Tahun 1981, Queeny Chang, Putri Tjong A Fie, menerbitkan buku riwayat hidupnya.
Tentu
saja ia banyak bercerita perihal ayahnya, seorang hartawan yang masih diingat
masyarakat luas di Sumatera Utara dan Semenanjung Tanah Melayu sampai kini.
Pada
tahun baru Imlek 1902, ayah mengadakan resepsi tahun baru di rumah kami. Saat
itu saya berumur 6 tahun. Ibu memakaikan saya sarung kebaya. Rambut saya yang
botak di beberapa tempat akibat baru sembuh dari tifus, disanggul dan diberi
beberapa tusuk sanggul berhiaskan intan.
Berlainan dengan ibu, saya tidak
cantik. Wajah saya pucat dan persegi. Mata saya sayu, bulu mata saya jarang dan
alis mata saya tipis berantakan. Ibu
saya mengenakan kebaya dan songket. Rambut ibu yang hitam berkilat dihiasi
sederet tusuk sanggul intan dan sekuntum bunga dari intan pula. Pada kebayanya
disematkan kerongsang, yaitu bros yang terdiri atas tiga bagian. Yang paling
atas berbentuk merak sedang mengembangkan ekornya. Dua yang lebih kecil bentuknya bulat. Perhiasan bertatah intan itu sedang mode di kalangan perempuan
di Penang dan Medan.
Dalam
resepsi itu, ibu berdiri di samping ayah. Sikapnya sangat anggun di antara
tamu-tamunya yang terdiri atas orang orang terkemuka pelbagai bangsa.
Ia sadar
akan kedudukan ayah sebagai pemuka golongan Cina dan bertekad tidak akan
memalukannya. Kalau bercakap-cakap dengan orang asing, ibu berbahasa Melayu
dengan fasihnya.
Ayah
memegang sebelah tangan saya saat mengucapkan terima kasih kepada para tamu
yang memberi selamat. Residen Belanda yang mengangkat saya tinggi-tinggi dan
mencium kedua belah pipi saya. Permaisuri Sultan menggendong saya. Mereka tahu
ayah sangat mencintai saya dan akan membatalkan resepsi ini kalau saya belum
sembuh.
Walaupun
ayah memangku jabatan sebagai Luitenant der Chinezen, tetapi sebenarnya ia
tidak pernah mendapat pendidikan formal. Begitu juga paman saya, Tjong Yong
Hian, yang menjadi Kapitein der Chinezen.
Interior Rumah Tjong Ah Fie |
Kulit Coklat Membawa Rezeki
Kapitein Tjong Ah Fie |
Majoor Tjong Yong Hian |
Ayah bekerja serabutan mengurusi pembukuan, melayani para pelanggan di toko, menagih rekening dan melakukan tugas tugas lain. Majikannya puas, karena uangnya tidak tekor sesen pun. Lagipula para pelanggan yang biasanya sulit membayar, bisa "dibujuk" ayah untuk melunasi utang-utangnya.
Ayah saya pandai bergaul, dengan orang Melayu, Arab, India maupun dengan orang Belanda yang menjajah negeri ini. Ia belajar berbahasa Melayu, yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan masyarakat pelbagai bangsa di kawasan ini.
Tjong Sui Fo merupakan pemasok barang untuk penjara setempat. Ayah sering mengantarkan barang ke sana dan sempat mendengarkan keluhan para tahanan. Banyak orang Cina ditahan bukan karena melakukan kejahatan, tetapi karena bergabung dalam Serikat Rahasia (Triad). Ayah bersimpati kepada mereka, tetapi ia mencoba menjelaskan bahwa keanggotaan dalam perserikatan itu dilarang oleh hukum.
Lama kelamaan ia mendapat kepercayaan dari berbagai pihak dan disegani di Labuhan. Masyarakat Cina meminta kepada penguasa Belanda agar mengangkat ayah menjadi Wijkmeester (bek, kepala distrik) bagi orang orang Cina. Permintaan ini dikabulkan. Ayah pun berhenti dari Tjong Sui Fo, tetapi tidak pernah melupakan budi mantan majikannya.
Ayah berkantor di Medan. Kantornya ini sebuah bangunan kayu beratap rumbia. Masa itu ayah sudah menikah dengan putri keluarga Chew, suatu keluarga yang terkemuka di Penang dan merupakan pionir pula seperti ayah. Ketika mereka sudah mempunyai tiga orang anak, isterinya yang baru berumur 32 tahun meninggal. Sebagai duda berumur 35 tahun, ayah menikah lagi. Sekali ini dengan seorang gadis berumur 16 tahun, ibu saya.
Terkenal Galak.
Ibu saya, Lim Koei Yap, dilahirkan tahun 1880 di Binjai dan tidak pernah bersekolah. Ia tinggal di perkebunan tembakau karena ayahnya kepala pekerja (tandil) di Sei Mencirim, salah sebuah perkebunan di Deli. Kakek saya memimpin ratusan kuli kontrak, kebanyakan Cina perantauan.
Nenek saya keras dan kolot. Ia menganggap seorang gadis hanya perlu belajar memasak dan mebuat kue, sebab tempat perempuan katanya di dapur. Ibu saya berjiwa pemberontak. Ia sering merasa dirinya lebih pandai daripada saudara saudarnya yang laki-laki. Kalau sedang bertengkar, ia sering berkata, "Lihat saja nanti, saya pasti akan melebihi kalian semua !" Saudara-saudaranya biasa menjawab, " Kamu kira siapa sih kamu ? Istri Tjong A Fie ?" Tidak seorang pun menyangka hal itu akan menjadi kenyataan.
Ibu mencapai umur untuk menikah tanpa pernah dilamar orang. Namun suatu hari kakek didatangi salah seorang comblang dari Medan. Ibu saya dilamar Tjong A Fie.
Kakek
merasa sungguh-sungguh mendapat kehormatan, tetapi ia was-was. Perbedaan umur
antara Tjong A Fie dan putrinya terlalu besar. Namun ia ingin
cepat-cepat menikahkan putrinya yang terkenal galak ini. Ia sangsi kesempatan
baik ini akan terulang.
Ayah mengaku mempunyai seorang istri di daratan Cina, isteri pilihan orangtuanya yang tidak bisa ia ceraikan, dan yang kini merawat ibunya yang sudah tua, sehingga tidak bisa menyertainya ke Sumatera. Ayah juga mengaku baru kematian istrinya yang lain, yang meninggalkan tiga orang anak, yang seorang anak laki laki berumur 15 tahun dan dua anak perempuan berumur 12 dan 11 tahun. Ibu menghargai kejujuran ayah dan mau menerima lamaran ayah, asal ayah berjanji tidak akan beristri lain. Ayah menerima syarat itu. Beberapa bulan setelah mereka menikah, ayah naik pangkat sehingga ibu dianggap membawa rezeki. Saya lahir dua belas bulan setelah mereka menikah dan mendapat nama Fuk Yin. Kemudian saya ditinggalkan bersama seorang pengasuh karena ayah membawa ibu ke daratan Cina untuk dipertemukan dengan nenek di Desa Sungkow.
Menurut ibu, ia dimanjakan mertuanya, yang menyebutnya menantu saya yang di perantauan. Dengan sebutan ini nenek ingin menjelaskan bahwa tempat ibu saya adalah di samping ayah saya, sedangkan ibu Lee, yaitu isteri ayah yang di Sungkow, bertugas merawat rumah ayah disana dan mengawasi sawah. Nenek yang otokratis tahu bagaimana cara membuat dua menantu berdamai di bawah satu atap. Masing-masing diberi penjelasan bahwa tugas mereka sama pentingnya. Ibu Lee bangga dan puas karena dipercaya mengurus harta suaminya.
Ibu Yang Galak dan Memeh Yang Manis.
Setelah
saya mempunyai seorang adik laki-laik, Fa Liong kami pindah ke rumah baru (kini
rumah no. 105 di Jl. Jenderal A. Yani, Medan). Di mata saya rumah itu rasanya
besar dan bagus sekali. Dalam upacara pindah rumah, ibu menggendong Fa Liong
sedangkan saya dibimbing seorang perempuan jangkung berpakaian gaya Cina. Saya
tidak tahu siapa dia.
Karena
saya tidak bisa diam, ibu melotot dan menjewer saya. Sebaliknya perempuan
berpakaian cina itu manis sekali terhadap saya. Ibu menyuruh saya memanggilnya
Memeh (Ibu). Saya juga disuruh memanggil kakak kepada seorang pemuda berusia 19
tahun yang baik sekali kepada saya dan kepada dua orang gadis.
Ayah mengaku mempunyai seorang istri di daratan Cina, isteri pilihan orangtuanya yang tidak bisa ia ceraikan, dan yang kini merawat ibunya yang sudah tua, sehingga tidak bisa menyertainya ke Sumatera. Ayah juga mengaku baru kematian istrinya yang lain, yang meninggalkan tiga orang anak, yang seorang anak laki laki berumur 15 tahun dan dua anak perempuan berumur 12 dan 11 tahun. Ibu menghargai kejujuran ayah dan mau menerima lamaran ayah, asal ayah berjanji tidak akan beristri lain. Ayah menerima syarat itu. Beberapa bulan setelah mereka menikah, ayah naik pangkat sehingga ibu dianggap membawa rezeki. Saya lahir dua belas bulan setelah mereka menikah dan mendapat nama Fuk Yin. Kemudian saya ditinggalkan bersama seorang pengasuh karena ayah membawa ibu ke daratan Cina untuk dipertemukan dengan nenek di Desa Sungkow.
Menurut ibu, ia dimanjakan mertuanya, yang menyebutnya menantu saya yang di perantauan. Dengan sebutan ini nenek ingin menjelaskan bahwa tempat ibu saya adalah di samping ayah saya, sedangkan ibu Lee, yaitu isteri ayah yang di Sungkow, bertugas merawat rumah ayah disana dan mengawasi sawah. Nenek yang otokratis tahu bagaimana cara membuat dua menantu berdamai di bawah satu atap. Masing-masing diberi penjelasan bahwa tugas mereka sama pentingnya. Ibu Lee bangga dan puas karena dipercaya mengurus harta suaminya.
Ibu Yang Galak dan Memeh Yang Manis.
Kamar Tidur Tjong Ah Fie |
Pintu Utama Rumah |
Ruang Makan |
Perempuan dan ketiga orang yang saya panggil kakak itu tinggal di rumah kami. Saya pikir, mereka kerabat kami yang baru datang dari Cina dan belum mempunyai rumah sendiri. Kami biasa makan bersama sama. Memeh selalu memilih daging ayam yang paling empuk untuk ditaruh di mangkuk nasi saya. Kadang-kadang saya tidur dengannya dan mendengarkan dongengannya. Memeh dan ibu selalu tampak bercakap-cakap dengan gembira. Saya berharap Memeh dan ketiga kaka tinggal selamanya dengan kami, karena saya merasa berbahagia bersama mereka.
Saya
tidak tahu berapa lama saya hidup berbahagia seperti itu. Mungkin
setahun,mungkin beberapa bulan. Tahu-tahu suatu malam saya terbangun karena
mendengar ibu dan Memeh berteriak-teriak marah. Saya dengar ibu mengancam
Memeh,"Kalau kamu berani mendekat, kamu akan berkenalan dengan pisauku".
Kemudian
ibu masuk ke kamar saya. Ia memakaikan mantel pada saya, lalu diangkatnya adik
dari tempat tidur. Diseretnya saya ke luar dari pintu belakang, menuju jalan
yang sudah sepi. Ketika saya menangis, ibu menampar saya. Kebetulan di muka
rumah kami lewat kereta yang dihela oleh kuda.
Dengan kendaraan itu kami pergi
ke tengah perkebunan tembakau. Kereta dihentikan di sebuah rumah kayu beratap
rumbia yang diterangi lampu minyak. Ternyata itu rumah kakek dan nenek. Ibu
minggat dari rumah !.
Ibu
tidak mau menjumpai ayah dan tidak mau pulang, sehingga kakek dan nenek
kewalahan. Kakek meminta ayah membiarkan ibu sampai marahnya reda. Beberapa
bulan kemudian, kami dijemput ayah dengan kereta terbuka yang dihela kuda
putih. Saat menjemput kami itu ayah mengenakan seragam upacara Luitenant der
Chinezen, seperti yang biasa dipakainya kalau diundang ke tempat residen atau
sultan.
Tiba di rumah, saya tidak menemukan Memeh maupun ketiga kakak. Mereka sudah pergi. Ibu menuntut mereka dipulangkan ke Sungkow. Saya baru tahu bahwa Memeh adalah ibu Lee, istri ayah dari daratan Cina, sedangkan ketiga kakak adalah anak-anak almarhumah Ibu Chew. Saya tidak pernah lagi melihat memeh dan kakak saya yang laki-laki tetapi kedua kakak perempuan saya kemudian kembali dalam kehidupan saya.
Ibu Belajar Menulis dan Membaca.
Ketika umur saya tujuh tahun, saya mendapat izin khusus dari Residen untuk belajar di sekolah Eropa. Sebelumnya ibu meminta saran dan kenalannya, isteri seorang hakim Belanda, perihal pakaian apa yang sepatutnya saya kenakan ke sekolah. Saya mendapat celana dalam sepanjang lutut yang dihiasi renda. Rok dalam katun yang dihiasi pula dan rok terusan sepanjang lutut dan berlengan pendek. Rasanya aneh sekali, karena sangat berbeda dengan pakaian anak cina dan anak pribumi, yang selama ini biasa saya kenakan.
Hari
pertama, saya diantar ayah ke sekolah. Saya tidak bisa berbahasa Belanda
sepatah pun, tetapi karena umur saya sudah tujuh tahun, saya diterima langsung
ke kelas dua. Supaya bisa mengikuti pelajaran, saya disarankan mendapat
pelajaran tambahan. Saat saya les di rumah, ibu selalu mengawasi saya dengan
cermat dan galak, sambil mengunyah sirih.
Ibu selalu menjaga agar dandanan saya rapi setiap pergi ke sekolah. Pita di rambut saya selalu rapi disetrika. Kalau ada pesta, pakaian saya selalu yang paling indah. Ibu ingin saya merasa tidak lebih rendah daripada gadis Eropa. Ia tidak perlu kuatir, sebab saya mudah bergaul dan segera dianggap sebagai salah seorang dari mereka.
Ibu bukan cuma memaksa saya belajar, tetapi ia sendiri juga belajar bercakap cakap dalam bahasa Belanda dari seorang guru perempuan. Ia bahkan belajar menulis. Mula-mula bacaannya cuma dongeng-dongeng, tetapi kemudian ia giat membaca tulisan tulisan yang lebih rumit, seperti etiket pergaulan. Ia ingin bisa berbicara dan bersikap seanggun wanita-wanita asing.
Rupanya ia berbakat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia pantas bersarung kebaya yang menyempatkan ia mengenakan perhiasan-perhiasannya, tetapi dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri wanita-wanita Eropa, ia mengenakan rok. Seleranya baik. Ia tidak pernah tampak terlalu mencolok. Tidak ada yang menyangka tadinya ia gadis dusun.
Ketika saya belajar bermain piano dari Maestro Paci, ia belajar menyanyi dari Ny. Paci, seorang penyanyi profesional. Dalam pertemuan-pertemuan akrab di rumah kami, kadang-kadang ibu bernyanyi. Sayang ia berhenti belajar ketika suami isteri Paci meninggalkan Medan.
Ketika saya berumur 10 tahun kami mendapat kabar kalau Memeh meninggal. Seminggu setelah itu kakak saya yang laki-laki pun meninggal karena TBC. Padahal ia baru setahun menikah dan meninggalkan seorang bayi laki-laki. Ibu menyuruh saya dan Fa Liong berkabung untuk Memeh. Setahun lamanya saya hanya mengenakan pakaian putih dan biru. Rambut saya diberi pita biru dan kuncir adik saya diikat dengan benang biru.
Tidak lama setelah kematian kakak, ibu melahirkan seorang bayi laki-laki lagi, Kian Liong yang diterima ayah dengan linangan air mata. Hadiah-hadiah mengalir dari para pedagang Cina, berupa perhiasan emas berbentuk naga, singa, unicorn, kalung, gelang kaki yang digantungi bel bel kecil. Sultan menghadiahkan model miniatur istananya yang ditaruh di kotak kaca. Kursi, meja, pepohonan dan bunga-bunga miniatur pada model itu dihiasi intan kasar. Sementara orang-orang Eropa memberi perlengkapan piring mangkuk perak dengan sendok garpunya, sedangkan orang-orang Arab dan India memberi perhiasan emas gaya mereka sendiri.
Bertemu Belanda "Butut".
Mobil
kami yang pertama adalah sebuah Fiat convertible. Kami menyebutnya motor kuning
karena warnanya kuning. Saya tidak tahu betapa kayanya ayah, sampai suatu hari
ia memberitahu ibu bahwa ia membeli perkebunan karet Si Bulan. Administraturnya
seorang Belanda, Meneer Kamerlingh Onnes. Tadinya pria Belanda itu pembuat onar
dalam keluarganya, yaitu keluarga terkemuka dan terhormat di negerinya. Ia
dikirim ke Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan, tetapi berkali-kali
dipecat.
Tiba di rumah, saya tidak menemukan Memeh maupun ketiga kakak. Mereka sudah pergi. Ibu menuntut mereka dipulangkan ke Sungkow. Saya baru tahu bahwa Memeh adalah ibu Lee, istri ayah dari daratan Cina, sedangkan ketiga kakak adalah anak-anak almarhumah Ibu Chew. Saya tidak pernah lagi melihat memeh dan kakak saya yang laki-laki tetapi kedua kakak perempuan saya kemudian kembali dalam kehidupan saya.
Ibu Belajar Menulis dan Membaca.
Ketika umur saya tujuh tahun, saya mendapat izin khusus dari Residen untuk belajar di sekolah Eropa. Sebelumnya ibu meminta saran dan kenalannya, isteri seorang hakim Belanda, perihal pakaian apa yang sepatutnya saya kenakan ke sekolah. Saya mendapat celana dalam sepanjang lutut yang dihiasi renda. Rok dalam katun yang dihiasi pula dan rok terusan sepanjang lutut dan berlengan pendek. Rasanya aneh sekali, karena sangat berbeda dengan pakaian anak cina dan anak pribumi, yang selama ini biasa saya kenakan.
Ruang Tamu |
Ruang Pemujaan |
Ballroom |
Ibu selalu menjaga agar dandanan saya rapi setiap pergi ke sekolah. Pita di rambut saya selalu rapi disetrika. Kalau ada pesta, pakaian saya selalu yang paling indah. Ibu ingin saya merasa tidak lebih rendah daripada gadis Eropa. Ia tidak perlu kuatir, sebab saya mudah bergaul dan segera dianggap sebagai salah seorang dari mereka.
Ibu bukan cuma memaksa saya belajar, tetapi ia sendiri juga belajar bercakap cakap dalam bahasa Belanda dari seorang guru perempuan. Ia bahkan belajar menulis. Mula-mula bacaannya cuma dongeng-dongeng, tetapi kemudian ia giat membaca tulisan tulisan yang lebih rumit, seperti etiket pergaulan. Ia ingin bisa berbicara dan bersikap seanggun wanita-wanita asing.
Rupanya ia berbakat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia pantas bersarung kebaya yang menyempatkan ia mengenakan perhiasan-perhiasannya, tetapi dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri wanita-wanita Eropa, ia mengenakan rok. Seleranya baik. Ia tidak pernah tampak terlalu mencolok. Tidak ada yang menyangka tadinya ia gadis dusun.
Ketika saya belajar bermain piano dari Maestro Paci, ia belajar menyanyi dari Ny. Paci, seorang penyanyi profesional. Dalam pertemuan-pertemuan akrab di rumah kami, kadang-kadang ibu bernyanyi. Sayang ia berhenti belajar ketika suami isteri Paci meninggalkan Medan.
Ketika saya berumur 10 tahun kami mendapat kabar kalau Memeh meninggal. Seminggu setelah itu kakak saya yang laki-laki pun meninggal karena TBC. Padahal ia baru setahun menikah dan meninggalkan seorang bayi laki-laki. Ibu menyuruh saya dan Fa Liong berkabung untuk Memeh. Setahun lamanya saya hanya mengenakan pakaian putih dan biru. Rambut saya diberi pita biru dan kuncir adik saya diikat dengan benang biru.
Tidak lama setelah kematian kakak, ibu melahirkan seorang bayi laki-laki lagi, Kian Liong yang diterima ayah dengan linangan air mata. Hadiah-hadiah mengalir dari para pedagang Cina, berupa perhiasan emas berbentuk naga, singa, unicorn, kalung, gelang kaki yang digantungi bel bel kecil. Sultan menghadiahkan model miniatur istananya yang ditaruh di kotak kaca. Kursi, meja, pepohonan dan bunga-bunga miniatur pada model itu dihiasi intan kasar. Sementara orang-orang Eropa memberi perlengkapan piring mangkuk perak dengan sendok garpunya, sedangkan orang-orang Arab dan India memberi perhiasan emas gaya mereka sendiri.
Bertemu Belanda "Butut".
"Motor Kuning" |
Ayah
menemukannya sedang duduk melamun menghadapi gelas kosong di hotel Medan. Belum
pernah ayah melihat seorang kulit putih berpakaian compang camping dan
bersepatu butut seperti itu, sehingga ayah ingin tahu siapa dia dan mengapa
bisa sampai begitu. Setelah mendengar ceritanya, ayah terkesan oleh
kejujurannya dan menawarkan pekerjaan sebagai administratur perkebunan. Tidak
pernah kedua orang itu merasa menyesal.
Ketika usaha ayah di bidang perkebunan maju, Meneer Kammerlingh Onnes diserahi menjadi kepala pengawas semua perkebunan, perkebunan karet, kelapa , teh. Ayah merupakan orang Cina pertama yang memiliki perkebunan-perkebunan karet di daerah ini dan yang pertama pula memperkerjakan orang-orang Eropa.
Keturunan Pesilat dan Bajak Laut.
Paman saya Tjong Yong Hian dan ayah mendirikan sekolah dan rumah sakit tempat orang-orang yang kurang mampu bisa mendapatkan perawatan gratis. Mereka menyumbang kelenteng-kelenteng, gereja-gereja, mesjid-mesjid, maupun kuil-kuil Hindu. Mereka pun mengirimkan sumbangan ke daratan Cina untuk korban paceklik dan banjir. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak petani di desa kelahiran mereka. Mereka membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan dan bahkan membuka perusahaan kereta api Chao Chow dan Swatow dekat tepat kelahiran mereka, sehingga paman (Tjong Yong Hian) yang lebih ambisius mendapat gelar kehormatan Menteri Perkeretaapian dari pemerintah Manchu dan diterima beraudiensi oleh Kaisar Janda Cixi. Kalau ia naik tandu ke desanya, di depan tandunya selalu ada pembuka jalan yang menabuh gong dan pendudukpun berlutut di tepi jalan.
Namun
paman meninggal tidak lama kemudian. Ayah menggantikannya menjadi Kapitein der
Chinezen. Ketika itu saya sudah lulus SD dan mendapat tambahan adik laki-laki
lagi, Kwet Liong. Ayah mengusahakan agar kakek saya dari pihak ibu menjadi
Luitenant der Chinezen di kota minyak Pangkalan Brandan. Pengangkatan ini pasti
dipergunjingkan orang, tetapi ayah merasa ia mempunya alasan. Untuk menguasai
orang-orang Cina di tempat itu diperlukan orang kuat. Mereka kebanyakan Hai Lok
Hong yaitu keturunan para pesilat dan bajak laut, sedangkan kakek saya sendiri seorang
Hai Lok Hong. Akhirnya, semua orang puas dengan pilihan ayah.
Dijodohkan.
Ayah saya menyediakan tanah untuk sekolah Methodist di Medan, yang diurus keluarga Pykerts. Keluarga ini sendiri tinggal di Penang. Kalau sedang berada di Medan, mereka tinggal di rumah peristirahatan milik ayah di Pulo Brayan. Di Tempat ini ayah mempunyai kebun binatang. Kami bukan hanya memelihara burung seperti kakaktua atau kasuari, tetapi juga ular, jerapah, zebra, kangguru dan keledai kelabu.
Ketika usaha ayah di bidang perkebunan maju, Meneer Kammerlingh Onnes diserahi menjadi kepala pengawas semua perkebunan, perkebunan karet, kelapa , teh. Ayah merupakan orang Cina pertama yang memiliki perkebunan-perkebunan karet di daerah ini dan yang pertama pula memperkerjakan orang-orang Eropa.
Keturunan Pesilat dan Bajak Laut.
Paman saya Tjong Yong Hian dan ayah mendirikan sekolah dan rumah sakit tempat orang-orang yang kurang mampu bisa mendapatkan perawatan gratis. Mereka menyumbang kelenteng-kelenteng, gereja-gereja, mesjid-mesjid, maupun kuil-kuil Hindu. Mereka pun mengirimkan sumbangan ke daratan Cina untuk korban paceklik dan banjir. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak petani di desa kelahiran mereka. Mereka membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan dan bahkan membuka perusahaan kereta api Chao Chow dan Swatow dekat tepat kelahiran mereka, sehingga paman (Tjong Yong Hian) yang lebih ambisius mendapat gelar kehormatan Menteri Perkeretaapian dari pemerintah Manchu dan diterima beraudiensi oleh Kaisar Janda Cixi. Kalau ia naik tandu ke desanya, di depan tandunya selalu ada pembuka jalan yang menabuh gong dan pendudukpun berlutut di tepi jalan.
Keluarga Tjong Yong Hian |
Dijodohkan.
Ayah saya menyediakan tanah untuk sekolah Methodist di Medan, yang diurus keluarga Pykerts. Keluarga ini sendiri tinggal di Penang. Kalau sedang berada di Medan, mereka tinggal di rumah peristirahatan milik ayah di Pulo Brayan. Di Tempat ini ayah mempunyai kebun binatang. Kami bukan hanya memelihara burung seperti kakaktua atau kasuari, tetapi juga ular, jerapah, zebra, kangguru dan keledai kelabu.
Kemudian
keluarga Pyketts mengundang kami ke Penang. Ibu memenuhi undangan itu dengan
mengajak Fa Liong, Jambul (Kian Liong) dan saya.
Dalam
salah satu perjamuan yang diadakan keluarga Pyketts di Penang ini , kami
berjumpa dengan seorang wanita cantik yang sangat fasih berbahasa Inggris.
Ternyata ia Ny. Sun Yat Sen yang singgah dalam perjalanan ke Cina. Sun Yat Sen
adalah presiden pertama Republik Cina. Ia dipuja oleh Cina Komunis maupun
Nasionalis.
Pernah
orangtua saya berniat menyekolahkan saya ke Belanda. Namun setelah saya lulus
dari SD, hal itu tidak pernah disebut sebut lagi. Saya malah disuruh belajar
memasak dan menjahit, dua hal yang tidak mampu saya lakukan dengan baik
sehingga saya terus menerus dimarahi ibu.
Suatu
malam, kakak saya berlainan ibu, Song Yin memberitahu saya bahwa saya sudah
dipertunangkan dengan seorang pria dari daratan Cina.
"Apa ?
Dipertunangkan ?" tanya saya. "Ibu tidak memberitahu saya. Saya akan dinikahkan
dan pergi ke Cina ?" Malam itu Song Yin mengajak saya ke kamar ayah kami. Dari
lemari ia mengeluarkan sehelai foto yang memperlihatkan seorang pemuda Cina
dalam pakaian tradisional dan berkopiah. Wajahnya tampan, tetapi pakaian itu
membuat ia tampak tidak menarik bagi saya. Song Yin membuka lipatan sebuah
saputangan sutra merah dan didalamnya terlihat sepasang gelang emas berukir
aksara Cina. "Ini
calon suamimu dan gelang emas ini tanda pertunangan. Paman kita yang mengatur
pernikahan ini tiga tahun yang lalu, ketika kamu baru berusia 13 tahun" katanya, ayah kami harus menurut kata-kata kakaknya dan janji yang sudah dibuat
tidak boleh diingkari.
"Mengapa
bukan kakak Fo Yin saja yang dijodohkan dengannya ?" tanya saya. Fo Yin adalah
anak angkat paman. "Fo Yin lebih tua", jawab Song Yin. Ia membujuk saya, "Jangan
sedih, Dik. Kamu akan menjadi menantu orang yang sangat kaya dan sangat
dihormati ".
Lebih Suka Main Boneka Daripada Menjadi Pengantin.
Saya
mulai belajar bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dari Mrs. Smith, seorang
perempuan Australia dan melanjutkan belajar memainkan piano. Ternyata keluarga
calon suami saya, keluarga Lim, ingin pernikahan kami tidak ditunda-tunda lagi.
Menurut peramal tanggal tiga bulan sepuluh pada tahun tikus (1912) merupakan
tanggal dan tahun baik.
Teman
saya, Minnie Rahder, putri residen, terpesona melihat kamar pengantin yang dipersiapkan
untuk saya. "Kau gadis yang bahagia" katanya. Padahal saya lebih menghargai
kiriman boneka dari Sinterklas yang matanya bisa dipejam dan terbuka.
Orangtua
saya menyediakan bekal pernikahan yang berharga, sebab anak perempuan yang
tidak dibekali secukupnya akan dihina oleh keluarga suaminya.
Calon
pengantin pria tiba diiringi 12 pengantar yang terdiri atas pamannya, seorang
governess (guru pribadi) Amerika, seorang sekretaris berkebangsaan Eropa,
seorang sekretaris Cina, empat pelayan, seorang koki dan seorang budak
perempuan untuk melayani governess. Mereka ditempatkan di Pulo Brayan yang
akan menjadi kediaman sementara kami sebelum berangkat ke Cina.
Fa Liong yang saat itu berumur dua belas, ikut ayah menjemput mereka. Ketika kembali, ia berkata kepada saya, "Kak, calon suami kakak sama tingginya dengan saya. Pasti ia cuma sepundak kakak". "Bohong ! Dia kan sudah berumur dua puluh", kata saya. "Masa bodoh kalau tidak percaya. Pokoknya, dia pendek", saya jadi kuatir. Ganjil betul kalau pengantin perempuan jauh lebih tinggi daripada suaminya.
Saya
dengar ibu bercerita kepada bibi bahwa paman calon pengantin pria mengatakan,
pelayan pelayan yang dibawa oleh pengantin perempuan langsung dianggap selir
pengantin pria. Tentu saja ibu saya protes. "Anak saya dilahirkan di negara yang
diperintah oleh seorang ratu dan kami disini hanya boleh punya satu istri !"
Konon paman pengantin pria tidak tersenyum mendengar protes ibu. Untuk mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan, ibu tidak jadi membawakan dua pelayan perempuan
bagi saya, padahal mereka sudah didatangkan dari desa ayah.
Terakhir Kali Main Kuda-kudaan.
Terakhir Kali Main Kuda-kudaan.
Malam
sebelum hari pernikahan saya, Fa Liong mengajak saya bermain kuda kudaan,
seperti sering kami lakukan kalau ibu sedang tidak berada di rumah. Saya
memasang tali kendali di bahu Fa Liong, lalu ia berlari dan saya mengikutinya
sambil memegang kendali dan cambuk mainan. Sementara itu kami berteriak-teriak
sambil saya mengejarnya di kebun dan di dalam rumah.
Pesta
pernikahan saya dihadiri antara lain oleh Sultan dan Residen. Lalu tibalah
saatnya saya dibiarkan berduaan saja dengan suami saya. Saya merasa canggung.
Saya hanya bisa berbahasa Hakka bercampur melayu. Suami saya hanya bisa
berbahasa Hokkian. Berkat Mrs. Grey, governess suami saya, bahasa Inggris saya
maju pesat selama kami berada di Pulo Brayan. Sebenarnya suami saya lebih suka
kalau saya belajar berbahasa Hokkian,sebab ibunya hanya paham bahasa itu.
Sebulan kemudian kami melakukan kunjungan perpisahan, antara lain pada Sultan Deli yang memanggil saya. "Putriku", Permaisuri mendekap saya, seakan-akan saya masih gadis kecil yang dulu sering bermain ke istananya. Sultan dan permaisurinya menjamu kami. Sejak kecil saya sering datang ke istananya, sehingga saya tidak merasa asing di sana. Tidak demikian dengan Mrs. Grey, governess suami saya yang terkesan sekali melihat perhiasan yang dikenakan sultan dan keluarganya. Akhirnya, tibalah saatnya untuk meninggalkan ayah, ibu , adik-adik dan semua yang saya kenal.
Sebulan kemudian kami melakukan kunjungan perpisahan, antara lain pada Sultan Deli yang memanggil saya. "Putriku", Permaisuri mendekap saya, seakan-akan saya masih gadis kecil yang dulu sering bermain ke istananya. Sultan dan permaisurinya menjamu kami. Sejak kecil saya sering datang ke istananya, sehingga saya tidak merasa asing di sana. Tidak demikian dengan Mrs. Grey, governess suami saya yang terkesan sekali melihat perhiasan yang dikenakan sultan dan keluarganya. Akhirnya, tibalah saatnya untuk meninggalkan ayah, ibu , adik-adik dan semua yang saya kenal.
Menantu Barbar
Ketika kami turun dari kapal di Amoy, banyak sekali orang menyambut. Bunyi
petasan memekakkan telinga. Saya diapit oleh empat penyambut perempuan yang
berpakaian indah. Dalam perjalanan berulang-ulang mereka mengucapkan
sesuatu yang tidak dipahami. Ternyata saya diminta berjalan perlahan-lahan.
Akhirnya saya sadar bahwa kaki mereka kecil karena diikat, sehingga tidak bisa
berjalan dengan leluasa.
Saat akan naik ke dalam tandu kepala saya terantuk atapnya. Maklum saya
belum pernah naik benda yang diusung manusia itu. Saya dibawa ke sebuah
bangunan bergaya Barat untuk menghadap mertua saya. Mertua perempuan saya cantik.
Sesudah upacara penghormatan selesai, mertua laki-laki saya bangkit diikuti
mertua perempuan dan kami. Kami mesti menurun tangga. Karena melihat kaki ibu
mertua saya kecil, saya khawatir ia terjatuh. Secara spontan saya bimbing
lengannya. Terdengarlah suara terkejut dari kaum perempuan yang menyaksikan
adegan ini. Saya tidak mengerti apa yang mereka katakan jadi saya tetap saja
membimbing lengan ibu mertua saya. Ternyata tindakan saya itu dianggap
menyalahi tatacara. Mestinya mertua yang menuntun menantu, bukan menantu yang
menuntun mertua. Akibatnya, saya disebut barbar.
Ternyata mertua laki laki saya
sangat kaya. Ia memiliki enam selir yang melayani pelbagai kebutuhannya.
Perempuan Yang Mencurigakan.
Perempuan Yang Mencurigakan.
Pada saat suami saya masih orang asing bagi saya, saya harus hidup dalam lingkungan yang bahasa, kebiasaan dan orang-orangnya tidak saya kenal. Untunglah ibu mertua saya termasuk salah seorang yang paling manis dan paling agung yang pernah saya jumpai dalam hidup ini.
Suatu hari kakak perempuannya datang dari desa. "Menantumu jauh dari
cantik", "Kakinya menyeramkan besarnya. Apa betul ia seorang putri barbar ?"
Konsepsinya mengenai kecantikan ialah kerempeng seperti pohon Yangliu (Willow),
kaki Cuma 7,5 cm panjangnya dan bentuk wajah seperti kuaci. Saya tidak memiliki
semuanya.
Mertua saya menanggapi, "Tidak perduli bagaimanapun rupanya dan siapa dia,
dialah perempuan yang kuhendaki menjadi isteri putraku".
Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak
keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. "Kamu cantik dengan pakaian
seperti itu", kata ibu mertua saya. "Jangan perdulikan apa kata orang lain.
Orang-orang di Amoy ini kolot". Pada hari tahun baru, saya satu-satunya orang
yang mengenakan pakaian gaya Eropa. Saya merasa canggung, tetapi Mrs. Grey
memuji saya dan berkata saya seperti ratu. Sejak hari itu ia memanggil saya
Queeny, yang sepadan dengan nama suami saya , King Jin yang selalu dipanggil
King.
Pada tahun baru kedua di tempat yang jauh dari orangtua saya ini, saya melihat seorang perempuan muda di antara kami, yang melirik kepada saya seakan akan mengejek. Ia cantik dan kelihatannya tidak asing di rumah itu. Setelah menemui ibu mertua saya, ia masuk ke ruang tempat suami saya main mahyong dengan adiknya dan adik ibu mertua saya. Saya melihat perempuan itu berdiri di belakang kursi suami saya dengan tangan diletakkan di pundak suami saya. Saya bertanya kepada seorang pelayan tua, "Ah Mui, siapa sih perempuan muda berpakaian sutera biru itu ?", "Oh, itu !" jawah Ah Mui dengan sikap jijik. "Tadinya dia pelayan Nyonya besar". Kata Ah Mui yang polos itu, perempuan itu pernah mempunyai hubungan asmara dengan suami saya sebelum pernikahan kami. Ia ingin dijadikan selir, tetapi ibu mertua saya memulangkannya ke desa.
Pada tahun baru kedua di tempat yang jauh dari orangtua saya ini, saya melihat seorang perempuan muda di antara kami, yang melirik kepada saya seakan akan mengejek. Ia cantik dan kelihatannya tidak asing di rumah itu. Setelah menemui ibu mertua saya, ia masuk ke ruang tempat suami saya main mahyong dengan adiknya dan adik ibu mertua saya. Saya melihat perempuan itu berdiri di belakang kursi suami saya dengan tangan diletakkan di pundak suami saya. Saya bertanya kepada seorang pelayan tua, "Ah Mui, siapa sih perempuan muda berpakaian sutera biru itu ?", "Oh, itu !" jawah Ah Mui dengan sikap jijik. "Tadinya dia pelayan Nyonya besar". Kata Ah Mui yang polos itu, perempuan itu pernah mempunyai hubungan asmara dengan suami saya sebelum pernikahan kami. Ia ingin dijadikan selir, tetapi ibu mertua saya memulangkannya ke desa.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya harus mengendalikan diri. Saya
merasa seperti ada sesuatu yang patah di dalam diri saya. Sakit seperti itu
belum pernah saya rasakan. Padahal saya tidak mempunyai seorang pun untuk
mencurahkan isi hati. Ketika itu saya sedang mengandung. Ketika hal itu saya
tanyakan kepada suami saya, ia menjawab acuh tak acuh, "Semuanya kan sudah
lewat. Sekarang ia sudah menikah". Luka itu meninggalkan bekas yang tidak bisa
hilang dari hati saya. Saya melahirkan seorang bayi laki-laki, Tong tahun 1914.
Ayah mertua saya bangga karena pada hari ulangtahunnya yang ke 40 ia sudah
mempunyai cucu.
Suasana Kesawan Pada Perayaan Ratu Wilhelmina 25 Tahun Bertahta |
Bertemu Calon Raja Karet.
Di masa yang lalu, anak perempuan yang sudah menikah tidak boleh berkunjung ke rumah orangtuanya, kecuali kalau diundang. Setelah kelahiran Tong, ayah menulis surat kepada besannya, untuk mengundang suami saya dan saya serta bayi kami ke rumahnya di Medan. Mertua saya memberi izin dengan syarat Tong ditinggalkan pada mereka.
Kami pun berlayar ke selatan. Di pelabuhan, kami dijemput dengan gerbong
kereta api milik Sultan pribadi. Kendaraan itu pula yang mengantarkan kami
pergi dua tahun sebelumnya. Di Medan, masyarakat Hakka dan Hokkian bersama sama
menjemput kami, karena ayah mertua saya adalah tokoh masyarakat Hokkian di
Cina.
Ketika saya berangkat ke Amoy, tubuh saya termasuk montok Kini saya
kembali ke Medan dalam keadaan langsing. Satu setengah bulan berlalu dengan
cepat dan saya pun harus kembali ke rumah mertua.
Menjelang musim gugur, kesehatan suami saya mundur. Diperkirakan iklim
tropis baik baginya. Jadi kami diperbolehkan pergi ke Medan lagi, asal Tong
ditinggalkan di Amoy. Tentu saja ayah senang menerima kami.
Di Kapal, kami berkenalan dengan seseorang bernama Lee Kong Chian yang
kami undang untuk berkunjung ke tempat ayah. Suami saya mengajaknya berkeliling
meninjau perusahaan-perusahaan ayah, di antaranya ke perkebunan dan ke Deli
Bank yang bersaing dengan bank-bank barat. "Tampaknya seluruh Medan ini milik
ayah mertuamu" , Komentarnya kepada suami saya, "Kalau melihat semua ini, tidak
sulit buat kamu memulai usaha sendiri".
Suami saya dengan penuh keyakinan berkata, "Kalau ayah mertua saya bisa,
mengapa saya tidak ?" Lee menjawab, "Mertuamu mulai dari bawah. Ia tahu apa
artinya kegigihan, sedangkan kamu lahir sebagai anak orang kaya".
Ayah menawarkan beasiswa kepada Lee, tetapi ia menolak. Ia lebih suka
bekerja di sebuah perusahaan sepatu karet yang besar di Singapura, milik Tan
Kak Kee. Ketika suatu hari kami mengunjunginya di Singapura, ternyata ia
tinggal di sebuah kamar sempit yang lembab dan berbau karet. Pulang dari sana,
suami saya menghela nafas. "Ah, teman kita yang malang" katanya. Kami tidak
pernah menyangka bahwa kelak Lee Kok Chian akan menjadi raja karet yang
termasyhur.
Dianggap Membawa Rezeki.
Kami merayakan tahun baru Imlek di Amoy, kemudian ayah saya genap
berdinas 30 tahun pada pemerintah Hindia Belanda dan peristiwa itu akan
dirayakan besar-besaran. Ketika itu ibu saya baru melahirkan seorang anak laki
laki lagi, Lee Liong. Artinya adik saya ini lebih muda daripada putera saya.
Tidak lama setelah itu ayah menandatangani perjanjian pendirian Deli Bank
di Batavia dengan Majoor der Chinezen Khouw Kim An dan Kapitein Lie Tjian Tjoen
serta beberapa orang lain. Dari 600 saham, ayah memegang 200 di antaranya.
Suami saya dijadikan manajer Deli Bank di Medan dan kami mendapat rumah di
daerah elite di Medan. Di rumah baru ini kami bisa berbuat sekehendak hati
karena lepas dari pengawasan ibu.
Ketika kami pergi ke Amoy untuk merayakan tahun baru Imlek,suami saya
membawa hadiah kerongsang (bros bertatah intan) untuk ibunya. Ibu mertua saya
sangat senang. Suami saya kini dipandang tinggi, sebagai seorang yang sudah
berpenghasilan. Orang-orang yang dulu menganggap saya barbar, kini berpendapat
bahwa saya isteri pembawa rezeki. Walaupun demikian, kami tetap tidak boleh
membawa Tong ke Medan. Bulan November tahun 1919 itu, ibu melahirkan anak
ketujuh. Seorang anak laki-laki lagi, Tseong liong, yang biasa kami panggil
adek.
Bank Baru Pembawa Petaka.
Atas saran beberapa orang suami saya mendirikan bank baru, Kong Siong Bank, saya menganggap tindakan ini tidak sehat, sebab bank baru ini bisa saja mempunyai kepentingan yang berlawanan dengan Deli Bank milik ayah, tempat ia menjadi manajer pelaksana."Tidak , kedua bank ini akan bekerja sama", dalih suami saya. Katanya, ia mempunyai orang kepercayaan untuk mengelolanya. Ternyata Kong Siong Bank merosot dari hari ke hari dan tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Bukan cuma keluarga kami yang menghadapi masalah-masalah dengan generasi
mudanya. Putra sulung paman Yong Hian, memang menjadi Konsul Republik Cina di
Medan, tetapi adik-adiknya yang laki-laki seperti Kung We, Kung Lip dan Kung Tat
sering membuat heboh dengan cara hidup mereka yang berlebihan. Isteri mereka
saling bersaing dalam perhiasan dan pakaian. Sementara mobil-mobil mewah mereka
yang selalu baru, memamerkan diri sepanjang jalan jalan kota Medan. Ayah risau
dan bahkan sempat sakit karena para kemenakannya ini ada yang mengalami
ketekoran dana di Deli Bank. Selain itu mereka membuat orang iri dan
menimbulkan celaan serta pergunjingan. Para orang kaya baru ini betul-betul
tidak menghormati jerih payah orang tuanya dalam mencari uang dan tidak
menghargai warisan. Bibi Hsi, ibu mereka yang terbiasa tinggal di desa di
daratan Cina, sebaliknya hidup hemat dan sederhana sekali di Medan. Ia tidak
pernah iri pada kemewahan orang lain, sehingga luput dari celaan.
Kaum muda ini rupanya tidak menginsafi dampak Perang Dunia I di Eropa terhadap
ekonomi dunia. Pada masa itu juga para penjudi profesional dari Penang
memperkenalkan judi pei bin di Medan. Banyak orang tergila-gila pada judi
dengan akibat usaha mereka rusak tanpa bisa diperbaiki lagi.
Ayah Merasa Sudah Tua.
Tahun 1920 yang penuh gejolak itu ayah dan ibu merayakan pernikahan perak mereka. Ayah tidak mau orang-orang menghamburkan uang untuk hadiah baginya, sehingga perayaan hanya diadakan di antara keluarga. Walaupun sederhana, semua orang gembira. Saya terkenang kembali masa saya masih kecil.
Ayah merasa ia sudah tua. Ia sudah menyiapkan 12 rumah atas nama ibu yang diharapkan akan memberikan penghasilan yang cukup bagi ibu di masa yang akan datang. Walaupun ibu galak, ia tidak serakah. Ia menolak hadiah ini, seperti ia menolak membeli perhiasan seperti yang dipakai isteri rekan rekan ayah dari Jawa. Ayah memberi sepuluh ruko untuk saya, yang memberi penghasilan hampir seribu gulden sebulan. Dua diantaranya dipakai untuk Kong Siong bank.
Suatu sore awal tahun 1921 ayah memberi tahu ia sudah menerima cetak biru kapal 6.000 ton yang dipesannya dari Jepang. Kapal ini bisa dipakai mengangkut penumpang maupun barang. Rencananya ia akan membawa kami ke Eropa dalam perjalanan perdana dan untuk keperluan itu ia sudah belajar berbahasa Inggris.
Hari itu kami berpisah pukul 22.00. Malamnya tiba-tiba saya dibangunkan
pesuruh ayah saya. "Non, dipanggil Nyonya besar. Tuan besar tidak enak
badan", kata Amat. Saya gemetar dan segera ikut ke rumah ayah saya. Ayah saya
terengah engah di ranjang. Dr. Van Hengel yang memeriksanya berkata, "Anda tidak
apa apa, Majoor, cuma terlalu keras bekerja". Ia meminta ayah untuk beristirahat
dan memang ayah tenang kembali.
Keesokan harinya ibu menyuruh saya pergi ke Pangkalan Berandan, untuk
berdoa di makam kakek dan nenek saya dari pihak ibu. Tahu tahu saya disusul ke
sana dan diminta segera kembali ke Medan. Saya sangat risau sebab merasa
keadaan ayah memburuk. Tiba di depan rumah, saya sudah melihat kesibukan yang
tidak biasanya. Jambul (Kian Liong) berlari menyongsong saya. "Ayah meninggal",
katanya.
Saya bengong memandang Jambul tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun.
Seseorang membimbing saya masuk ke ruang besar tempat pemujaan arwah nenek
moyang. Ayah berbaring mengenakan jubah panjang biru dan jas pendek hitam.
Matanya tertutup rapat, tetapi bibirnya terbuka sedikit seperti ingin
mengucapkan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara yang keluar.
Saya membenamkan wajah saya ke lipatan lengan jubahnya yang lebar dan menangis. "Bawa dia pergi", seru seseorang."Jangan biarkan air mata menetes ke jenazah. Nanti almarhum lebih berat lagi meninggalkan dunia fana ini". Ketika saya dibawa pergi, saya mendengar seseorang berkata,"Dia anak kesayangannya".
Saat itu adik bungsu saya, Tseong Liong, belum mengerti apa-apa. Saya melihat ia membakar kertas perak dengan kakak-kakaknya. Orang-orang terlalu sibuk untuk menghapuskan jelaga dari wajahnya. Kertas perak itu dibakar untuk memberi bekal kepada ayah kami dalam perjalanannya ke alam baka. Ayah meninggal karena pendarahan otak 8 Februari 1921 atau tanggal 27 bulan 12 tahun monyet menurut penanggalan Cina.
(Catatan Redaksi: Menurut sumber-sumber lain, diantaranya Leo Suryadinata
dalam Prominent Chinese Indonesia, Tjong A Fie bunuh diri akibat resesi,
perusahaan perusahaannya mundur dan ia tidak bisa membayar cek sebesar 300.000 gulden yang dikeluarkan oleh Deli Bank. Ketika berita itu tersebar, nasabah
Deli Bank berlomba-lomba menarik simpanan mereka. Tjong A Fie tidak bisa
melihat kenyataan ini, sehingga ia mengakhiri hidupnya sendiri).
Pembagian Warisan.
Notaris Fouquain de Grave bersama wakilnya dan juru tulisnya datang membacakan surat wasiat ayah. Semua keturunan ayah , baik laki laki maupun perempuan mendapat warisan tanpa kecuali. Begitu pula putra angkatnya (anak angkat Ibu Lee) dan cucu dari putra angkatnya itu. Ayah menunjuk isterinya sebagai satu satunya executive testamentaire dan wali bagi anak anaknya yang masih di bawah umur. Semua harta peninggalannya, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, sesudah dikurangi dengan yang diberikannya kepada anak-anak perempuannya sebagai bekal pernikahan, dimasukkan ke dalam Yayasan Toen Moek Tong, yang harus didirikan saat ia meninggal, di Medan dan di Sung Kow.
Saya membenamkan wajah saya ke lipatan lengan jubahnya yang lebar dan menangis. "Bawa dia pergi", seru seseorang."Jangan biarkan air mata menetes ke jenazah. Nanti almarhum lebih berat lagi meninggalkan dunia fana ini". Ketika saya dibawa pergi, saya mendengar seseorang berkata,"Dia anak kesayangannya".
Saat itu adik bungsu saya, Tseong Liong, belum mengerti apa-apa. Saya melihat ia membakar kertas perak dengan kakak-kakaknya. Orang-orang terlalu sibuk untuk menghapuskan jelaga dari wajahnya. Kertas perak itu dibakar untuk memberi bekal kepada ayah kami dalam perjalanannya ke alam baka. Ayah meninggal karena pendarahan otak 8 Februari 1921 atau tanggal 27 bulan 12 tahun monyet menurut penanggalan Cina.
Tandu Jenazah Tjong Ah Fie |
Prosesi Pemakaman Tjong Ah Fie |
Suasana Pengebumian di Pulo Berayan |
Suasana Pengebumian di Pulo Berayan |
Pembagian Warisan.
Notaris Fouquain de Grave bersama wakilnya dan juru tulisnya datang membacakan surat wasiat ayah. Semua keturunan ayah , baik laki laki maupun perempuan mendapat warisan tanpa kecuali. Begitu pula putra angkatnya (anak angkat Ibu Lee) dan cucu dari putra angkatnya itu. Ayah menunjuk isterinya sebagai satu satunya executive testamentaire dan wali bagi anak anaknya yang masih di bawah umur. Semua harta peninggalannya, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, sesudah dikurangi dengan yang diberikannya kepada anak-anak perempuannya sebagai bekal pernikahan, dimasukkan ke dalam Yayasan Toen Moek Tong, yang harus didirikan saat ia meninggal, di Medan dan di Sung Kow.
Keturunannya yang pria menjadi ahli waris yang sah dari yayasan itu, yang
tidak bisa dibagi, dibubarkan ataupun dijual. Mereka akan menerima persentase
dari hasil yayasan itu selama hidup. Selain itu ada persentase untuk mengurus
rumah keluarga dan untuk amal. Mereka masing-masing akan menerima 150.000
gulden pada saat menikah. Jika salah seorang ahli waris menjadi invalid karena
sakit, cacad sejak lahir, atau mengalami gangguan jiwa, yayasan akan
menyokongnya selama hidup.
Orang-orang berdatangan dari tempat-tempat jauh seperti Jawa untuk
menunjukkan rasa hormat kepada ayah. Sementara itu para pengemis berbaris di jalan,
menunggu makanan dibagikan setiap kali suatu upacara selesai dijalankan.
Enam Puluh Tahun Terakhir.
Enam Puluh Tahun Telah Lewat ...
Enam Puluh Tahun Terakhir.
Enam Puluh Tahun Telah Lewat ...
Saat ini keluarga Kwet Liong, Lee Liong dan Tseong Liong serta saya sendiri masih tinggal di rumah besar yang didirikan ayah. Umur saya sekarang (Ketika buku ini ditulis 1981,Red) 84 tahun. Bagaimana caranya menceritakan peristiwa-peristiwa selama kurun waktu 60 dalam sebuah bab yang pendek ?.
Suami saya tidak berbakat menjadi pengusaha seperti yang diinginkannya.
Tahun 1926 ketika kami pulang ke Amoy, kedua mertua saya dalam keadaan tidak
sehat sehingga dianjurkan berobat ke Swiss. Ayah mertua saya beserta sejumlah
pengiringnya dan kami berangkat tanpa ibu mertua saya. Ia diharapkan menyusul
setahun kemudian, tetapi keburu meninggal. Enam tahun lamanya kami tinggal di
Eropa. Saya mendapat kesempatan belajar bahasa Jerman dan Prancis. Sebagai
satu-satunya orang yang memahami sejumlah bahasa Eropa modern dalam rombongan
kami, saya bertindak sebagai penerjemah.
Tahun 1931 kami kembali ke Cina. Selama tiga tahun berikutnya saya
menjadi Liaison Officer menteri luar negeri di Nanking. Di sini saya bertemu
dengan Prof. Duivendak, seorang sinolog Belanda yang merasa senang bisa
bercakap-cakap dalam bahasanya dengan saya di tempat asing.
Kemudian saya diminta ibu menjadi manajer pelaksana perusahaan kereta api
yang didirikan ayah bersama Paman Yong Hian di Swatow. Ketika pecah perang,
pemerintah mengharuskan jaringan kereta api dibongkar. Dalam perang itu suami
saya dan teman temannya pergi ke Manchuria sedangkan saya mengungsi ke Hongkong
lalu Medan. Saya tidak pernah melihat suami saya lagi. Ia meninggal di
Manchuria karena kanker paru-paru. Saya bahkan tidak bisa menghadiri
pemakamannya.
(Catatan Redaksi : Myra Sidharta, seorang psikolog Lulusan Rijksunivesiteit Leiden, Belanda yang mantan dosen di jurusan sinolog Fakultas sastra Universitas Indonesia, pernah mewawancarai Queeny, suaminya mempunyai seorang kekasih seorang perempuan Swiss yang dibawa ke Cina tahun 1931, setiba di Amoy, Queeny juga mendapatkan seorang anak perempuan di rumah mertuanya, yang ternyata anak suaminya dengan seorang perempuan Jepang pada saat mereka belum berangkat ke Eropa. Karena tidak bisa menerima kehadiran selir suaminya, Queeny pamit kepada ayah mertuanya untuk meninggalkan Amoy. Saat itu putra Queeny, Tong berada di Eropa dengan Ny. Tjong A Fie).
Dalam Perang Dunia II, Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. Seusai perang, ibu mengirim saya ke Swatow kembali untuk mengurus kereta api. Ternyata perusahaan kereta api tidak bisa didirikan lagi. Di bekas jalan kereta api itu dibangun jalan raya. Jadi, kami mengusahakan armada bus di sana. Usaha itu berjalan dengan baik. Tampaknya keluarga Tjong akan bangkit kembali, tetapi pemerintah komunis berhasil menguasai Cina. Saya melarikan diri ke Medan sedangkan keluarga suami mengungsi ke Taiwan bersama pemerintah Kuomintang.
(Catatan Redaksi : Myra Sidharta, seorang psikolog Lulusan Rijksunivesiteit Leiden, Belanda yang mantan dosen di jurusan sinolog Fakultas sastra Universitas Indonesia, pernah mewawancarai Queeny, suaminya mempunyai seorang kekasih seorang perempuan Swiss yang dibawa ke Cina tahun 1931, setiba di Amoy, Queeny juga mendapatkan seorang anak perempuan di rumah mertuanya, yang ternyata anak suaminya dengan seorang perempuan Jepang pada saat mereka belum berangkat ke Eropa. Karena tidak bisa menerima kehadiran selir suaminya, Queeny pamit kepada ayah mertuanya untuk meninggalkan Amoy. Saat itu putra Queeny, Tong berada di Eropa dengan Ny. Tjong A Fie).
Dalam Perang Dunia II, Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. Seusai perang, ibu mengirim saya ke Swatow kembali untuk mengurus kereta api. Ternyata perusahaan kereta api tidak bisa didirikan lagi. Di bekas jalan kereta api itu dibangun jalan raya. Jadi, kami mengusahakan armada bus di sana. Usaha itu berjalan dengan baik. Tampaknya keluarga Tjong akan bangkit kembali, tetapi pemerintah komunis berhasil menguasai Cina. Saya melarikan diri ke Medan sedangkan keluarga suami mengungsi ke Taiwan bersama pemerintah Kuomintang.
Selama dua puluh tahun sesudah itu, saya bepergian ke seluruh Indonesia.
Kadang-kadang saya menjenguk keluarga mertua saya di Taiwan. Putra saya Tong
menjadi warga negara Singapura. Tahun 1970 ia meninggal akibat kanker mulut.
(Menurut Queeny Chang kepada Myra Sidharta, ia memiliki lima cucu dan beberapa buyut. Ia berhubungan baik dengan anak-anak tirinya, terutama dengan anak tiri yang beribu Jepang, yang kini menjadi pelukis terkemuka di Taipei).
Ibu berumur panjang. Ketika ibu meninggal tahun 1972, umurnya 93 tahun. Adik saya Sze Yin (Nonie), bersama janda Lee Liong dan saya merawatnya sampai ibu dijemput ajal. Betapa terharunya kami ketika masyarakat Medan ternyata menaruh banyak perhatian pada pemakamannya.
Tahun 1974 saya berkunjung ke Eropa lagi dan kenang-kenangan lama
kembali lagi pada saat saya melihat tempat-tempat yang saya kenal baik.
Sekarang, selain tinggal di Medan, saya melewatkan sebagian besar waktu saya di
Berastagi, di sebuah tempat peristirahatan milik Lee Rubber (perusahaan milik
Raja Karet Lee Kong Chian – Red).
Desember 1976 saya terbang dari Jakarta ke Penang untuk menghadiri ulang tahun ke 70 Kian Liong. Ia mengajak saya dan sanak keluarga kami berziarah ke Kek Lok Si, sebuah kuil Budha di Ayer Itam. Kami menyampaikan persembahan pada ayah kami yang patungnya ada di sana bersama patung para penyumbang pertama pendirian kuil itu di akhir abad XIX lalu.
Alangkah terharunya saya mengetahui orang tua kami masih diingat dengan rasa hormat. Ziarah itu menggugah saya untuk menulis buku ini, sebagai peringatan akan ayah saya yang memberi saya masa masa paling bahagia dalam hidup saya. Seperti kata penyair William Wordsworth : "Walaupun tidak ada yang bisa mengembalikan kemegahan rerumputan Dan semarak bunga-bungaan. Kami tidak akan bersedih hati melainkan akan menemukan kekuatan dari yang tertinggal".
(Memories of a Nonya, Eastern Universities Press. Sdn. Bhd).
Catatan Redaksi: Setelah tulisan ini dimuat dalam Majalah Intisari Mei 1982 (Ketika itu Queeny Chang masih hidup), seorang pembaca bernama Amir Hamzah, mantan Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, menanggapi demikian :
PIKULAN TIDAK DILUPAKAN WALAUPUN
SUDAH KAYA RAYA
Pada Masa Kanak-kanak, saya tinggal di Medan, di daerah yang bernama
Gudang Es. Tempat itu tidak jauh dari Istana Sultan Deli, Sultan Ma’mun Al
Rasjid Perkasa Alamsjah.
Di tempat itu ada Gang Mantri yang dihuni ayah Sutan Sjahrir yaitu Mangkuto
Sutan, Hoffd Djaksa Gubernemen di Medan. Gang Mantri adalah tempat tinggal
orang-orang berpangkat tinggi masa itu.
Selain itu, tempat tinggal saya berdekatan dengan rumah Tjong A Fie,
hartawan dan sosiawan. Di antara sekian banyak orang yang dibantunya mendirikan
surau, ternyata seorang ulama besar dari Bukit tinggi, Sjekh Mohamad Djamil
Djambek dan paman saya yang mendirikan surau bertingkat di Matur, Bukittinggi.
Tjong A Fie mempunya cara menolong orang-orang yang akan pindah. Biasanya
mereka melelang perabot rumah tangganya. Tjong A Fie akan menyuruh anak buahnya
membeli perabot satu ruang penuh dengan harga mahal sekali. Sesudah dibayar
perabot itu ditinggalkan begitu saja sehingga bisa dilelang sekali lagi.
Pada suatu hari di tahun 1921, ketika saya berumur 6 tahun, teman teman
sepermainan berteriak-teriak : "Tjong A Fie mati! Tjong A Fie mati ! ". Kami segera
pergi ke rumah Tjong A Fie yang besar itu di Kesawan. Di muka rumah kami lihat
bendera pelbagai ragam dan kertas-kertas perak bertaburan, sementara beratus
ratus orang datang.
Di Muka rumah Tjong A Fie itu, kalau tidak salah pada sebuah toko,
terpampang lukisannya dalam ukuran besar sekali. Kami melihat berpuluh puluh
orang Cina miskin berjongkok di seberang rumah sosiawan itu, menantikan sedekah.
Kami anak-anak kecil menerobos saja masuk. Kalau saya tidak salah ingat, dekat
peti jenazah ditaruh sebuah pikulan dagang. Konon itu pikulan yang dipakainya
menjajakan barang ke sana kemari sebelum ia kaya raya
Ketika sampai 1953 saya menjadi Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya,
saya bergaul dengan keluarga Tjong A Fie. Salah seorang diantaranya biasa
disebut Zoes A Foek. Ia sangat fasih berbahasa Hakka, Hokkian, Belanda ,
Inggris, Jerman , Prancis maupun Indonesia. Ia tidak lain daripada Queeny Chang
penulis buku Memories of a Nonya.
Suatu
hari, ketika kami diundang ke rumah mereka, di sana kami mendengarkan dr.
Djulham dari Binjai memainkan biola. Putri dr. Djulham adalah Trisuri Juliati
Kamal yang sekarang menjadi pemain piano terkenal dan tinggal di Jakarta.
Itulah kenang-kenangan yang saya peroleh dengan keluarga Tjong A Fie.