Setiap maskapai perkebunan besar di Sumatra Timur saat itu, memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan sendiri termasuk Senembah Maatschappij sejak masih dikelola Firma Naeher & Grob.
Pada awalnya tenaga kesehatan adalah juru rawat dan peracik obat dari India yang didatangkan melalui Penang dan secara perlahan digantikan oleh dokter Eropa. Tahun 1889 jumlah dokter Eropa di Deli sudah mencapai dua belas orang, mereka bertugas melayani 700 orang Eropa dan puluhan ribu kuli perkebunan.Senembah Maatschappij memiliki sarana pelayanan kesehatan berpusat di Tanjung Morawa yang dibangun tahun 1882 bernama Hospitaal Te Tandjong Morawa dikepalai oleh seorang dokter Jerman bernama dr. Hauser. Hospitaal Te Tandjong Morawa adalah pusat fasilitas kesehatan perusahaan yang memiliki fasilitas rumah sakit pembantu di di Soengei Bahasa, Patoembah, Goenoeng Rinteh (khusus pasien Kolera), dan di Boentoe Bedimbar (khusus pasien Beri-Beri). dr. Hauser digantikan dr. Löbell untuk selanjutnya diteruskan oleh dr. Voorthuis ; para dokter ini sangat berdedikasi ke perusahaan.
Dokter Wilhelm August Paul Schüffner.Dalam usaha menekan tingginya tingkat kematian pekerja, pada tahun 1903 perusahaan mendatangkan seorang dokter peneliti mikroskopik longitudinal pada parasit malaria. Dokter asal Jerman lulusan Universitas Leipzig tersebut bernama dr. WAP Schuffner diharapkan untuk melakukan penelitian agar dapat menanggulangi penyakit-penyakit yang mewabah di perkebunan.Dokter Wilhelm August Paul Schüffner (1867-1949) adalah seorang Jerman yang menyelesaikan pendidikannya sebagai spesialis bedah pada 1892 di Leipzig. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Schuffner bekerja sebagai assisten selama 5 tahun sampai keberangkatannya ke Deli pada tahun 1897 sebagai dokter di Senembah Maatschappij.dr. Schuffner memulai pekerjaannya dengan meneliti dan mencari tahu apa hubungan kesehatan yang buruk dengan keadaan wilayah setempat. Selanjutnya dengan dibantu dr. Maurer, dokter dari Deli Maatschappij dan dr A. Kuenen dokter dari Senembah Maatschappij, melakukan penelitian di Laboratorium Pathologi yang didirikan perusahaan di Tanjung Morawa pada 1907 dimana dr. Schuffner menjadi direkturnya.
Laboratorium yang dibiayai Deli Maatschappij, Senembah Maatschappij dan Medan Tabak memberikan kompensasi berupa kesediaan melayani perusahaan donatur dalam hal memberi petunjuk teknis bidang kesehatan.
Hasil penelitian yang dipublikasikan melalui Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (Jurnal Medis Hindia Belanda) ternyata mampu menarik perhatian para akademisi kesehatan tropis.
Dibawah pimpinan dr. Schuffner, Laboratorium Tandjong Morawa berhasil menemukan penyebab penyakit anemia, beriberi, dan malaria serta bagaimana cara mengatasinya. Hasil penelitiannya diterapkan bukan saja dalam lingkungan perkebunan tetapi juga didunia kedokteran.Seringnya pejabat Dinas Kesehatan Masyarakat dan pengawas dari Dinas Tenaga Kerja berkonsultasi dengan Schüffner berkaitan dengan penanggulangan penyakit tropis ; menyebabkan Schüffner sering bepergian ke pedalaman untuk memastikan apa yang terjadi. Kondisi ini akhirnya membuat pemerintah memberikan jabatan khusus bagi Schuffner dengan tetap membebaskannya bekerja di Tanjung Morawa berstatus sebagai pegawai pemerintah.
Pada tahun 1922 Schüffner mengakhiri pekerjaannya di Hindia Belanda. Sekembalinya ke Belanda, Schüffner diangkat menjadi Profesor di Tropical Hygiene di Universitas Amsterdam dan sebagai Direktur Tropical Hygiene di Koninklijk Koloniaal Instituut. Pada tahun 1928 Schüffner diangkat menjadi Ketua Komisi Malaria Liga Bangsabangsa di Jenewa.
Schüffner menerima penghargaan sebagai anggota Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Amsterdam; juga dari Duitse Academie van Wetenschappen di Leopoldina serta Medali Emas dari Hanseatic University of Hamburg serta masih banyak penghargaan yang lain.
Untuk mengisi waktu luangnya, Schüffner menyukai hobby berburu selain hobby berkendara. Schuffner adalah inisiator dan menjadi Ketua Deli Automobiel Club, klub mobil pertama di Sumatra Timur yang beranggotakan para Sultan, Bangsawan serta para Tuan Kebun.
Meskipun mempunyai kontribusi yang besar terhadap layanan kesehatan, warisan Schüffner bukannya tanpa kontroversi. Schüffner dan rekan-rekannya lebih menyukai pemberian sanksi hukuman dan menyatakan bahwa pendapatan dan kesehatan pekerja merupakan indikator penting keberhasilan perusahaan. Motivasi di balik pendekatan para dokter ini terkait dengan kepentingan ekonomi perusahaan, karena peningkatan kesehatan pekerja berarti peningkatan keuntungan. Pekerja yang lebih sehat dapat bertahan dengan jam kerja yang lebih lama, meskipun bekerja dalam kondisi yang seringkali tidak adil, termasuk karena takut akan hukuman.
Berkat karya dan pidato Schüffner Tropical Hygiene Koninklijk Koloniaal Instituut pada tahun 1934, leptospirosis diakui sebagai penyakit yang umum dan penting pada manusia dan hewan.
Banyak orang mengingat kebaikan dan kemurahan hati Schüffner ; yang sayangnya menjadi berubah ketika Jerman menduduki Belanda saat PD II. Keberpihakan Schüffner kepada rezim Nazi merontokkan segala penghormatan yang dimilikinya.
Ketika Jerman menginvasi Belanda pada tahun 1940 ia menjadi pendukung setia Nazi, sehingga ketika Belanda kembali berdaulat maka segala pengormatan kepadanya dicabut. Di Medan,sebelumnya ; sebagai penghormatan atas jasa Schüffner, pemerintah menjadikan namanya sebagai nama jalan dikawasan penduduk Eropa di Polonia. Saat semua penghormatan kepada Schuffner dicabut, nama jalan tersebut juga turut berubah dari Schüffnerlaan menjadi Kuenenlaan (nama koleganya di Tanjung Morawa) ; dan saat ini jalan tersebut dikenal sebagai Jalan KH Ahmad Dahlan, Medan.Dokter Wilhelm August Paul Schüffner meninggal dunia pada tahun 1949, meninggalkan warisan signifikan terhadap pengobatan tropis dan kesehatan masyarakat.
Gerhard Lumban Tobing
Gerhard Lumban Tobing adalah putra dari Raja Aristarchus Lumban Tobing ; anak kedua dari Raja Pontas Lumban Tobing (1835—1900), Raja Huta dan dan Raja Paidua (Wakil Jaihutan) di Pearaja, Tarutung. Raja Pontas Lumban Tobing dengan nama baptis Obaja Lumbantobing adalah pengikut Ludwig Ingwer Nommensen yang dibaptis pada tanggal 27 Agustus 1865. Pemikiran yang maju dan kedekatan dengan para misionaris Eropa membuat anak-cucu Raja Pontas maju dalam pendidikan dan pekerjaan.
Tahun 1902 Raja Aristarchus meninggal dunia saat baru dua tahun menggantikan Raja Pontas, dan digantikan abangnya, Raja Herman. Tahun 1905, Raja Herman menyusul meninggal dunia, sehingga posisinya sebagai Raja Huta dan Raja Paidua digantikan putra pertamanya, Raja Gajus ‘Kesar’ Lumban Tobing.
Raja Gajus inilah yang memberikan tanah kepada Pendeta Metzier dan Ydens di Sigompulon untuk mendirikan Hollands Bataksche School yang pertama ditanah Batak bagian utara. Sesudah Indonesia merdeka, lokasi dan bangunan sekolah itu menjadi sekolah negeri.
Salah satu putra dari Raja Aristarchus Lumban Tobing adalah Raja Gerhard Mangidotua Lumban Tobing yang dilahirkan pada 30 Juni 1902 di Pearaja ; Raja Gerhard Mangidotua Lumban Tobing lebih dikenal sebagai dr. Gerhard Lumban Tobing seperti yang disematkan sebagai nama rumah sakit umum milik PT Perkebunan I Regional 1 di Tanjung Morawa.
dr. Gerhard Lumban Tobing menjalani pendidikannya di Hollands Bataksche School, Sigompulon (1911-1917), Europesche Lagere School, Jakarta (1917-1918) dan selanjutnya menyelesaikan pendidikan dokter pribumi di STOVIA School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (1918-1928) di Jakarta.
Setelah menyelesaikan pendidikan kedokterannya, dr. Gerhard Lumban Tobing diangkat sebagai sebagai dokter pemerintah dan pertamakali ditempatkan di Semarang (1928-1929). Kemudian mendapatkan promosi menjadi pimpinan di RS Amuntai, Kalimantan Selatan (1929-1933).
Tahun 1935-1937 ; dr. Gerhard Lumban Tobing kembali ditempatkan di Semarang dan selanjutnya menjadi pimpinan di RS Mardi Dojo di Magetan (1929-1933) sebelum melengkapi penyetaraan gelar dan mendapatkan brevet spesialis bedah di Leiden (1937-1939).
Sekembalinya dari Leiden, dr. Gerhard Lumban Tobing ditempatkan sebagai pimpinan RS Bengkalis (1939-1945) dan pimpinan RS Siak Sri Indrapura di Riau (1945).
Dimasa revolusi kemerdekaan, dr. Gerhard Lumban Tobing bekerja sebagai pimpinan di RS Katarina, Kisaran. Arus gejolak revolusi membawa dr. Gerhard Lumban Tobing ikut berjuang sebagai Kapten di TRI Angkatan Laut dan Majoor di TRI Angkatan Darat.
Dalam suatu kontak senjata antara TRI dan pasukan Belanda di daerah Rambutan dekat Kota Tebing Tinggi pada 29 Juli 1947, dr. Gerhard Lumban Tobing tewas tertembak dan jenazahnya dibawa ke Hospitaal Te Tandjong Morawa. Jenazah dr. Gerhard Lumban Tobing dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Tarutung.
Major dr. Gerhard Lumban Tobing meninggal dunia diusia 45 tahun, meninggalkan seorang istri Hermina Simorangkir (L.1911) dan empat orang anak Radja Apoel P. Loemban Tobing (L.1931), Minar Loemban Tobing Rony (L.1932), Demak Loemban Tobing Mark (L.1943) dan Bistok P Loemban Tobing (L.1947).
Berdasarkan keputusan Direktur Utama PN Perkebunan II Kolonel MD. Nasution pada tahun 1969, yang dituangkan dalam keputusan No : II.0/KPTS/3/1969, Rumah Sakit PNP-II Tanjung Morawa ditetapkan namanya menjadi Rumah Sakit dr. Gerhard Lumban Tobing PNP II Tanjung Morawa.
------------------------------------------------------