Banyak orang beranggapan bahwa perkebunan modern di Riau berawal ditahun 1980an, suatu hal yang dapat diyakini ketidak benarannya ; karena sejarah perkebunan modern di Riau adalah sama panjangnya dengan sejarah perkebunan di daerah lain di Indonesia.
![]() |
BENGKALIS |
Hindia Belanda sebagai negara jajahan yang menjadi bagian sistem pemerintahan Eropa menjadikannya secara alami dipengaruhi dan selalu terdampak dinamika dan situasi geopolitik Eropa.
Perang Eropa I (1803-1815) yang diakhiri dengan kekalahan Napoleon di Waterloo mengakibatkan pergantian penguasaan Nederlands Indiƫ dari Belanda ke Inggris (selama 5 tahun/1811-1816), karena ; saat itu Belanda adalah dan menjadi daerah taklukan Perancis.
Tetapi, penguasaan Inggris itu berusia singkat ; perjanjian Anglo-Dutch di London tahun 1814, menyebakan Inggris harus mengembalikan daerah yang didudukinya pada 1811 kepada Belanda ditambah pertukaran beberapa daerah seperti Temasek (Singapura saat ini) dan New Amsterdam (New York saat ini) dengan Bengkulu.
Dalam perkembangannya Traktat 1814 ini tidak mampu menurunkan situasi kompetisi perebutan pengaruh maupun kekuatan antara Belanda dan Inggris terutama persoalan laten yaitu berkenaan dengan yang disebut sebagai “tanah merdeka” yaitu daerah yang belum menjadi koloni baik Belanda maupun Inggris, seperti pantai timur Sumatera, Jambi dan Kepulauan Riau.
Runcingnya kompetisi tersebut berkaitan dengan posisi dan keberadaan Kesultanan Johor-Riau yang sangat stategis dan pengaruhnya yang sangat signifikan di area tersebut. Johor-Riau sebagai kelanjutan Kesultanan Melaka yang dikalahkan Portugis pada 1511 berubah menjadi Kesultanan Johor-Riau dan menjadikan kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera dan kepulauan Riau sebagai vasalnya.
Perebutan pengaruh dengan potensi peperangan ini baru dapat terselesaikan melalui Traktak London 1824 dengan beberapa kesepakatan ; diantaranya (dan yang paling penting) membagi Kesultanan Johor, Pahang dan Singapura menjadi teritori Inggris sementara Kesultanan Siak, Indragiri dan Lingga menjadi bagian teritori Belanda.
Belanda bertindak sigap dalam mensikapi hal tersebut dengan mendirikan pemerintahan setingkat Residensi di daerah pantai timur Sumatera. Melalui Staatsblad No. 16 tahun 1819 Belanda mendirikan sistem pemerintahan bernama Residensi Riau dengan wilayah mencakup wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura beserta daerah taklukannya sepanjang pantai timur Sumatera mulai dari Tamiang sampai Indragiri yang dipusatkan di Bengkalis (sebelum berpindah ke Tanjung Pinang di tahun 1887).
Ekspansi Perkebunan di Riau.
Dari data terdokumentasi ; pantai timur Sumatera pertama kali disurvey melalui Ekspedisi John Anderson untuk kepentingan pemerintah Inggris tahun 1823 dan ekspedisi Eliza Netscher kepentingan pemerintah Belanda pada tahun 1861.
Komoditas unggulan hasil bumi yang tersedia seperti vanili, rotan, tembakau, gambir, kemenyan disamping hasil hutan seperti lilin lebah (Beeswax) dan gading gajah menjadi komoditas ekspor utama sedangkan barang barang konsumtif dan bahan sandang menjadi barang impor utama.
Netscher yang berdomisili di Bengkalis menjadi pejabat pemerintahan kolonial tertinggi pantai timur Sumatera, berperan penting dalam “membuka” daerah pantai timur Sumatera.
Eliza Netscher (1825-1880) menjabat sebagai residen Riau (1861-1870) yang mencakup wilayah Kesultanan Siak dan taklukannya menggantikan JH Tobias. Sebagai pejabat kolonial, Netscher secara cerdik menempatkan dirinya sebagai penasehat Sultan Assayyidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Sultan Sayid Ismail (1827-1864). Posisi penasehat tersebut dimanfaatkannya guna mempermudah penguasaan daerah daerah taklukan Kerajaan Siak. Bagi pemerintah Belanda, pekerjaan Netscher dipandang berhasil dan untuk itu dia dianugerahi Virtus Nobilitat (Ksatria Orde Singa Belanda) ditahun 1864 dan mendapat promosi sebagai Gubernur Sumatra Westkust di Padang ditahun 1870. Penaklukan Siak dan daerah taklukannya dalam bentuk Korte Verklaring menjadi dasar dan pembuka jalan berdirinya perusahaan perkebunan di Riau, Deli dan Langkat.
Di Riau sendiri, tecatat sejak abad ke 13/14 ada banyak kerajaan yang berdiri sendiri, misalnya kerajaan Kandis karena daerahnya yang subur menyebabkan rakyatnya hidup makmur dengan bertani menanam rempah demikian juga masyarakat kerajaan Singingi yang giat berkebun lada.
Sultan Syarif Hasyim I pengganti Sultan Ismail, mengerti akan kekuatan Belanda sehingga tidak menunjukkan sifat konfrontatif untuk melawan Belanda. Pemerintahanya diarahkannya untuk perbaikan ekonomi masyarakat dan negara, peningkatan perdagangan dan intensifkasi usaha perkebunan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai dan volume perdagangan di pesisir timur Sumatera.
Perkembangan keadaan dan ramainya migrasi penduduk ke pesisir pantai timur Sumatera mendorong pemerintah Belanda untuk memekarkan Residentie Riouw. Rentang kendali yang sangat penjang dan rentang wilayah yang sangat luas serta maraknya investasi perkebunan di pesisir timur Sumatera menjadi alasan utama pemekaran tersebut.
Karena berbagai alasan tersebut akhirnya pada 1873 daerah taklukan Siak mulai dari Tamiang sampai Bagan Siapiapi di pesisir timur Sumatra berpisah dari Residentie Riau menjadi Residentie Sumatra Oost Kust dengan pusat pemerintahan di Bengkalis (pindah ke Medan 1887) sedangkan Residentie Riouw yang mencakup Riau daratan dan Riau kepulauan dipusatkan di Tanjung Pinang.
Perkembangan perusahaan perkebunan di Residentie Riouw.
Sampai dengan tahun 1886 Sultan Siak telah menerbitkan Concessie pekebunan yang diratifikasi Residen Riau sebanyak 22 kontrak di daerah Siak (Rijk Van Siak) tidak termasuk kawasan Sumatra Oost Kust (onder afdeling Deli, Serdang, Langkat dan Asahan).
Kontrak yang diterbitkan tersebut tidak seluruhnya tereksekusi ; Onderneming Gading Japura di Onderafdeling Indragiri tercatat sebagai perkebunan yang pertama dibuka di Indragiri tahun 1893, selanjutnya perkebunan tembakau Onderneming Air Molek tahun 1894 diikuti diikuti Onderneming Sungai Lala dan Onderneming Bukit Selasih tahun 1895. Seluruh rangkaian areal perkebunan ini nantinya lebih dikenal dengan sebutan Air Molek Complex. Areal perkebunan ini masih eksis sampai sekarang ; yang setelah beberapa kali berganti kepemilikan akhirnya beralih menjadi asset PT Perkebunan IV Gunung Pamela melalui akuisisi ditahun 1984.
Kegagalan dalam usaha mengeksploitasi usaha perkebunan banyak dijumpai, misalnya Konsursium HVA yang mendapat konsesi Onderneming Decima seluas 10.000 Ha di muara Sei Tapung untuk ditanami tembakau. Awalnya, berdasarkan rekomendasi tim survey dinyatakan lahan yang tersedia sangat cocok untuk pengembangan budidaya tembakau. Mutu dan kualitas tanah tersedia berkualifikasi dibawah Deli tetapi sejajar dengan mutu tanah di Serdang. Saat eksekusi, situasi areal yang jauh memasuki pedalaman sementara infrastruktur yang ada sangat minim serta kondisi awal dimulai pembukaan hutan perawan mengakibatkan pendapatan yang dihasilkan sangat jauh dibanding biaya perolehannya. Faktor budidaya tembakau sebagai tanaman musiman, akhirnya memaksa HVA dengan berat hati mengembalikan konsesi Decima kepada Sultan Siak setelah beroperasi selama 3 tahun.

![]() |
Ditahun 1915 diseluruh Wijk Riouw (Siak Sri Indrapura, Indragiri, Kuantan, Kepulauan Riau) telah berdiri 12 onderneming dan ditahun 1922 berkembang menjadi 27 onderneming dengan luas 89.851 Bows/62.895 Ha. Concessie luas terdapat di Japura, Kelawat, Sungai Lala, Sungai Parit Gading, Air Molek dan Sungai Sagu .
Untuk masyarakat umum dan petani, Sultan Siak mendorong perkembangan usaha perkebunan dengan menyebarkan bibit Karet dan Kelapa Sawit yang didatangkan sendiri dari Melaka untuk dibagikan secara gratis ke masyarakat.
--------------------------------------------