Wednesday, November 6, 2024

Bekala Dari Masa ke Masa ...

Sejarah panjang Bekala dimulai dari eksploitasi yang dilakukan dua orang planters Belanda bernama Romer dan Krol.

Pada mulanya ; Romer dan Krol mendapatkan hak konsesi dari Sultan Deli untuk sebidang tanah seluas 4.240 Bahu (2.968 Ha) yang dikenal dengan nama ‘Sipoet’ di Urung Sepuluh Dua Kuta pada 27 Agustus 1875. Nama ‘Sipoet’ sendiri berasal dari nama suatu kampung ditepian Sungai Bekala yang merupakan translasi dari nama lokal Lau Cih (‘Lau’ berarti ‘sungai’ dan ‘Cih’ berarti ‘siput’/Karo), lihat ; peta KITLV Kaart van het Rijk Deli 1876 / terlampir.

Romer dan Krol secara bersama mendirikan kebun ‘Sipoet’ dengan mempekerjakan 536 tenaga kerja tetap untuk membudidayakan tembakau, di areal yang terletak diantara Sungai Bekala dengan Sungai Babura tersebut. Usaha mereka berjalan dengan baik dan pada tahun 1877 mereka berhasil melakukan panen perdana dan mengirimkan hasil produksinya ke Amsterdam.

Tidak didapat informasi apa penyebabnya, tetapi pada tahun 1880 kebun ‘Sipoet’ beralih kepemilikan dari Romer dan Krol saat diakuisisi ‘Deli Maatschappij’ dan berubah namanya menjadi ‘Bekalla’.

Dibawah operasional Deli Maatschappij, konsesi Bekala bertambah luas dengan digabungkannya konsesi ‘Gambir’ seluas 2.387 Bahu (1.618 Ha) pada tahun 1882, konsesi ‘Loening’ seluas 2.387 Bahu (1.671 Ha) pada tahun 1882 dan konsesi konsesi ‘Oedjoeng Deleng’ seluas 1.957 Bahu (1.370 Ha) pada tahun 1890.

Selain itu, masih ditambah dengan konsesi ‘Saint Cyr’ seluas 2.400 Bahu (1.680 Ha), konsesi ‘Boven Bekalla’ seluas 2.864 Bahu (2.005 Ha) dan konsesi ‘Arnhemia’ seluas 2.836 Bahu (1.985 Ha) sehingga secara keseluruhan manajemen ‘Bekalla’ mempunyai luas 16.345 Bahu (11.442 Ha). Sumber : NV Deli Maatschappij Gedenkschrift Bij Gelegenheid Van Het Zestigjarig Bestaan Aansluitende Bij Het Gedenkboek Van 1 November 1919, Amsterdam, p 21. Yang mana apabila dilihat di peta saat ini, konsesi tersebut memanjang mulai dari Kuala Bekala sampai ke Bandar Baru (KM 13 – KM 50 Berastagi).

Setelah akuisisi dan luasannya bertambah, tanaman yang dibudidayakan pun menjadi bervariasi. Selain Tembakau sebagai budidaya utama ; ‘Bekalla’ juga membudidayakan Sisal (Agave Sisalana), Kopi, dan Padi yang berasnya mampu mencukupi 30 persen kebutuhan perusahaan. ‘Bekalla’ pernah mencoba budidaya Kina (Cinchona) namun gagal dan dihentikan pada tahun 1883.

Kebun Bekala dianugerahi tanah dasitik gembur yang mudah ditanami. Jenis tanah ini menghasilkan tembakau Sumatera berkualifikasi ‘bull eye speckled’, yang sangat digemari Amerika Serikat terutama pengguna tembakau pipa. Profil tanahnya juga memberikan produktifitas dan harga lelang tinggi, sehingga secara bisnis sangat menguntungkan.

Georg Meissner.

Georg Meissner ; adalah seorang planters yang mengisi waktu senggangnya dengan tekun mengamati kehidupan alam lingkungan sekitarnya, dimulai dengan mengkoleksi herbarium flora dan fauna yang berkaitan dengan profesinya sebagai planters. Antusiasmenya membesar ketika menyadari banyak area sekitar kebunnya yang belum terpetakan, ditambah adanya mitos mistis tentang danau besar yang menimbulkan tantangan tersendiri baginya. Dengan perkataan lain Meissner selain sebagai planters juga menjalani kehidupan sebagai seorang Biologycal sekaligus Geographical Enthusiast.

Georg Meissner
NMVW Coll  1880 Pasangan Brouwer Ancher (Administrateur) dan Pasangan Georg Meissner di rumah dinas Administrateur
NMVW Coll  1880 Pasangan Brouwer Ancher (Administrateur) dan Pasangan Georg Meissner di rumah dinas Administrateur
Meissner seorang Saxon Belanda bisa sampai ke Deli diperkirakan karena tergiur berbagai cerita tentang keberhasilan finansiil perantau Belanda sebagai planters di Deli.

Karirnya sebagai Deli planters dimulai bersamaan dengan akuisisi Deli Maaschappij terhadap kebun ‘Sipoet’ ditahun 1880, dengan menapaki karier sebagai assisten dan kemudian sebagai Administrateur (1884-1898).

KITLV 1910 Administrateur Bekalla beserta staf didepan rumah dinas Administrateur.
KITLV 1905 Budidaya Tembakau di Areal Bekala dengan para pekerja.
GR Lambert 1885 Budidaya Kopi di Areal Bekala dengan para pekerja.
GR Lambert 1883 Assisten dan mandor Bekala dengan latar belakang Budidaya Sisal.
CJ Kleingrothe, 1905 Fasilitas perumahan para pekerja.
Antusiasme yang bermula dari mengumpulkan kumbang tropis berkembang saat seorang pekerja rumah tangganya yang berasal dari penduduk asli mengenalkan bahasa dan adat istiadat Karo kepadanya. Pengetahuan tentang bahasa dan adat istiadat inilah yang menjadi modal awal Meissner mengeksplorasi dataran tinggi Karo.

Kegiatan waktu luang tersebut ternyata menghasilkan karya besar, yaitu peta Noord Sumatra termasuk Tanah Karo yang disebut dengan Batak Landen lengkap dengan catatan, sketsa, dan koleksi arkeologis yang sangat berharga.

Peta Noord Sumatra ini dilengkapi keterangan terperinci termasuk jalur menuju Kampong Sibraja (Siberaya), desa utama Oeroeng Soekapiring sebagai tujuan akhir perjalanan. Siberaya saat itu merupakan tempat terbaik untuk melihat Danau Toba yang keberadaannya masih dianggap misterius dan diselimuti mitos berbau mistis.

Pada perjalanan pertamanya (Desember 1883), Meissner mengelilingi semenanjung Sipalangit di sisi utara Danau Toba. Hasil perjalanannya itu kemudian digambarkan dalam bentuk peta manuskrip diberi judul Deli und Battakländer dalam skala 1:200.000.

Sebagai peta pertama dataran tinggi Karo dan Danau Toba ; manuskrip ini juga menjadi bahan untuk Stemfoort dan Ten Siethoff dalam membuat Atlas Dataran Tinggi Karo (1883-1885), demikian juga dengan Biro Topografi di Batavia dalam menyusun Peta Sketsa Danau Toba pada tahun 1898 ; tentu saja ini merupakan prestasi yang luar biasa bagi seorang Deli planters.

Masa Pendudukan Jepang.

Berdasar data yang ada ; Bekalla berjalan normal sampai dengan menjelang pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Meletusnya Perang Dunia II di Eropa berimbas ke Belanda yang akhirnya mempengaruhi suasana ekonomi bisnis di Hindia Belanda.

Jepang menyerbu Sumatera Utara pada tanggal 12 Maret 1942, dan pada tanggal 29 Maret 1942 panglima pasukan Belanda di Sumatra Utara menyerah di Kutacane. Orang-orang sipil Belanda dan Sekutu ditahan, kecuali Administrateur perkebunan yang dipertahankan sampai akhir tahun 1943.

Semasa pendudukan Jepang perkebunan milik Belanda dan Sekutu dikelola oleh Noyen Renggo Kai, yang didirikan tahun 1942 oleh kelompok perusahaan Jepang. Noyen Renggo Kai berkantor pusat di Medan dilengkapi staf Jepang yang dibantu oleh penasihat Belanda. Menjelang akhir tahun 1942, Noyen Renggo Kai digantikan Shoman Gomu Kumiai berkantor pusat di Singapura, dan para penasihat Belanda digantikan para manajer Jepang.

Selama masa pendudukan produksi menurun drastis sementara ekspor berhenti karena berkurangnya pasar serta peningkatan kegiatan kapal selam yang mengganggu pelayaran. Perang juga berdampak kelangkaan pangan bagi masyarakat maupun untuk kebutuhan militer.

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan akhirnya penguasa militer Jepang membuat kebijaksanaan melepaskan 160.000 Hektar tanah perkebunan untuk diganti dengan tanaman pangan.

Usaha intensif dipusatkan pada perkebunan tembakau di Langkat, Deli, dan Serdang, termasuk Bekalla ; karena daerah-daerah ini memiliki tanah terbaik di Sumatra Timur. Selain itu faktor kepadatan penduduk yang tinggi di ketiga kesultanan ini serta dampak kelangkaan pangannya lebih terasa dibanding daerah lain di Sumatra Timur.

Sejumlah besar perkebunan tembakau paling produktif terutama yang berada disekitar jalan utama dan disekitar kota dikuasai buruh dan masyarakat dengan persetujuan Jepang. Para penggarap menjadikan tanah itu persawahan dengan merusak drainage serta kanalisasi luas yang mahal milik perkebunan. Penguasa militer Jepang memberikan hak seluas 0,6 Hektar kepada setiap penggarap terdaftar dengan perjanjian pinjam tanah yang berlaku selama dua tahun.

Untuk perkebunan dengan komoditi tanaman keras, kondisinya berbeda dikarenakan proses land clearing membutuhkan biaya besar serta populasi penduduknya juga sangat terbatas karena mobilisasi kebutuhan militer Jepang.

Kondisi tahun 1946 dan paruh pertama tahun 1947 saat Belanda berusaha kembali memegang kembali kendali, para Administrateur dan perangkatnya telah bebas dari tahanan Jepang. Tetapi walaupun sudah bebas, para planters tersebut belum bisa kembali ke kebun karena Kota Medan dalam kepungan laskar Republik.

Situasi stagnan tersebut menggerakkan Belanda melakukan offensive pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melakukan gerakan militer terhadap Republik, dimana pasukan lapis baja bersenjata lengkap maju ke garis terdepan untuk mengembalikan daerah perkebunan Sumatra Timur kembali kekuasaan mereka. Setelah berhasil diduduki, pejabat militer mengizinkan pengusaha perkebunan kembali ke perkebunan mereka. Akan tetapi selama untuk waktu yang lama para Administrateur terpaksa memelihara ‘pasukan pengawal’ untuk mencegah aksi ‘hit and run’ dari laskar republik.

NMVW Coll 1880 Administrateur Bekalla Brouwer Ancher beserta istri, Sais Amat dan Kuda Risco

NMVW Coll  1910 Bekalla No 27, moda transportasi Kereta Lembu dengan saisnya

Para pengusaha onderneming segera menyadari bahwa Sumatra Timur telah mengalami perubahan yang penting selama lima tahun penguasaan Jepang dan republik. Tata sosial yang lama telah hancur dan kekuatan para pengusaha onderneming telah sangat melemah, pekerja perkebunan serta juga penduduk di luar perkebunan-perkebunan telah diorganisasikan ke dalam serikat buruh, organisasi tani, dan partai politik, semua siap untuk menantang hak para pengusaha onderneming itu.

Masa Nasionalisasi.

Pada saat perkebunan tembakau dinasionalisasi sesuai UU No.86 Tahun 1958, ‘Bekalla’ berubah kepemilikan dari ‘Deli Maatschappij’ ke PPN Baru. Hal ini tidak berjalan lama, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 144 tahun 1961, PPN Baru Tandjong Morawa berubah menjadi PPN Kesatuan Sumut II.

Peraturan ini selain merubah kepemilikan juga merubah assets dari perusahaan, dimana sebelumnya PPN Baru Tandjong Morawa hanya terdiri dari 5 Kebun (Batang Kwis, Kwala Namoe, Pagar Marbau, Patoembah, Tanjong Morawa) berubah menjadi PPN Kesatuan Sumut II yang terdiri dari 13 Kebun ( Bekalla, Batang Serangan, Tandjong Keliling, Sawit Seberang, Bukit Melintang, Basilam, Bukit Lambasa, Bukit Lawang, Gohor Lama, Glugur Langkat, Marijke, Pabrik Peti Teh ‘Langkat’).

Pada tahun 1968 terjadi perubahan organisasi melalui PP No.13 tanggal 27 Maret 1968 ; PPN Karet II menjadi Perusahaan Negara Perkebunan II dan pada 1 April 1974 berubah lagi menjadi PT. Perkebunan II (Persero).

Pada tanggal 11 Maret 1996 PT Perkebunan II (Persero) dan PT Perkebunan IX (Persero) dilebur dan digabungkan menjadi PT Perkebunan Nusantara II dengan kantor pusat di Tanjung Morawa.

Yang menarik dari bagian ini adalah jika dilihat secara kronologis, kedua perusahaan yang terafiliasi (Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij) akhirnya menjadi satu. Jika dulunya Deli Maatschappiij bersifat sebagai induk maka sejak penggabungan beralih kepada ex Senembah Maatschappij dengan kantor pusat di Tanjung Morawa.

Pada 28 November 2023, para pemegang saham berdasarkan Akta Notaris menyatakan bahwa per tanggal 1 Desember 2023, PTPN II, PTPN VII, PTPN VIII,PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII dan PTPN XIV menggabungkan diri kepada PT Perkebunan Nusantara I ; dan untuk selanjutnya PT Perkebunan Nusantara II disebut dengan PT Perkebunan Nusantara I Region 1.

Khusus untuk ‘Bekalla’ ; dengan tujuan transformasi bisnis serta Sinergi BUMN pada 20 Desember 2012 didirikan PT Nusa Dua Bekala (PT NDB).

PT Nusa Dua Bekala (PT NDB) didirikan untuk penguasaaan asset lahan PT Perkebunan Nusantara II, dengan struktur kepemilikan saham PTPN II sebesar 99 % dan Perum Perumnas 1 %. Kemudian sebagai alat kelengkapannya dibentuk PT Propernas Nusa Dua (PT PND) yang bertugas sebagai perusahaan Properti pengelola asset lahan dari PT. NDB, dengan komposisi kepemilikan saham Perum Perumnas 51 % dan PTPN II 49 %.

Kerjasama tersebut dibentuk untuk mengelola asset seluas sebesar 854,26 Hektar berlokasi di Desa Simalingkar A, kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang.

Properti bagi Bekala bukanlah hal yang baru ; tahun 1983 untuk Proyek Perumnas yang saat ini dikenal dengan nama Perumnas Simalingkar, sebelumnya adalah bagian dari Konsesi Kebun Bekala. Saat itu ; PTP II Tanjung Morawa membebaskan asset tanah dan tanaman karet seluas 147 Ha untuk menjadi 7.350 unit rumah tipe 15,21,36,45,54,70 serta berbagai fasilitas penunjangnya.

G.R. Lambert 1885 Fermenteerschuur Bekalla.
Demikianlah, Bekala mempertahankan eksistensinya dari masa ke masa dan zaman ke zaman dengan bertransformasi tiada henti.

--------------------------------------------------