaknya. Hanya sekarang ada kemungkinan yang bisa mungkin dijalankan yaitu
mengadakan jalan tengah terus bekerja di Boemi Poetera sambil mengikuti kuliah,
atau kalau dikatakan dengan terus terang mengharapkan tunjangan dari Boemi
Poetera disamping menerima kiriman dari kampung. Kemungkinan ini sangat kecil.
Permintaan ini akan diajukan dengan harapan bahwa kalau tidak diterima akan
digunakan sebagai alasan untuk minta keluar.
Suatu hal yang saya
alami ialah kedudukan dalam masyarakat itu hanya akan bisa dicapai dalam umur
yang sudah diatur oleh masyarakat. Seorang yang berumur 18 tahun misalnya yang
sangat encer otaknya dalam soal soal ekonomi tidak akan mudah mencapai
kedudukan sebagai President Directur dari N.V. Paling banter ia akan mendapat
julukan "the wonder boy.”
Aku
sudah temui dimana tempatku. Dalam lapangan ekonomi ! Tidak akan pindah lagi.
Cuma aku menunggu umurku lebih tua sedikit dan waktu tunggu itu akan
kupergunakan di universitas untuk menambah keahlian. Yang kucari sekarang
adalah suatu "laboratorium" dimana aku dapat mempraktekkan pengetahuan
yang kupelajari.
Sekianlah
tulisan ini ; tulisan yang melukiskan pengalaman, tulisan yang menggambarkan
kesanggupan melukiskan sesuatu, tulisan yang menunjukkan kesanggupan mengadakan
analisa, tulisan yang menjadi bukti penunjukan, dimana kegagalan-kegagalan itu
masih bersarang. Setelah merasa mantep, baru ia melapor kepada orang tua
tentang posisinya yang telah bekerja.
Seperti
keadaan yang telah disinggung diatas, dimana saat berada di SMP Padang
Sidempuan saya menawarkan diri untuk berhenti sekolah dan membantu bekerja
orang tua, pada kali ini pun permintaan ditolak. Ibu mengatakan kalau tidak
serasi di fakultas Pertanian silahkan cari fakultas lain asal terus belajar
Saya merasa sangat hormat pada Ibunda dan tidak berani menolak permintaannya. Saya
berhenti bekerja dan kembali mendaftar sebagai mahasiswa fakultas Ekonomi.
Pilihan ini timbul berkat pengenalan (?) dengan praktek ekonomi di kantor
asuransi.
Sewaktu
tulisan itu saya baca kembali, saya tersenyum, pikiran yang ditulis 45 tahun
yang lalu itu tidak seluruhnya difahaminya. Ini merupakan pelajaran yang sangat
berharga mengenai bagaimana kemampuan seseorang untuk mengingat.
Setelah
pindah ke Fakultas Ekonomi, ternyata disini saya merasa serasi. Saya kembali
mengajukan ikatan dinas dan ternyata ikatan dinas itu diperoleh kembali. Saya
menapak melalui tingkat persiapan, baccalaureat persiapan dan baccalauréat
lengkap. Karena adanya kekurangan tenaga termasuk kekurangan tenaga untuk
pegawal negeri, sistem pendidikan dirobah dimana tingkat sarjana muda dijadikan
pendidikan terminal melalui tingkat baccalauréat persiapan dan baccalauréat
lengkap, walaupun nantinya dapat dilanjutkan ketingkat doktoral, sebagai
kelengkapan pendidikan sarjana.
Sedikit
demi sedikit pribadi saya mulai terbuka. Di asrama saya mulai aktif main kartu,
main bridge dan main "poker". Permainan bridge saya cukup berkembang,
dan bergabung dalam klub Siala Sampagul yang merupakan anggota perkumpulan
bridge Yogyakarta. Saya sering ikut bermain dalam pertandingan antar klub. Di
asrama kami sering bermain poker dengan taruhan, pemenang pertama sebungkus
rokok, pemenang kedua sebutir telor ayam, taruhannya kecil sedangkan mainnya
bisa 38 jam terus menerus. "Hikmah" dari main “judi” ini ialah saya
merasakan bahayanya kartu, sehingga sesudah punya penghasilan, saya tidak
pernah tergoda untuk berjudi.
Dalam
bidang kemasyarakatan saya pernah jadi sekretaris perkumpulan Siala Sampagul,
yang merupakan gabungan dari orang orang Tapanuli Selatan yang bermukim di
Yogyakarta. Ini adalah suatu terobosan dalam hidup saya, karena untuk pertama
kalinya saya jadi "pengurus" organisasi. Perkumpulan ini adalah
semacam Serikat Tolong Menolong (STM) yang dijumpai dalam setiap kelompok etnis
yang ada di Yogyakarta Anggota Siala Sampagul terdiri dari pegawai pemerintah
yang bertugas di Yogyakarta, para pegawai tugas belajar dan para mahasiswa.
Perkumpulan ini pemah beraudiensi kepada Kepala Daerah, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX di Kepatihan.
Pada
peristiwa ini jugalah saya naik sedan untuk pertama kali, sewaktu anggota
pengurus Siala Sampagul beraudiensi pada Sri Sultan, kumpul di gerbang
kepatihan dan diangkut berangsur-angsur dengan sedan satu-satunya, milik pak
Nasution dari perusahaan saridele Muja Muju. Sejak jadi sekretaris Siala
Sampagul untuk satu periode, saya mulai terlibat dalam peristiwa peristiwa
sosial, seperti kelahiran dan kematian.
Pengalaman
yang agak unik adalah menjumpai satu keluarga, yang suaminya warga Mandailing
dan isterinya orang Jawa, yang terdampar si stasiun Tugu karena kecopetan, la
tidak hilang akal dan menanyakan dimana alamat orang Mandailing yang ada di
Yogya. Ada yang membawanya ke asrama, dan dengan bantuan ala kadamya dari kas
Siala Sampagul, mereka diberangkatkan kembali ke Jakarta.
Saya
menyayangkan terlampau terkonsentrasi pada hidup di asrama dan kurang
memperhatikan masyarakat tuan rumah, bahasa dan kebudayaannya. Walaupun lama
berada di Yogya, tetapi saya tidak bisa berbahasa Jawa, apa lagi kalau diingat
bahasa Jawa itu bertingkat-tingkat Saya merasa sulit untuk berbahasa Jawa,
takut kalau justru dianggap berbicara tidak sopan memakai istilah yang artinya
benar namun tempatnya salah.
Kembali
kebelakang, selama di Medan walaupun tertutup, sekali-sekali saya juga masih
mengunjungi mesjid mendengar ceramah-ceramah para ustad, Pelajaran agama di
sekolah saya ikuti dengan tekun walaupun kadang-kadang saya berbuat nakal
mengikuti; pelajaran agama Kristen seperti yang telah saya singgung tadi. Saya
masih ingat uraian; dari pendeta bahwa bila kita berumah tangga terimalah suami
atau isteri dengan seutuhnya, karena setiap manusia tidak luput dari
sifat-sifat terpuji dan kurang terpuji.
Setelah
masuk ke Fakultas Ekonomi, atas pengaruh beberapa kawan, pada awalnya saya
rajin mengikuti pengajian hari Minggu yang diadakan di mesjid Syuhada, Saya;
terdaftar sebagai anggota Islam Study Club yang mengorganiser ceramah-ceramah
tersebut.
Saya
mendengar ceramah dari seorang pakar yang mencoba menyusun ekonom Islam kalau
tidak salah bernama Ekonomi Bersamaisme. Sang pakar terpaksa menjuali mobil
yang dibawanya dari luar negeri untuk menerbitkan bukunya. Waktu itu membawa
mobil dari luar negeri adalah modal yang sangat berharga. Ada yang menjual dan
menukarnya dengan rumah, namun ada yang mengunakannya sebagai taksi gelap,
apakah dibawa sendiri atau kerja sama dengan sopir lain. (Anda bisa baca dalam
otobiografi-Dr Deliar Noer bagaimana ia menjadi supir taksi Medan - P Siantar
selama bertugas-jadi dosen di Universitas Sumatera Utara).
Beberapa
puluh tahun yang lalu, bila saya naik taksi di Yogya, para supir taksi dengan
lancar bisa menyebut nama-nama dosen Gadjah Mada, bekas temannya sesama supir
taksi. Menjelang Pemilu 1955 saya sering kumpul-kumpul dengan senior-senior
HMI, walaupun secara resmi tidak pernah mendaftar sebagai anggota.
Dalam
bidang pelajaran praktis tidak ada kesulitan, saya mulai kuliah di Fakultas
Ekonomi ( tingkat baccalauréat) pada awal tahun ajaran September 1954 dan
selesai Mei 1958. Mata kuliah diberikan oleh dosen-dosen yang bermacam macam,
selain dosen warga Indonesia seperti Prof. Kertonegoro, Prof. Oei Liang Lie,
Prof Sunardjo, dosen dosen tamu dari Jakarta dan Surabaya, dosen Belanda dan
beberapa dosen dari luar negeri seperti DR Swianiwich, seorang dosen yang
berkebangsaan Jerman yang namanya saya lupa,
Buku
buku jumlahnya lumayan di perpustakaan.Yang membantu adalah initiatif para
mahasiswa sendiri megadakan dictaten kring, catatan-catatan kuliah antara
beberapa mahasiswa saling dicocokkan dan kemudian naskah yang dianggap memadai
diterbitkan, biasanya dihalaman muka ditulis "tidak diperdagangkan, hanya
dikutip penggantian ongkos perbanyakan". Ada juga perorangan yang
mengeluarkan sendiri diktat. Belakangan bisnis diktat ini dijadikan alat
menarik calon anggota oleh organisasi-organisasi ekstra universitas, yang boleh
membeli adalah anggota, jadi harus mendaftar lebih dahulu. Malahan ada yang
lebih kasar, siapa yang membeli disuruh menulis nama dalam buku daftar dengan
menyebut nama, alamat .fakultas dan tanda tangan. Belakangan buku ini diberi
label "Daftar Anggota ...........”
dengan menyebutkan nama organisasi eksteren itu.
Belakangan
pada saat upaya mencapai bersih lingkungan, banyak yang teraniaya gara-gara
daftar anggota palsu itu.
Pada
saat negara sedang rusuh dengan adanya proklamasi Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia di Padang dan adanya Perjuangan Rakyat Semesta di
IndonesiaTimur; saya lulus ujian baccalauréat lengkap. Pada waktu itu jenjang
pendidikan terdiri dari tingkat propadeuse, baccalauréat persiapan,
baccalauréat dan ini dianggap sudah terminal. Kemudian bisa dilanjutkan lagi
pada tingkat doctoral I dan II, menggantikan system lama yang terdiri dari
tingkat prepadeuse, candidaat I dan II serta doktoral I dan II. Baccalauréat
lengkap merupakan jenjang terminal dalam arti siap untuk diterjunkan ke
masyarakat -mengingat kurangnya tenaga terdidik waktu itu.
Sebagai
mahasiswa miskin yang belajar dengan biaya ikatan dinas, sesudah selesai ,
tirgkat baccalauréat lengkap, saya terkena peraturan wajib kerja, saya bekerja
dua tahun sebagai asisten dosen di Akademi Perniagaan Kalimantan di
Banjarmasin.
Setelah
bekerja selama dua tahun saya mendapat tugas belajar dan menyelesaikan tingkat
doktoral pada tahun 1962. Jadi kalau dihitung "time out" selama 5
tahun, berarti waktu belajar saya masih Normal (29 - 5 = 24). Namun, zamannya
yang tidak normal. Pada waktu ada kawan yang menanya kenapa wajah saya lebih
tua dari yang seharusnya, saya secara bergurau mengatakan wajah saya dihiasi
oleh guratan-guratan penderitaan, berbeda dengan dada para jenderal yang
dihiasi dengan berbagai tanda keberanian dan keberhasilan.
Bagaimana
sakitnya penderitaaan dizaman pancaroba penjajahan itu kurang dirasakan
anak-anak sekarang. Kalau bicara soal semangat 45 kurang menyentuh bathin
mereka, sehingga nampak kurangnya rasa mensyukuri kemerdekaan RI yang sudah
melampaui setengah abad.
Saya
iseng-iseng pemah melamar jadi asisten, dan dekan mengatakan asisten sudah
cukup. Bila ingat bagaimana cara saya melamar, saya tertawa sendiri, tanpa
neferensi dan koneksi pastilah jawabnya formal begitu. Sesuai dengan peraturan
yang mengataka bahwa seorang mahasiswa ikatan dinas harus bekerja sebelum
melanjutkan sebagai pegawal tugas belajar pada tingkat doktoral. Tidak ada
jalan lain selain menerima ketentuan ini namun harus diurus sendiri ke
Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan atau yang sekarang bernama
Departemen Pendidikan Nasional tanpa ada istilah Pengajaran.
Dengan
"naik sepeda” saya berangkat ke Jakarta mengurus penempatan. Dikatakan
naik sepeda, karena untuk ongkos ke Jakarta saya menjual sepeda, dan hasil
penjualan sepeda inilah yang digunakan sebagai biaya mengurus penempatan ke
Jakarta. Pada waktu itu bursa sepeda bekas terletak di halaman Paku Alaman.
Masa itu sepeda masih merupakan barang impor dengan merek-merek seperti
“Fongers”, “Raleigh” dan lain lain. Siapapun yang akan membawa sepeda pasti
dihargai Rp 300.-
Pemikiran
yang lempang-lempang saja sama sekali tidak melihat alternatif lain misalnya
bisa terus belajar atau bekerja sambil belajar. Dari pegawai yang mengurai
masalah itu di Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan memperoleh
informasi bahwa hanya ada satu tempat, yaitu jadi asisten dosen di Akademi
Perniagaan Kalimantan di Banjarmasin. Selain dari pada lowongan satu-satunya, saya
juga menerima informasi bahwa Pak Gubernur Milono menjanjikan, bahwa terhadap
yang berminat akan diberikan tunjangan daerah 100% dari PGPN (Peraturan Gaji
Pegawal Negeri).
Waktu
itu adalah tahun 1958, Mantan Gubernur Kalimantan merangkap Koordinator Pemerintah
untuk 4 Propinsi yang baru dibentuk, Kalimantan Selatan.Timur, Barat dan
Tengah. Kalimantan Utara tidak ada, karena daerah itu masih merupakan wilayah
yang dikuasai Inggeris.
Pak
Milono inilah yang dianggap sebagai Bapak Pembangunan Pendidikan Kalimantan, la
membangun kompleks Pendidikan Mulawarman di Banjarmasin, merupakan kumpulan
dari Sekolah Menengah, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Guru Atas, Sekolah
Menengah Ekonomi Atas, Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan, Sekolah Guru
Kepandaian Puteri, Disamping itu ditempelkan BI Sejarah, Kursus Dinas "C”
Pemerintahan Dalam Negeri, dan ikut menompang SMA Lembaga Penambah Pengetahuan
Umum (LPPU) Tentara, sederajat dengan SMA. Dan terakhir didirikan Akademi
Perniagaan Kalimantan, dimana saya ditempatkan. Setelah surat-surat selesai,
saya kembali ke Yogya mengurus keberangkatan ke Banjarmasin. Saya berangkat
dengan naik kereta api ke Surabaya, dan dari sana rencananya naik kapal ke
Banjarmasin. Setelah menunggu kira-kira seminggu, baru ada kapal yang berangkat
ke Banjarmasin. Kapalnya bukanlah kapal penumpang, tetapi kapal barang, dan
penumpang tidur mencari tempat di dek disela-sela tumpukan barang.
Pada
waktu itu untuk merangsang prestasi pegawal negeri, kepada pegawal negeri yang
dianggap ahli di bidangnya diberikan tunjangan keahlian. Sebagai tenaga
baccalauréat yang dianggap sebagai sarjana muda bahkan diberi hak memakai gelar
Bachelor of Science (B.Sc) dibelakang nama. Namun, lama-lama tunjangan keahlian
ini dianggap sebagai salah satu sarana untuk menambah penghasilan pegawal
negeri yang sangat minim, sehingga akhimya semua mendapat tunjangan keahlian.
Seperti
telah disinggung diatas, waktu itu adalah bulan Mei 1958, beberapa saat setelah
terjadinya ambil alih perusahaan Belanda ditambah dengan terjadinya
pemberontakan PRRI - PERMESTA. Bulan Pebruari 1958 pergolakan politik di tanah
air cukup gawat dengan adanya proklamasi Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia di Padang. Sebelum proklamsi PRRI, kami mendengar berkali kali pidato
radio Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein, mengenai beberapa tuntutan pada Sukamo.
Kami di asrama dapat memonitornya melalui siaran RRI Padang yang nampaknya
kapasitas pancarnya telah dinaikkan, yang segera setelah pengumuman Pemerintah
Revolusioner bertukar menjadi Radio Revolusioner Republik Indonesia. Saya masih
ingat sesudah pengumuman lahirnya PRRI, penyiar sedikit tertegun sesudah
mengucapkan "Disini Radio......yang biasanya dilanjutkan dengan Republik
Indonesia sekarang bertukar dengan Revolusioner Indonesia. Kami iseng-iseng
membayangkan apakah kami nanti menjadi orang asing di Yogya sehingga memerlukan
paspor.
Empat
puluh tahun kemudian, dengan adanya tuntutan Aceh Merdeka. Riau Merdeka,
guyonan yang sama muncul lagi, malahan lebih praktis, kalau mengurus KTP saja
sudah sulit apakah nanti kalau terpaksa mengurus paspor apakah tidak lebih
sulit lagi.
Pemerintah
pusat tidak bisa menerima kenyataan ini dan pecahlah perang saudara. KSAD
mendirikan KDMA, Komando Daerah Militer Aceh, KDST, Komando Daerah Militer
SumateraTengah. Belakangan KDMA menjadi Kodam I Iskandar Muda, Ex Kodam I yang
lama menjadi Kodam II tetap dengan nama Bukit Barisan, dan KDMST menjadi Kodam
III 17 Agustus.
"Anehnya"
para pemberontak mendapat amnesti bahkan langsung diterima sebagai kader Soksi,
Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia. Soksi mirip dengan Sobsi,
Sentral Organisasi Buruh seluruh Indonesia. Dalam rangka “mengganyang"
organisasi PKI, ABRI mendirikan organisasi tandingan dengan nama yang mirip
mirip, Sobsi-Soksi, Gerwani-Gerwasi, dan lain lain.
Perang
tidak hanya terjadi di Sumatera, tetapi dengan bergabungnya gerakan Permesta di
Indonesia Timur, lahirlah apa yang dikenal dengan PRRI - PERMESTA sehingga
perang juga meliputi Indonesia Timur khususnya Sulawesi Utara. Para pelaku
pemberontakan ini, atau tegasnya para pemimpinnya kemudian banyak yang telah
menuliskan biografinya, sehingga beberapa bagian dari biografi saya dapat
ditopang dengan meminjam bahan-bahan dari biografi tersebut.
Pada
saat yang hampir bersamaan, disisi lain karena Belanda dianggap membandel dalam
persoalan Irian Barat, Pemerintah membatalkan perjanjian KMB secara sepihak dan
menasionalisasi semua perusahaan Belanda termasuk KPM seperti yang telah
disinggung dimuka. Pada saat itu jugalah diumumkan SOB, keadaan darurat perang.
Ini membawa akibat hilangnya kapal KPM dan digantikan oleh
perusahaan-perusahaan swasta dengan kapal-kapal kecil, diantaranya ada yang
disewa dari luar negeri.
Setelah
beberapa hari menunggu di Surabaya, walaupun sudah “naik pangkat" dari
mahasiswa menjadi pegawai negeri dan asisten dosen, namun nasibnya masih sama,
jadi penompang dek.
Pada
waktu itu kapal khusus penumpang belum ada atau sangat langka, yang ada ialah
kapal barang yang kadang-kadang digabung dengan kapal penumpang terbatas pada penumpang
kelas, sedangkan penumpang umum tidur di dek dengan membawa tikar dan bantal
sendiri. Dek adalah bahagian atas dari palka, tempat memuat barang yang
kemudian ditutup. Air untuk mandi adalah sangat kurang dan hanya dibuka pada
jam jam tertentu. Lamanya pelayaran dari Surabaya ke Banjarmasin menyeberangi
laut jawa hanya satu hari satu malam.
Pelabuhan
Banjarmasin adalah pelabuhan di muara sungai Barito, keluar masuknya kapal
masih dipengaruhi oleh pasang surutnya air. Kalau air lagi surut kapal terpaksa
menunggu di muara. Belakangan di Banjarmasin dibangun pelabuhan samudera baru
yang lebih dekat ke laut. Kehidupan di Banjarmasin sangat dipengaruhi oleh air
dengan sendirinya juga oleh pasang surutnya air.
Pada
saat sampai, kebetulan air sedang pasang, sehingga kapal langsung bisa merapat
di pelabuhan. Saya dijemput pegawai akademi. Saya mendapat informasi dari
pegawal yang bersangkutan bahwa saya akan ditempatkan di losmen, dan sengaja
dipilih losmen: yang terdekat ke perkampungan pelajar Mulawarman, dimana
Akademi Perniagaan Kalimantan menempati satu bangunan.
Dalam
perjalanan menuju losmen "Metro” yang terletak di Teluk Dalam, kami
singgah disatu rumah makan, dan kemudian mengetahui bahwa dari rumah makan
inilah tempat berlangganan makanan rantangan. Saya tidak ingat lagi apakah
pesanan itu termasuk sarapan pagi atau tidak
Losmen
dimana saya ditempatkan terletak tidak jauh dari perkampungan pelajar
Mulawarman. Air untuk mandi adalah air sungai yang dipompa, dan apabila air
sungai sedang surut pengisian air terhenti dan akibatnya bak-bak mandi di
losmen juga kosong. Hanya untuk air minum tersedia air bersih atau air leding.
Seperti
yang telah diuraikan dimuka, perkampungan pelajar ini merupakan suatu
“kampus" yang terdiri dari berbagai sekolah menengah atas, Sekolah Guru
Bawah dan Sekolah Guru Atas, Sekolah Menengah Ekonomi Atas, Sekolah Pendidikan
Kemasyarakatan, dan Sekolah Kepandaian Puteri. Ada sejumlah perumahan untuk
guru-guru, namun kerena tidak cukup sebahagian dari guru-guru itu tinggal di
losmen. Di Mulawarman ada fasilitas lapangan bola dan lapangan tennis.
Waktu
memberi asistensi sangat singkat, sehingga saya punya waktu luang banyak, dan
ini dimanfaatkan untuk menjadi tenaga honorer mengajar di berbagai sekolah,
baik yang berada di Mulawarman maupun yang berada diluarnya. Selain untuk
mengisi waktu tentunya juga untuk mengisi kantong. Kekurangan pegawai termasuk
guru diisi dengan tenaga yang didatangkan umumnya dari jawa termasuk guru-guru
dan kemudian menjadi masalah ; dimana putera daerah seolah-olah dianak tirikan.
Barangkali
masalahnya adalah sederhana, pada mulanya ada kekurangan tenaga yang harus
diisi dengan mendatangkan tenaga dari tempat lain, namun pada saat tenaga
putera daerah telah cukup, penambahan tenaga dari luar ini seyogianya
dikurangi. Inilah yang merupakan bibit-bibit rasa tidak senang daerah yang pada
tahun sembilan puluhan ini memuncak dengan munculnya gerakan separatis di
berbagai daerah, dan bahkan meledak menjadi pembunuhan massal terutama para
transmigran Madura, mula mula diusir dari pedalaman dan kemudian diusir dari
bumi Kalimantan seperti penduduk Sampit.
Sehubungan
dengan masalah ancaman disintegrasi ini, saya teringat seorang teman sesama
pencinta Isnet, yang bernama "Ayah Hanif" menulis artikel yang
berjudul "Dunia Kita yang Serba Instant” dalam milis ini pada tanggal 15
Agustus 2001 yang lalu, dalam penutupnya mengatakan "Mari kita tata
kembali hidup kita dengan mujahadah (kerja keras) yang berintikan ketekunan dan
keberanian untuk memilih peran yang dapat memberi manfaat bagi diri sendiri,
dan terutama bagi masyarakat”. Saya melihat dalam kalimat tersebut terdapat
istilah mujahadah, memilih peran dan memberi manfaat bagi diri sendiri dan
masyarakat.
Saya
rasa dimana kita berada, akan memberi jawaban yang berlainan. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia, saya adalah manula karena menurut ketentuan undang-undang tersebut
"Lanjut Usia adalah sesorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
keatas, sedang saya telah mencapai umur 68 tahun. Undang-undang yang sama juga
membagi manula dalam dua golongan, lanjut usia potensial dan lanjut usia tidak
potensial, bedanya masih punya penghasilan atau tidak.
Dalam
menjawab pertanyaan ini saya mengalami kesukaran, saya masuk yang mana, dan
saya lebih condong mengkategorikan diri sebagai yang non potensial, saya memang
punya pensiun namun tidak cukup untuk bayar listerik, telpon dan air, kecuali
kalau saya ; bisa hidup tanpa itu semua.
Saya
mempunyai masa kerja aktif selama 35 tahun meliputi tugas utama sebagai
pengajar dan sebagai manajer, sehingga yang tepat bagi saya adalah mencoba
mengadakan self evaluation, keberhasilan dan kegagalan saya, yang dapat saya
wariskan pada anak cucu saya, dengan harapan mereka dapat mengambil apa yang
benrmanfaat dari situ, mengambil apa yang baik dan meninggalkan mana yang
jelek.
Masalah
kita sekarang, dimana bangsa ini terancam mengalami disintegrasi. Program kerja
yang pertama dari Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati adalah
"mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka keutuhan negara
kesatuan RI". Dengan mudah dapat dilihat intensitas ancaman itu, orang
Jawa terusir dari bumi Aceh dan Kalimantan, gerakan Aceh Merdeka yang belum
nampak titik terangnya, demikian juga Irian Jaya, masalah Ambon yang
berlarut-larut.
Saya
mencoba mengingat-ingat apa saja pendidikan atau pengetahuan yang saya peroleh
dalam bidang kewarga-negaraan itu. Seingat saya sewaktu saya jadi pelajar SMP
diawal revolusi fisik, tahun 1946 - 1950, yang kami pelajari hanyalah lagu
Indonesia Raya ! dan teks proklamasi kemerdekaan, yang tidak pemah dibaca
benar-benar sesuai dengan teks, karena dalam teks tertulis Djakarta, 17 – 8 –
05, tetapi dibaca 17 – 8 – 45.
Dizaman
Jepang kita memang memakai tahun Jepang dan tahun 1945 Masehi dalam tahun
Jepang adalah 2005, disingkat 05, dan kelihatannya penyimpangan kepada
penyempurnaan seperti itu adalah penyimpangan yang halal. Dengan memulai teks
proklamasi dengan kata "Kami", jelaslah teks itu ditujukan kepada
pihak ketiga, dan bukan kepada bangsa Indonesia Yang paling cocok sebagai dasar
pendidikan kewarga negaraan sebenarnya adalah "Sumpah Pemuda" atau
putusan Kongres Pemuda Pemuda Indonesia 1928. Perkumpulan kebangsaan pemuda-pemuda
Indonesia seperti Jong Java, Jong Sumatra, Pemuda Indonesia, Sekar Rukun.Jong
Islamietenbond, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi dan
Perhimpunan Pelajar Indonesia pada tanggal 28 Oktober itu mengambil keputusan:
Pertama:
Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, Tanah Indonesia.
Kedua:
Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
Ketiga:
Kami Putera dan Puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Dalam
istilah sekarang, Sumpah Pemuda ini kurang disosialisasikan, walaupun pada
dasarnya sudah langsung dipraktekkan, Batak Nasution dan Simatupang jadi
pimpinan tentara di Jawa, Sunda Hidayat jadi pimpinan tentara di Sumatera
Menado Alex Evert Kawilarang jadi pimpinan tentara di Tapanuli, Minang Hatta
jadi Wakil Presiden.
Pada
waktu itu tidak ada pertanyaan apakah ia putera daerah atau tidak. Prof. Mr
Sunario dalam memoarnya mengatakan bahwa Soekarno memang "disimpan",
karena kalau beliau hadir rapat pemuda itu pasti akan diganggu Belanda malahan
mungkin bisa dibubarkan. Namun, belakangan terjadilah apa yang disinyalir oleh
Nurcholis Madjid pikiran geopolitik yang membagi dunia ini menjadi dua, dunia
sendiri yang lebih superior dan dunia lain yang inferior. Yunani membagi antara
Oikoumene dan diluar Oikoumene, Arab membagi dalam Mishr, daerah beradab dan
daerah lain yang tidak beradab, Cina membagi daerah tengah dan daerah pinggiran
dan Jawa membagi Pusat dan Sebrang (pinggiran).
Saya
masih mendengar nasib kawan kawan pada awal tahun lima puluhan dalam mencari
tempat kos di Yogya, pertanyaan pertama yang diajukan berasal dari mana, dan
bila diketahui berasal dari Sebrang langsung dikatakan bahwa tempat kos telah
penuh. Jawanisasi dizaman Orde Lama pada dasarnya adalah manifestasi dari
sindrom Pusat Sebrang ini. Namun, harus diakui tidak semua orang Jawa penganut
sindrom ini. Dalam masa transparansi ini, harus ada keberanian mengakui bahwa
sindrom itu ada seperti tulisan Nurcholis Madjid yang berjudul Geopolitik dalam
Republika tanggal 15 Juni 200L Ketersendatan dalam pelaksanaan otonomi daerah
ada yang menghubungkan dengan sindrom ini. Pada pihak lain, perlawanan terhadap
sindrom ini menimbulkan penafsiran sendiri pada otoda itu, lihatlah nasib
pengungsi dari Aceh dan Kalimantan, mereka yang berjejal-jejal ditempat
pengungsian. Sudah menderita, ada lagi yang menuduh mereka itu sebagai pemalas
yang senang tergantung pada santunan orang lain. Semua hal ini menurut dugaan
saya adalah akibat kegagalan mensosialisasikan isi sumpah pemuda itu, sehingga
timbullah Pusat - Seberang sindrom tersebut.
Seyogianya
Sumpah Pemuda ini digandengkan dengan Bhineka Tunggal Ika, kita berbeda beda
namun melalui keinginan untuk bersatu, bertunggal Ika. Bila secara sadar
sosialisasi ini dijalankan terus menerus, bibit bibit sindrom Pusat - Seberang
itu dapat terkikis. Sadar atau tidak sadar orang daerah akan tersinggung bila
ada yang memasang iklan mencari kerja disertai dengan embel-embel bersedia
ditempatkan dimana saja, termasuk di seberang ! Rasa superioritas ini juga ada
di kalangan suku Batak.
Pada
tanggal 30 September 1908 didirikan di Leiden "Het Bataksch Institut"
(Lembaga Batak) diantara anggotanya terdapat antara lain Van Vottenhoven, Van
Ophuijsen. dan lain-lain. Dalam pemahaman mereka Batak itu terbagi dalam Batak
Karo, Batak Pakpak atau Batak Dairi, Batak Timur atau Batak Simalungun, Batak
Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Di luar SumateraTimur dan Tapanuli
ada Batak Gayo dan Batak Alas di Aceh. Para sarjana Belanda ini melihat dari segi
adat dan budaya. Alangkah indahnya bila konsep budaya ini tetap dipegang
sehingga Sumatera Utara mempunyai penduduk yang dominan, yaitu penduduk Batak
Salah
satu peserta yang ikut dalam Kongres Pemuda 1928 adalah Jong Bataksbond. Namun
dalam perjalanannya timbullah semacam sindrom pusat - seberang. Menurut mitos,
orang Batak turun langsung dari langit, mendarat di Pusuk Buhit, dan dari sana
menyebar. Adalah "wajar” kalau yang tertua adalah yang tinggal dekat
tempat pendaratan asal itu, makin jauh -makin muda. Dengan demikian yang tertua
harus dihormati, dan derjatnya sekurang-kurangnya jadi primus inter pares, dan
yang primus inter pares itu adalah Batak Toba. Rasa pusat daerah inilah yang
ditentang oleh "Batak Batak" lainnya. Dampaknya, Batak Batak lainnya
menolak proklamasi sepihak dari BatakToba ini,
Prof.
Dr Guntur Tarigan dari "Batak Karo" dalam seminar Budaya Batak di
Bandung dalam bulan September 1986, dengan tegas menolak menerima teori Toba
sebagai yang tertua itu. "Batak" Mandailing memberikan teori
tandingan, menentang mitos turun dari langit, lebih setuju dengan migrasi dari
laut seperti teori orang Minang yang "percaya" bahwa nenek moyang
mereka salah seorang dari anak Iskandar Zulkarnain mendarat di gunung Merapi
waktu itu berada dipermukaan laut yang kemudian surut, sehingga yang lebih tua
adalah yang lebih dekat kelaut dari pada yang digunung. Mereka seolah-olah
ingin mengatakan yang tertua adalah Mandailing, bukan sebaliknya. Perdebatan
ini memanas dalam awal abad yang lalu.
Kabupaten
Dairi memisahkan diri dari kabupaten Tapanuli semua ex residensi di Sumatera,
hanya Tapanuli yang belum jadi propinsi karena tidak mendapat dukungan. Karena
itu ada tiga hal yang ingin saya kemukakan:
Pertama,
sindrom pusat dan seberang itu masih ada, perlu diteliti dan diungkapkan. Kalau
selama orde baru dikatakan daerah dimiskinkan oleh pusat siapakah pusat itu ?
Apakah seperti yang dituduhkan orang Aceh dan Riau adalah Jawa ? Kedua,
Bagaimana mengikis habis sindrom ini ?
Ketiga,
Bagaimana menciptakan generasi penerus yang bebas dari sidrom pusat -seberang.
Itulah
beberapa pertanyaan yang lahir kemudian, bagaimana mencegah bangsa ini jangan
disintegrasi, walaupun penyebabnya niatnya baik. suku bangsa yang lebih maju
dikirim membantu saudaranya yang kurang mampu, namun bisa jadi boomerang yang
mengancam integrasi bangsa. Alangkah kontras di era reformasi ini dengan
keadaan pada tahun 1950, dimana masing-masing daerah membubarkan negara
bahagiannya sehingga pada 17 Agustus 1950 kita kembali ke Republik Kesatuan.
Setelah
saya berada beberapa bulan di Banjarmasin, timbul masalah soal berumah tangga.
Hal ini menjadi serius karena banyaknya "peluang" untuk mencari teman
hidup bisa menyebabkan salah langkah.
Langkah
yang benar adalah langkah yang taat azas dapat menghela kedudukan sosial
ekonomi seluruh keluarga, terutama kedua orang tua dan adik-adik.
Ada
pepatah yang mengatakan bila ragu memilih, pilihlah yang pertama. Analog dengan
itu dari pada susah-susah cari pacar baru, mantapkan saja pacar lama Pacar lama
ada di Medan, Nur Intan Siregar dan rasa rasanya cocok jadi teman hidup yang
tidak salah langkah. Maksudnya salah langkah adalah hilang di perantauan,
sehingga tugas untuk menghela orang tua dan adik-adik ke taraf hidup yang lebih
baik bisa terlupakan. Hubungan dengan Medan dibina kembali dan singkat kata
"disepakati" bahwa keadaan adalah keadaan darurat, saya belum punya
uang untuk menjemput ke Medan, maka sang pacar akan datang ke Jakarta diantar
oleh almarhum (Syekh Kadirun Yahya Kadirun Yahya atau lengkapnya Prof. Dr
Kadirun Yahya, anak namboru isteri saya, pemimpin Perguruan Panca Budhi dan
juga pemimpin Tharikat Naqsabandiyah) dan disanalah diadakan akad nikah.
Hal
ini merupakan blind spot dalam kehidupan keluarga, karena bekas pacar tidak mau
hal ini diekspos. Namun agar jangan jadi tanda tanya buat anak cucu hal ini
perlu dikemukakan dalam muhasabah ini agar blind spot itu menjadi light spot.
Lagi pula disini tidak ada aib yang perlu disembunyikan.
Pacar
saya bersama Prof Kadirun Yahya, yang masih merupakan keluarga dekat berangkat
dari Medan yang terhormat dengan menompang pesawat terbang dan saya
menyambutnya di lapangan terbang Kemayoran.
Sebelumnya
saya sudah berada di Jakarta, keuangan diperingan dengan bantuan dari seorang
dosen terbang dari Surabaya. Saya menginap di rumah umak tuo Khalijah namun
alamatnya saya sudah lupa. Untungnya Jakarta waktu itu belum sebesar sekarang
sehingga masih bisa dicapai dengan beca.
Saya
menyambut kedatangan sang pacar yang tiba tanggal 15 Desember 1958 bersama abanganda
Kadirun Yahya, yang turun tangan mengurus pernikahan di KUA, Paseban, tidak
jauh dari rumah Syekh Jalaluddin, mertua abang Kadirun Yahya.
Besoknya
tanggal 16 Desember 1958 bertempat di kantor KUA dilakukan akad nikah, dan
kemudian kami tinggal dirumah keluarga dekat, Syarif Sinaga, di Jalan Surabaya
Ujung di Jakarta.
Walaupun
secara kecil-kecilan, Sinaga juga mengadakan jamuan sederhana untuk kami.
Perkawinan ini adalah perkawinan yang belum memenuhi prosedur adat, walaupun
ibu saya sudah pernah meminang dan pada prinsipnya telah disetujui mertua.
Namun
prosedur yang belum terlaksana ini jauh kemudian diselesaikan, pertama antara
orang tua kedua belah pihak dan kemudian baru secara adat penuh yang diadakan
di kampung asli di Aek Badak tahun 1981.
Sebelumnya
dalam perjalanan ke Jakarta saya singgah di Surabaya dan disana menjumpai salah
seorang dosen terbang, seorang pengusaha non pri minta sumbangan terus terang
beliau mengerti maksud kedatangan saya dan sebelum Saya minta ia memberi
bantuan uang yang cukup berarti.
Dari
Surabaya saya menuju Jakarta. Setelah urusan di Jakarta selesai, dari Jakarta
dengan naik kereta api kami berangkat ke Surabaya. Apa yang dialami beberapa
bulanyang lalu diulangi kembali, yaltu berhari-hari menunggu kapal. Kami
menginap di hotel Simpang, yang masih asli, belum direnovasi seperti sekarang.
Saya tidak lupa pengalaman pertama makan malam di hotel.
Setelah
siap dikeluarkan, saya merasa kesal mengapa nasi dan lauk pauk belum
dikeluarkan juga. Rupanya kalau di hotel ada pembahagian antara apetizer - main
menu - dan makanan penutup atau desert yang biasa dinamakan cuci mulut, berbeda
dengan dirumah dimana disuguhkan lengkap, dan adalah tidak sopan kalau mulai
makan sedang hidangan belum lengkap. Rupanya pelayan restoran sudah paham akan
ada orang seperti kami, dan dengan halus dia bertanya kalau tidak suka supnya,
biar dikeluarkan makanan berikutnya. Sama dengan keberangkatan saya yang
pertama ke Banjarmasin, saya dan isteri kembali naik kapal, hanya kalau dulu
saya menumpang di dek, sekarang kami menyewa kamar kelasi.
Kalau
dulu saya mendarat di pelabuhan dan dijemput dengan mobil sedan APK, sekarang
kami naik kapal sampai di muara, dan karena keadaan pasang turun, dari sana
disambung dengan naik perahu atau nama daerahnya jukung dan mendarat di
pangkalan lerdekat menuju losmen, dan dari sana perjalanan disambung naik beca.
Jadi, bagi isteri saya perjalanan ini adalah perjalanan yang lengkap, naik
pesawat dari Medan ke Jakarta, naik kereta api kelas I dari Jakarta ke Surabaya,
naik kapal di “kelas”, kemudian disambung dengan perahu dan berakhir dengan
naik beca. Persaudaraan sesama penghuni losmen cukup kuat, penghuni yang lebih
tua bertindak sebagai orang tua angkat, dan sesama penghuni yang umumnya
terdiri dari guru, pegawai negeri dan tentara terjadi usaha saling membantu.
Saya
ditempatkan sebagai asisten dosen di Akademi Perniagaan Kalimantan, suatu
akademi yang didirikan yayasan yang didirikan oleh Pemda Kalimantan, sebelum
Kalimantan dipecah jadi 4 propinsi.Walau-pun resminya saya diangkat jadi
asisten dosen, namun karena beban kerjanya tidak banyak, saya juga bekerja
sebagai guru tidak tetap di berbagai sekolah menengah atas.
Saya
mengajarTata Buku dan Sejarah Perekonomian diberbagai SMA dan SMEA di berbagai
tempat dalam kota Banjarmasin, disamping tugas pokok sebagai asisten dosen
dalam mata kuliah Ekonomi Perusahaan. Akademi Perniagaan Kalimantan mempunyai
perpustakaan kecil namun buku-bukunya banyak yang bermutu. Waktu itu saya juga
memberi kuliah Sejarah Ekonomi pada kursus B I dan meminjam tak kembali buku
Indanesian Sociological Studies karya B.Schrieke.
Setelah
hampir dua tahun berumah tangga, lahirlah anak yang pertama, seorang laki-laki,
di rumah Sakit Ulin, Banjarmasin. Anak itu kami beri nama Majo Sortan Mulia
Pulungan. Maja adalah nama kakeknya dari pihak ayah, Mulia nama kakeknya dari
pihak ibu, Sortan nama gabungan nama saya dan nama isteri.
Saya
ditemani teman sesama penghuni hotel, Pembantu Letnan Dua Arnold Panggabean.
Diperlukan darah untuk transfuse, namun karena pembuluh darah saya terlampau
sempit, terpaksa yang diambil darah saudara Arnold (Belakangan
"Mayor" Panggabean ditemukan lewat surat pembaca istri saya di
majalah Tempo ; dan terakhir Panggabean sekeluarga tinggal di Balikpapan).
Selama
di Banjarmasin, sikap sebagai penonton masih berlanjut. Saya menganggap
keberadaan di Banjarmasin hanyalah merupakan penantian untuk kembali ke bangku
kuliah di Yogya. Kegiatan terbatas mengajar dan sedikit banyak mengadakan
persiapan untuk kembali ke kampus. Sama sekali tidak ada niat untuk terjun ke
dunia bisnis walaupun sekadar untuk belajar dan mengenal.
You
are what you think, demikian kata bahasa Inggeris, saya mempersepsikan diri
sebagai orang yang menanti, tidak terpikir memanfaatkan waktu itu. Pada
penerimaan mahasiswa angkatan kedua ternyata yang mendaftar adalah sangat
sedikit sehingga penggagas kemajuan pendidikan di Kalimantan, gubernur Milano
menyatakan kekesalannya dalam bahasa Belanda, dengan mengeluh “niet to veel is
goed, maar weinig is weinig”, tidak terlampau banyak adalah baik, namun sedikit
tetaplah sedikit. Mungkin hal ini disebabkan pada waktu itu telah diadakan
persiapan mendirikan Universitas Lambung Mangkurat, dan orang lebih tertarik
masuk kesana dibanding dengan akademi yang statusnya belum pernah dipersoalkan.
Memang akhirnya yang berkembang adalah Universitas Lambung Mangkurat, dan empat
puluh tahun kemudian sewaktu saya bernostalgia ke kompleks Mulawarman, tidak
ada lagi yang ingat keberadaan Akademi ini.
Di
Banjarmasin inilah untuk kedua kalinya saya menulis di Surat kabar memberi
komentar tentang akan selesainya belajar angkatan pertama. Saya masih ingat
bahwa tulisan pertama adalah pada saat pendudukan Belanda berupa surat kiriman
di kabar lokal yang dikuasai Belanda.
Sebagai
kenangan, tulisan yang dimuat di Harian Suara Kalimantan, 25 Mei 1960 itu
disini dicantumkan, juga dengan ejaan yang disesuaikan.
Menyongsong Panen Pertama Akademi
Perniagaan Kalimantan
Akademi
Perniagan Kalimantan adalah milik masyarakat Kalimantan khususnya Indonesia
umumnya. Karena itu apa yang tejadi di Akademi tersebut baik atau buruk
masyarakat ikut merasakannya Alangkah senangnya hati mendengar ucapan saudara
Tjokropranolo sebagai wakil mahasiswa APK dalam suatu kesempatan sewaktu
Menteri Keamanan Nasional memberikan ceramah di depan masyarakat mahasiswa di
kala ini bahwa tidak berapa lama lagi APK akan mengadakan ujian akhir bagi mahasiswa
angkatan pertama (Tulisan ini memakai nama pena Amani Sortan).
Tjokropando
adalah perwira bekas pengawal Panglima Besar jendral Sudirman. Waktu itu
bertugas Sebagai komandan CPM Kalimatan Selatan dengan wakilnya Kapten A.E.
Manihuruk, dan terdaftar sebagai mahasiswa Akademi Perniagan Kalimatan. Sewaktu
KSAD Jenderal Nasution berkunjung ke Banjarmsin, wakil mahasiswa melapor yang
diwakili Tjokro. Nasution terkejut dan banga seraya berkata “Sudah jadi
mahasiswa sekarang ?”).
Sekarang
ini sawah APK sedang dipenuhi padi menguning dan desauan angin membawa berita
bahwa panen pertama akan tiba. Tetapi kegembiraan diwaktu panen bukanlah karena
padinya telah keluar, tetapi kegembiraan itu ditentukan pula oleh nilai padi
yang akan keluar itu. Padi yang berisi padatkah, padi yang hampakah ataue padi
yang sedang sedangkah ?
Sudah
menjadi hukum dalam tiap-tiap lembaga pendidikan bahwa sewaktu lembaga itu
hendak menghasilkan lulusan pertama, yang diuji bukanlah hanya mahasiswanya.
Andaikata hasil pertama ini tidak atau kurang memuaskan, kita tidak dapat
dengan mudah menuduh kurangnya kekuasan itu disebabkon oleh “kekurangan”
mahasiswanya. Mungkin hal itu terjadi karena dosen-dosennya tidak memenuhi
syarat ataue kalau dosen-dosennya individual adalah tokoh-tokoh yang brilian,
mungkin juga diantora mereka tidak ada kerja sama (Dalam teks saya menggunakan
istilah lokal “kebungulan” namun diganti oleh redaksi dengan “kekurangan”).
Kalau
korps dosennya beres, mungkin juga ketidak beresan itu timbul karena yayasan
yang menjadi induk usaha tidak memberikan basis yang segar bagi kelanjutan
akademi yang didirikannya. Dan andaikata yayasannya beres, dapat juga timbul
kesukaran karena ketiadaan kritik yang sehat dari sehingga akademi merasa
dinnya terlepas dan masyarakat. Dengan pendek dapatlah kita kutip pendapat ahli
yang mengatkan untuk mencapai kemajuan diperlukan dua syarat, yaitu talent
(bakat) dan opportunity (kesempatan), yaitu, ruang dimana bakat itu dapat
digunakan Tugas dan para mahasiswa adalah menggunakan bakatnya yang sudah ada
itu; saya yakin bahwa mahasiswa yang masuk ke APK adalah karena dorongan
bakatnya dan bukanlah karena tidak ada pilihan lain dan mustahil hanya untuk
mendapatkan kebanggaan memakai baret hijau yang membanggakan itu. Tugas dari masyarakat
adalah untuk memberikan opportunity kepada para mahasiswa kita agar mereka
bakatnya dengan sebaik-baiknya.
Beberapa
bulan lagi panen pertama ini akan muncul dalam masyarakat Berbahagialah kita
semua kalau hasil itu gemilang, dan marilah kita semua mengadakan self
correctie di bidang masing-masing andaikata hasilnya itu tidak segemilang yang
kita harapkan, sebagai usaha perbaikan bagi panen berikutnya. Mungkin akan
timbul kalau baik akademi itu dinamakan akademi, tetapi tentunya udak ada yang
dapat menyangkal bahwa mereka itu keluaran akademi.
Sebagai
keluaran pertama dari akademi pertama yang didirikan di Kalimantan ini, sungguh
mempunyai kedudukan yang istimewa dalam hati masyarakat. Sebagai anak daerah
tentunya masyarakat mengharap bahwa mereka itu lebih mengetahui keadaan daerah.
Betul APK bukanlah akademi lokal Kalimantan dan untuk Kalimantan, tetapi siapa
lagi yang lebih mengetahui keadaan di daerah ini ?
Dalam
keadaan perekonomian kita seperti sekarang yang kalau kita ambil perempumaan
dari Politik berada Purgatorio (tempat pensucian) dimana kita mengalami proses
pembersihon dari kotoran dan penghalang dalam perekonomian kita maka para
keluaran APK itulah merupakan sebahagian dari para jago dan pejuang yang harus
ikut serta dalam mempercepat proses pensucion itu, sehingga kita dapat segera
sampai di Paradiso, yaitu masyarakat yang adil dan makmur murah sandang murah
pangan. Seluruh rakyat bergerak jiwanya menunggu hasil panen pertama ini dan
disertai dengan doa agar keluaran pertama ini dapat meringankan beban rakyat,
serta perbaikan yang akan diadakan menjadi ukuran berguna tidak mengirim anak
ke APK.
Saya
percaya perbaikan itu segera akan tiba sebagai tanda terima kasih dan para
mahasiswa yang sudah mendapat latihan yang berat dan sempurna. Hidup APK
selamat bekeja dengan semangat waja sampai kaputing, dan jangan kecewakan
masyarakat mengintai dari lubuk hatinya.
Menjelang
tahun kuliah 1960 belum juga ada panggilan untuk kembali ke kampus. Walaupun
tidak ada persetujuan tertulis, biasanya seorang mahasiswa yang ditempatkan,
sesudah 2 tahun dipanggil kembali. Akhirnya dengan biaya sendiri saya mengurus
sendiri ke Kementerian di Jakarta.
Saya
menuju rumah Sinaga di jalan Surabaya Ujung, namun ternyata sudah pindah ke
Kebayoran Baru, kompleks perumahan Departemen Perindustrian, di jalan Tulodong.
Dengan susah payah malam itu juga saya dapat menjumpai rumah tersebut yang
dalam keadaan belum ada listerik dan air.
Saya
mengurus penugasan belajar, dan mulus saja dengan cara yang biasa. Saya berhasil
mengurus surat penugasan sekaligus dengan uang pindah. Uang pindah ini di mark
up dan kemudian di sunat sampai 50%. Dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke
Banjarmasin, saya singgah di Yogyakarta, minta tolong untuk mencarikan rumah
kontrakan pada teman lama, Burhan Nasution yang tinggal di salah satu klinik di
selatan kota, karena isterinya kebetulan adalah seorang bidan.
Tidak
berapa lama sesudah sampai di Banjarmasin, saya mengurus kepindahan ke Yogya.
Antara lain mengurus surat-surat susu Eledon, susu bubuk untuk bayi, dan
urusannya tidak mudah karena pemindahan susu dianggap Sebagai perdagangan antar
daerah, harus diurus izinnya.
Kembali
kami menompang kapal laut dan menyewa kamar kelasi, dengan perbedaan sekarang
membawa bayi yang berumur 5 bulan. Dalam perjalanan itu saya beserta isteri
terserang mabuk laut sehingga sang bayi seolah-olah terlantar.
Sesampainya
di pelabuhan Tanjung Perak, kami turun dari kapal dan dengan taksi menuju rumah
orang tua mahasiswa tempat kami menginap. Dengan demikian selesailah tugas saya
sebagai pegawai memenuhi peraturan pemerintah.
Diakhir
rekaman mengenai penugasan ini, andaikata jarum jam bisa diputar kebelakang,
ada hal-hal yang seyogianya harus saya lakukan di Banjarmasin. Ada waktu dua
tahun yang dapat saya gunakan, semestinya saya gunakan untuk memperkuat diri
dalam rangka menghadapi masa kuliah berikutnya. Mestinya saya harus mencari
pengalaman dalam praktek ekonomi dengan menjadi magang diperusahaan apa saja
yang mau membantu.
Sambutan
Surat kabar atas tulisan saya sebenarnya merupakan peluang untuk memasyakat,
namun tidak saya gunakan. Seyogianya waktu lebih banyak saya gunakan untuk itu,
bukan hanya berburu honor.
Banjarmasin
atau Kalimantan Selatan adalah daerah yang kental keislamannya, sebenarnya
merupakan peluang dalam mendalami agama. Salah satu kekurangan yang besar adalah
"pelanggaran" pada nasehat merantau dari orang-orang tua dahulu,
dimana setiap merantau yang perlu dicari adalah "induk semang" yang
menjadi pembimbing dalam dalam hidup dalam arti yang seluas luasnya. Inilah
juga yang kurang saya sadari dimasa perploncoan, dimana saya kurang sadar akan
artinya mentor. sehingga saya tidak mencarinya dengan sungguh.
Dalam
bidang tasawuf sendiri ada ketentuan agar mencari mursyid atau pembimbing,
malahan sebahagian pengikut tasawuf percaya bila tidak punya mursyid, mursyidnya
adalah setan.
Kalau
saya kembali lagi kebelakang, mungkin keengganan saya mencari induk semang
adalah akibat-akibat pengalaman sebelumnya, dimana saya merasa diterlantarkan
sehingga saya tidak percaya ada orang bersedia jadi mursyid, mentor, induk
semang atau apapun namanya.**
MASA TUGAS BELAJAR DI YOGYAKARTA
(1960-1962)
Dengan
kereta api kami berangkat dari Surabaya ke Yogyakarta. Saya berulang kali
diperingatkan agar bagasi saya yang berupa peti yang berisi susu bubuk untuk
anak saya, agar dimasukkan ke bagase barang. Namun saya membandel, takut kalau
sampai hilang. Sesampainya di stasiun Yogya ada sedikit persoalan dengan PJKA.
Barang dicegat penjaga pintu keluar, namun setelah menyelesaikan tambahan
pembayaran ongkos barang-barang yang tidak seberapa itu dapat lolos.
Di
Yogyakarta kami disambut Imran yang sudah sampai dari kampung untuk melanjutkan
pelajaran juga di Gadjah Mada. Sementara itu kami menginap di rumah Burhan
Nasution, yang menompang di suatu klinik bersalin dimana isterinya bertindak
sebagai bidan. Sempat juga terjadi hal yang tidak enak, karena yang punya
klinik nampaknya keberatan saudara Burhan menerima tamu untuk menginap.
Beberapa
hari kemudian barulah kami pindah ke rumah kontrakan. Rumah ini walaupun
terletak di jalan Taman Siswa dan tidak masuk gang, namun hanyalah paviliun
dengan dinding gedek, terletak di selatan kota, sekitar 5 Km dan kampus. Ada
tiga kamar, namun nantinya kamar ini dua diantaranya. ditempati Imran dan
Basyaria yang juga belajar di Yogya. Mandi dengan air sumur, dan ada listerik
dengan arus yang sangat terbatas. Namun tidak jadi soal, karena selain untuk
lampu, hanya ada satu radio kecil dan satu seterika kecil yang memerlukan arus
listerik.
Penghasilan
terbatas pada gaji sebagai pegawai negeri tugas belajar, tidak ada lagi
tunjangan daerah dan honor mengajar. Tabungan yang sedikit, habis dalam waktu
singkat. Kadang-kadang terpikir untuk mencari tambahan penghasilan, namun saya
takut bahwa hal itu akan memperlambat kemajuan belajar.
Dengan
konsumsi yang dibawah standard saya bertekad akan menyelesaikan pelajaran dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebagai ilustrasi saya hanya makan sepotong
ubi rebus, siang dan malam makan bubur. Belanja tergantung pada berhutang di
kedai depan rumah, yang dibayar sekali sebulan sesudah gajian.
Dalam
keadaan yang sangat memprihatinkan itu, lahirlah anak yang kedua, yang diberi
nama Nurmalinda Pulungan, gabungan nama isteri, nama saya dan nama ibu saya. Ia
lahir di rumah sakit bersalin Mangkuyudan, rumah sakit Universitas Gadjah Mada
yang juga terletak di selatan kota.
Saya
tidak punya uang untuk membayar beca, sesampainya di Rumah Sakit saya,
mengatakan bahwa dompet tinggal di rumah, dan sesampainya di rumah mengatakan
ternyata dompet saya tinggal di Rumah Sakit. Untung wesel Imran tiba sehingga
dapat menanggulangi ongkos beca. Namun bagaimana dengan biaya rumah sakit ?
Saya sudah berpikir-pikir akan menggadalkan barang, tetapi barang apa ? Saya
punya sepeda, tetapi, itu adalah modal vital, yang dikayuh setiap hari ke
kampus. Satu satunya alternatif adalah radio bantal yang dibawa dari
Banjarmasin. Namun apa cukup untuk membayar rumah sakit ?
Dalam
keadaan linglung itu datanglah wesel kiriman dari Kutaraja yang sekarang
bernama Banda Aceh, dari suami dari kakak ipar, Kapten Benjamin Siahaan, yang
jumlahnya lebih dari cukup untuk membayar rumah sakit.
A
friend in need is a friend indeed, sahabat sejati adalah sahabat yang
membantu pada saat sangat dibutuhkan. Walaupun keadaan konsumsi dibawah normal,
prestasi saya cukup baik.
Pada
suatu hari saya dipanggil ketua Tim Wisconsin memberitahu, bahwa berdasarkan
prestasi saya, andaikata melamar untuk dikirim ke Amerika dalam rangka belajar,
akan dipertimbangkan.
Saya
mengatakan bahwa saya sudah berkeluarga dan sulit untuk berangkat tanpa membawa
keluarga. Walaupun demikian saya akan membicarakannya lebih dahulu dengan
isteri saya. Isteri saya hanya menangis mendengar peluang itu, alasannya
mungkin tidak mau berpisah. Hal itu jelas merugikan, namun hal itu harus diterima
sebagai kenyataan. Akhirnya saya mengatakan tidak bersedia untuk dikirim.
Masalah
kedua yang dialami adalah tawaran fakultas untuk dicalonkan jadi dosen, untuk
mana saya diberi peluang untuk memperbaiki nilai-nilai ujian yang lalu.
Mula-mula saya menerima, namun tekanan hidup memaksa saya untuk lekas-lekas
menyelesaikan pendidikan. Saya menyelesaikan pendidikan sarjana pada bulan
Maret 1962.
Salah
satu hal yang sangat berkesan selama bertugas belajar adalah mempunyai seorang
dosen yang sangat terhormat. Beliau adalah Drs. Mohammad Hatta. Pada tahun
1948, kalau tidak salah dalam rangka penyelesaian “perang saudara” antara
sesamaTNI ex laskar di Tapanuli, saya sempat berlari-lari menuju kota, hanya
mencari kesempatan untuk bisa melihat wajah beliau.
Kemudian
pada tahun 1950, saya ikut mendengar pidato beliau di depan umum yang diadakan
di lapangan Esplanade, yang sekarang bernama lapangan Merdeka. Pada waktu itu
santer terdengar tuntutan kaum komunis agar perusahaan perusahan Belanda di
nasionalisasi. Dalam pidatonya Hatta mengatakan, tidak bijaksana
menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang sudah berjalan lama yang
penyusutannya sudah tinggi, Biarkan mereka berjalan, dan dari pajak yang
terkumpul lebih baik kita mendirikan perusahaan baru. Saya merasa sangat
bahagia sempat mendapat kuliah dari beliau. Mata kuliah yang diberikan adalah
Politik Perekonomian.
Walaupun
untuk satu semester, saya merasa bangga pernah jadi mahasiswa beliau pada
tingkat terakhir di Fakultas Ekonomi Gadjah Mada.
Bung
Hatta ini sangat ketat dalam soal buku wajib. Kata senior-senior saya yang
pernah diuji beliau, pertama-tama diminta untuk menyebutkan nama buku dan
pengarangnya dan edisi tahun berapa. Secara acak beliau juga menanyakan warna
kulit bukunya untuk lebih meyakinkah apakah mahasiswanya betul-betul telah
membaca buku yang bersangkutan. Kemudian secara acak beliau diminta yang
bersangkutan memilih salah satu buku dan diminta untuk menyebutkan berapa Bab
dan nama-nama Babnya. Kemudian beliau memilih salah satu Bab dan diminta untuk
menceritakan isi Bab yang bersangkutan. Baru sesudah itu beliau mengajukan
pertanyaan bebas. Barangkali gaya Hatta ini terbawa dari hidupnya yang sangat
berdisiplin.
Ada
peristiwa yang “memalukan” dimana saya terlibat. Hatta yang sangat teliti itu
satu kali mempercayakan asistennya, seorang gadis (tua) untuk memegang catatan
bahan kuliahnya yang ditik dengan rapi. Seorang teman kami, anak pengusaha
batik berhasil “merayu” sang asisten sehingga bersedia meminjamkan bahan itu
hanya untuk satu malam. Waktu itu belum ada perusahaan fotokopi, namun teman
kami tidak kehilangan akal, ia mengerahkan sebanyak mungkin juru tik, sehingga
bahan itu bisa disalin. Dari satu kali menyalin itu, diusakan menyalinnya lagi,
sehingga saya punya satu salinan yang saya simpan sampai sekarang. Juga saya
simpan catatan kuliahnya.
Dalam
salah satu pertemuan ISEI di Medan dimana menantunya hadir, dalam satu
kesempatan saya mengutip bahagian dan catatan kuliah itu, dan ternyata Edy
minta agar saya sampaikan catatan itu padanya.
Hatta
adalah salah seorang yang sangat disiplin dalam soal waktu. Satu hari beliau
mengunjungi Toko Buku Kedaulatan Rakyat di Jalan Mangkubumi ingin membeli
tinta. Beliau sudah ada di depan toko sebelum waktu buka, dan tiba waktu buka
ternyata belum juga dibuka, sehingga beliau langsung menggedor dan menegor
pegawai mengapa tidak tepat waktu.
Sesudah
selesai belajar, selama berada di Jakarta, iseng-iseng saya menulis surat
kepada beliau minta waktu untuk bertemu, minta nasehat beliau karena saya
bermaksud menulis desertasi berdasarkan bukunya Gunnar Myrdal, Economic Theory
and Underdeveloped Regions. Agak lama juga saya baru mendapat jawaban, ternyata
pada waktu surat saya sampai, beliau sedang berlibur keluar kota. Beliau
menentukan hari dan Jam dimana saya bisa diterima. Saya yang tahu mengenai
bagaimana beliau sangat disiplin menjaga, waktu, datang sepuluh menit
sebelumnya, dan saya berdiri dibawah pohon di depan rumah beliau. Tepat pada
waktu yang ditentukan, saya mengetok pintu rumah beliau, dan ternyata beliau
sudah menunggu, membuka sendiri pintu dan langsung berkata : “Kau terlambat dua
menit”.
Lama
sesudahnya saya bertemu lagi dengan beliau dalam Kongres ISEI ke VIII di
Cisarua, dimana beliau menyampaikan makalah dengan judul “Pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33”. Sayang beliau nampaknya sudah uzur,
pembacaan teks pidato tidak sampai selesai, dilanjutkan oleh sang menantu Dr.
Sri Edi Swasono.
Pada
waktu beliau meninggal, Pengurus ISEI mengeluarkan edaran, dalam memperingati
40 hari wafatnya beliau agar cabang-cabang membuat semacam buku kenangan, dan
saya sebagai Ketua ISEI cabang Medan membuat buku kecil dengan judul “Bung
Hatta, maafkan kami”. Judul itu merupakan permintaan maaf atas kelancangan kami
memperbanyak catatan kuliah beliau tanpa izin.
Pada
waktu tugas belajar itu Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada mengadakan
affiliasi dengan Wisconsin University. Sebagai realisasinya di Yogya ada satu
team yang membantu fakultas, antara lain dengan mendatangkan dosen-dosen.
Dosen-dosen ini memberi kuliah dalam bahasa Inggeris. Sebenarnya sebelumnya pun
sudah ada dosen‑dosen asing yang mengajar dalam bahasa Inggeris, namun mengajar
sebagai perseorangan, bukan dalam rangka affiliasi. Saya kembali bingung mau
bekerja kemana, sedang menurut ketentuan seorang pegawai tugas belajar
diwajibkan bekerja pada Pemerintah.
Saya
dapat informasi, bahwa bila ingin bekerja di lingkungan perindustrian harus
melalui organisasi mahasiswa Murba. Saya mulai membaca buku-buku Tan Malaka, antara
lain buku Madilog.
Barangkali
dinamakan demikian karena buku-bukunya berasal dari koleksi buku Hatta,
pemimpin yang pernah menjadi Wakil Presidem Indonesia yang pertama. Di
perpustakaan Hatta ini ini juga saya untuk pertama kalinya membaca buku-buku
karangan Tan Malaka seperti Madilog, Menuju Republik Indanesia dan lain-lain
(Dimasa pasca Orde Baru ini, buku-buku yang pernah dilarang itu beredar kembali
dalam terbitan baru, walaupun setahu saya larangan beredarnya belum dicabut).
Terus
terang saja disamping untuk memperluas wawasan, juga karena ada “vested
interest”. Sewaktu pendidikan saya hampir berakhir, saya bukan tambah gembira
tetapi mulai merasa kacau karena belum ada bayangan dimana bekerja sesudah
lulus. Ada dua hal yang memberatkan saya, pertama saya sudah beristeri dengan
dua orang anak, dan yang kedua saya tidak punya modal untuk mencari pekerjaan.
Saya
mendengar dari kawan-kawan Mahasiswa Murba ada beberapa Menteri seperti Chairul
Saleh yang jadi tokoh Partai Murba, partai mana dianggap erat hubungannya
dengan tokoh Tan Malaka, sehingga katanya yang dapat diterima ialah sekurang
kurangnya bersimpati dengan Partai Murba. Namun, saya tidak menggunakan saluran
itu, saya beruntung karena pada waktu itu baru dibuka Fakultas Ekonomi di Universitas
Sumatera Utara. Sebelumnya, saya mengalami jeda belajar, karena adanya
peraturan yang mewajibkan mahasiswa penerima ikatan dinas yang telah lulus
sarjana muda diwajibkan bekerja, namun jalur ini tidak sempat saya gunakan.
Sebelumnya
saya telah aktif dalam kelompok mahasiswa yang dipimpin oleh Prof. DR Phillips
Lumbantobing, seorang antropolog yang bertugas di Universitas Hasanuddin, yang
ingin membantu membangun daerahTapanuli. Sang professor mendirikan kelompok
dengan nama Badan Penggerak Perhatian Pembangunan di Tapanuli, dimana salah
seorang pengurusnya di Jakarta adalah yang sekarang telah menjadi Prof. Dr.
Mauritz Simatupang, yang pernah jadi Rektor Universitas Kristen. Isterinya
adalah boru Hutabarat yang bekerja sebagai apotheker di Rumah Sakit AURI. Saya
sering menumpang di rumah Mauritz, tidak merasa ada beban walaupun keluarga
Mauritz adalah keluarga Kristen. Saya sering minta vitamin pada Nyonya Mauritz
disamping minta tiket yang bisa diperoleh dari fasilitas AURI, dimana Nyonya
Mauritz bertugas di apotik rumah sakit AURI. Selain dari pada itu, saya sudah
lupa dalam rangka apa, saya juga terlibat dalam kelompok mahasiswa Sumatera
Utara yang akan dikirim ke Sumatera Utara bertemu dengan pejabat-pejabat
daerah. Saya tidak ingat lagi dalam rangka apa, namun ini merupakan peluang
untuk mencari kerja.
Sesampainya
di Jakarta saya menemui teman di Departemen Perindustrian, antara lain Drs
Sonhaji, teman yang pernah sama-sama belajar di Mesjid Syuhada. Disini saya
diterima sebagai pegawai. Tapi, Jakarta tidak jadi pilihan, karena akan tinggal
dimana?
Disinilah
nampak cakrawala saya yang masih sempit. Bukankah orang yang baru bekerja di
Jakarta, banyak yang memulai hidup dengan menyewa rumah di gang ?
Kami
melanjutkan perjalanan ke Tapanuli, yang jelas saya bertemu dengan orang tua,
disamping bertemu dengan pejabat-pejabat pemerintah dalam rangka pembangunan
Tapanuli. Saya pernah mengatakan berhasrat menjadi tenaga pengajar di Fakultas
Ekonomi Universitas Tapanuli, rupa-rupanya pihak yayasan mengirimkan uang ke
alamat di Yogya dan dicairkan isteri sebelum saya kembali. Namun, karena tidak
jelas fasilitas lanjutan seperti perumahan dan gaji, saya secara sepihak tarik
diri.
Di
Medan saya sempat melamar jadi dosen Fakultas Ekonomi USU. Di USU ada seorang
saudara dekat yang jadi dosen Fakultas Hukum. Beliau adalah tulang Mr Hatunggal
Siregar, yang kemudian bertukar jadi Hatunggal Siregar S.H. Beliau adalah anak
dari ompung Abdul Lian Siregar, adik dari ibu saya.
Pada
saat saya berada di Padang Sidempuan belajar di SMP, beliau juga berada disana,
ikut mengungsi. Beliau sempat ingin berdikari dengan mengadakan perusahaan
melinting rokok, namun usaha ini tidak berhasil dan beliau kembali ke Medan.
Disamping bekerja, beliau mengikuti kuliah di Fakultas Hukum dan kemudian jadi
dosen di Fakultas Hukum USU. Dialah yang menghubungkan saya dengan Fakultas
Ekonomi USU yang baru didirikan.
Sewaktu
identitas saya ditanyakan, saya hanya mengatakan ompung saya bernama Abdul Lian
Siregar, mantan pengusaha di Pematang Siantar dan sekarang bermukim di Medan.
Dengan fakta itu, identitas saya cukup jelas, dan tidak ditanyakan lagi.
Memang, dalam pergaulan hidup koneksi dan referensi adalah cukup penting.
Sewaktu
saya mendaftar jadi calon peserta dalam pelatihan yang diadakan INSEAD di
Perancis, saya diminta datang ke Jakarta untuk diinterview. Pertanyaan pertama
yang diajukan adalah apakah saya pernah mengikuti kursus di luar negeri, saya
katakan pernah, mengikuti Summer Course di Harvard Institute of International
Development. itulah pertanyaan pertama dan sekaligus terakhir, karena sesudah
itu tidak ada pertanyaan lagi. Rupa-rupanya nama Harvard adalah jaminan mutu.
Sewaktu
anak sulung saya pacaran dengan putera Mayor Jenderal (Purn) Hasan Slamet,
sebagai mana mertua anak saya, beliau juga mencari informasi mengenai anak
saya.
Kebetulan
informasi itu dimintanya pada besannya, Mayor Jenderal (Purn) M.Akil. Pak Akil
ini adalah Komandan KMKB Jakarta pada peristiwa 17 Oktober, dizaman gerilya
beliau didrop dari Yogya ke Sumatera dan ditugaskan di daerah Tapanuli.
Dizaman
Orde Baru beliau bertugas sebagai Direktur Utama Perusahaan Sang Hyang Sri,
perusahaan bibit padi. Karena berhalangan pada Penataran P4 yang pertama untuk
para Direktur Utama, beliau bergabung dengan kami, dan selama penataran kami
banyak bercerita termasuk pengalaman beliau di Tapanuli.
Sewaktu
beliau ditanya besannya, ia mengatakan saya kenal seorang Direktur PTP yang
bermarga Pulungan, dan kalau calon besanmu adalah dia, saya ikut menjamin.
Jadi, jaminan atau referensi ini adalah penting, bila dari jalur persahabatan
maupun kekeluargaan. Sewaktu saya pindah dari Bandarlampung ke Yogyakarta, saya
medaftar sebagai anggota perkumpulan golf, dan diminta harus ada dua orang
anggota lama sebagai referensi, dan saya katakan cegat saja dua orang Batak
anggota lama dan minta tanda tangannya, dan berhasil dengan baik. Karena itu
tidak heran orang selalu mengkait-kaitkan dirinya dengan orang penting, dan
tidak jarang ada yang berani berbohong.
MASA DI USU DAN PERTEKSTILAN TD PARDEDE
(1962-1966)
Dengan
menumpang kereta api, kami berangkat dari Yogyakarta ke Jakarta dan kembali
menginap dirumah Syarif Sinaga di Kebayoran Baru. Seperti diuraikan dimuka,
keluarga ini banyak membantu, mulai dari sejak pengantin baru pada tahun 1958,
dimana keluarga Sinaga masih menempati rumah di jalan Surabaya Ujung.
Pada
waktu saya memerlukan buku International Economy karangan Gunnar Myrdal sebagai
buku wajib, saya minta bantuan Sinaga untuk membelikannya dan permintaan itu
dipenuhi. Selama saya di Banjarmasin dan di Yogyakarta, bila ada urusan di
Jakarta, saya selalu menginap di rumah Sinaga.
Setelah
menginap beberapa hari, dengan naik kapal kelas dek kami berangkat ke Medan.
Kapal yang dinaiki adalah kapal charter dari India. Walaupun sudah 4 tahun
semenjak nasionalisasi dan KPM meninggalkan Indonesia, pemerintah belum
berhasil membangun armada sendiri.
Waktu
itu Asian Games di Senayan Jakarta baru saja usai, dimana terjadi protes dari
wakil India, Sondhy sehubungan dengan penolakan Indonesia terhadap atlet
Israel, Sondhy berdalih politik adalah politik, olah raga adalah olah raga,
jangan dicampur aduk. Dalam pembicaraan dengan kelasi kapal India ini, mereka
membela wakil negaranya yang mengatakan bahwa politik dan olah raga jangan
dicampur aduk. Tema seperti ini muncul berulang-ulang. Atas
"kegagalan" Asian Games ini Sukarno kemudian mengorganiser Games of
the New Emerging Forces, Ganefo. Ganefo ini akhirnya cukup terkenal walaupun
dalam nama es Ganefo.
Sesampainya
di Belawan kami dijemput keluarga dan terus berangkat ke Tanjung Morawa, dimana
mertua saya bekerja di perkebunan negara yang sudah diambil alih. Kami sempat
berkunjung ke Sibolga hanya beberapa hari. Niat semula untuk bekerja sebagai
dosen di Universitas Tapanuli tidak jadi dilaksanakan, karena status dan
penghasilan yang tidak pasti.
Seperti
yang telah disinggung dimuka, karena status pekerjaan belum ada, akhirnya saya
memutuskan untuk bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi USU. Dengan bekal
surat fakultas bersedia menerima, saya berangkat ke Jakarta mengurus surat
pengangkatan. Selain dari jadi dosen tetap di USU, saya juga membantu UISU dan
bekerja rangkap di Pertekstilan TD. Pardede. Masa bertugas rangkap ini, di dunia
bisnis dan dunia akademis, bertumpu pada tiga bidang, bidang kegiatan di USU,
bidang kegiatan di UISU dan bidang kegiatan di Perusahaan Pardede. Walaupun
pekerjaan itu saya kerjakan secara simultan, namun saya akan uraikan satu
persatu.
Berkarya di USU
Saya
jadi dosen Fakultas Ekonomi USU, dan sementara tinggal di rumah mertua di Medan
yang kebetulan kosong, karena mertua saya pindah bekerja di Tanjung Morawa dan
menempati rumah dinas disana. Mata kuliah yang lowong adalah Manajemen, dan
karena saya adalah sarjana ekonomi perusahaan, yang belakangan berubah jadi
jurusan manajemen, saya dianggap sesuai untuk itu. Resminya status saya adalah
sebagai asisten dosen, tetapi telah diberi wewenang memberi kuliah penuh.
Status
kenangan tetap tidak berobah, tetap dalam kesukaran, walaupun saya telah
berusaha meringankannya dengan memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi
swasta.
Dalam
bekerja ini saya sangat banyak dibantu oleh buku-buku. Sewaktu saya mulai
bertugas di Banjarmasin, saya mulai membaca beberapa buku sebagai persiapan
untuk mengadakan asistensi, membaca beberapa buku untuk mengajar di Kursus BI
Sejarah dalam mata kuliah Sejarah Perekonomian dan mengajar tata buku dan
Sejarah Perekonomian di SMA dan SMEA.
Sejak
bulan November 1962 saya mulai bertugas di Fakultas Ekonomi USU dan diberi
tugas memberi kuliah dalam mata kuliah Pengantar Management. Selama belajar di
fakultas, saya tidak pernah mempelajari Management, yang saya pelajari adalah
Ekonomi Perusahaan. Pada waktu itu fakultas sedang dalam masa peralihan dari
sistem Belanda ke sistem Amerika, atau dari sitem Kontinental ke sistem
Anglo-Saxon. (Lihat tulisan saya yang dimuat dalam buku kenangan professor
Sunardjo tentang kurikulum fakultas)
Secara
kebetulan pada tahun terakhir di Fakultas saya atau kami mendapat tunjangan
buku, dan saya membeli buku Koontz dan Dannel, Principles of Management. Inilah
modal saya dalam memberikan kuliah, buku mana saya pelajari dengan
sebaik-baiknya.
Dalam
bertindak sebagai dosen diberbagai penjuru kota untuk menambah gaji, sehingga
berfungsi sebagai turis kota, saya mengusahakan agar kuliah yang diberikan
tidak terlampau jauh dari management atau cabang dari management seperti
Financial Managernent, Production Management, dan lain lain. (Memang secara
kebetulan satusatunya buku yang saya beli dengan uang dari Yayasan Lektur
sebagai bantuan untuk mahasiswa, adalah buku Principles of Management, karangan
Koontz dan Dannel. Inilah modal saya jadi asisten dosen dalam Pengantar
Manajemen. Selama tiga tahun jadi dosen di Fakultas Ekonomi USU, saya
seolah-olah digilir memberikan kuliah dalam cabang-cabang management itu, dan
setelah saya tanyakan pada Pak Dekan Prof. Dr Hadibroto, beliau mengatakan hal
itu memang disengaja, agar saya lebih menguasai manajemen secara keseluruhan.
Untunglah perpustakaan punya buku-buku yang menunjang penggiliran tersebut).
Sesudah
bertugas di USU, ada kombinasi antara gaji yang tidak cukup dengan waktu yang
lowong, saya terpaksa jadi dosen keliling dari perguruan tinggi yang satu ke
perguruan tinggi yang lain. Salah satu akademi, APIPSU mempunyai perpustakaan
yang lumayan dari mana saya meminjam banyak buku, disamping perpustakaan
Fakultas Ekonomi USU dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang kemudian
mekar jadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan kemudian lagi berkembang
jadi Universitas Negeri Medan. Saya masih ingat dari perpustakaan FKIP ini saya
meminjam buku Republics karangan Plato yang saya sudah baca berkali-kali namun
saya sampai sekarang belum mengerti.
Sejak
dari Banjarmasin sampai Medan, fungsi buku betul-betul sebagai alat bantu yang
menujang profesi. Salah seorang teman saya yang drop out memperkenalkan saya
kepada pimpinan perusahaan daerah percetakan dan melalui beliau ini saya
berkenalan dengan yang biasa saya panggil Tuan Lie, yang memimpin unit Toko
Buku Deli. (Yuan Lie adalah pimpinan Toko Buku Deli yang menjadi teman baik
saya. Beliau meninggal di Amerika sewaktu berkunjung kesana menemuai anaknya)
Pimpinan
Perusahaan Daerah itu adalah Drs Amir Husin Nasution. Waktu itu masih mahasiswa
Fakultas Ekonomi UISU, dan ia minta saya untuk juga mengajar disana. Belakangan
ia juga dipromosikan jadi pimpinan semua perusahaan daerah. Sampai sekarang ia
jadi teman baik. Toko buku ini telah saya kenal sejak saya di SMA dulu, namun
kunjungan saya masih banyak berupa window shopping karena istilah kerennya
limited budget. Seingat saya yang pernah saya beli adalah buku Botani karangan
Bodijn.
Diawal
bertugas di Medan saya juga sekadar window shopping, namun lambat laun jadi
pembeli buku, apalagi tuan Lie memberi kesempatan untuk ambil buku dulu baru
bayar. Jadi, sumber buku saya adalah buku-buku yang “tidak sengaja terbawa”
dari Banjarmasin, beberapa buku yang dibeli di Yogya dan yang terbanyak adalah
yang dibeli, terutama selama saya jadi karyawan perkebunan. (Baca uraian ini
dalam bahagian berikut)
Dari
pengalaman, saya merasakan bahwa hubungan dengan buku ada dua macam, yang untuk
mudahnya, saya namakan hubungan karier dan hubungan hobby. Hubungan karier
ialah hubungan dengan buku-buku yang menunjang karier sedangkan hubungan hobby
lebih banyak untuk memperbaiki kepribadian.
Buku
karier adalah buku yang menunjang dalam perkembangan karier. Setiap kali ada
alih tugas, ada saja pengetahuan baru yang diperlukan, dan untuk itu diperlukan
buku untuk dibaca.
Hubungan
hobby ini berfungsi untuk penyempurnaan diri pribadi baik dalam bidang raga
maupun kejiwaan, seperti pelajaran agama, menghaluskan budi, mengasah kecintaan
pada keindahan seperti buku-buku sastra, dan lain lain.
Karier
di USU dimulai sejak tahun 1962 sebagai asisten dosen. Setiap tahun pangkat
“naik” jadi rektor muda dan rektor. Waktu itu belum ada pangkat rektor muda,
dari rektor muda langsung jadi rector, dengan istilah kepangkatan waktu itu
dari F II, F III dan terakhir F IV.
Setiap
tahun mata kuliah yang saya asuh walaupun masih dalam bidang Manajemen namun
selalu bertukar dimulai dari Pengantar Manajemen, Manajemen Personalia dan
Manajemen Produksi.
Waktu
itu saya menanyakan pada dekan, Prof. Dr Hadibroto mengapa ditukar Saban tahun,
beliau mengatakan memberi kesempatan untuk mendalami cabang-cabang manjemen
itu.
Di
bidang struktural saya menjadi pembantu dekan I yang pertama, bersama-sama dengan
saudara OK Harmaini sebagai Pembantu Dekan II dan saudara Saman Sembiring
sebagai Pembantu Dekan III.
Saya
pernah ikut dalam seleksi pengiriman dosen ke Amerika, namun program itu
sendiri terhenti dengan memburuknya hubungan Indonesia —Amerika waktu itu.
Waktu itu adalah menjelang tahun 1965 dimana komunis sedang menyusun kekuatan.
Salah
satu pengalaman di USU adalah mencoba mendapatkan gelar DR untuk TD. Pardede.
Beliau mengiming-imingi kalau dapat gelar DR beliau akan menghadiahkan satu
mobil Impala, yang pada waktu itu merupakan mobil mewah. Usaha itu tidak
berhasil, dan agar jangan hilang muka diberilah gelar "Ahli Ekonomi".
Seusai acara pemberian gelar muncullah sebuah mobil Opel. Sewaktu ditanyakan
mengapa Opel yang muncul, beliau mengatakan karena yang dapat adalah ahli
ekonomi, sedang janji Impala adalah untuk DR!
Saya
juga terlibat dalam pembukaan extension course Fakultas Ekonomi, yang
mahasiswanya adalah pegawai perkebunan, pegawai perusahaan dan ada juga
beberapa orang guru.
Diantara
mahasiswanya tercatat O.B. Siahaan dan Martin Mailoa, orang-orang perkebunan.
Ada juga mahasiswanya yang berasal dari guru, bisa menyelesaikan kuliah dan
kemudian diangkat jadi dosen di Fakultas Ekonomi USU.
Jumlah
gaji di USU, sebagai pegawai negeri adalah sangat minim. Sebelum pindah ke
rumah perusahaan, saya jadi dosen turis, mengajar di UISU, APIPSU dan perguruan
tinggi lainnya.
Berkarya di UISU
Kalau
tadinya sebelum bekerja di perusahaan ; saya sempat jadi dosen keliling
mengajar apa saja dimana saja, sesudah bekerja di perusahaan, saya hanya
mengajar diluar USU di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara
(UISU), suatu universitas tertua di Medan, juga mengajar Manajemen.
Setelah
lulus dan berada di Jakarta dan belum pindah ke Medan, saya bersama seorang
teman sempat juga berkunjung pada Buya Hamka di rumahnya di kompleks Al Azhar
di Jakarta. Saya kemukakan pada Buya bahwa saya berniat membantu UISU. Buya
langsung mengajukan kritik banyak orang yang terbatas pada niat, namun tidak
sampai pada perbuatan, jadi beliau mengharapkan agar saya betul-betul
melaksanakan niat itu.
Seperti
telah saya singgung, sejak di Jakarta saya sudah berniat mengajar di UISU. Di
Medan saya bertemu kembali dengan salah seorang drop out dari Fakultas Ekonomi
UGM, audara. Sihite. Ia memperkenalkan saya dengan saudara Amir Husin Nasution,
Direktur Utama Perusahaan Daerah yang juga membawahi perusahaan percetakan
dimana saudara Sihite berkepentingan. Saudara Amir adalah juga
"mahasiswa" Fakultas Ekonomi UISU, dan ia minta saya mengajar di
UISU.
Mahasiswa
UISU umumnya adalah pegawai bahkan pimpinan dari perusahaan, diantaranya ada
yang menjabat Direktur Utama Perusahaan Daerah, yaitu sdr (Drs) Amir Husin
Nasution. Sdr Amir Husin dari mahasiswa menjadi sahabat sampai tua.
Walaupun
saya telah tinggal di kompleks T.D. Pardede di luar kota, saya dengan naik bus
datang dan dijemput saudara Amir Husin di kompleks T.D. Pardede di Jalan Bantam
dan setelah selesai memberi kuliah mengantar saya dengan mobil sendiri ke jalan
Binjai. Kedudukan Fakultas adalah agak unik dimana justru mahasiswa yang
merangkap pegawai yang banyak berperan.
Dan
jangan dilupakan, justru para mahasiswa seperti H. Bahrum Djamil, Haji Adrian,
Ibu Syariani adalah mahasiswa-mahasiswa yang menjadi penggerak didirikannya
UISU. Saya masih ingat melihat beberapa orang yang berpakaian dan berkelakuan
aneh pada tahun 1952 sewaktu saya masih duduk di SMA, dan ternyata mereka
adalah mahasiswa UISU yang sedang mengadakan perploncoan.
Mereka
ini adalah “mahasiswa” namun sudah sangat berpengalaman dalam organisasi Al
jamiatul Washliyah dan Gerakan Pemuda Islam.
Haji
Bahrum Djamil pernah jadi anggota Konstituante, selama mengajar di UISU, honor
saya terima bukan dari Fakultas, tetapi dari Sdr Amir, langsung keluar dari
kantongnya dan tanpa prosedur administrasi. Waktu itu para mahasiswa ini juga
jadi reformis, ingin memperbaiki hubungan antara Yayasan dengan Rektorat.
Yayasan yang terdiri dari para ulama dirasakan kurang gesit dalam mengelola
universitas, para mahasiswa ingin agar manajemen universitas diberikan
kekuasaan yang lebih besar. Secara tidak langsung saya juga dilibatkan
mahasiswa dalam gerakan reformasi ini.
Hubungan
antara yayasan dengan rektorat pada universitas swasta pada umumnya adalah
kurang serasi. Universitas yang pada dasarnya adalah lembaga pendidikan ;
bahkan pendidikan tinggi, sering berobah jadi “lembaga komersil”, baik dalam
pandangan yayasan, bahkan tidak jarang rektorat juga berpandangan demikian.
Gerakan
reformasi adalah gerakan yang ingin merobah pandangan komersil menjadi
pandangan yang murni pendidikan. Namun, salah satu kendala utama adalah tidak
adanya donatur yang bisa menghidupi yayasan, sehingga tidak jarang yayasan
meminjam uang secara komersil demi kelangsungan hidup universitas.
Sewaktu
bertugas rangkap itu, pegawai perusahaan merangkap dosen, suatu hal yang unik
terjadi. Yayasan memutuskan memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada
pengusaha Hasyim Ning. (Lihat Otobiografi Hasyim Ning, “Pasang Surut Pengusaha
Pejuang”, hal. 381)
Saya
tidak tahu apa latar belakangnya, ada yang mengatakan Hasyim Ning menyumbang
beberapa kenderaan. Sesudah keputusan diambil, timbullah masalah, siapa yang
akan menyusun pidato promosi, sedangkan promotornya telah ditunjuk dekan
Fakultas Ekonomi, Prof, Mr. Tan Tjeng Bie. Saya juga tidak tahu rangkaian
ceritanya, namun suatu pagi sdr. Amir Husin dan mahasiswa lainnya Husni Lubis
datang menemui saya di kantor di Jalan Binjai, dan “menculik” saya agar ikut
mereka bersama-sama menyusun pidato itu. Kepada pimpinan dikatakan ada famili
yang sakit keras sehingga perlu dijenguk mobil telah datang menjemput saya.
Aneh
juga, sarjana yang baru beberapa bulan tamat, terlibat menyusun pidato.
Promotor dan hanya dibantu oleh dua orang mahasiswa. Pada saat pidato promosi
dibacakan, sebahagian besar isi pidato yang kami susun dimasukkan.
Berkarya di Perusahaan T D. Pardede
Setelah
beberapa bulan berada di Medan, karena gaji dosen pegawai negeri yang kecil dan
tidak dapat ditambah dengan honor sebagai dosen keliling, saya melamar ke
perusahaan terbesar di Medan pada waktu itu, Pertekstilan TD. Pardede. Ada
keinginannya untuk bekerja sambilan dan untuk itu saya menghubungi seorang
senior yang menjadi menantu pengusaha terkenal T.D. Pardede, Mr. Palti Siregar.
Namun, sewaktu saya berkunjung ke rumahnya, beliau tidak ada di rumah. Saya
tidak mengulangi menghubungi, sampai pada satu saat saya membaca iklan di surat
kabar, perusahaan yang bersangkutan mencari tenaga sarjana ekonomi. Saya
melamar, dan dipanggil untuk ditest.
Saya
diterima sebagai pegawai staf dengan syarat harus ada izin dari universitas.
Rupa-rupanya presiden universitas maklum kesulitan sosial ekonomi yang dialami
para dosen, sehingga tidak ada kesulitan untuk mengeluarkan surat yang diminta
perusahaan. Dengan izin dari Presiden USU, saya diterima bekerja sebagai part
timer, walaupun nyatanya saya jadi full timer di perusahaan dan part timer di
USU. Waktu itu pimpinan universitas hanya terdiri dari Presiden dan Sekretaris,
nama Presiden bertukar jadi Rektor, sedangkan sekretaris diganti dengan
pembantu rektor yang terdiri dari beberapa bidang.
Di
perusahaan, saya ditempatkan berturut-turut di bahagian Pembukuan, Pendidikan,
Sekretaris Direksi dan sebagai Sales Manager PT. Surya Sakti, anak perusahaan
Pardede Group yang bergerak di bidang penjualan. Bidang-bidang inipun menuntut
saya melengkapi pengetahuan antara lain dengan membaca buku-buku dari
perpustakaan yang sudah saya sebutkan diatas. Fasilitas yang diberikan
perusahaan sangat memuaskan untuk ukuran pada waktu itu. Saya mendapat rumah
dinas yang diperlengkapi perabotan sekadarnya. Selain gaji, diberikan juga catu
beras, pakaian dinas dan perawatan kesehatan.
T.D.
Pardede pernah bekerja sebagai pegawai di perusahaan perkebunan di zaman
Belanda.
Sebagai
manusia yang cerdas, beliau mempelajari perkebunan, dan banyak menejemen
perkebunan yang diambil alih. Satu diantaranya adalah pelapisan karyawan yang
dibagi jantara karyawan biaya dan karyawan staf, dengan fasilitas yang berbeda.
Nama-nama jabatan-jabatan baru diciptakan mulai dari assistant foreman dan
foreman, supervisor, superintendant manager dan general manager.
Perumahan
untuk pegawai staf sedang dibangun, sehingga kami menempati rumah untuk mandur,
yang bagi saya jauh lebih baik dari rumah gedek yang ditempati di Yogya. Saya
pindah ke perumahan dinas, dan untuk mengangkut barang-barang seadanya meminjam
truk tentara untuk mengangkut barang-barang dari Medan ke kompleks perusahaan
yang terletak 11 km di luar kota. Fasilitas ini mungkin karena salah seorang
perwira Angdam adalah abang Barnang Pulungan. Sayangnya sewaktu mau berangkat,
ada seorang perwira yang ikut kearah yang sama dan iapun terpaksa mengalah naik
ke bak truk bersama barang barang. Sarjana, dosen, staf naik bak truk ? Why not!
Penghidupan
di perumahan perusahaan tidaklah menggembirakan. Sementara air mesti ditimba
dari sumur yang digunakan dua keluarga sehingga terasa sangat kurang. Saya
belum mampu menggaji pembantu sehingga semuanya harus dikerjakan oleh isteri
saya sendiri. Tidak jarang kalau isteri saya belanja, kedua anak saya dikunci
dalam rumah.
Dengan
bekerja di perusahaan ini jadilah saya bekerja rangkap, sebagai dosen manajemen
dan sebagai staf perusahaan.Ternyata menggunakan kedua-duanya merupakan
kekuatan yang saling membantu. Saya merasakan adanya pergeseran sikap dari
murni penonton yang semenjak di Yogya mulai berobah jadi pemain, dan lambat
laun mulai terbuka.
Perusahaan
didirikan pada tahun 1953 oleh pengusaha TD. Pardede. TD. Pardede sendiri
pernah bekerja sebagai karyawan perkebunan di Laras, pegawai rumah sakit di
Langsa, dan dizaman revolusi jadi anggota TNI dan mengurus barter antara
Tapanuli dengan Riau, dimana salah seorang partnernya adalah (kemudian jadi
pahlawan revolusi) DI Panjaitan, seorang pejabat militer di Riau. Sesudah
penyerahan kedaulatan ia jadi pengusaha oto bis ; dan pada tahun 1953 memulai
usaha dibidang tekstil di Jalan Bantam.
Generasi
pertama pegawai yang ikut “babat alas” dijuluki Angkatan “Partaba Pisang”
mereka membersihkan calon pertapakan pabrik yang masih dipenuhi pohon-pohon
pisang. Dia mulai dengan pertenunan, pencelupan dan konfeksi. Limbah konfeksi
dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk paberik selimut.
TD
Pardede mencium adanya bantuan kapas dari Amerika dapat disalurkan pada paberik
pengolahan benang. Dengan bantuan kredit bank TD Pardede mendirikan Pemintalan
yang baru di luar kota, di Jalan Binjai KM 10,8. Daerah ini cukup luas, selain
dari pabrik ada perumahan karyawan, Kantor Pusat, Poliklinik ; yang sementara
digunakan sebagai asrama dan tempat kuliah Akademi Pertekstilan T.D. Pardede.
Ada
yang mengatakan bahwa kecerdikan TD. Pardede adalah memecah perusahaan menjadi
beberapa PT. Perusahaan yang terletak di Jalan Bantam manjadi PT. Hisar Sakti,
di Jalan Binjai P.T. Pertekstilan T.D. Pardede dan pemasaran jadi PT. Surya
Sakti. Selain dari unit-unit produksi, TD. Pardede juga membangun PT Surya
Sakti, unit pemasaran dengan cabang-cabangnya di Medan, Padang, Jakarta,
Bandung, Semarang dan Surabaya. Ada yang mengatakan hal itu adalah untuk
kepentingan pajak.
Saya
bergabung dengan perusahaan pada tahun kesepuluh berdirinya perusahaan. Karena
TD. Pardede pernah bekerja di perkebunan, dan kemudian saya juga beralih kerja
di perkebunan, saya melihat organisasinya sangat mirip dengan perkebunan.
Ada
satu pandangan TD. Pardede yang baik yaitu pembinaan tenaga kerja. Pada masa
dimana pengusaha pada umumnya belum begitu memberikan apresiasi terhadap
sarjana, Pardede telah memperkerjakan lebih dari dua puluh orang sarjana dari
berbagai disiplin ilmu, termasuk para tenaga teras di bidang tekstil adalah
alumni pendidikan tinggi tekstil dari negeri Belanda, bahkan beliau tidak
segan-segan “membeli” tenaga yang disekolahkan Pemerintah dengan membayar
kembali biaya pendidikan yang dikeluarkan Pemerintah.
Bahkan
ada dua orang sarjana muda statistik yang bekerja di perusahaan. Selain dari
itu beliau juga menarik tenaga yang bekerja di bidang perkebunan. Tenaga
menengah dan bawah dibina melalui kursus-kursus.
Beliau
sebagai seorang alumni SR (sekolah rakyat, beliau tidak segan-segan
mengakuinya) mendirikan Akademi Pertekstilan T.D. Pardede, yang terdiri dan
jurusan Tehnik untuk maintenance, jurusan Produksi untuk produksi dan jurusan
administrasi untuk pembukuan dan pemasaran.
Juga
diadakan kursus-kursus pendek untuk tenaga salesman. Jabatan saya dimulai
sebagai staf di bidang pembukuan. Bagi saya hal itu sangat membantu, karena
saya bisa mempelajari bahagian-bahagian dari perusahaan. Kemudian saya
dipindahkan menjadi staf bahagian pendidikan. Yang terutama tugas saya adalah
dalam manajemen Akademi Pertekstilan T.D. Pardede. Salah satu keistimewaan dari
Akademi ini, tidak membayar uang kuliah, malahan tinggal dalam asrama dengan
biaya pondokan dan makan secara praktis.
Pagi
hari mahasiswa ini "kerja praktek" di pabrik, sore baru kuliah.
Menurut perhitungan perusahaan, "gaji" mereka sebagai mahasiswa
praktek cukup untuk membayar semua biaya mahasiswa, sehingga pada dasarnya
mereka membayar biaya sendiri.
Pardede
sangat gemar mengadakan rapat-rapat kerja dengan stafnya yang merupakan in
house training. Dalam suatu rapat yang demikian, dihadapan Pardede, saya maju
ke papan tulis dan mengupas hubungan antara Pardede dengan stafnya.
Saya
menarik garis vertikal, di puncaknya ia menulis angka 100% dan dipangkalnya
angka 0%. Saya mengatakan andaikata 100% kekuasaan dipegang Pardede, ia tidak
bijaksana menggaji staf tanpa kekuasaan apa-apa sehingga tidak bekerja.
Sebaliknya apabila Pardede punya kekuasaan, 0% itu juga tidak bijaksana, karena
sebagai pemilik ia menyerahkan perusahaan kepada orang lain. Jadi seninya ialah
bagaimana mengadakan perimbangan antara 0- 100%. Saya melihat muka TD Pardede
berkerut, dan lebih-lebih lagi saya melihat muka teman-temannya yang lebih
senior yang menunjukkan muka ketakutan.
Dalam
suatu rapat, T.D. Pardede “menyerang” saya dengan mengatakan apa relevansi ilmu
saya dengan praktek manajemen perusahaan. Karena terpojok, saya membalas dengan
mengemukakan beberapa praktek yang dijalankan TD Pardede sesuai dengan ilmu
yang saya pelajari.
TD
Pardede tambah memojokkan saya, kalau begitu saya mengapa tidak diberi gelar DR
?
Saya
tidak tahu apakah TD Pardede bergurau atau serius, namun pertanyaan itu bagi
saya jadi semacam PR.
Menjelang
ulang tahun ke X pabrik, sdr Ir. T. Akip sebagai ketua panitia minta saya untuk
menulis kata sambutan TD Pardede. Kata sambutan itu akhirnya dirobah judulnya
jadi Falsafah Pertekstilan T.D. Pardede. Falsafah perjuangan TD. Pardede adalah
nama yang diberikan bapak T. Akip, seorang tenaga senior perusahaan terhadap
rekaman saya dari butir-butir pemikiran bapak Katua yang saya tuliskan sebagai
sambutan bapak Katua dalam buku peringatan ulang tahun X Pertekstilan TD.
Pardede. Kalau pembaca melihat kembali buku peringatan tersebut, falsafah
perjuangan itu terletak dalam bahagian sambutan-sambutan, dan namanya yang
ditukar T. Akip.
Berpuluh
tahun kemudian baru saya sadar bahwa business philosophy itu adalah motor
penggerak suatu perusahaan, dan kalaupun kami yang terlibat langsung (Bapak
Katua,T. Akip dan saya) tidak ada yang menjadi alumni M.B.A. (karena M.B.A.
waktu itu masih asing) ternyata kami telah berpikir secara M.B.A. (bukan
sombong ni yee). Suatu bukti bahwa management in action mendahului management
in books.
Butir-butir
falsafah perjuangan itu adalah sebagai berikut :
Ada
beberapa hal yang ingin saya kemukakan pada kesempatan ini yang saya anggap
sebagai kebenaran dan oleh karena itu saya gunakan sebagai pedoman dalam
perjuangan saya.
Kebenaran
yang merupakan mercu suar dalam perjuangan saya ialah,
Kebenaran
yang pertama :
Kepercayaan
kepada kebenaran dan perlindungan Tuhan yang maha kuasa, manusia yang berTuhan
tidak pemah merasa kesunyian dalam perjuangannya, karena di semua tempat dan di
sembarang waktu Tuhan selalu berada di sisinya.
Kebenaran
yang kedua adalah :
Keyakinan
kepada cita-cita dan keyakinan pada kenyataan bahwa cita-cita yang mumi
hanyalah dapat dicapai dengan kemauan yang keras.
Saya
tidak perlu menyebutkan apa cita-cita saya, cukuplah orang mengambil kesimpulan
dari apa yang saya perbuat, statistiklah yang menunjukkan apa anti perusahaan
ini bagi ribuan Karyawan, semenjak tukang sapu sampai pada sarjana-sarjana,
bagi mahasiswa yang mengadakan research dan bagi umum, juga saya tidak perlu
menggambarkan kemauan saya, cukuplah apa yang telah kita bangun dari bawah
sampai pada keadaan seperti sekarang ini dalam tempo sepuluh tahun menjadi
ukuran dari kemauan saya.
Kebenaran
yang ketiga ialah :
Sabar
menderita dan tahan menderita.
Ada
orang yang sabar menderita tetapi tidak tahan menderita, ada orang yang tahan
menderita tetapi tidak sabar menderita, jadi haruslah disamping sabar menderita
kita juga harus tahan menderita. Hanya orang yang berkemauan keraslah yang
sabar dan tahan menderita, kesabaran dan ketahanan menderita adalah perwujudan
dari kemauan yang keras.
Kebenaran
yang keempat ialah :
Kepercayaan
pada diri sendiri.
Kepercayaan
pada diri sendiri tidaklah berarti menolak bantuan orang lain, tetapi adanya
keyakinan dengan atau tanpa bantuan orang lain kita tetap bekerja keras untuk
mencapai cita-cita kita.
Kebenaran
yang kelima ialah :
Keyakinan
bahwa suatu perusahaan hanya dapat berjalan dengan baik bila seluruh karyawan
dan pengusaha merupakan keluarga besar, mempunyai suatu tali suka duka,
penderitan pengusaha dan kebahagiaan pengusaha haruslah juga dirasakan oleh
seluruh karyawan.
Apabila
perusahaan kekeluargaan ini tidak ada antara pengusaha dan karyawan, perusahaan
yang bersangkutan pasti akan mengalami kehancuran.
Kebenaran
yang keenam ialah :
Kepercayaan
bahwa perusahaan akan berhasil apabila kita mendapatkan kepercayaan dari orang
lain, baik dari relasi-relasi maupun dari pejabat pejabat Negara. Apabila
kepercayaan orang kepada kita tidak ada, maka tidak mungkin kita dimengerti
orang lain dan dengan demikian kita tidak akan mendapat bantuan malahan akan
mendapat rintangan rintangan dari orang lain.
Kebenaran
yang ketujuh ialah :
Kepercayaan
bahwa bagi suatu perusahaan modal bukanlah syarat mudak untuk mencapai
kemajuan.
Adanya
modal hanyalah merupakan kondisi untuk dapat menjalankan usaha, tetapi tidaklah
menjamin majunya perusahaan apabila kebenaran kebenaran lainnya seperti yang
saya sebutkan diatas tidak ada.
Ketujuh
kebenaran yang diatas, saya peras dalam satu kolimot yang tertulis dalam
panji-panji perjuangan saya: Percaya kepada Tuhan, miskin belajar kaya, kaya
belajar miskin.
Dengan
kepercayaan kepadaTuhan, kita akan mempunyai kebenaran untuk berjuang, karena
kita yakin akan perlindungan dan percaya akan perlindungannya. Miskin belajar
kaya : Artinya apabila kita dalam keadaan miskin, kita haruslah mempunyai
keuletan dan ketabahan untuk mencari jalan untuk menjadi kaya. Kaya belajar
miskin, artinya : Apabila kita telah mendapatkan rezeki dari Tuhan sehingga
kita dinamakan orang kaya, maka haruslah kita tetap ingat bagaimana sakitnya
waktu kita masih miskin atau bagaimana sakitnya penanggungan orang miskin.
Harta ataupun kekayaan yang kita miliki mestilah kita pandang sebagai amanat
Tuhan kepada kita, dan haruslah digunakan untuk kepentingan kemanusiaan sesuai
dengan yang dikehendaki Tuhan. Kita harus tetap, mengingat bahwa amanat Tuhan
itu setiap waktu akan diambilnya kembali kalau Tuhan menghendaki, dan selama
kekayaan dan harta itu masih berada di tangan kita itu berarti bahwa Tuhan
menghendakinya demikian.
Kalimat-kalimat
diatas agak kental nilai religiusnya, hal itu tidak heran karena TD. Pardede
juga seorang Sintua, seorang yang aktif bekerja dalam lingkungan gereja.
Saya
menemukan pada diri TD. Pardede sikap sebagai pemain yang sangat kuat ia
memagari diri secara rosional dan irrasional dan menganut prinsip pertahanan
terbaik adalah menyerang. Pardede memulai kariernya dari bawah sebagaimana
banyak orang. Ia mulai sebagai kerani di perkebunan, namun keistimewaannya ia
cepat belajar.
Dizaman
revolusi beliau menjadi anggota TNI dengan tugas dibidang logistik, mengadakan
barter antara Tapanuli dengan Riau. Dengan modal awal yang dipunyainya, ia
membuka perusahaan bis, dan kemudian ia mengembangkan pertenunan, yang
diintegrasi dengan pencelupan dan konveksi. Limbah konveksi "dibuka
kembali" dan diolah menjadi selimut. Matanya yang tajam melihat adanya
bantuan kapas dari Amerika bagi perusahaan pemintalan. Ia mendirikan pemintalan
yang merupakan "pertarungan", salah seorang stafnya yang meyakinkan
pemintalan dapat dioperasikan tanpa air condition, untuk waku sepuluh tahun,
sehingga investasi dapat dihemat. Pada waktu itu dipakai istilah financing by
inflation, inflasi tahunan yang ratusan persen menyebabkan pinjaman bank dapat,
dilunasi dengan mudah untuk kemudian dipinjam kembali. Untuk kepentingan pajak
perusahaan dipecah dalam berbagai PT.
Ia
mempunyai pandangan yang jauh kedepan, mengadakan diversifikasi perusahaan,
dengan mendirikan bank, perhotelan perikanan, bahkan ia mempunyai feeling universitas
pun dapat jadi sumber uang. Ia mempunyai ambisi besar menjadi orang ternama,
mengadakan manuver-manuver sehingga akhirnya Ia diangkat jadi menteri negara
tanpa portofolio.Tidak cukup cuma itu, ia ingin juga jadi pimpinan gereja,
rektor universitas bahkan dengan gelar professor walaupun lokal. Sebagai staf
TD. Pardede, saya terlibat dalam beberapa fase dari pemenuhan niatan itu.
Dalam
rapat-rapat yang dipimpin Bapak Katua, pecut sang Katua selalu dipukulkan
bertubi-tubi. Berkali-kali ia mengatakan bahwa management in action sangat
berbeda dengan management in books. Ketua berkali-kali menuduh bahwa management
in books belum tentu sesuai dengan praktek.
Pertekstilan
TD. Pardede mempunyai sebuah Akademi, yaitu Akademi Pertekstilan TD. Pardede
dengan tiga jurusan, yaitu jurusan Produksi, jurusan Tehnik dan jurusan
Administrasi. Kalau sekarang orang ribut bicara tentang sarjana siap pakai,
dalam hal ini Pardede telah lama bertindak sesuai dengan semboyan semen Padang:
"Kami sudah mulai, sebelum yang lain memikirkamya".
Mahasiswa
akademi itu tidak dipungut bayaran. Apakah ini suatu pemborosan ? Tidak Dalam
rangka penciptaan tenaga siap pakai, setiap hari bekerja nyata di pabrik selama
5 jam, kerja nyata atau apapun namanya adalah kerja dan kerja itu memberi
hasil. Hasil itulah yang membiayai kerja nyata mahasiswa itu. Mungkin ada yang
menuduh praktek itu suatu penghisapan, tetapi saya sendiri menganggap sebagai
simbiose yang saling menguntungkan ini beberapa tahun kemudian pernah penulis
tawarkan dalam membina pesantren perkebunan, dimana para santri pagi bekerja
nyata, tetapi nampaknya ide itu belum ada yang membeli.
Perusahan
juga mempunyai semacam kode etik, yang didasarkan pada delapan nilai, sebagai
berikut:
1.
Kejujuran
Karyawan
karyawan itu hendaknya mempunyai sifat kejujuran, karena kejujuran itu
merupakan syarat mudak dalam segala bidang.
2.
Kelakuan
Karyawan
itu hendaknya berkelakuan baik, demi untuk memelihara suasana pekerjaan secara
khusus dan masyarakat secara umum.
3.
Kemauan (cinta, setia dan mau)
Karyawan
itu hendaklah mempunyai kemauan yang keras, karena hanya dengan yang keras
segala kesulitan-kesulitan dapat diatasi, berdasarkan cinta dan kemauan yang
setia terhadap pekerjaannya dan mau mempelajari serta memperbaiki segala kekurangannya.
4.
Kerajinan
Karyawan
itu hendaklah senantisa memupuk kerajinannya, baik dalam tugas bekerja, maupun
diluar tugas bekerja, untuk membiasakan dirinya senantiasa dalam kegesitan.
5.
Kebersihan
Karyawan
hendaklah senantiasa mengutamakan dan memelihara kebersihan dimanapun ia
berada, karena suasana kebersihan selalu memberikan suasana yang baik.
6.
Kesehatan
Karyawan
itu hendaklah memahami pentingnya arti kesehatan bukan hanya untuk keperluan
perusahaan, akan tetapi lebih penting lagi untuk dirinya sendiri.
7.
Kewajiban
Karyawan
itu hendaklah mengenal dan menyadari kewajiban masing masing, kemudian baru
memikirkan kepentingan sendiri.
8.
Kepatuhan
Karyawan
itu hendaklah secara ikhlas patuh kepada atasannya, karena tanpa disiplin
setiap pekegan tidak akan berhasil.
Mula-mula
kode etik ini dinamakan 8 K. namun saya usulkan dan usul saya diterima
mengganti 8 K itu menjadi WALUTAMA. Walu dalam bahasa Batak dan bahasa Jawa
saka sama berarti delapan. Tama sama dengan utama dalam bahasa Jawa, sehingga
Walutama itu dapat ditafsirkan sebagai delapon keutamaan.
Saya
juga terlibat dalam upaya pemberian gelar DR, yang diupayakan dari USU dan UISU
tetapi tidak berhasil. Pendekatan ke UISU dimulai dengan mengusahakan kontak
dengan UISU.
Kontak
itu terjadi dengan diadakannya ceramah oleh TD Paredede di UISU, dengan tekanan
pada kesamaan semangat untuk membangun. Karena saya yang menyusun pidatonya,
tak lupa saya selipkan prinsip effislensi orang Mandailing, "Jangan beli
yang perlu, tetapi belilah yang paling perlu".
Dan
kontak pertama ini, pengurus Yayasan, H. Bahrum Djamil dan saya berangkat ke
Jakarta menemui Menteri PTIP Brigadir Jenderal Syarif Tayeb. Dengan halus
menteri menolak permintaan untuk memberikan DR HC pada Pardede. Belakangan saya
mengetahui apakah caranya tidak salah, langsung to the point tanpa usaha lain.
Pada kesempatan ini, saya dibawa oleh Haji Bahrum Djamil bersama Haji Rivai
Abdul Manaf berkunjung ke rumah Jenderal Abdul Haris Nasution. Saya duduk saja,
dan rupanya naluri militer Pak Nas menyuruh beliau bertanya : "Saudara ini
siapa ?" sambil menunjuk saya. Saya tidak ingat lagi apa isinya, namun
Bahrum Djamil memperkenalkan saya.
Pada
kesempatan lain, pernah satu kali H.Bahrum datang ke Jakarta bermaksud menginap
di mess, saya tidak bisa berbuat lain selain memberikan tempat tidur saya.
Belakangan H.Bahrum mengetahui hal itu, dia meninggalkan Surat yang mengatakan
penyesalannya "merebut" tempat tidur saya.
TD
Pardede berjuang dalam Bamunas, Badan Musyawarah Nasional Swasta, semacam KADIN
sekarang. Subandrio adalah salah seorang Wakil Perdana Menteri (Waperdam) pada
waktu itu. TD Pardede mendekatinya sama dengan pola UISU, memberikan sumbangan
dan dilanjutkan dengan ceramah. Tiga orang kami, staf Pardede, T. Akip, Drs.
Tjeng Bing Tie dan saya berangkat ke Jakarta, dan kami menyusun pidato di mess
Pardede di Puncak. Waperdam lainnya adalah Dr Leimena yang didekati Pardede
lewat gereja, sedangkan Chairul Saleh didekati lewat Pejuang 45. Perjuangan itu
berhasil, dan pada tahun 1965 TD. Pardede diangkat jadi Menteri.
Ir.
Akip dan saya dibawa TD Pardede ke Jakarta sebagai pembantu tanpa jabatan
resmi. Namun, de facto saya telah bertugas sebagai sekretaris pribadi menteri.
Sebagai
Menteri Negara Berdikari dibawah Menteri Koordinator Perindustrian Ringan,
Pardede diharapkan mengajukan konsep bagaimana memberdikarikan Indanesia dalam
bidang sandang, baik dalam soal industri mesin maupun dalam penyediaan bahan
baku. Dalam rangka itulah saya ikut dalam perjalanan dinas di Jawa dan
Sumatera, melihat potensi permesinan. Saya juga ikut melihat penanaman kapas di
Asem Bagus, Jawa Timur, Perjalanan itu dengan tujuan melihat kemampuan
Berdikari, Berdiri Diatas Kaki Sendiri, dalam hal ini mampu menghasilkan
mesin-mesin pertekstilan. Untuk itulah diadakan perjalanan ke daerah-daerah
melihat potensi perbengkelan yang ada, baik milik swasta, maupun milik badan
usaha milik negara. Waktu itu yang dikunjungi antara lain PINDAD di Bandung,
Balai Besar Kereta Api di Madiun, dan berbagai perkebunan besar di Sumatera
Utara.
Namun
TD Pardede sebagai businessman menyusupkan salesmannya dalam rombongan melihat
kemungkinan bisnis apa yang dapat dimanfaatkan dengan perusahaan-perusahaan
yang dikunjungi. Perjalanan ini mengandung banyak hal-hal yang lucu, disini
disinggung dua hal saja.
Yang
pertama, adalah lazim kalau perjalanan VIP di daerah dipandu oleh voorijders
dari Polisi Lalu Lintas, namun rupa-rupanya telah didelegasikan pada
masing-masing Polisi dengan akibat diadakan timbang terima disetiap perbatasan
yang identik dengan batas Kabupaten, Di suatu sore rupanya pak menteri mulai
capek, Ia membuka sepatu dan mulai tidur.
Di
Jawa Jarak antara kabupaten adalah dekat-dekat sehingga frekuensi tukar
pengawal adalah tinggi. Menjelang perbatasan saya telah mengingatkan Menteri
bahwa perbatasan sudah dekat dan pertukaran pengawal akan diadakan, namun
menteri tidak menggubris sampai mobil betul-betul berhenti, sang menteri turun
dari mobil untuk menerima pelaporan tanpa sempat memasang sepatu alias kaki
ayam ! .
Yang
kedua adalah acara di Madiun. Dalam panduan yang diberikan Pemda disebutkan
bahwa di Madiun akan singgah di balai besar kereta api tanpa ada pidato,
sehingga saya tidak menyiapkan teks pidato, tetapi ternyata sesampainya di
disana, diumumkan acara dimana ada pidato.
Untuk
mengatasi hal ini, saya membisikkan pada menteri agar acara dirobah, makan
siang lebih dahulu, dan waktu yang ada akan saya gunakan menyusun pidato di
mobil. Usul ini diterima dan pada saat menteri telah berdiri didepan mikrofon
disitulah teks pidato diserahkan.
Satu
kekurangan dan keanehan saya sebagai sekretaris pribadi adalah saya tidak bisa
mengetik, bahkan sampai sekarang bila mengetik itu berarti bisa menggunakan
sepuluh jari !.
Kemudian
diadakan kunjungan mengelilingi bengkel, dimana kelihatan kesibukan di
masing-masing instalasi. Namun begitu rombongan sampai di tempat semula, suara
kesibukan, bunyi derum mesin dan denting martil senyap, sang menteri bertanya :
"Kok sepi ?" dan saya menjawab : "Biasa, seperti di pabrik yang
malas dalam menerima tamu", dan menteri hanya tersenyum kecut.
Show
dalam kunjungan pembesar adalah soal yang biasa bahkan sampai sekarang. Pada
saat itulah terjadi peristiwa yang lazim dinamakan Gestapu, Gerakan 30
September, yang dikatakan sebagai pemberontakan yang digerakkan Partai Komunis
Indonesia. Namun, mengenai hal ini terus terjadi silang sengketa, betulkah PKI
berontak atau mereka diprovokasi, dan sejarahlah nanti yang diharapkan bisa
mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 saya lagi, berada di Medan, setelah melepas rombongan
Menteri Subandrio berangkat ke Aceh. Hari itu saya akan kembali ke Jakarta,
namun saya mendengar ada siaran yang aneh di RRI dari Letnan Kolonel Untung
tentang penggantian pimpinan negara.
Saya
putuskan tidak kembali ke Jakarta.
Rombongan
Subandrio kembali dari Aceh dengan menggunakan kapal Bea Cukai dan terus ke
Jakarta. TD Pardede dengan rombongan kecil tinggal di Medan. Baru beberapa hari
kemudian setelah dapat informasi mengenai apa yang terjadi di Jakarta, rombongan
Menteri pulang ke Jakarta diangkat dengan pesawat AURI. Saya sendiri tidak ikut
karena tidak ada seat.
Sebulan
sesudah “Pada Jang Mulia” TD. Pardede diangkat menjadi Menteri Negara Urusan
Berdikari pada tahun 1965, beliau minta izin pada Presiden Sukarno untuk
mengadakan studi banding ke Jepang dengan anggota rombongan pengusaha dari
Bamunas dengan biaya sendiri. Saya sebagai sekretaris menanda tangani
traveler's cheque dalam US$ di Bank Indonesia Jakarta, ditukar dengan rupiah,
karena di luar negeri rupiah tidak laku. Bahwa ada perbedaan yang besar antara
kurs gelap dengan kurs resmi adalah soal lain. Petugas Bank Indanesia, setelah
melihat tanda tangan saya mulai tidak teratur karena banyaknya cheque yang akan
ditanda tangani, tutup mata pada peraturan dan menyuruh saya menanda tanganinya
di kantor dengan tenang dan tidak usah buru-buru. Rombongan berangkat ke Tokyo
dan kemudian pindah ke Osaka melalukan studi banding dengan sasaran utama
bagaimana bisa berdikari dalam bidang tekstil. Osaka pada waktu itu adalah
pusat industri tekstil.
Sasaran
peninjauan adalah industri rumah penghasil bahagian-bahagian dari mesin
tekstil, masing-masing rumah ada yang khusus memotong, ada yang khusus
menghaluskan dan lain-lain.
Kami
berjam-jam di setiap paberik yang dikunjungi yang jumlahnya puluhan, dan tidak
lupa mengunjungi rumah-rumah yang terlibat dalam industri. Sistem ini adalah
kerjasama antara perusahaan besar dengan rumah tangga, atas dasar sama-sama
hidup, dan industri rumah tangga tidak dihisap oleh industri besar. Jadi,
berbeda dengan proyek anak angkat bapak angkat yang usahanya tidak terkait,
misalnyal Indosat Medan membina pertenunan ulos di Sipirok.
Selama
dalam perjalanan satu kalipun kami tidak pernah mengunjungi tempat hiburan.
Bahkan atas "persuasi" pak TD Pardede, 20% uang jalan kami dipotong
dan dibelikan sebuah mesin yang1perlukan dalam pertekstilan dan diserahkan pada
pak TD Pardede untuk menggunakannya.
Sekembalinya
dari perjalanan, saya dengan seorang teman ditugaskan menyusun laporan di Puncak
dan seingat saya laporan itu benar-benar diserahkan langsung pada Presiden.
Kesimpulannya
kami berangkat dengan sasaran tertentu, selama bertugas tidak menyimpang dari
sasaran, dan sekembalinya laporan disusun dan disampaikan pada Presiden berisi
pokok-pokok pikiran dalam mempercepat berdikari dalam bidang sandang. Jadi
studi banding harus dengan sasaran yang jelas dan diberi waktu yang cukup, bila
waktunya tidak cukup dan sasaran tidak jelas memang lebih mudah “diselewengkan”
jadi pelesiran. (Saya duga rombongan DPRD berangkat tanpa sasaran yang tegas
dan waktu yang cukup, sehingga menjadi acara melancong. Atau barangkali
sasarannya memang pelesiran ?)
Sesudah
bertugas beberapa bulan di Jakarta, telah terasa bahwa tenaga saya sudah tidak
diperlukan lagi, di akhir tahun 1965 saya kembali ke Medan, keluar dari rumah
perusahaan dan menumpang di rumah mertua.
Status
di USU tetap sebagai tenaga pengajar. Namun, bagaimanapun juga, saya, merasakan
adanya pengalaman yang sangat berharga, bagaimana saya yang baru tiga tahun
selesai belajar telah dipercayakan mengurus hal-hal yang besar seperti jadi
sekretaris, juga rombongan sebanyak kurang lebih 30 orang dalam perjalanan ke
luar negeri. Bagaimanapun juga, pengalaman bekerja di perusahaan adalah
pengalaman yang manis.
Berkat
pergaulan di Asrama kawan-kawan dari Tapanuli Utara, saya merasa tidak canggung
bekerja di perusahaan. Pengalaman main tenis di Banjarmasin dan sebentar di
Yogya, dapat saya lanjutkan di perusahaan, bahkan bola tetap bola yang belum
gundul seperti di Yogya. Sebagai "bonus" saya berangkat ke luar
negeri, pada saat, gelar HBA (had been abroad) pernah keluar negeri, masih
berharga. Demikian juga pengalaman sebagai sekretaris pribadi, ikut dalam
"sirkus" disambut dalam kunjungan kerja ke daerah cukup mengasikkan.
Bertahun
tahun kemudian hubungan dengan TD Pardede membaik, malah saya pernah diminta
jadi tenaga pimpinan di Universitas yang “dimilikinya”. Saya menulis artikel
dalam buku kenangan 75 tahun TD. Pardede. (Buku “Pengusaha Mandirl Pejuang
Berani” dan “Kemandirian, Kesinambungan dalam Pembangunan Nasional dan Bisnis”)
Pada
saat jenazahnya terbaring sebelum dimakamkan, saya masih sempat berpesan pada
anak-anak dan menantunya,TD Perdede secara fisik telah mati, namun ia mati atau
tidak tergantung pada saudara-saudara, kalau gagasan-gagasannya tidak
berlanjut, betullah ia mati, namun kalau berlanjut, ia seakan akan tidak
mati.***