Friday, September 12, 2008

SEJARAH PERTANIAN PERKEBUNAN


Sejarah Pertanian dan Ekonomi Pertanian di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kebangsaan, dikarenakan penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia adalah sangat erat kaitannya dengan sumber daya alam terutama pertanian. Selain daripada fungsi eksploitasi penjajah juga memperkenalkan teknologi pertanian, system pemasaran, akuntansi, hokum agrarian, dsb.

Untuk dapat melihat factor persamaan

1. Masa VOC.

Pada awalnya para pedagang Belanda melaksanakan perdagangan hasil pertanian (rempah-rempah) melalui pedagang perantara dengan pemusatan perdagangan di Malaka, hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1511 saat Portugis menguasai Malaka. Setelah Portugis menguasai Malaka, pihak Belanda merasa berbagai kesulitan dikarenakan sifat monopolistis yang diterapkannya.
Desakan akan pemenuhan kebutuhan pada akhirnya membawa para pedagang Belanda untuk mencari daerah asal dari komoditi yang diperdagangkan tersebut, yang akhirnya membawa Cornelis De Houtman (CDH) sampai di Banten pada 1596 dalam rangka ekspedisi ke Maluku, dimana Didalam kunjungannya ini CDH berhasil membina hubungan yang baik dengan Sultan Banten.
Keberhasilan ekspedisi ke Maluku dan konsesi yang diberikan Sultan Banten untuk mendirikan Loji di Sunda Kelapa , akhirnya memberikan ide bagi para pedagang Belanda untuk membentuk suatu persekutuan dagang dengan enam pesaham (6 Propinsi di Belanda pada waktu itu) pada tanggal 20 Maret 1602 yang dikenal dengan nama Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) dan menjadi perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Hindia Timur. Perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham dalam sejarah ekonomi perdagangan.
Sebenarnya VOC hanyalah sebuah perusahaan dagang, tetapi menjadi istimewa karena didukung secara penuh oleh Kerajaan Belanda dan diberi fasilitas-fasilitas istimewa ; a.l. VOC berhak memiliki tentara dan berhak bernegosiasi dengan penguasa-penguasa local sehingga VOC bertidak sebagai perpanjangan tangan Kerajaan Belanda, dengan perkataan lain VOC adalah negara dalam negara ; puncaknya adalah keberhasilan VOC menguasai Malaka tahun 1641 yang berarti mengontrol perdagangan baik rempah-rempah maupun komoditas lain di asia timur.
Didalam perjalanannya, pada 1669 VOC tercatat sebagai perusahaan pribadi terkaya yang pernah ada di dunia, dengan assets lebih dari 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja, angkatan bersenjata pribadi berkekuatan 10.000 tentara, dan kemampuan membayar dividen sebesar 40 %.
Didalam menjalankan aktifitasnya VOC sering terlibat konflik dengan fihak Inggris dan mencapai puncak pada 1623 yaitu terjadinya peristiwa Pembantaian Amboyna. Konflik politik di Eropa mengakibatkan krisis financial yang parah bagi VOC, dan setelah peperangan keempat antara Provinsi Bersatu dan Inggris (1780-1784) Belanda diinvasi oleh tentara Napoleon Bonaparte dari Perancis dan akhirnya VOC resmi dibubarkan pada 17 Maret 1798.

Politik Pertanian di era VOC masih menimbulkan perdebatan, menurut Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, politik yang diterapkan sebenarnya adalah politik merkantilis murni yaitu dagang, pasar, dan tenaga kerja yang murah walaupun di akhir abad 16 s.d. akhir abad 17 Merkantilisme yang timbul juga ada pertaniannya ; ekspor gandum dan hasil-hasil pertanian yang sebanyak-banyaknya untuk dapat menghasilkan emas dan proses tukar-menukar juga dinilai dengan emas. Sehingga itulah dimulai adanya perdagangan yang meluas. Di Eropah mulai merkantilisme itu ternyata perdagangan perlu memperluas daerah produksi dan daerah pasaran. Nah disitu mulai timbul semacam ekspansi dari negara-negara Eropah ke negara-negara Asia
; sedangkan menurut …… masih ada politisasinya ; hal itu dikarenakan didalam menjalankan praktek dagangnya VOC bekerja sama dengan kaum elite politik local dalam mengusahakan ketersediaan komoditas yang akan dibeli.
Sebelum tahun 1800 pekerjaan dilakukan untuk dikonsumsi sendiri dan umumnya dilakukan dalam jalinan ikatan perhambaan untuk kepentingan komunitas sendiri. Kelebihan produksi atas konsumsi sendiri menjadi upeti untuk lapisan elit lokal. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa kerja yang dilaksanakan tidak mendapatkan upah ; model eknomi pertanian yang ada adalah pertama adalah pancen (pantjendienst) atau kriegandienst yaitu kerja wajib untuk lapisan elit setempat kedua kerja karena terlibat hutang yang mesti dilunasi dengan kerja mengabdi pada si pemberi hutang, dan ketiga adalah bentuk perbudakan, yang banyak diserap oleh VOC dengan menggunakan institusi-institusi yang ada dalam pengerahan dan penyerahan tenaga kerja oleh para kepala "feodal" yang dilakukan tanpa upah.

2. Masa Raffles.

Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (26 Juli 1781 - 5 Juli 1826), menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun tahun 1811 s.d. 1816, setelah sebelumnya menjadi Letnan Gubernur Jawa dan Gubernur Sumatera. Hal ini terjadi dikarenakan Belanda sedang diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis. Mengingat kondisi tersebut dan factor masih kuatnya kedudukan Inggris di Semenanjung Malaya (Persetujuan …. Tahun 1788) maka Belanda menyerahkan Hindia Belanda dibawah pengawasan Inggris yang selanjutnya menugaskan Raffles.
Kepeminpinannya sangat monumental, dikarenakan Raffles melaksanakan reformasi disegala bidang ; a.l. registrasi kadestral yaitu pencatatan pemilikan tanah, luas tanah, dengan tujuan untuk bisa menarik pajak dari petani.


Sejak itu ada semacam agrarian policy dalam artian yang luas karena kemudian Van den Bosch, Gubernur Belanda yang menggantikan Sir Stamford Raffles dikatakan itu bisa memaksakan sistem tanam paksa. Sejak tahun 1830-1970 karena sudah ada pencatatan luas tanah karena kalau tidak ada pencatatan susah memaksakan luas tanah petani (1/3 bagian …) harus ditanami tanaman tertentu entah kopi, coklat, dan tanaman lainnya. Jadi itulah kemungkinan yang ada pada Sir Stamford Raffles dan kemudian dimanfaatkan oleh Van den Bosch.


Masa Inggris.

Keberadaan Inggris di Indonesia adalah masih suatu hal yang dapat diperdebatkan. Keberadaan


Berikutnya sebenarnya timbul gejala, oleh Ekonom kaum Physiocrat itu tidak dianggap sebagai mazhab di bidang ekonomi, Quernay (seorang Perancis). Dari akhir abad ke-16 s/d akhir abad 17 Merkantilisme yang timbul yaitu juga ada pertaniannya. Tapi ekspor gandum dan hasil-hasil pertanian yang sebanyak-banyaknya untuk dapat menghasilkan emas. Tukar-menukar yang dapat dinilai dengan emas. Sehingga itulah dimulai adanya perdagangan yang meluas. Di Eropah mulai merkantilisme itu ternyata perdagangan perlu memperluas daerah produksi dan daerah pasaran. Nah disitu mulai timbul semacam ekspansi dari negara-negara Eropah ke negara-negara Asia. Amerika saya tidak bicarakan karena ekspansi Eropa ke Amerika sudah terjadi pada abad ke 15. Abad 17-18 itu betul-betul terjadi ekspansi besar-besaran ke India, Srilangka sampai ke Indonesia. Ada orang Belanda juga di Pulau Desima di Jepang, itu lebih bercorak agamawi daripada ekonomi. Seperti kita ketahui pada abad ke-17 memasuki abad ke-18 kapitalisme mulai tumbuh dan menyebar di Eropah dan Asia juga. Sebenarnya ada juga orang-orang/ilmuwan yang menarik kesimpulan bahwa sebenarnya sejak merkantilisme itulah timbul manajemen dan tata buku (bookcliping). Mulai dari pemikiran atau spiritnya merkantilisme mulai menghitung pengeluaran dan pemasukan. Nah itu katanya akar-akarnya pembukuan bisa ditelusuri kembali sampai ke merkantilisme tersebut. Mengenai perluasan ekspansi ke negara-negara lain dapat dibaca dalam bukunya Emmanuel Wallerstein, bagaimana ekspansi negara-negara kapitalis ke Asia merupakan ciri ekonomi kapitalis. Kemarin (2 minggu yang lalu) memang kita bicara etika bisnis, disitulah kelihatan bagaimana keserakahan baik manusia pribadi maupun dari negara-negara itu memang mencirikan pertumbuhan ekonomi atau perluasan ekonomi. Malah ada pertanyaan: kalau ada usaha kecil mencaplok usaha kecil lainnya… dan kemudian menjadi besar, apakah itu ethis ?. Katanya itukan sah-sah saja, kemajuan diukur bagaimana perusahaan bisa mencaplok perusahaan lain. Keberhasilan diukur demikian. Lalu ada pertanyaan sampai dimana keserakahan seperti itu harus kita hentikan ? Nah itu pertanyaannya pada Pak Muby barangkali, dimana kita harus berhenti supaya keadilan itu tetap terjamin ? Ekspansi tersebut kecuali mencari rempah-rempah, Sumber Daya Alam (SDA), juga mencari tenaga kerja yang murah dan tentu saja juga mencari pasaran yang luas. Jadi 3 faktor itu dipentingkan dalam ekspansi sistem kapitalis tersebut, ada sepenuhnya keserakahan yang tercakup didalamnya. Tetapi sebenarnya belum ada betul-betul satu politik agraria itu yang kami rasa di awal abad ke-19 di Indonesia waktu Stamford Raffles datang sebagai gubernur. Kita tahu saat itu Belanda dikuasai Napoleon. Jadi mereka tidak bisa bicara banyak menghubungi Indonesia juga susah tapi Inggris yang berperang dengan Napoleon masih memiliki kekuatan militer dan angkatan laut yang cukup kuat dan besar itu berusaha mempertahankan jalur perdagangannya. Antara India dan jalur Timur Tiongkok, oleh karena itu Indonesia dan Singapura menjadi jalur lewat. Itu sebabnya mengapa Sir Stamford Raffles diminta Belanda yang dijajah Napoleon untuk turut mengawasi koloni Hindia Belanda, waktu itu sudah lepas dari VOC (perusahaan dagang Belanda). Waktu itu sebenarnya belum ada politik pertanian atau agrarian policy yang dirumuskan oleh VOC. VOC itu merupakan organisasi dagang tipikal merkantilistis, jadi dagang yang penting, pasar, dan tenaga kerja yang murah. Tetapi tidak ada policy, itu sebenarnya baru mulai menurut kami dengan Sir Stamford Raffles pada tahun 1811 s/d 1816 dan Sir Stamford Raffles yang mengadakan registrasi kadestral yaitu pencatatan pemilikan tanah, luas tanah, ditangan siapa. Sebenarnya tujuannya adalah untuk bisa lambat laun memajak si petani terutama di Jawa. Saya kalau bilang Indonesia barangkali salah karena diluar Jawa belum pernah ada registrasi kadasteral. Jadi Sir Stamford Raffles boleh dikatakan mengacu pada teorinya David Ricardo. Ini cetakannya agak salah disebutkan tahun 1972 seharusnya 1772-1823. David Ricardo the rent of land yaitu pajak tanah yang penting disana dan Sir Stamford Raffles sebagai orang yang liberal juga mulai mengadakan Registrasi Kadestral di India dan kemudian di Indonesia, terutama di Jawa. Sejak itu ada semacam agrarian policy dalam artian yang luas karena kemudian Van den Bosch, Gubernur Belanda yang menggantikan Sir Stamford Raffles dikatakan itu bisa memaksakan sistem tanam paksa. Sejak tahun 1830-1970 karena sudah ada pencatatan luas tanah karena kalau tidak ada pencatatan susah memaksakan luas tanah petani (1/3 bagian …) harus ditanami tanaman tertentu entah kopi, coklat, dan tanaman lainnya. Jadi itulah kemungkinan yang ada pada Sir Stamford Raffles dan kemudian dimanfaatkan oleh Van den Bosch. Saya sedikit menyebut juga Robert Malthus itu yang masalah penduduk dan satu lagi pengalaman di Inggris yang dulu betul-betul mengalami kepemilikan tanah yang luas dikuasai oleh landlord dan itu sistemnya tentunya landlord agak feodal. Itu sistem manorial (manorial system), manor-manor itu adalah penguasaan tanah yang luas dan penduduk di dalam manor itu tergantung sekali dari landlord tersebut (penguasaan tanah). Itulah sebenarnya tidak terlalu banyak ditemukan oleh Sir Stamford Raffles. Kemungkinan di DIY dan Solo pendeknya di eks kerajaan Mataram itu masih ada tapi pada umumnya mungkin desa perdikan itu sudah mulai luntur dalam perjalanan abad ke-19. Itu semacam penjelasan saja. Jadi kebijaksanaan agraria kami sebut supaya rangkuman makro itu tidak terlupakan. Itu sebenarnya baru mulai betul-betul pada tahun 1870, sebelumnya kan ada tanam paksa yang didasarkan atas registrasi kadastral Sir Stamford Raffles. Tahun 1870 ada UU Agraria pertama Disitu mulai terasa liberalisasi karena pemerintah kolonial Hindia Belanda itu berdasarkan UU itu bisa menyewakan tanah yang cukup luas ratusan atau mungkin ribuan ha. Juga kepada perusahaan-perusahaan asing terutama Belanda tapi juga ada Inggris sedikit Amerika, Belgia juga ada, Perancis juga ada. Menyewakan untuk beberapa tahun (70 tahun - 80 tahun) tanah negara dan itulah sejarahnya. Sebenarnya registrasi kadasteral dilaksanakan di Jawa tidak ada diluar Jawa, itu pernyataan domain hak dan milik tanah negara lahirnya disitu. Sebab tidak ketahuan diluar Jawa siapa yang menguasai luas tanah. Akhirnya diperlakukan seperti itu tanah negara. Nah sekarang kita mengalami sedikit banyak kericuhan karena hukum adat itu. Walau pun dikatakan dalam UU pokok agraria tanah ulayat harus dihormati sama derajatnya tetapi dalam praktek tidak dianggap karena tidak ada pembuktian mengenai kepemilikan, entah bukti sertifikat, petuk, tepikir, semacam itu. Lalu itu semacam tanah negara. Nah sekarang setelah reformasi mulai bermunculan suku-suku bangsa yang mempunyai dan masih merasa mempunyai hukum adat bahwasanya itu tanah adat bukan tanah negara tapi sudah terlanjur 70% tanah Indonesia daratan ini di klaim oleh Dephut. Nah sekarang ributnya bukan saja DepTan yang kebagian jauh lebih sedikit tapi juga Dirjen Perkebunan itu mengeluh karena susah mendapat perluasan tanah untuk perkebunan. Itulah ceritera tahun 1870. Nah kesadaran perlu adanya kebijaksanaan pertanian dalam artian yang lebih luas dan menurut saya pentingnya menolong lapisan bawah/lapisan miskin karena sudah banyak buruh tani dan petani kecil. Disitu lahirnya UU pokok agraria no.5/1960 karena pemerintah di bawah Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, dsb itu merasakan bahwa petani yang kecil, buruh tani, harus dibantu sebelum mereka bisa menjadi warganegara yang bisa turut berkembang dengan lapisan-lapisan lainnya. Waktu itu semua kita memang ada yang miskin ada yang kaya tetapi perbedaannya tidak sehebat seperti sekarang. Ada yang punya milliaran dollar ada yang mencari Rp.5000,- per hari saja susah. Stratifikasi kita sekarang sudah begitu gawat menurut saya. Karena boleh dikatakan setelah orde baru susah sekali sarjana sosiologi untuk mengisahkan, menulis, mengomentari mengenai stratifikasi sosial. Persepsi masyarakat kita egaliter ingin dipertahankan Saya mencoba juga tetapi hampir tidak pernah dimuat dikoran. Kecuali Pak. Kuntjaraningrat (Alm.) pernah menulis adanya buruh tani, kuli kenceng petani yang kaya, dsb. Tidak ada studi mendalam tentang stratifikasi sosial. Itu yang punya tanah lebih banyak tetapi pada umumnya kalau kita sudah berurusan dengan kota jarang-jarang ada yang ceritera mengenai stratifikasi. Sekarang malah sangat banyak disoroti lapisan miskin, lapisan menengah, lapisan yang di atas (konglomerat). Memang menjelang berakhirnya zaman orde baru itu lebih banyak orang mulai membahas kelas menengah dan katanya kalau mau lebih maju ekonominya kelas menengah itu harus diperkuat. Malah ada hitung-hitungan sekian persen harus kelas menengah dalam negara yang moderen. Tapi masalahnya sekarang menurut Pak Muby kelas menengah itu sebenarnya juga tidak terlalu berperan, malah kelas yang di bawah yang tetap menumbuhkan ekonomi Indonesia 3,3% dan harapannya kalau bisa lewat 5%, syuku alhamdunilah. Jadi demikianlah sebenarnya policy yang tumbuh setelah tahun 1945 memberikan harapan menurut saya tetapi setelah ada gejolak G 30 S PKI 1965 praktis lalu masalah aset tanah dan agrarian policy berhenti. Saya selalu mengatakan UU pokok agraria itu dipeti-es-kan. Jadi tidak ada landasan hukumnya untuk mengurus aset sebenarnya. Yang dipermasalahkan kemudian selama orde baru bukannya aset tanah yang bisa meratakan antar kelas, bisa memperoleh keadilan tapi yang ditekankan adalah produksi dan waktu itu memang tidak salah betul. Menurut saya ekonomi kekurangan pangan, berbagai gejolak politik yang tidak menentu pada tahun 1965/1966 itu memang demikian rupa sehingga kita bisa menerima juga kalau tekanan kebijaksanaan pada produksi. Tetapi produksi kemudian dengan revolusi hijau terlalu menekankan pada teknologi dari pada policy agraria makro. Saya kira kita semua tahu mengenai paket-paket Bimas yang diantarkan ke daerah pedesaan tetapi yang bisa akses ke teknologi tersebut justru bukan petani-petani yang gurem yang miskin jatuhnya pada petani sedang ke atas dan dalam hal ini Pak. Sajogyo saya kira pada tahun 1971 bersama dengan Dr. Collier... karangan-karangan bagaimana hasilnya dari revolusi hijau tersebut. Menurut saya memang revolusi hijau dilakukan terlalu menekankan teknologi tetapi melupakan struktur sosialnya. Sehingga karena itu yang miskin bertambah miskin yang kaya bisa akumulasi tanah, karena itu perbedaan kekayaan dan kemiskinan itu bisa makin melebar. Dikatakan secara singkat karena ini saya juga tidak mau melebihi waktu yang sudah dijatahkan. Sebenarnya sudah cukup banyak karangan-karangan mengenai pengalaman di Meksiko, India, Philipina itu karena tidak ada green policy yang berhasil akhirnya revolusi hijau mengakibatkan yang kaya bisa menjadi kaya dan yang miskin makin miskin. Kita dalam pelita PJP I itu juga menekankan pada produksi pangan dan ingin menuju ke industri dan saya kira Pak. Harto dulu sudah memperkirakan semestinya PJP I itu yang 25 tahun lamanya cukup untuk memantapkan pertanian sehingga bisa melangkah ke industrialisasi. Tetapi susahnya industrialisasi itu tidak didasarkan pada suatu theori yang klasik, yaitu: membangun industri berdasarkan surplus dari pertanian bukan lebih banyak dari pinjaman. Dari eksport SDA yang ekstraktif, seperti minyak, tambang, gas bumi, dari situ kita mencoba membangun industri. Sekarang kita terperosok yang bisa saya mengerti sekali: kecuali minyak sudah hampir akan habis justru pertanian yang tersisa. Justru yang miskin bisa bertahan karena pertanian itu, tetapi disini juga semacam warning. Syukur kita masih bisa bertahan begitu sehingga pertumbuhan ekonomi mencapai 3%. Saya kuatir juga kalau kita terlalu mengandalkan dari sumber daya alam (SDA) tak terbarukan bisa-bisa itupun terkuras. Yang terbaca dari koran-koran kecuali ekspor tanah ke Singapura, hutan-hutan itu ditebang dengan sangat rajin sehingga 1,6-2 juta ha per tahun habis hutan ditebang. Sekarang saja belum sampai bulan September kebakaran di Riau sudah mulai terasa sehingga asap menutupi sebagian kota Medan. Over -eksploitition SDA itu juga harus hati-hati dalam keadaan krisis karena merusak lingkungan. Kecuali itu bicara soal organisasi ekonomi selalu ditekankan sejak Alm. Muh. Hatta melancurkan idea koperasi. Sebenarnya sebelumnya Serikat Islam 1912-1916 itu sudah mulai dengan koperasi tetapi akhirnya dibuat suatu model ekonomi di dalam Negara Indonesia yang bersifat koperatif. Tetapi koperasi disitu banyak juga yang diserahkan kepada bukan manajer. Saya masih ingat ketika kembali dari luar negeri tahun 1963 rajin didirikan koperasi pertanian (koperta-koperta), tetapi banyak koperta yang dipimpin oleh lurah yang bukan enterpreneur, orang yang bisa mengendalikan usaha, sehingga koperta juga tenggelam. Tetapi koperasi dilanjutkan dan mungkin Pak. Siswono nanti dapat menceriterakan lebih banyak mengenai koperasi. Tetapi hasilnya juga belum berhasil sampai sekarang. Karena kesenjangan yang menguasai teknologi, yang menguasai modal, dsb. Itu sudah terlalu tinggi berbanding dengan lapisan yang di bawah. Lapisan bawah yang dimaksud dengan sektor informal itu sebenarnya. Susah mendefinisikan apa itu yang dimaksud dengan sektor informal. Tapi gampangnya sektor informal adalah sektor usaha yang tidak tercakup sistem ekonomi moderen. Jbarat radar memerlukan parabola yang bergerak tetapi tidak menangkap sektor informal, mungkin karena ketinggian parabolanya itu tidak tertangkap oleh sistem ekonomi modern. Artinya sektor informal tidak masuk dalam hukum, tidak masuk dalam pemasaran internasional, dsb. Kecuali melalui sistem perantara, preman-preman, dst. Lihat saja di kota Jakarta pun, kalau kaki lima mau digusur. Sebenarnya mereka juga membayar pajak dalam bentuk retribusi tapi bukan kepada negara, tetapi pada oknum polisi, oknum preman atau preman pada umumnya. Sehingga, mereka kalau mau digusur mereka merasa sudah membayar retribusi tetapi tidak pada negara tetapi perorangan. Jadi memang merupakan masalah di kota-kota besar yang tumbuh dengan cepat dan jumlahnya juga akan banyak.Itulah yang terjadi dengan lapisan kecil. Tadi sudah saya katakan mengenai revolusi hijau bahwa kecuali teknologi bisa dijangkau juga petani kecil yang menguasai hanya 0,2-0,5 Ha itu tidak bisa menanggung resiko banyak. Kalau bicara kembali mengenai kebijaksanaan saya rasa waktu menteri Almarhum Sudarsono itu menghadiri konfrensi dunia mengenai reforma agraria di Roma itu sudah menunjukkan beberapa kebijakan yang sehat. Tetapi sayangnya tidak pernah terwujud dalam sejarah republik ini, misalnya keswasembadaan: self sufficiency on non-wheat carbohydrate food and improvement of nutritional standard at the same time, the improvement of living standard of the farmers and rural population, … ( dalam makalah hal.8). Nah disini kelihatan betul bagaimana seharusnya pertanian surplus itulah yang menunjang industrialisasi. Tetapi itu juga sekali lagi tidak terjadi karena industri kita itu banyak tumbuhnya karena meminjam uang dari luar dan mengundang investor modal luar yang menanam modalnya di Indonesia. Kemudianada efficient utilization of resources while at the same time conserving environmental condition, srengthening integrated rural development (makalah hal.9). Jadi pokok-pokok yang disebutkan tadi itu sebenarnya sudah ada di dalam kebijaksanaan Almarhum Prof. Sudarsono. Tapi entah bagaimana ini tidak tercapai. Lalu dalam periode reformasi 1997-2001 mungkin dirasakan sangat mendadak. Paling tidak diduga sistem ekonomi pembangunan didukung dan dilakukan oleh kelembagaan yang keropos. Singkatnya digerogoti KKN sehingga banyak dana terhambur dinikmati oleh lapisan atas …

Baru setelah reformasi timbul berbagai organisasi tani di daerah sampai di bawah tingkat kabupaten, yang sebelumnya dilarang dari atas. Akibatnya suara petani tidak kedengaran di DPRD atau DPR kecuali melalui HKTI. HKTI buatan pemerintah yang hanya merupakan perpanjangan tangan kepada petani yang tidak tergabung pada partai politik.