Friday, December 21, 2012

SENEMBAH MAATSCHAPPIJ, TROPICAL DISEASES dan TAN MALAKA.


Asal Mula Nama Senembah.

Senembah adalah nama sebuah daerah yang menjadi bagian dari Kesultanan Serdang dan apabila kita membicarakan  Senembah berarti  juga membicarakan riwayat Kesultanan Serdang.

Nama Senembah menurut buku Sari Sedjarah Serdang, (Tengku Luckman Sinar SH, 1971) bermula dari ketika Si Emblang Pinggol yang berasal dari Barus (Tapanuli Tengah) anak dari Tuanku Si Gambo pergi ke Aceh dan kawin dengan adik Panglima Polim. Kemudian ia pergi dan mendirikan Baros Jahe dan juga mendirikan Kampung Petumbukan.
Ia pergi ke Senembah (permainan) karena daerah itu diganggu oleh seekor harimau putih yang akhirnya dengan keizinan Sultan Aceh ia mendirikan negeri Senembah dan memperoleh gelar Kejuruan Senembah.

Didalam perkembangannya selanjutnya, karena letak geografis yang berada pada perbatasan Deli dan Serdang serta potensi ekonomi yang dimilikinya, maka Senembah sering menjadi daerah perebutan antara Kesultanan Deli dengan Kesultanan Serdang.

Tahun 1882, pemerintah kolonial melalui Residen Schiff melakukan politik adu domba dengan membagi Senembah menjadi 4 kejuruan :

1. Daerah Medan Senembah dikepalai Wan Kolok.
2. Daerah Patumbak dikepalai Wan Sulong Bahar.
3Daerah Sigaragara dikepalai Wan Sulong Mamat.
4. Daerah Namu Surau dikepalai Sibayak Amat.

Pembagian ini tidak berjalan secara efektif, sehingga Belanda kemudian memodifikasi perjanjian tersebut dengan membagi 2 daerah Senembah menjadi :

1.  Senembah Serdang, yang beribu kota di Sei Bahasa 
     dengan daerahnya di Tadukan Raga/Sei Bahasa dan 
     Medan Senembah
2.  Senembah Deli, yang beribu kota di Patumbak dengan 
     daerahnya Patumbak, Sigaragara dan Namu Surau.

Sebagai protektorat Kesultanan Serdang, membahas sejarah Senembah berarti kita juga harus membicarakan riwayat Kesultanan Serdang itu sendiri.

Serdang adalah kesultanan yang meliputi daerah daerah Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu, Ramunia dan Perbaungan yang berdiri tahun 1723 setelah berpisah dengan Kesultanan Deli.

Pada buku Sari Sedjarah Serdang, (Tengku Luckman Sinar SH, 1971) menyatakan berpisahnya Serdang adalah dikarenakan terjadinya  kemelut internal sehubungan dengan suksesi di Kesultanan Deli.

Ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat pada 1723, menurut peraturan kerajaan penggantinya adalah Tuanku Umar yang berstatus Putera Garaha (anak dari permaisuri), tetapi beliau mempunyai masalah kesehatan  yaitu cacat dimatanya sehingga dinilai tidak cakap untuk menyandang jabatan Sultan.
Putera kedua, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya,Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. 

Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka dua orang besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itulah Kerajaan Serdang berdiri sebagai pecahan dari Kerajaan Deli ; dan menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.

Struktur tertinggi di Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja, yang mempunyai tugas dan peran sbb :

1. Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
2. Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
3. Sebagai Kepala Adat Melayu.

Pada masa pemerintahan raja yang kedua, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu :

1. Raja Muda (kemudian berubah menjadi Bendahara).
2. Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu).
3. Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis).
4. Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).

Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua). 


Politiek Contract Serdang 1907

Pada tahun 1907, Kerajaan Serdang diwakili Sultan Suleiman Shah Alam Sarifoel mengikat Politiek Contract dengan pemerintah kolonial yang diwakili Residen Pantai Timur Sumatera Jacob Ballot dengan ratifikasi Gubernur Jenderal Ir. De Graeff, yang mana pada kontrak tersebut mengatur antara lain :
 
1. Meminjamkan tanah kepada Hindia Belanda dengan hukum Hindia Belanda , dan berjanji untuk setia dan patuh terhadap penyerahan tersebut.
2. Tanah yang dipinjamkan meliputi kawasan : Serdang, Serdang Senembah dengan Tandjong Moeda, Timor Batakdoesoen, Serbadjadi, Perbaoengan, Denai.
3. Kewenangan Sultan dan negerinya mengurus sendiri internalnya. Sultan dan rakyatnya tidak boleh diserahkan kepada negara lain, kecuali terhadap Pemerintah Hindia Belanda.
4. Dari Politiek Contract ini Sultan menerima pendapatan tetap sebesar Fl.50.850,- /tahun. Sedangkan pendapatan tidak tetap diperdapat dari Rantau Pandjang, Denai dan Pantai Cermin Perbaungan


Senembah Maatschappij.

Pada awalnya eksploitasi perkebunan di daerah Serdang dilakukan oleh Firma Naeher & Grob yang merupakan usaha patungan antara  Hermann Naeher, seorang pedagang dari Sisilia yang berkebangsaan Bavaria (Jerman) dengan Carl Furchtegott Grob, pendiri onderneming Helvetia yang berkebangsaan Swiss.

Ditahun 1871 mereka mendapat kontrak tanah dari Sultan Serdang seluas 7.588 bahu. Tahun 1876 lahan mereka ditambah dengan sebidang tanah yang terletak di Deli, kemudian pada tahun 1886 semakin meluas hingga  wilayah mereka menjadi 31.563 bahu pada tahun 1889. (1 bahu 7.096,50 M²).


Letak kebun-kebun Naeher & Grob yang strategis di tepi Sei Belumai memberikan keuntungan tersendiri bagi maskapai ini, karena mereka tidak memerlukan pembukaan jalan menuju dan dari kota Medan dalam rangka memenuhi pasokan kebutuhan maupun mengirim hasil produksinya.
Pada waktu itu, Sei Belumai adalah sungai yang ideal untuk digunakan sebagai sarana transportasi, sementara itu dibagian muaranya terdapat hamparan kebun nipah yang dimanfaatkan perusahaan untuk keperluan pembuatan atap gudang tembakau.

Pesatnya perkembangan Firma Naeher & Grob dikarenakan  tanah yang mereka miliki menghasilkan daun tembakau yang besar, berat dan berwarna gelap yang pada waktu itu disukai oleh orang-orang Eropa. Namun sayangnya kondisi tersebut tidak berlangsung lama, sebab sekitar tahun 1887 terjadi perubahan selera dari orang Eropa, mereka lebih menyukai tembakau yang berwarna cerah.

Menjelang tahun 1888, suhu udara yang panas dan kering menghasilkan produksi daun tembakau yang berat dan besar, rendahnya harga daun tembakau yang dijual. Harga yang buruk ini membuat Firma Naeher & Grob mengalami kerugian yang sangat besar. Sedangkan pada saat bersamaan Karl Furchtegott Grob juga mengalami gangguan kesehatan, sehingga akhirnya karena tekanan finansial, Naeher & Grob berniat untuk menjual Firma mereka.

Naeher & Grob menawarkan pengambil alihan Firma mereka kepada Deli Maatschappij. Pimpinan Deli Maatschappij menyarankan agar mereka mengubah bentuk badan hukum Naeher & Grob dari Firma menjadi Naamloze Vennootschap (NV), dan selanjutnya melakukan stock split untuk dijual ; dimana Deli Maatschappij akan menjadi pesero dari perseroan yang baru dibentuk.
Naeher & Grob menyambut baik saran tersebut dan dengan disesuaikan dengan peraturan pemerintah sehubungan dengan perubahan badan hukum, maka pada tanggal 30 September 1889 secara resmi seluruh kebun dan asset milik Naeher & Grob berpindah menjadi milik Senembah Maatschappij (inbreng pada perseroan yang baru dibentuk) dengan Jacobus Nienhuys dan CW Janssen sebagai direksi, sedangkan yang menjadi komisaris yaitu JT Cremer, H Naeher, GE Haarsma, AL Wurfbain dan R Von Seutter ; dan mengelola kebun-kebun Tanjung Morawa, Tanjung Morawa Kiri, Sei Bahasa, Batang Kuis, Gunung Rinteh dan Petumbak

Pada awal berdirinya Senembah Maatschappij dibantu oleh Deli Maatschappij dalam hal pembiayaan operasional dan teknis serta pemasaran produksi tembakau mereka .
Kondisi cuaca dan keuangan dimasa awal perseroan berdiri  menerbitkan keraguan para pesero terhadap kemampuan perusahaan untuk berkembang, karena terjadinya perubahan selera orang Eropa terhadap tembakau dan kondisi cuaca yang buruk pada tahun tersebut.  

Namun, setelah beberapa tahun, hasil yang diperoleh dari Senembah Maatschappij jauh melebihi apa yang diharapkan oleh para pendirinya. Sebab, walaupun tanah yang dimiliki oleh Senembah Maatschappij tidak sama dan bahkan ada yang berada di bawah mutu tanah Deli Maatschappij, tetapi tembakau hasil perkebunan Senembah masih tergolong yang paling baik dari tembakau Pantai Timur.

Pada awal berdirinya Senembah Maatschappij ditahun 1889 luas tanah yang dimiliki oleh maskapai ini seluas 31.563 bahu. Tahun 1897 luas tanah yang dimiliki Senembah Maatschappij menjadi 50.994 bahu, dimana 40.340 terletak di Serdang dan sisanya 10.654 bahu berada di Deli. Penambahan luas wilayah perkebunan ini menunjukkan bahwa Senembah Maatchappij telah sehat baik dari sisi operasionil maupun finansiil. 


Selain penambahan wilayah perkebunan, maskapai ini juga menambah baru serta memperbaiki gudang fermentasi yang sudah ada. Hasil panen tahun–tahun berikutnya yang tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, tidak lagi menjadi ancaman berarti bagi perusahaan. Cadangan dana yang mereka miliki membuat Senembah Maatschappij mampu mengatasi masa sulit secara mandiri tanpa bantuan dari Deli Maatschappij.

Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu proses produksi, dimana tenaga kerja untuk proses produksi tanaman di perkebunan biasanya disebut dengan istilah kuli atau buruh. Pada umumnya buruh perkebunan dipekerjakan untuk pembukaan lahan, menanam, merawat, mengangkut hasil produksi dan mengeringkannya.


Cara menanam tembakau adalah dengan cara dan sistem ladang berpindah, dimana setelah satu kali proses produksi tembakau, maka lahan tersebut ditinggalkan dan dibiarkan sekitar delapan tahun lamanya baru kemudian dapat ditanami kembali.
Hal ini disebabkan karena apabila setelah selesai satu kali masa produksi tembakau, lahan tersebut langsung ditanami kembali, maka hasil produksinya akan tidak baik.
Sistem ladang berpindah tersebut menyebabkan pembukaan lahan baru dilakukan setiap tahun. Pembukaan lahan baru ini tidaklah mudah, sebab areal yang mereka akan kerjakan adalah hutan dan rawa-rawa, sementara alat berupa mesin tidak ada, sehingga pekerjaan itu hanya dilakukan oleh tangan dan alat seadanya, sementara medan yang dikerjakan cukup sulit dan berbahaya menjadikan pekerjaan membuka lahan merupakan pekerjaan yang paling berat yang dilakukan oleh para buruh.
Dalam sekali proses produksi, satu tahun dibagi menjadi dua periode kerja yaitu masa ladang yang berlangsung selama delapan bulan lebih dan sisanya adalah masa lumbung. Pekerjaan untuk membuka dan menyiapkan ladang dilakukan oleh orang-orang Jawa, India dan para pekerja di sekitar perkebunan. Pekerjaan mereka adalah membabat hutan, mencangkul dan meratakan tanah, membuat guludan tanaman dan menggali parit pembuangan air, membangun lumbung untuk pengeringan tembakau dan membangun barak untuk tempat tinggal para kuli.  

Tempat tinggal para kuli yang berupa barak di bangun berjajar atau membentuk bujur sangkar mengelilingi lapangan. Di lapangan tersebut didirikan dapur umum untuk tempat memasak makanan para kuli perkebunan.



Hospitaal Te Tandjong Morawa / Rumah Sakit GL Tobing

Peraturan perburuhan yang dikenal dengan Koelie Ordonnantie 1903 (ordonansi kuli) mengatur waktu kerja para kuli adalah sepuluh jam sehari. Namun, dalam kenyataanya mereka bekerja lebih dari sepuluh jam sehari. 

Areal kerja yang biasanya cukup jauh dari perumahan  tempat mereka tinggal, membuat mereka harus datang lebih awal karena mereka harus tiba tepat waktu sesuai dengan yang telah disepakati. Kerja harian dengan sistem borong mengakibatkan mereka tidak boleh pulang sebelum pekerjaan mereka selesai. Mereka baru diperbolehkan pulang apabila pekerjaan yang ditetapkan oleh pemimpin perkebunan telah selesai mereka kerjakan. Kondisi ini kadang menyebabkan mereka bekerja satu atau dua jam lebih lama dari aturan yang telah ditetapkan oleh ordonansi kuli yaitu sepuluh jam sehari.

Kerja para buruh yang seperti ini tidak dibarengi dengan upah yang memadai, sehingga kehidupan para buruh semakin sulit. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak mencukupinya asupan gizi yang mereka terima. Terungkap pula bahwa tuan kebun cenderung memperdaya para kuli dengan tidak memberikan kebebasan kepada kuli untuk membelanjakan upah mereka yang memang sudah rendah tersebut. Banyak perkebunan yang menggaji kulinya dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon atau keping logam yang hanya dapat dibelanjakan di toko (kedai) perkebunan sementara staf Eropa dibayar dengan gulden.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa para pekerja harus menyediakan makanan mereka sendiri. Gaji yang diterima dua kali sebulan dihabiskan para kuli untuk kebutuhan yang paling pokok  yaitu makan pagi dan malam  yang terdiri dari nasi saja. 
Karena panjangnya waktu mereka bekerja, mereka tidak lagi memiliki waktu untuk menanam sendiri sayur-sayuran atau padi. Pada masa-masa awal berdirinya perkebunan, para kuli masih memiliki waktu senggang untuk bercocok tanam ala kadarnya. Kalaupun para kuli masih ingin bercocok tanam, mereka akan kehilangan tenaga untuk bekerja di perkebunan. 

Setiap maskapai perkebunan besar pastinya memiliki tenaga kesehatan sendiri, tidak terkecuali Senembah Maatschappij, yang mana hal ini sudah berlangsung semenjak perusahaan masih dikelola oleh Firma Naeher & Grob.
Pada awal berkembangnya perusahaan perkebunan, tenaga kesehatan adalah juru rawat dan peracik obat yang berasal dari India yang didatangkan dari Penang. Perlahan-lahan mereka digantikan oleh dokter-dokter Eropa. Tahun 1889 jumlah dokter-dokter Eropa di Deli sudah mencapai dua belas orang, mereka bertugas melayani 700 orang Eropa dan puluhan ribu kuli perkebunan. 

Senembah Maatschappij memiliki sarana pelayanan kesehatan yang berpusat di Tanjung Morawa bernama Hospitaal Te Tandjong Morawa dan dikepalai oleh seorang dokter Jerman bernama Dr. HauserRumah sakit ini dibangun tahun 1882, saat masih dimiliki oleh Naeher & Grob. 
Keadaan tempat tinggal para kuli perkebunan yang kotor serta kondisi pekerjaan berat yang mereka terima, sementara asupan gizi tidak mencukupi mereka mudah terserang berbagai penyakit.

Dalam bukunya yang berjudul Senembah Maatschappij 1889-1939, Dr. C.W. Janssen menjelaskan bahwa banyak pekerja di perkebunan mati karena wabah penyakit.


Dalam usaha menekan kematian pekerja tersebut, pada tahun 1903 perusahaan mendatangkan seorang dokter peneliti mikroskopik longitudinal pada parasit malaria asal Jerman lulusan Universitas Leipzig bernama Dr. WAP Schuffner untuk melakukan penelitian penyakit-penyakit yang mewabah di perkebunan.

Dr. Schuffner memulai penelitiannya dengan mencari tahu apa hubungan kesehatan yang buruk dengan keadaan wilayah setempat. Selanjutnya dengan dibantu Dr. Maurer, dokter dari Deli Maatschappij  dan Dr A. Kuenen dokter dari Senembah Maatschappij, melakukan penelitian di Laboratorium Pathologi yang didirikan perusahaan di Tanjung Morawa pada 1907 dimana Dr. Schuffner menjadi direkturnya
Laboratorium ini dibiayai oleh Deli Maatschappij, Senembah Maatschappij dan Medan Tabak dengan kompensasi bersedia melayani perusahaan donatur dalam hal memberi petunjuk teknis bidang kesehatan. 
Penelitian mengenai penyakit-penyakit tropis tetap diteruskan dengan harapan bahwa di masa depan semakin banyak ilmuwan muda yang ambil bagian dalam kegiatan penelitian mereka. dan pada laboratorium ini mereka dapat mempersiapakan diri untuk menjadi dokter yang menangani penyakit-penyakit tropis.

Melalui publikasi di Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (Jurnal Medis Hindia Belanda), penelitiannya menarik perhatian para akademisi di bidang kesehatan tropis. 

Dibawah pimpinan Dr. Schuffner, Laboratorium Tandjong Morawa  berhasil menemukan  penyebab penyakit anemia, beriberi, dan malaria serta bagaimana cara mengatasinya.  Hasil penelitiannya diterapkan bukan saja dalam lingkungan perkebunan tetapi juga didunia kedokteran.


Kondisi kesehatan para buruh terus diperhatikan dan pelayanan kesehatan di rumah sakit juga terus ditingkatkan. Tahun 1897-1901, jumlah kematian kuli menurun dari 60,2 menjadi 45,1 per 1000 orang.  Dr. CW Janssen juga mengatakan dalam bukunya,  bahwa keberhasilan Senembah Maatschappij dalam mengatasi penyakit perkebunan yang mewabah adalah karena pertolongan Dr. Schuffner dengan penelitiannya.

Musim panas dan musim hujan yang berkepanjangan silih berganti tak menentu ditambah buruknya makanan menyebabkan munculnya penyakit beri-beri, kolera dan disentri. 
Selain tiga penyakit ini, penyakit anemia dan malaria juga banyak memakan korban. Walaupun sudah ada tempat pelayanan kesehatan di sana, namun pelayanannya masih buruk dan cenderung tidak maksimal. Kondisi yang tidak maksimal ini dapat dilihat dari masih adanya petinggi perkebunan orang Eropa yang mati semasa perawatan.

Berdasarkan keputusan Direktur Utama PN Perkebunan II Kolonel MD. Nasution pada tahun 1969, yang dituangkan dalam keputusan No : II.0/KPTS/3/1969, Rumah Sakit PNP-II Tanjung Morawa ditetapkan namanya menjadi Rumah Sakit Dr. Gerhard Lumban Tobing PNP II Tanjung Morawa.
 

Dr. Gerhard Lumban Tobing adalah seorang dokter yang bertugas didaerah Tebing Tinggi, dimana menjelang tahun 1950 beliau gugur saat terjadi konflik bersenjata di dekat jembatan Sei Belumai yang tepat bersebelahan rumah sakit .
Saat terjadi kontak senjata
Dr. GL Tobing  mengalami luka tembak dan dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Namun sayang nyawanya tidak tertolong, beliau menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit tanjung morawa ini.


Hospitaal Voor Europeanen 2012
Akhir Senembah Maatschappij.

Pada tanggal 27 Desember 1958, Presiden Soekarno menandatangani Undang-Undang No. 86 mengenai Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda di Indonesia. 
Tujuannya, selain sebagai alat politik untuk merebut kembali Irian Barat yang pada waktu itu memang masih menjadi perdebatan, juga untuk menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia, memperkuat kemampuan nasional dan menghapus diskriminasi ekonomi serta penaklukan ekonomi kolonial. Undang-Undang tersebut juga mengatur ganti rugi bagi pemilik lama untuk mencari penyelesaian hukum di pengadilan Indonesia jika ganti rugi yang ditawarkan tidak memuaskan.

Pada saat perkebunan tembakau dinasionalisasi sesuai UU No.86 Tahun 1958, tinggal dua perusahaan perkebunan tembakau yang masih bertahan, yakni Deli Maatschappij dengan 17 kebun tembakau dan Senembah Maatschappij dengan 5 kebun tembakau. 

Sesaat setelah pengambil alihan, eks Senembah Maatschapij berubah nama menjadi PPN Baru Tandjong Morawa.  

Tetapi hal ini tidak berjalan lama, sesuai dengan Peraturan  Pemerintah No 144 tahun 196PPN Baru Tandjong Morawa berubah menjadi PPN Kesatuan Sumut II. 
Peraturan ini selain merubah kepemilikan juga merubah assets dari perusahaan, dimana sebelumnya PPN Baru Tandjong Morawa hanya terdiri dari 5 Kebun (Batang Kwis, Kwala Namoe, Pagar Marbau, Patoembah, Tanjong Morawa) berubah menjadi PPN Kesatuan Sumut II yang terdiri dari 13 Kebun ( Bekalla, Batang Serangan, Tandjong Keliling, Sawit Seberang, Bukit Melintang, Basilam, Bukit Lambasa, Bukit Lawang, Gohor Lama, Glugur Langkat, Marijke, Pabrik Peti Teh "Langkat").
Dengan  adanya  perubahan situasi pada  tahun  1965,  dimana secara  langsung  terjadi juga perubahan didalam  pola  pemikiran didalam  perekonomian, dengan adanya usaha pemerintah  Orde  Baru untuk  merehabilitasi perkebunan-perkebunan negara maka  struktur perkebunan di Organisir kembali, sehingga pengelolaan Kebun Gohor Lama / Bukit Melintang berdasarkan PP No.13 tanggal 27 Maret 1968 tentang  penghapusan BPU dan PP No.14 tanggal 13 April 1968  tentang pembentukan PNP maka PPN Karet II berubah nama menjadi Perusahaan Negara Perkebunan II yang berpusat di Tanjung Morawa .

Sehubungan  dengan adanya kredit (pinjaman/loan) dari World  Bank Cq  Asia Development Bank (ADB) dimana sebagai salah satu  syarat perusahaan penerima kredit adalah berstatus perseroan dan  sesuai dengan   UU   No.9/1969  dan  PP  No.12/1969  maka   PNP   II/SWS dinilai/appraising  untuk  dipersiapkan  menjadi  perseroan  guna pembentukan   perseroan  sehingga  pada April  1976  dengan  Akte Notaris  maka  PNP  II/SWS berubah nama  menjadi  PT.  Perkebunan II(Persero).

Pada tanggal 11 Maret 1996 kembali diadakan perubahan organisasi perkebunan.
PT Perkebunan II yang diresmikan dengan Akte Notaris GHS. Loemban Tobing, SH Nomor 6 tanggal 1 April 1974 dan PT Perkebunan IX yang diresmikan dengan Akte Notaris Ahmad Bajumi, SH Nomor 100 tanggal 18 September 1983 dilebur dan digabungkan menjadi satu dengan nama PT Perkebunan Nusantara II yang dibentuk dengan Akte Notaris Harun Kamil, SH Nomor 35 tertanggal 11 Maret 1996, dengan kantor pusat di Tanjung Morawa.

Yang menarik dari bagian ini adalah jika kita lihat secara kronologis, terlihat bahwa kedua perusahaan yang berafiliasi (Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij) akhirnya menjadi satu. Cuma jika dulunya Deli Maatschappiij ang bersifat sebagai induk, maka saat ini beralih kepada ex Senembah Maatschappij dengan kantor pusat di Tanjung Morawa.

Tan Malaka


Sekolah tua yang berdiri disisi jalan Tanjung Morawa menuju Batang Kuis ini memang tidak menarik perhatian dan juga jarang diperhatikan orang, luput dari perhatian dan luput pula dari kenangan.

Dahulu kami menyebut sekolah ini sebagai baskul dan perumahan yang ada di belakangnya sebagai pondok baskul
Rasa ingin tahu membawa kami untuk mencoba menelusuri asal kata baskul, akhirnya diperdapat hasil bahwasanya kata baskul berasal dari ambacht school yang berarti  sekolah tukang/pertukangan dalam bahasa Belanda.
Terjemahan sekolah tukang ini adalah cocok dengan cerita dari orang-orang tua di Tanjung Morawa yang menyatakan bahwasanya dalam menjalani pendidikan di sekolah ini dilengkapi dengan pelajaran cara bertukang seperti membuat dan merawat meubelair, sepatu dan memelihara mesin sederhana serta merawat tanaman.

Sekolah tukang/pertukangan pada dewasa ini tentunya tidak berarti banyak. Tetapi keberadaan ambacht school bukanlah sesuatu yang biasa. Tidak biasa bukan saja karena konsep keberadaanya tetapi juga orang yang mempeloporinya ... Tan Malaka ...

Sekolah ini pada awal berdirinya adalah dan berada di areal perkebunan Tanjung Morawa milik Senembah Maatschappij yang dipimpin Dr CW Jansen, sebagai salah satu dari dua planters pionir legendaris bersama J Nienhuys pada masa awal pembangunan perkebunan di sumatra oostkust. Ide awal yang dimiliki Jansen adalah dalam rangka penerapan Ethische Politiek (Politik Etis) yang dimotori oleh Van Deventer sebagai balas budi kepada bangsa pribumi dengan memberikan pendidikan, walaupun pada dasarnya ketersediaan tenaga terdidik berarti juga akan menyokong perusahaan dengan tersedianya tenaga trampil.

Pada satu kesempatan di Amsterdam, Jansen secara langsung menemui Tan Malaka dan menawarkan jabatan sebagai guru dan assisten penilik sekolah milik perusahaan serta menjadi penanggung jawab kurikulum yang akan dipakai di sekolah.

Tan Malaka dengan bersemangat menyatakan bersedia menerima tawaran tersebut, selain daripada alasan ekonomi terlebih lagi dia merasa dapat mengambil peran didalam memajukan bangsanya melalui pendidikan.

Oleh karena konflik internal dengan Kepala Sekolah dan aktivitas revolusioner yang dijalankan Tan Malaka, maka keberadaan Tan Malaka tidak lama di Tanjung Morawa. Tetapi idenya mendidik anak bangsa untuk tidak hanya menjadi pekerja melainkan berkemampuan untuk mandiri berlanjut terus melalui sistem sekolah yang dijalankan organisasi "Sjarikat Islam" ...

Berikut kami sampaikan tulisan yang kami sadur dari http://tanmalaka.tumblr.com/post/8738974317/peniup-suling-bagi-anak-kuli  yang dapat memberi gambaran situasi ketika Tan Malaka berada di Tanjung Morawa  menjadi guru sekaligus Penilik Sekolah di ambacht school Tanjung Morawa.


TAN  MALAKA
Peniup Suling Bagi Anak Kuli

Rapat para tuan besar perkebunan yang berada di wilayah perusahaan Senembah Mij baru saja dimulai. Tan Malaka mengamati belasan peserta yang hadir. Dari yang hadir itu, ia hanya kenal dua orang. Salah satunya Herr Graf, tuan besar di Tanjung Morawa, Sumatera Timur. Tan menatap Graf, yang disebutnya sebagai musuh nomor satunya di Deli. Graf langsung menoleh ke arah lain. Selama rapat, kedua orang ini kerap beradu pandang. 
Tapi, begitu mata mereka bertemu, Graf dengan segera memalingkan mukanya. Demikian seterusnya. Tan Malaka tahu, Graf-lah yang menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan dirinya. 

Pada saat pemimpin rapat memberikan kesempatan berbicara kepadanya, Tan tak menyia-nyiakan kesempatan. Tan, yang sudah dua tahun menjadi asisten pengawas sekolah di Deli, memaparkan pentingnya pendidikan bagi para anak kuli. Menurut dia, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.  "Anak kuli adalah anak manusia juga," kata Tan Malaka. Dia sengaja mengeluarkan kalimat itu karena banyak tuan besar, pemilik atau pengawas perkebunan, menganggap sekolah bagi anak kuli cuma membuang-buang uang.  
Sekolah, di benak para tuan besar itu, bakal membuat anak kuli itu lebih "brutal" ketimbang bapaknya. 
Ada kekhawatiran lain. Pendidikan ini bisa menciptakan kader-kader baru Sarekat Islam, organisasi yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda.

Beberapa hari setelah rapat pada Juni 1921 itu, Tan bertemu Dr Janssen, direktur sekolahnya. Tan mengajukan permintaan pengunduran diri. Dia merasa komplotan tuan perkebunan tembakau yang dipimpin Graf sudah sangat mengganggu kerjanya. 

Tan Malaka mengakui ada empat perkara perbedaan dirinya dengan para petinggi perkebunan yang membuat ia menentukan sikap itu. Pertama, soal warna kulit ; kedua, model pendidikan bagi anak kuli; ketiga, menyangkut artikel-artikelnya di surat kabar di Deli; serta keempat menyangkut hubungannya dengan para kuli perkebunan.
Tan melihat sumber konflik antara kaum kapitalis dan proletar. Dia menyebutnya sebagai pertentangan antara "Belanda-Kapitalis-Penjajah" dan "Indonesia-Kuli-Jajahan". Janssen tidak mencegah keinginan Tan untuk mundur, karena dia juga akan kembali ke Nederland. Dia meminta kantor membayar gaji Tan Malaka untuk dua bulan dan menyediakan karcis kapal laut kelas satu ke Jawa.
Awalnya, Janssen-lah yang meminta Tan Malaka membantu Tuan W untuk menjadi pengawas sekolah di Deli. Tan, yang kala itu sedang menempuh sekolah guru di Belanda, tertarik dengan tawaran kerja itu.
Deli adalah kota besar dengan penduduk sekitar dua juta. Namun ada yang menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Deli merupakan keluarga kuli kontrak perkebunan, pertambangan minyak, dan pengangkutan. "Mereka keluarga proletaris tulen, dan Deli merupakan daerah proletaria yang sesungguhnya," kata Tan Malaka dalam catatan hariannya.
Kelas atas di Deli, menurut Tan, adalah borjuis asing dari Eropa-Amerika, disusul dari Tionghoa. Adapun borjuis Indonesia adalah Sultan Serdang dan Sultan Deli.
Selama di Deli, Tan sering berbincang-bincang dengan siswanya dan mengunjungi rumah mereka. Ini berbeda dengan Tuan W, yang cuma datang ke sekolah naik mobil dinasnya. Tan ingin mengetahui tabiat, kemauan, dan kecondongan hati masing-masing anak. Dari semua informasi yang diperolehnya, ujar Tan, diperlukan satu pusat sebagai sekolah percontohan.
Selain mengurus pendidikan, Tan Malaka juga menampung keluh-kesah para kuli kontrak. Para kuli itu umumnya buta huruf dan terjerat berbagai peraturan kontrak yang tak bisa
dipahami. Tan melihat para kuli itu terbelenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus "hawa nafsu jahat" permainan judi. 


Kisah kuli kontrak ini mewarnai artikel Tan Malaka yang tersebar di surat kabar Liberal, Medan, dan Sumatera Post, yang kerap membuat marah para tuan besar.
Pengalamannya bergaul dengan kaum proletar ini makin memantapkan Tan bergerak di sektor pendidikan. Menurut dia, "Kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan." Ini semua, kata Tan, untuk menghadapi kekuasaan pemilik modal yang berdiri atas pendidikan yang berdasarkan kemodalan.


Pada 2 hingga 6 Maret 1921, Tan Malaka mengikuti Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta. Di sinilah ia pertama kalinya bertemu HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun, dan tokoh tokoh lain organisasi Islam tersebut. Kala itu organisasi ini sedang dilanda perpecahan, antara faksi Islam dan komunisme. Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono lebih berkiblat ke komunisme.
Seusai kongres, Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang. "Kehadirannya menguntungkan bagi gerakan rakyat revolusioner di Indonesia," ujar Semaun dalam buku Sewindu Hilangnya Tan Malaka. Saat itu keduanya sepakat membangun sekolah rakyat bagi calon pemimpin revolusioner. Sarekat Islam memberikan gedung dan fasilitas pendidikan lainnya. Tan Malaka berjanji mendirikan perguruan yang cocok bagi kebutuhan dan jiwa "rakyat Murba", sebutan Tan untuk kaum proletar.


Dalam brosur bertajuk "SI Semarang dan Onderwijs", Tan Malaka menguraikan dasar dan tujuan pendidikan kerakyatan. Pertama, perlunya pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan seperti berhitung, menulis, ilmu bumi, dan bahasa. Hal ini sebagai bekal dalam menghadapi kaum pemilik modal. Kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi dan berdemokrasi. Ini untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri, dan cinta kepada rakyat miskin. Dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.  

Tan Malaka menegaskan, sekolahnya bukan mencetak juru tulis seperti tujuan sekolah pemerintah. Selain untuk mencari nafkah diri dan keluarga, sekolah ini juga membantu rakyat dalam pergerakannya.

Menurut Harry A. Poeze, inspirasi mendirikan sekolah rakyat ini berasal dari Belanda dan Rusia. Tan Malaka, katanya, sempat membaca tulisan warga Rusia mengenai kurikulum. Inspirasi lainnya, kata Poeze, dari pengalaman Tan ketika bertugas di perkebunan tembakau Deli. "Pengetahuan yang ia dapat disesuaikan dengan keadaan di Indonesia," kata Poeze.  


Hari pertama pembukaan "Sekolah Tan", ada lima puluh siswa datang mendaftar. Sekolah ini kemudian menggelar upacara penerimaan siswa baru yang dihadiri orang tua dan pengurus Sarekat Islam Semarang. Dua anak berusia 14 tahun tampil ke depan mengucapkan janji murid dan meminta dukungan orang tua. Para siswa yang bercelana merah kemudian melakukan defile sembari bernyanyi.

Penonton bertepuk tangan menyaksikan upacara ini. Banyak yang menitikkan air mata karena acara ini baru pertama kali dilakukan di lingkungan Sarekat Islam. "Mereka gembira, karena merasa bakal pahlawan," kata Tan. Siswa baru terus berdatangan, hingga terkumpul 200 orang. Puluhan orang juga melamar jadi guru.
Sekolah berjalan pagi. Sore harinya Tan Malaka mengadakan kursus untuk mencetak guru. Peserta kursus adalah murid kelas 5 dan guru yang ada untuk dididik menjadi guru berhaluan kerakyatan. Kabar berdirinya sekolah rakyat di Semarang segera menyebar ke sejumlah daerah. Beberapa kota besar di Jawa mengajukan tawaran mendirikan sekolah sejenis di daerahnya.
Bandung akhirnya menjadi daerah kedua yang mendirikan sekolah rakyat, setelah seorang kader Sarekat Islam mendermakan uangnya. Di Kota Kembang itu 300 siswa baru mendaftar.
Tahun-tahun berikutnya sekolah rakyat semakin banyak. Apalagi setelah alumni sekolah rakyat Semarang bertebaran di kota-kota besar Jawa. Menurut Tan, para murid, dengan celana merah dan lagu internasionalnya, laksana ahli peniup suling Kota Hermelin. 

Inilah dongeng yang mengisahkan seorang peniup suling yang mampu menyihir hewan dan anak-anak dengan serulingnya, sehingga mereka terus mengikuti sang peniup seruling.

Encyclopaedie van ned oostindie VI suplement menulis, sekolah rakyat model Tan Malaka ini lantas bermunculan. "Di antara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan
(Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan)" Ensiklopedia ini juga mencatat adanya kursus kilat membentuk propagandis yang aktif, yang kemudian menjadi kader organisasi.  


Sayang, Tan Malaka tidak menyaksikan kemajuan sekolah rakyat yang dibangunnya. Pada 2 Maret 1922, pemerintah kolonial Belanda menangkapnya di Bandung setelah terjadi
pemogokan buruh pelabuhan dan minyak. Para buruh tersebut tergabung dalam Vaksentral-Revolusioner, tempat Tan menjadi wakil ketua. Pencipta "sang peniup suling" ini pun dibuang ke Nederland. 



Pustaka : 

SENEMBAH MAATSCHAPPIJ 1889-1939, Augustus 1939, Directie Senembah Maatschappij Amsterdam.

Sari Sedjarah Serdang (Dengan Adat Istiadat Melaju Dan Teromba Seri Paduka Gotjah Pahlawan). Djilid I Sebelum Abad XX, 1971, Tengku Luckman Sinar SH. 

An Analysis Of Malaria In Pregnancy In Africa, B.J. Brabin, Bulletin Of World Health Organization, 61(6), 1005-1016 (1983).

Bibliografi Sejarah Kesehatan Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda, Mumuh Muhsin Z, Paramita Vol 22 No. 2 Juli 2012.