Masa
Kerja di Kampus Lembaga Pendidikan Perkebunan Yogyakarta
(1985 -
1987)
Bagi saya bidang pendidikan bukanlah barang
baru. Karier dimulai sebagai asisten dosen, pernah jadi dosen dan jadi
pengelola pendidikan intern di Pertekstilan TD Pardede. Bagi saya belajar dan
mengajar merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan.
Beberapa tahun sesudah bekerja di perkebunan,
perkebunan mendirikan lembaga pendidikannya yang dinamakan Lembaga Pendidikan
Perkebunan pada tahun 1970 yang terletak di Yogyakarta. Lembaga Pendidikan ini
agak lucu juga, karena merupakan lembaga yang melebur Akademi Gula Negara,
namun akademinya sendiri hanya, merupakan bahagian kecil dari kegiatannya dalam
bentuk Akademi Usaha Perkebunan. (AUP)
Pendidikan dimulai dengan upgrading, dan pada
tahun 1971 saya ikut sebagai peserta Kursus Nivellering Djabatan (KND). Jabatan
masih menggunakan ejaan lama, djabatan itu kursusnya diadakan di kompleks LPP
Jalan Solo, sedang peserta menginap di Hotel Garuda. Bagi saya kursus ini juga
merupakan kesempatan untuk bernostalgia berkunjung kembali ke almamater. Para
dosennya juga banyak teman-teman sendiri sesama alumni dari Fakultas Ekonomi
Gadjah Mada.
Sebenarnya untuk bisa menduduki jabatan
anggota Direksi seseorang harus mengikuti jenjang Kursus Manajemen Perkebunan
(KMP) dan belakangan ditambah lagi dengan Kursus Manajemen Perkebunan Lanjutan
(KMP-L). Saya telah diangkat sebagai Direksi sebelum kedua kursus itu diadakan
sehingga saya tidak mengikuti kedua jenjang tersebut diatas.
Selain dari pendidikan reguler di LPP sering
diadakan seminar-seminar dan lokakarya termasuk kursus-kursus upgrading,
sehingga kunjungan ke LPP Yogyakarta adalah masalah rutine. Bahkan andaikata
tidak ada kegiatan khusus di LPP saya sering berkunjung kesana apa bila ada
acara khusus dalam rangka Kagama, ISEI, Perhepi dan organisasi lainnya yang
diadakan di Yogyakarta. Bahkan andaikata tidak ada kegiatan khususpun saya
sering bernostalgia ke Yogyakarta. Perpindahan dari PTP X ke LPP Yogyakarta
berarti peralihan jabatan dan manajer aktif menjadi tenaga pengajar.
Saya sadar bahwa perpindahan ini bukan karena tenaga
saya betul-betul diperlukan, tetapi hanya sebagai akibat harus pindah dari
tugas sebagai manajer aktif. Karena itu. saya harus menjawab apa kegiatan tambahan
sebagai penambah kegiatan rutin di LPP.
Jelas saya tidak punya bakat dalam bidang
bisnis, sehingga kegiatan yang saya pilih adalah menambah pengetahuan, bukan
lagi dalam bidang ilmu “dunia”, namun ingin mengisi kekurangan dibidang “akhirat”,
ingin menambah pengetahuan dalam bidang agama dan budaya. Bidang budaya
terutama adalah dalam bidang kebudayaan, khususnya dalam bidang Javanologi.
Sudah lama saya tertarik mempelajari
kebudayaan Jawa dalam arti Javanologi. Secara samar-samar saya merasakan bahwa
selama Orde Baru “yang berkuasa” di Indonesia adalah kebudayaan Jawa, bahkan
“Bhineka Tunggal lka” yang mengatakan berbeda tetapi satu, diversity in unity
adalah bahagian dari kebudayaan Jawa, dimana unity itu berarti dominasi
kebudayaan Jawa, dan bukan berarti demokrasi.
Secara bergurau saya mengatakan bila ingin
mengatasi dominasi kebudayaan Jawa ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu :
larang bahasa Jawa dan larang pertunjukan wayang.
Dengan tumbangnya Orde Baru orang makin berani menyalahkan
kebudayaan ini, namun belum ada yang berani mengatakan jalan keluarnya. Saya mengikuti ceramah-ceramah tentang Javanologi yang diadakan baik
oleh organisasi swasta maupun Pemerintah. Pemahaman saya tentang Javanologi
saya tuangkan dalam “Surat kepada Walisongo”.
Setelah didiskusikan dalam kelompok pengajian
dimana saya tergabung, saya mengakui bahwa saya menulis surat itu berdasarkan
rasio, namun sekarang mulai mengakui adanya masalah eksoteris dan soteris,
mengenal yang bersifat eksotens memang mengandalkan akal, namun mengenal yang
isoteris mengandalkan qalbu, hati, nurani atau apapun namanya.
Saya mulai percaya bahwa jiwa seseorang yang
masih hidup dapat saja berhubungan dengan jiwa orang yang telah meninggal,
walaupun untuk itu ada syarat-syaratnya, antara lain jiwa raga harus selalu
suci dan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan, syukur-syukur bisa mendapat
petunjuk dan ilmu yang langsung dari padanya.
Erat hubungannya dengan Javanologi adalah
keinginan menambah pengetahuan tentang Islam. Saya menyadari bahwa ilmu tentang
Islam adalah sangat dangkal, satu-satunya yang dapat menolong adalah munculnya
taufiq, hidayah dan iradah dariNya, dan adalah syah-syah saja mengharapkan
datangnya bantuan dari Allah.
Di bidang ilmu pengetahuan, saya tidak tidak
begitu tertarik mendalami ilmu spesialisasi, karena yakin makin seseorang itu
menjadi seorang spesialis, makin terisolasi ia dalam bidang ilmunya sehingga
penilaiannya menjadi tidak seimbang. Namun demikian, saya sangat tertarik
terhadap ekonomi pertanian dalam arti bagaimana mengangkat taraf hidup rakyat
terutama di pedesaan dan yakin bahwa desa-pertanian-miskin adalah satu nafas,
bahkan sangat yakin ajaran agama sendiri telah tersegregasi antara kaya miskin,
sehingga orang sudah lupa pada zero sum game, kekayaan para juragan di desa
tidak lagi dianggap sebagai akibat dari penghisapan sang ragas terhadap si
miskin.
Saya sama sekali tidak berniat untuk tinggal
di Yogyakarta. Sewaktu dipindahkan dari Bandarlampung ke Yogyakarta sebenarnya
saya telah minta pada pak Menteri Pertanian agar ditempatkan di Medan saja
namun agar disetujui. Karena itu setelah kontrak rumah habis dan
tunjangan-tunjangan satu demi satu dicabut, saya merasa tempat sudah tidak ada
lagi sehingga bila tidak boleh pindah ke Medan saya sudah bertekad mengajukan
pensiun dipercepat.
Masa
Kerja di Lembaga Pendidikan Perkebunan
Kampus
Medan (1985 - 1987)
Dalam pada itu, Pimpinan LPP telah bertukar
dari Prof Semangun kepada Ir Karhi dan Ir Karhi menganggap perpindahan ke Medan
adalah soal intern LPP sehingga kalau tujuannya hanya kembali ke Medan bisa
saja pindah tanpa minta pension. Dengan demikian pada tahun 1987, sesudah
hampir 2 tahun berada di Yogyakarta kami kembali ke Medan, bertugas di LPP
Medan.
Semula saya memang ingin mencari pekerjaan
lain, tetapi ternyata untuk menjadi “pegawai” yang menerima perintah dari orang
lain secara psikologis adalah sulit, sedangkan membuka usaha sendiri terus
terang saya tidak mempunyai keberanian.
Mula mula saya bekerja sampingan mengurus
suatu kursus, namun saya merasa tidak enak dan meninggalkannya. Saya juga
mencoba bekerja di suatu universitas, Universitas Medan Area dan diserahi tugas
memimpin Lembaga Penelitian. Dalam masa yang singkat, saya sempat mengadakan
upgrading untuk para tenaga pengajar, dengan bantuan saudara-saudara yang
berpredikat S3. Dalam pengenalan komputer ada dosen-dosen yang tangannya masih
menggeletar, karena baru pertama kali memegang komputer.
Saya juga mencoba mendirikan usaha dengan
bekas mahasiswa yang sudah jadi dosen, namun bekas mahasiswa ini mengharap
terlampau banyak, sedangkan saya tadinya mengharapkan bahwa yang bekerja adalah
bekas mahasiswa dan saya membantu dari belakang. Usaha ini
juga tidak membawa hasil. Karena itu, saya berprinsip “Make The Best Of It”.
Dari tabungan saya ; bekerja sama dengan
beberapa orang teman membuka kebun sawit dengan skala yang sangat kecil dan
sudah mulai memberi hasil. Karena itu dengan pensiun yang ada dan tambahan
sedikit dari hasil sawit sudah dapat hidup tenteram. Sayangnya dengan adanya
pergolakan di Aceh dan harga sawit yang tidak menent penerimaan saya juga jadi
terancam.
Di Medan saya dapat belajar agama dengan lebih
intensif. Secara kebetulan saat kembali ke Medan hampir bersamaan dengan
kembalinya beberapa orang dosen IAIN Medan dari menyelesaikan studi mengambil
S3 di IAIN Ciputat Jakarta, dan dengan beberapa tenaga yang ada di Medan mereka
membentuk Pendidikan Tinggi Pun Sarjana “Dirasatul ‘Ulya”. (DU), suatu “kursus” yang
diadakan setiap hari Minggu. Kursus ini merupakan kursus non degree yang
direncanakan selama 6 semester. Namun, dengan, dua kali kuliah setiap minggu
dan dengan anggapan 40 kali dalam setahun berartl 5 % dalam setahun atau 15 SKS
seluruhnya. Karena itulah dinamakan kursus non degree, karena perkuliahan hanya
diadakan pada hari Minggu, dan dengan 15 SKS tentulah tidak mungkin disamakan
dengan S2.
Kuliah-kuliah diadakan di ruang kuliah Majelis
Ulama Islam Sumatera Utara (MUI-SU).
Melalui keikutsertaan di DU yang diadakan di MUI-SU, saya berkesempatan bergaul lebih dekat dengan
kalangan para ulama.
Salah satu yang mengecewakan adalah “terbuka
mata” melihat realitas para ulama Ulama yang dalam bayangan saya sama dengan
para guru yang berdakwah di mesjid Sibolga pada waktu saya masih jadi pelajar
SMP ; yang
saya anggap jujur tanpa mengharapkan honorarium, ternyata tidaklah secantik
itu. Ulama itu adalah orang-orang biasa yang juga memerlukan uang yang juga
terlibat dalam intrik-intrik.
Apalagi pengurus MUI bukan hanya ulama,
termasuk juga para cendekiawan dan para pengusaha. saya bukan bermaksud
merendahkan ulama, hanya ingin mengkoreksi pendirian saya sendiri yang selama
ini menganggap ulama itu derajadnya
tinggi. Lain ulama, lain wali dan selama ini saya menyamakan ulama dengan wali.
Selama bergaul di MUI-SU/DU ada beberapa
kegiatan yang saya ikuti. Saya ikut dalam usaha koperasi, yang ternyata gagal,
karena dasar-dasar koperasi yang sangat sederhana, ada anggota yang akan
menikmati dan ada yang akan dinikmati tidak tercapai.
Anggotanya tersebar di kota Medan dan ada yang
di luar kota. Apa yang akan dinikmati bersama juga tidak jelas. Dalam keadaan
bingung yang demikian itu ada yang mengusulkan memberi pinjaman pada seseorang
untuk membeli goni bekas tepung terigu yang kemudian akan diolah jadi perhiasan.
Perhiasan jelas nilai kebutuhannya rendah dan pasarannya sangat terbatas. Saya
tidak mau ikut membiayai, karena melihat usaha itu tidak feasible, namun
beberapa kawan bersedia membiayai. Akhirnya seseorang itu dibiayai dengan
“semangat Islam” atas dasar bagi hasil. Yang menerima modal juga bingung, dan
akhirnya ia minta orang lain menjalankannya dan orang lain itu berusaha
berdagang salak dan salaknya hilang distasiun bis. Orang yang menerima modal
akhirnya dikejar dengan perantaraan polisi.
Saya juga terlibat dalam pembentukan Bank
Syariah, namun disini juga rasionalisme tidak berjalan dengan baik. Bank
Syariah yang modalnya hanya Rp50.- juta mengurusnya sama saja dengan mengurus
bank besar, harus melalui berbagai departemen di Jakarta dan tentu ini memerlukan
biaya yang tinggi. Selain dari pada itu sebagian dari modal yang disetor
diblokir di rekening menteri keuangan. Untuk sampai mendapat izin beroperasi,
calon bank yang bersangkutan telah terengah-engah, dan sesudah izin keluar bank
yang bersangkutan telah lesu darah.
Selain dari pada itu timbul lagi masalah break
even point (BEP), sesudah berapa lama BEP
itu tercapai dan bagaimana membiayai “loss” dalam masa pra BEP tersebut. Saya mengusulkan
agar biaya pra BEP itu ditanggung bersama dan jangan dibebankan pada bank. Usul ini juga
tidak diterima, sehingga bank yang muncul dalam keadaan lesu darah akan mati
pelan-pelan. Realitas dan realisme diperlukan dalam pembinaan pranata pranata
ekonomi, dan pemberian label Islam bukanlah merupakan obat yang membuat kita
meninggalkan realitas.
Juga dalam kepengurusan Bank Syariah ini saya
kena intrik, suatu hal yang tidak lazim terjadi, uang saham saya dikembalikan, karena dianggap oposan. Saya keberatan atas
usaha mengadakan training terhadap calon anggota Komisaris Bank, kalaupun mau
diadakan disamarkan
dengan istilah seminar atau lokakarya.
Saya juga akrab dengan beberapa LSM. LSM
Humaniora bergerak dalam bidang pengajian, mengadakan pengajian bulanan
dengan mengambil tempat di hotel Garuda Plaza. Pemilik hotel menyediakan tempat
dan snack yang memungkinkan pengalian ini berjalan. Fasilitator diambil dari
sarjana-sarjana dan ulama-ulama setempat. Saya sangat berterima kasih, karena
disini selain dari pada menambah pengetahuan, juga mendapat teman-teman baru. Salah
satu “halangan” yang saya alami adalah umur yang sudah tua sehingga agak sulit
berkomunikasi bebas dengan peserta-peserta yang lebih muda.
LSM kedua adalah LAAI,
Lembaga Advokasi Anak Indonesia, yang memperjuangkan nasib anak-anak terlantar
terutama anak-anak yang bekerja di Jermal. LSM ketiga adalah Bitra yang bergerak di
bidang pertanian dan pedesaan.
Selama di Medan, ada dua pekerjaan di luar
tugas biasa yang saya lakukan, pertama pengiriman kader-kader di bidang
pemasaran ke Malaysia dan yang kedua pidato dies LPP pada tahun 1990.
Bonar Simanjuntak, mantan Dirkom PTPVI yang
diberbantukan pada Kantor Asosiasi Pemasaran, di Jakarta, yang dipimpin Mantan
Dirut dan teman saya sewaktu kuliah di Fakultas Ekonomi menyampaikan pesan
mengenai kemungkinan pengiriman kader PTP untuk dilatih di Malaysia dalam
bidang pemasaran. Biaya pengiriman ini akan diambil dari bahagian keuntungan
Indoham, anak perusahaan gabungan PTP yang berkedudukan di Hamburg, Jerman
Barat.
Pada waktu itu ada kerja sama antara LPP dengan
suatu perusahaan konsultan di Malaysia yang juga bergerak di bidang pelatihan.
Kebetulan dalam waktu yang hampir bersamaan, ada acara ikatan sarjana Ekonomi
ASEAN di Penang, dan saya bermaksud, menghadirinya.
Saya menyanggupi membicarakan hal itu dengan
PA Consulting, konsultan rekanan LPP yang berkedudukan di Kuala Lumpur Dalam
pembicaraan dicapai persetujuan prinsip, perusahaan konsultan akan mengirim
rencana syllabus dan kurikulumnya beserta taksiran biayanya. Sayangnya, pada
saat mendekati berangkat dinyatakan bahwa saya tidak ikut, sedangkan saya yang
merintisnya. Namun, akhirnya keluar surat Menteri Muda Pertanian yang menunjuk
saya sebagai pemimpin rombongan. Terus terang saya tidak bersemangat lagi,
apalagi sebagai pimpinan rombongan, saya tidak punya satu senpun dana.
Rombongan ditempatkan di Bangi, bertempat
disalah satu gedung pelatihan pegawai bank. Untunglah selama latihan
berlangsung, tidak ada sesuatu terjadi yang memerlukan pengeluaran ekstra.
Selesai pelatihan kepada peserta yang dibagi dalam beberapa kelompok diminta
menyusun laporan dan akan dibahas dalam pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh
Menteri Muda. Sayangnya, salah satu usul yang saya tanamkan pada salah satu
kelompok, mengenai cess untuk penelitian seperti yang dilaksanakan di Malaysia
tiba-tiba di cut Menteri Muda, tidak boleh dibicarakan lagi.
Yang kedua adalah mengenai pidato Dies. Saya
mengajukan gagasan pada Kepala Kampus Medan, bagaimana kalau dalam pidato dies
diangkat masalah kepemimpinan, di perkebunan, yang saya bagi dalam matriks yang
harus dikembangkan secara seimbang tidak dibatasi pada hubungan individu dengan
individu dan individu dengan kelompok namun harus diperluas juga mencakup
pengaruh kelompok terhadap individu dan kelompok dengan kelompok. Sayangnya, lagi-lagi
rencana ini dikebiri oleh Direktur, sehingga penyusunnya “diperluas” menjadi 4
orang, sehingga saya tidak punya peranan lagi. Untungnya pidato dies ini,
adalah pidato formal tanpa ada acara dialog. Acara itu sendiri dihadiri oleh
Menteri Pertanian dan Kepala Daerah IstimewaYogyakarta, Sri Paku Alam VIII.
Puncak dari penindasan ini adalah merobah
ketentuan pensiun saya dari umur 60 tahun sesuai dengan surat resmi pertama,
dirubah menjadi 59 tahun dengan surat susulan. Saya yang sudah tidak bersemangat
lagi bertugas di LPP, merasa tidak perlu memperpanjang perubahan itu, walaupun
dengan akibat saya tidak menikmati masa persiapan pensiunan penuh selama satu
tahun.
Masa Pensiunan
(1992 – Sampai Sekarang)
Dalam masa pensiun ini, saya diangkat oleh Gubernur
Sumatera Utara jadi Direktur Skill Development Project, suatu proyek yang
dibiayai oleh Bank Dunia. Direktur sertanggung Jawab pada suatu Dewan yang
diketuai oleh Ketua KADIN-SU. Saya mengerti bahwa proyek ini adalah lanjutan dan proyek yang pertama. yang
ditujukan pada pelatihan trainers, dan dilanjutkan pada pelatihan tenaga kerja
dengan memanfaatkan hasil dari proyek yang pertama. Selanjutnya saya juga
mencium, bahwa sasarannya adalah bagaimana supaya proyek ini nampaknya jalan,
sedangkan pelaksanaan misi skill development nampaknya tidak jadi prioritas.
Dalam masa pensiun ini, saya lebih intensif
berusaha untuk menuliskan sesuatu sebagai kenangan, yang akan ditinggalkan pada anak cucu.
Kebiasaan membuat catatan harian pendek berupa
jotting, terus saya laksanakan walaupun waktunya tidak teratur, sebelum mulai
kerja di pagi hari atau di malam hari sebelum tidur. Dari jotting bulan Juli
1992 saya mencatat pembicaraan dengan Direktur LPP yang mengatakan bahwa mulai
30 September tahun itu juga saya akan pensiun, sedang sebelumnya telah menerima
surat bahwa saya akan pensiun pada saat usia 60 tahun, jadi sesudah mengalami
masa persiapan pensiun selama setahun. Ketentuan untuk berlaku surut, saya
pensiun bukan pada usia 60 tahun tetapi 59 tahun. Saya tidak mau ribut-ribut,
walaupun saya menduga ada tangan-tangan jahil bermain dibelakangnya, saya ingin
pensiun secara damai (retire in peace, bukan rest in peace).
Sewaktu saya menjalani pendidikan jabatan di
Fountenebleau pada tahun 1982, kota yang juga diplot Pemerintah Perancis
sebagai kota pensiunan, saya membayangkan alangkah indahnya hidup purna karya.
Saya juga sejak kecil mengagumi cerita mengenai pensiunan pegawai negeri, yang
dengan gagah naik bendi mengambil pensiun ke kas negara, ia akan segera
dikerumuni beberapa orang yang mengharapkan dipanggilnya minum teh di kedai,
tentu saja semua minuman akan dibayar oleh sang pensiunan. Namun, pensiunan
ideal itu sangat berbeda dengan pensiunan sekarang. Dosen saya pernah
bercerita, income makes a man, penghasilan membuat orang, penghasilan
menentukan status orang dalam masyarakat. Hidup pensiunan tempo dulu itu nyaman
karena jadi golongan menengah dan tinggi dalam masyarakatnya, seperti bisa naik
bendi.
Penghasilan berbeda dengan gaji, karena
sebagai pejabat, selain menerima gaji ia juga menerima berbagai tunjangan,
sehingga takes home pay-nya lebih besar dari gaji. Takes home pay inilah yang
menurun drastis, pertama semua tunjangan hapus, dan pensiun hanya sekian persen
dari gaji terakhir. Karena itu masalah pertama yang dihadapi bagaimana
mengadakan penyesuaian, antara gaya hidup lama dengan income yang baru.
Alternatif pertama adalah penurunan quality of
life, disesuaikan dengan income baru. Namun apa yang bisa dikurangi ? Listerik, air dan
telepon tetap harus ada, mungkin kuantitas pemakaiannya dikurangi telpon
digunakan untuk yang sangat perlu saja. Namun timbul “pos baru” yang tadi belum
ada, komunikasi dengan anak yang tinggal relatif jauh, Pekanbaru dan Jakarta.
Disamping itu “kebutuhan” akan telpon genggam dan internet juga merupakan pos
yang tadinya belum ada. Listerik harus dikurangi penggunaan air condition dan
lain-lain diminimalisasikan. Supir pribadi dari dua orang menjadi satu, dan
pemakaiannya juga dikurangi dari lima atau lima orang diturunkan jadi satu atau
dua orang saja. Selain penurunan kuantitas, juga muncul penurunan kualitas dari
pembantu kelas satu pembantu kelas dua atau tiga. Dan untuk sementara lupakan
saja nafsu untuk membeli mobil baru.
Ternyata semua hal ini sukar untuk dilaksanakan.
Alternatif kedua, mengadakan divestasi, tetap sertahan dengan gaya hidup lama,
dan kekurangannya ditutup dengan mengerahkan apa yang dipunyai, dengan
menjualnya satu persatu. Namun bila hal ini dijalankan, tentulah tidak bisa
sertahan lama, kecuali pernah jadi koruptor besar atau menang lotere.
Alternatif ketiga memulai sesuatu yang baru,
mengerahkan semua kemampuan dari kepunyaan, mengadakan investasi dalam usaha
baru untuk mendapat tambahan penghasilan. Ini juga merupakan kontradiksi.
Pensiun artinya uzur walaupun belum jompo. “The spirit is willing but the flesh is
weak”, semangat menggebu-gebu, tetapi badan lemah, adalah pepatah yang
saya kenal sejak dari bangku SMP. Dulu saya tidak kenal apa
maksudnya namun sesudah pensiun baru saya paham apa maksud pepatah itu. Ingin
bergerak hebat, namun kurang memperhatikan batasan-batasan kekuatan sehingga
heran ada yang memperpendek masa pensiunnya dengan segera masuk ke liang kubur.
Karena itu, bagaimanpun peralihan dari berdinas aktif kearah pensiun, bagaimana
pun disebut-sebut dengan istilah yang manis, purnawarawan wredatama, purna
karya dan sebagainya, pensiun pada dasarnya tetaplah menjadi masalah jadi
tidaklah berlebihan apabila kepada karyawan diberikan masa persiapan pensiun
(MPP), masa bebas tugas (MBT), dimana seseorang selama satu tahun sudah
berhenti bekerja dengan mendapat gaji penuh, yang seperti telah saya singgung
dimuka karena peraturan yang tidak tegas tidak dinikmatinya lagi.
Orang orang usil memanjangkan MBT dengan
kepanjangan lain, mati pelan-pelan, mati banting tulang dalam bayangan apa yang
di Malaysia disebutkan Askar tak Berguna Karena, bagaimana pun pensiun ini
menjadi masalah, karena itu tidak heran banyak juga yang berfungsi sebagai
konsultan, resmi atau tidak resmi, yang berupaya mengurangi derita pensiunan.
Seorang teman saya, almarhum Drs Soepomo S.H,
mengabadikan hasil renungannya dalam buku tulisannya yang diberi judul
“pensiunan tanpa Kegelisahaan” dengan sub judul “Apa kegiatan anda sesudah
pensiun?”. Saya berkenalan dengan pak Pomo ini sewaktu sama-sama mengajar di
Sekolah Menengah Kemasyarakatan (SMK) di Banjarmasin pada akhir tahun lima
puluhan, sewaktu sama-sama sebagai pegawai negeri mendapat “Kamar dinas” (bukan rumah dinas),
walaupun pada losmen yang berlainan. Saya mengenalnya sebagai kawan yang selalu
optimis, dan tidak heran apabila sobat saya itu memilih istilah pensiun tanpa
kegelisahaan. Tidak gelisah tanpa pensiun, adalah pancaran optimisme.
Saya masih ingat, pada suatu waktu bertemu dengan
Prof. Dr Maryam Darus SH saya mengatakan pada senior saya itu bahwa pensiun
bukanlah akhir tugas, tetapi alih tugas. Istilah itu dijabarkannya dari buku
“Masa Pensiun yang Bahagia”, terjemahan Drs Budi dari buku “Retirement”
karangan trio C. Norteoote Parkinson, MK Rustomji dan Walter E.Viera.
Barangkali penterjemahnya juga orang yang optimis seperti almarhum Soepomo
sehingga judul asli yang pendek. Retirement diterjemahkan dengan judul yang
membayangkan optimisme itu. Dalam buku itu diambil sebagai contoh petinju Joe
Louis yang pensiunan sebagai petinju dibawah umur tiga puluh tahun dan beralih
tugas pensiun sebagai pelayan restoran. Dengan contoh ini para penulis
mengatakan pensiun adalah peralihan profesi, dari profesi yang satu ke profesi
yang lain. Namun Joe Louis pada waktu beralih itu masih berumur dibawah 30
tahun, berbeda dengan saya yang telah berusia 59 tahun.
Pengertian alih tugas itu barangkali berlaku
juga untuk tokoh Jenderal T.B Simatupang yang pensiunan dari Kepala Staf
Angkatan Perang Republik Indonesia, atau Drs Sudibyo Sardadi yang dipensiunkan
sebagai salah seorang Direktur Bank Bumidaya dalam usia bawah 45 tahun.
Pensiun dapat dikatakan alih tugas merupakan
alih tugas pada saat vitalitas fisik masih tinggi. Namun bagi yang dipensiun
secara normal, pada usia diatas 50 tahun, keadaannya tidaklah sama dengan
pensiun yang tidak normal tadi. Karena itu, dapat dipahami mengapa timbul
keresahan dikalangan pensiunan yang melahirkan istilah mati pelan pelan, mati
banting tulang dan askar tak berguna itu.
Retire in peace, pensiun tanpa kegelisahaan,
masa pensiun yang bahagia, persoalan utamanya adalah bagaimana mengatasi
kesenjangan antara gaya hidup yang lama dengan penurunan take home pay.
Masalahnya bertambah dalam, apa bila pensiun itu juga dirasakan menerjang harga
diri karena dari manusia bernomor (kecil dan besar) menjadi tak bernomor. Masih belum pensiun, baru
pindah saja dari PTP X ke LPP ; pegawai Garuda telah menggeser tempat duduk dari barisan pertama di
pesawat lebih kebelakang, apalagi kalau sudah pensiunan.
Benar atau tidak ada cerita ; yang mengatakan seorang
administratur perkebunan mencari orang yang mau digaji untuk di bentak-bentak
sesuai dengan gaya administrator selama menjabat. Juga ia mendengar cerita
Presiden Amerika yang sudah pensiun masih dilengkapi dengan staf kecil dan
masih dipanggil Mr President. Demikian juga jenderal bintang lima masih dilengkapi dengan bintara
dan perwira sebagai stafnya. Ada juga cerita lain seorang pensiunan mayor
jenderal merasa sangat menderita sewaktu mengambil pensiun hanya dipanggil
dengan nama tanpa menyebut pangkatnya walaupun sudah pensiun. Karena itu,
pensiun normal dalam arti pensiun pada saat vitalitas khususnya vitalitas fisik
telah menurun, menimbulkan disonansi kognitif alias bingung, khususnya untuk
menjawab sub judul yang diajukan pak Pomo. Apa kegiatan sesudah pensiun ?
Apa penawar kebingungan itu ? Parkinson dan
kawan kawan dalam bukunya yang disebutkan diatas menganjurkan untuk mengadakan
audit kepribadian atau dalam bahasa suraunya barangkali dinamakan muhasabah,
menilai diri sendiri secara jujur. Mereka mengakui bahwa hal ini sangat sulit
untuk diadakan, karena yang lebih tahu mengenal diri kita adalah diri kita
sendiri. Namun, adalah sulit untuk memperlakukan diri sendiri secara jujur apa
lagi menuangkannya secara tertulis untuk diketahui orang. Karena itu pulalah
diary atau buku catatan harian selalu bersifat rahasia, kecuali kepada orang
yang sangat terbatas.
Diary sendiri kadang kadang masih diselimuti
dengan keinginan untuk dilihat sebagai mana keinginan, bukan sebagaimana
adanya. Hal-hal yang penting yang mengelilingi pensiun adalah perubahan irama
hidup yang sudah terbiasa dengan ritual pagi, bangun, mandi, sembahyang.
sarapan untuk kemudian naik kenderaan menuju kantor harus berobah dengan ritual
bangun, mandi, sembahyang, sarapan untuk kemudian tidak pergi kemana-mana.
Sejalan dengan itu apabila anda masih bekerja
aktif, irama kerja anda di kantor terhisap pada sistem, apa yang dikerjakan,
siapa yang dihadapi dan menghubungi, sekarang anda menjadi seorang diri,
praktis tidak dihubungi dan menghubungi orang. Hal itu sangat berbeda dengan
waktu menjadi manajer di unit badan usaha, dimana jumlah yang menghubungi dan
dihubungi cukup padat, sehingga perlu diseleksi dan diamankan melalui satpam,
telepon atau sekretariat.
Walaupun demikian saya merasa sangat
beruntung, pensiun datang setelah tujuh tahun berada di LPP Yogya dan Medan
sebagai staf pengajar, sehingga sudah terbiasa dengan irama kerja sendiri,
dengan jumlah minimum bahkan hampir tidak ada yang dihubungi atau menghubungi
dalam urusan dinas.
Shock atas perubahan status ini sangat
terlihat pada isteri, dan berada di Yogya pada awal peralihan ini berakibat
seolah-olah adanya isolasi dengan anak-anak, sehingga mereka tidak terseret. Secara
gradual pula saya beberapa tahun bertugas di Medan baru pensiun. Kita harus
jujur kata Parkinson, dan saya pun jujur mengakui rasa bingung, walaupun tidak
terpancar dalam perilaku, namun rasa bingung itu terselip dalam hati walaupun
saya percaya sumber rezeki itu adalah Allah satu satunya.
Siapa sutradara semua itu ? saya tidak pernah
percaya ada yang lain yang mengatur selain Allah, bahkan saya merasa sangat
malu dihadapanNya, dalam kehidupan yang dirasakan tidak sempurna mengikuti
ajaranNya, saya masih dilindungi.
Selesailah lintasan riwayat hidup ini, namanya
saja adalah lintasan, memilih plot-plot yang saya anggap bermakna. Uraian
lainnya dapat dilihat dalam kumpulan tulisan saya yang tercantum dalam akhir
tulisan ini yang terdiri dari 8 tulisan. Namun, saya merasa belum plong, masih
ingin menambah refleksi dalam bidang manajemen, agama dan kewiraswastaan.
Bidang manajemen merupakan penyernpurnaan
terbadap uraian dalam lintasan lintasan hidup, dalam bidang agama saya secara
jujur ingin menyorot kehidupan keagamaan saya yang tidak begitu cemerlang, dan
kewiraswastaan saya ingin menyorot mengapa saya tidak assertive, selalu nrimo
walaupun kalau ditanya saya tidak mau mengaku demikian.
Bab Dua
REFLEKSI KEHIDUPAN
Refleksi
I
Berteori
dan Berpraktek Manajemen
Di depan telah diuraikan lintasan sejarah
kehidupan semenjak anak-anak sampai pensiun. Dari umur yang dianugerahkan Tuhan
itu boleh dikatakan 34 tahun merupakan umur yang produktif dalam arti masa
berkarya sebelum pensiun. Masa itu dapat dibagi dalam dua golongan besar,
sebagai manajer selama 24 tahun dan sebagai pendidik selama 10 tahun, bahkan 4
tahun diantaranya merangkap kedua duanya.
Yang saya maksud dengan pendidik adalah
mengajar langsung di depan kelas, sedangkan sebagai manajer tugas saya juga
mendidik, namun tidak langsung di depan kelas, bisa dalam seminar seminar,
dalam rapat rapat ataupun dalam tatap muka.
Dalam menulis refleksi ini, saya tergoda untuk
mengajukan pertanyaan pada diri sendiri yang paling berat untuk menjawabnya,
yaitu saya ini siapa. Memang ada ungkapan dalam bidang agama yang mengatakan,
bila akan mengenal Tuhan kenalilah diri sendiri. Namun, pertanyaan ini tidaklah
sejauh itu. Saya hanya akan mengatakan ada dua ciri dari hidup ini, yaitu
sebagai Muslim sejak lahir, dan sebagai warga negara Republik Indonesia sejak
Republik ini lahir Saya lahir Sembilan tahun lebih dahulu dari lahirnya
Republik ini. Dua-duanya harus sejalan, namun tidak selamanya demikian.
Menjelang Republik ini lahir ada perdebatan
apa yang akan jadi dasar ataupun filosophisch grondslog dari negara yang akan
didirikan. Sejak itu rakyat ini terbagi antara yang ingin Islam jadi dasar
negara, dan yang ingin yang lain seperti sosialisme dan nasionalisme yang
akhirnya dirumuskan menjadi Pancasila.
Sudah lima puluh enam tahun, barangkali dalam
umur manusia sudah dua generasi antara keduanya masih ada persaingan. Atas
dasar itu saya menganggap bahwa tujuan hidup itu adalah kedamaian, sesuai
dengan arti Islam itu sendiri
Salam umat Islam adalah Assalamu Alaikum,
damailah bagimu beserta rahmat dan berkah Allah. Namun, dalam dua bidang itu
rasa rasanya “sulit” -untuk mencapai kedamaian. Dalam bidang Islam, tidak ada
yang menyangkal bahwa pedoman dasar Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Yang jadi masalah adalah “perlakuan” terhadap Al Quran itu. Al Quran diturunkan
dalam bahasa Arab, sedangkan tidak semua ummat Islam mengerti bahasa Arab.
Selanjutnya walaupun mengerti bahasa Arab, belum tentu paham apa yang dimaksud,
bahkan andaikata paham pun belum tentu pemahaman seseorang sama dengan
pemahaman orang lain.
Ada beberapa penyebab dari perbedaan ini :
Pertama, jauh dekatnya dari pusat tradisi
Islam, Makkah dan Madinah. Pada awalnya, umat Islam dan para ulamanya sangat
dekat dengan tradisi Rasul, karena itu merasa lebih paham tentang dua sumber
agama Islam itu. Berbeda dengan yang jauh seperti umat Islam yang berada di
Iraq, yang kurang mengenal tradisi itu. Sebagai afternatif, para ulama
menggunakan akal sebagai ganti tradisi. Belakangan timbul pula “keinginan”
untuk membedakan tradisi Islam dan tradisi Arab, yang saya istilahkan dengan
Islam Yes, Arab No. Pakaian dan jenggot adalah tradisi Arab, yang tidak perlu
di ikut, kita bebas berpakaian asal sesuai dengan ketentuan Islam tentang
tentang tertutupnya aurat. Belakangan banyak muncul hadis-hadis politik yang
sengaja dimunculkan untuk kepentingan politik. Timbullah sekelompok orang yang
berpendapat bahwa hadis itu haruslah disaring lebih ketat, dan mana yang
bertentangan dengan akal ditolak
Dalam bidang kewarganegaraan juga didapati hal
yang sama. Bagaimana cara memilih Presiden, langsung atau tidak langsung,
bagaimana susunan DPR dan DPRD, bagaimana hubungan Pernerintah Pusat dan
Daerah, bagaimana perimbangan keuangan antara pusat dan Daerah, banyak pendapat
yang berbeda.
Perbedaan pendapat di bidang agama dan bidang
kewarganegaraan adalah berlainan. Dalam bidang agama, perbedaan pendapat akan
terus berjalan, karena disana tidak ada demokrasi, dalam agama yang ada hanya
keyakinan, percaya atau tidak percaya. Berlainan dengan bidang kewarganegaraan,
dimana ada “pemaksaan”, entah itu melalui pertarungan suara atau melalui
pengambil alihan pemerintah. Sebagaimana dalam bidang agama, juga dalam bidang
hidup bernegara bisa timbul perbedaan pendapat. Sebabnya bisa macam macam, bisa
perbedaan kecenderungan, perbedaan pengetahuan, perbedaan masyarakat dan
perbedaan sejarah.
Dalam sejarah Republik ini dikenal adanya
Nasakom, kecenderungan nasionalis. kecenderungan agama dan kecenderungan
komunis. Kecenderungan nasionalis adalah mereka yang dipengaruhi literatur Barat, kecenderungan agama dalam hal ini agama Islam adalah mereka yang dipengaruhi
pendidikan Islam, walaupun dengan variasi yang disebutkan diatas dan kecenderungan
komunis, yang juga dipengaruhi literature Barat yang berkiblat pada ajaran Marx
dan Engels.
Bung Karno sebagai bapak bangsa yang juga
orang Jawa yang berkecenderungan “sinkretis”, berupaya “memadukan” ketiga
golongan itu, namun hasil usaha itu tidak bisa diterima semua orang.
Pemahaman-pemahaman ini tentu didasarkan pada pengenalan-pengenalan teori itu
melalui literatur yang pada gilirannya menghasilkan tulisan-tulisan.
Para pendiri negara Amerika Serikat adalah
para pemikir, para ahli hukum yang tidak bisa dipisahkan dari buku, sehingga
tradisi ilmiahnya itu tergambar dalam Library of Congress, yang merupakan
perpustakaan terbesar di dunia. ini sebenannya sudah kurang tepat dinamakan
per”pustaka”an, karena tidak hanya berisi pustaka (buku), tetapi berisi
perluasan alat perekam, yang tidak terbatas pada tulisan tetapi juga berisi
pilem dan video dan tentunya sekarang berisi compact disc (CD).
Buku Naar de Republiek Indonesia dan Massa
Actie merupakan buku yang dibaca oleh banyak pejuang dalam memperjuangkan
Indonesia Merdeka, termasuk Bung Karno. Mengapa orang yang merupakan alumni
dari fakultas yang sama dari tahun yang sama mempunyai pendapat yang hampir
sama. Hal itu disebabkan bahan pelajaran yang sama, baik lisan yang diterima dari
buku maupun yang tertulis yang diperoleh dan membaca buku yang sama. Penguasaan
itu tambah dekat dengan adanya belajar bersama, adanya tenteer club. Namun
demikian, untuk identik tentulah tidak bisa, karena adanya perbedaan
lingkungan.
Seseorang yang datang dari suku tertentu yang
dibesarkan dalam bahasa suku itu pasti mempunyai bahasa Indonesia dimana
pengaruh bahasa daerah itu masih Nampak. Apakah pendapat yang berbeda-beda itu
merupakan sesuatu yang tidak benar? Saya rasa disinilah letaknya arti hadis yang
mengatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat.
Musyawarah dalam rangka demokrasi dalam hidup
dalam bidang bernegara adalah sangat panting. Memang, ada masalah pemyataan
apakah syuro dalam Islam sama dengan demokrasi? Ada yang mengatakan sama, ada
yang mengatakan tidak. Dengan demikian damai bukanlah hidup dalam dunia yang
tidak punya perbedaan, damai adalah mampu hidup dalam berbagai pendapat dan
pandangan, dan memilih satu diantaranya sebagai pegangan.
Karena pegangan itu merupakan pilihan, haruslah
disadari dia bukanlah satu satunya, dan harus menerima bahwa orang lain bisa
saja punya pendirian yang berbeda. Apabila sama sekali tidak punya pendirian,
maka hidup ini akan hampa.
Seperti telah disinggung dimuka, dalam hidup
agama merupakan pedoman tertinggi. Saya menganggap bahwa hidup beragama itu
adalah satu proses, dimulal dari hidup beragama dalam hidup pribadi, hidup
beragama dalam hidup keluarga, hidup beragama dalam bernegara, dan hidup
beragama dalam pergaulan internasional. Sampai pada tingkat ketiga, walaupun
ada perbedaa-perbedaan, namun masih lebih muda menyelesaikannya.
Hidup beragama itu dibagi dalam dua golongan
besar, hidup dalam kaitannya dengan Tuhan yang dinamakan ibadah dan hidup dalam
hubungannya dengan sesama manusia. Para ulama mengatakan ada rumus umum, dalam
ibadah semua tidak boleh kecuali yang diperbolehkan, sedangkan dalam ibadah
semua boleh kecuali yang dilarang.
Dalam bidang bernegara, kita mengenal ada tiga
aliran, aliran pertama yang mengatakan semua sudah diatur dalam agama, yang
kedua dalam Islam dijumpai prinsip prinsip beragama, sedang yang ketiga ada
yang mengatakan urusan bernegara adalah urusan dunia yang tidak ada kaitannya
dengan agama.
Dalam hubungan internasional ada yang
mengatakan kita hanya mengenal satu negara, yaitu khalifah. Fakta bahwa saya
tinggal di Indonesia yang beragama majemuk saya menganut pendirian kedua, dalam
Islam ada dasar-dasar bernegara, dan itulah melalui prosedur yang demokratis
diusahakan agar berlaku di Indonesia. Sejalan dengan itu, dalam menyiapkan
tulisan ini, saya mempunyai dua pegangan pokok, sehubungan dengan fungsi
manusia sebagai khalifah dan sebagai abadi.
Pertama, fungsi sebagai khalifah:
Tuhan telah berfirman : Dan (ingatlah) ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah (QS.- 2,30).
Kedua adalah fungsi manusia sebagai abdi ; Tidak kuciptakan jin
dan manusia melainkan mengabdi kepadaKu (QS: )
Manusia hidup dalam tiga masa, masa lalu, masa
sekarang dan masa yang akan datang. Saya menganggap ketiga masa itu merupakan
satu kesatuan, masa lalu mempengaruhi hari ini, dan hari ini mempengaruhi masa
yang akan datang. Masa yang akan datang itu adalah masa harapan, dan agama
mengajarkan bahwa masa depan itu adalah lebih baik dari masa yang lalu.
Tidak heran sepanjang sejarah umat manusia
selalu mengadakan proyeksi-proyeksi mengenai masa yang akan datang, berbagai
cara. Peristiwa tragis, penghancuran Twin Tower di New York dan Pentagon
tanggal pada tanggal 11 September yang lalu tidaklah berdiri sendiri, ia
merupakan hasil pergolakan yang jauh dan masa lalu, adanya Perang Salib yang
berakhir tanpa perdamaian, dan akan berdampak pada peramalan-peramalan di
berbagai bidang yang akan mempengaruhi tingkah laku manusia dimasa depan.
Samuel P. Huntington menulis buku dengan judul
“The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, dimana ia
menekankan adanya clash berbagai kebudayaan antara lain clash antara Barat dan
Islam.
John Naisbitt mengatakan bahwa letupan-letupan
dalam kemajuan teknologi membuat orang gamang menghadapi masa depan, dan
mengharapkan munculnya “peramal” yang memberikan kedamaian dari kegamangan itu,
karena ia memberikan arah pada hidup manusia, walaupun arah itu belum tentu
benar.
Sebenarnya “peramal” utama adalah Nabi
Muhammad SAW, yang memberikan gambaran bukan saja masa datang, namun juga
mengenai alam lain, yaitu kehidupan di Akhirat, mengenai sorga dan neraka,
bahkan memberi “petunjuk” bagaimana kita terhindar dari masuk neraka, agar masuk
sorga.
Eskatologi inilah yang di “pompa”kan pada
Muslim generasi pertama, yang menjadi sumber kekuatan dalam beragama. Sayangnya
gambaran eskatologis ini sudah kurang dirasakan oleh umat sekarang. Di dunia
Barat terkenal buku Les Vroyes Centuries karya Michel de Nostredome atau
Nostradamus yang terbit pada tahun 1555. Di Jawa ada ramalan Sang Prabu Sri Aji
joyoboyo (1135-1157), Raja dari Kerajaan Kediri. Loka Moksanya yang terletak di
desa Menang, masih terus dibangun.
Pada tahun tujuh puluhan diterbitkan buku “The
Limits to Growth” laporan dari sarjana-sarjana yang tergabung dalam The Club of
Rome, yang meramalkan akan berakhirnya dunia ini karena kehabisan sumber
dayanya. Salah seorang peramal yang ia sendiria menolakk dikatakan demikian,
Alvin Tottler dalam dua puluh lima tahun researchnya mengemukakan adanya tiga
gelombang (waves) dalam kehidupan manusia yaitu gelombang agraria, gelombang
industri dan gelombang informasi. Masing-masing gelombang ini punya
ciri-cirinya masing masing.
Dalam gelombang agrarian kekayaan ditentukan
oleh luasnya tanah yang dikuasai, dalam gelombang industri kekayaan ditentukan
oleh adanya tanah, tenaga kerja dan kekayaan modal, sedangkan dalam gelombang
ketiga, gelombang informasi kekayaan adalah ilmu pengetahuan. Gelombang ketiga
ini disokong oleh adanya penggabungan jasa-jasa telepon yang digabungkan dengan
komputer menjadi internet. Ketiga gelombang itu tidak mesti berurutan, dalam
masyarakat yang sama bisa ditemukan ketiga gelombang itu secara bersama-sama.
Bila kita melihat tanah air kita, kita
menjumpai ketiga gelombang itu secara bersamaan, dengan tekanan pada gelombang
kedua, yaitu industrialisasi. Kalau dalam gelombang agraris rumah tangga
konsumsi menyatu dengan rumah tangga produksi pada gelombang industri kedua rumah
tangga itu mulai terpisah walaupun secara silang artinya produksi rumah tangga
yang satu bisa dikonsumsi rumah tangga yang lain dan sebaliknya. Pemisahan ini
berarti orang tidak lagi memproduksi untuk din sendiri, tetapi memproduksi
untuk pasar.
Gelombang ketiga adalah gelombang informasi,
yang ditumpu oleh adanya komputer, yang digabung dengan telepon menghasilkan
internet, yang sudah sampai ke pelosok-pelosok dengan adanya warung-warung
internet.
Uraian diatas mencoba meletakkan dasar
refleksi saya mengenal praktek manajemen.
Pertama, adanya kesinambungan antara masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang, sehingga bila kita membicarakan masa
lalu haruslah dievaluasi menurut nilai-nilai waktu itu. Dalam hal ini
menyangkut gelombang kedua, gelombang industri.
Kedua, saya sebagai orang yang mengadakan
refleksi terikat atau sekurang kurangnya menganggap diri terikat pada nilai
nilai agama seperti yang saya utarakan diatas. Masa saya berkarya adalah masa
gelombang kedua, industrialisasi yang masih mengandung unsur-unsur gelombang
pertama, gelombang agraris dan telah mulai masuk gelombang ketiga, gelombang
informasi.
Menurut Alvin Toper, ada 6 ciri ciri
industrialisasi, yaitu: standardisasi, spesialisasi, sinkronisasi, konsentrasi,
maksimisasi dan sentralisasi.
Secara ringkas dapat disebutkan bahwa
standardisasi adalah penyamaan, apakah penyamaan ukuran baik ukuran panjang,
lebar, tinggi, penyamaan penampilan seperti wama, penyamaan urut-urutan
pengerjaan, penyamaan waktu yang diperlukan untuk pekerjaan tertentu dan lain
lain.
Spesialisasi terutama dalam bidang pekerjaan,
tidak seperti dalam gelombang agraris semua pekerjaan dikerjakan oleh satu
orang saja, dalam gelombang industri pekerlaan dipecah kedalam beberapa fase,
dan masing-masing fase dikerjakan oleh orang tertentu. Disini kelihatan
hubungannya, spesialisasi tidak mungkin dikerjakan tanpa standarisasi, karena
peralatan telah disesuaikan dengan standansasi.
Dalam gelombang industrialisasi ini telah
terjadi pemisahan rumah tangga produksi dengan rumah tangga konsumsi, produksi
untuk pasar, maka tujuan utama adalah produksi sebanyak-banyaknya, dan inilah
yang ingin dicapai melalui spesialisasi itu. Saya menganggap spesialisasi ini
dan hal yang berhubungan dengan itu merupakan pegangan saya yang kedua, yaitu
tugas manusia untuk memakmurkan dunia ini.
Jadi agama itu dapat dianggap ruwet dan
menekan, tetapi bagi saya dapat dianggap sederhana, menyadari tugas manusia
sebagai khalifah atau manajer, sebagai abdi, sebagai pelaksana amanah, dan
ketiga sebagai khalifah ia juga terarah, yaitu untuk memakmurkan, dunia, bukan
untuk merusak.
Ciri ketiga adalah sinkronisasi, tepat waktu
terutama dalam peralihan dari fase; pekerjaan yang satu ke fase pekerjaan yang
lain. Sinkronisasi ini dimungkinkan karena adanya distandardisasi, sulit
membaginya dalam fase-fase yang sama serta menyamakan waktu pengerjaaanya,
sehingga sulitlah mengadakan sinkronisasi.
Ciri keempat adalah konsentrasi, pekerjaan
yang dikerjakan oleh para spesialis menuntut agar para spesialis berada saling
berdekatan, sehingga muncullah tempat kerja dimana orang mengelompok, misalnya
pabrik, kantor, sekolah dan yang lainnya.
Ciri yang kelima adalah maksimalisasi,
mencapai jumlah hasil yang maksimum, terutama bisa mengerjakan jumlah yang
maksimum dalam waktu yang tertentu. Maksimasi, ini adalah tuntutan dari
spesialisasi yang menuntut adanya penghasilan yang sebesar-besarnya. Ini
mendorong berproduksi untuk pasar, dan sejalan dengan amanah Tuhan yang memberi
nilai tinggi pada perdagangan. Perdagangan hanya mungkin terjadi bila ada
produksi untuk pasar
Ciri berikutnya adalah sentralisasi, adanya
suatu pengendalian terpusat. Adanya spesialisasi dan konsentrasi mengharuskan
adanya pengolongan-penggolongan pekerja sesuai dengan apa yang dikerjakannya
yang berbeda dengan golongan lain, masing-masing golongan ini dibawah satu
pimpinan, beberapa pimpinan yang setingkat yang dinamakan eselon pada
gilirannya bergabung dibawah satu pimpinan demikian seterusnya sampai ada
pimpinan tertinggi dalam organisasi yang bersangkutan sebagai pelaksanaan ciri
sentralisasi. Golongan-golongan itu dinamakan departemen, dan proses,
pembentukannya dinamakan departementasi, yang menimbulkan adanya
tingkat-tingkat yang dinamakan eselon melalui proses eselonisasi.
Enam ciri itulah yang mewarnai gelombang
industrialisasi. Keenam ciri itulah yang menimbulkan perbedaan yang mendasar
dan mengejutkan dengan gelombang sebelumnya, yaitu gelombang agraria, sehingga
dinamakan revolusi industri.
Ciri-ciri itu dalam gelombang agraris memang
sudah ada juga, namun terbatas dalam bidang pemerintahan dan gereja, belum
sampai ke bidang ekonomi. Revolusi organisasi itu dimungkinkan karena munculnya
konsentrasi sebagai akibat dari spesialisi yang disokong oleh kebutuhan
sinkronisasi, sehingga sejajar dengan revolusi industri itu timbd pula revolusi
organisasi.
Disini dapat saya berikan contoh, pengalaman
dalam melaksanakan pembukaan kebun baru. Melalui trial and error, dapat
diketahui bahan cara berpikir didasarkan pada satu unit kecil sebesar 500 Ha,
Unit inilah yang dilengkapi dengan tenaga kerja dan alat alat yang diperlukan,
dan yang terpenting ada pimpinannya. Kalau mau membuka 10.000 Ha per tahun,
lengkapilah keperluannya dengan membagi 10.000 : 500 = 20 unit
Dalam pengembangan organisasi diperoleh angka
empiris satu orang bisa memimpin secara langsung 7-10 orang, sehingga atas
dasar inilah diadakan eselonisasi dan departementasi. Kegagalan pembangunan
adalah disebabkan cara berpikir yang tidak sejalan dengan itu. Kadang-kadang
dibuka 10.000 Ha, sedang kelengkapannya tidak merupakan 20 kali kelengkapan
satu unit 500 Ha.
Pelaksanaan enam ciri itu melahirkan beberapa
tehnik manajemen, seperti network planning, dan yang menurut pengalaman saya
pelaksanaan ciri sinkronisasi dengan pengertian adanya lead time sangat
menonjol.
Berapa banyak proyek yang gagal gara-gara ciri
sinkronisasi ini kurang diperhatikan, belum tersedianya tenaga asisten pada
saat diadakan pembukaan areal, terbukanya areal sedang bibit belum jadi, dan
seterusnya. Diantara sekian banyak pakar-pakar tentang organisasi, saya punya
dua pakar yang sangat mempengaruhi saya, yaitu “Principles of Management, An
Analysis ofMonagerial Functions” dengan penulis kembar Harold Koontz dan Cyril
O'Donnel dan “General and Industrial Mangement” tulisan Henri Fayol.
Mungkin sekarang buku itu sudah kuno, namun
pada waktu itu buku itu adalah “baru” dalam iklim peralihan dari literatur
Belanda menuju literatur Amerika.
Praktek di back up pengetahuan, adalah ampuh,
pengetahuan diperkaya dengan praktek dan sebaliknya. Pengalaman saya
menunjukkan ada sarjana yang tidak bisa menghidupkan simbiose pengetahuan
dengan praktek.
Saya pernah mengunjungi satu afdeling yang
dipimpin oleh seorang insinyur pertanian muda, dia menyampaikan keluhan tidak
ada yang dapat dikerjakan seorang insinyur di afdeling. Saya tidak menjawab
keluhan itu secara langsung. Saya minta ia menjejerkan angka produksi tiga
tahun terakhir dipilah menurut tahun tanaman. Dengan sudah payah ia mencari
dalam arsip yang tidak tertata dengan rapi.
Saya mengambil satu tahun tanaman, dan saya
minta ia menggambarkan angka rencana produksi selama 3 tahun itu dan
dibandingkan dengan realisasi. Kemudian saya tanya lagi, kalau tahun tanamnya
demikian, trend produksi tahunannya naik atau turun, dia mengatakan naik,
sedangkan realisasi menunjukkan menurun. Saya tanyakan mengapa turun, apa
analisanya mengenai produksi yang menurun itu dan apa yang pernah dia usulkan
pada atasannya untuk memperbaikinya, sang insinyur terdiam. Saya mengatakan
berguna tidaknya seorang insinyur di afdeling, tergantung bagaimana visinya
mengenai tugasnya. Seorang insinyur tidak salah mengharapkan jadi Direktur,
namun jangan terjun bebas, peraslah keringat dengan menjadi asisten yang baik,
kemudian jadi asisten kepala yang baik dan seterusnya bekerja dengan penuh
dedikasi. Bila visi tidak tepat, pengetahuan sendiri akan beku, karena tidak
diperkaya atau disempurnakan dengan hasil temuan di lapangan.
Manajemen sendiri didefinisikan sebagai seni
dan ilmu untuk mencapai tujuan dengan perantaraan orang lain. Sebagai seni,
antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungannya.
Bagi saya seorang direktur, apalagi seorang
direktur di bidang perkebunan, haruslah bisa merasakan denyut kehidupan
masing-masing kebun, dan cara temudah untuk itu pernah mengunjungi semua kebun,
sehingga ia punya citra (mental image) mengenai manusianya, tanamannya,
topografinya dan jalan-jalannya.
Seorang direktur harus bisa merasakan,
bagaimana pun didaerah yang bergelombang panjang jalannya per Ha lebih panjang
dengan kecenderungan biaya perawatan jalan cenderung lebih tinggi dari daerah
yang datar. Ada tiga unsur utama dalam definisi ini:
Unsur Pertama orang yang mengerahkan orang
lain itu, dia bisa bernama khalifah, manajer, pemimpin, kepala dan sebagainya,
katakanlah ringkasnya pimpinan.
Unsur Kedua adalah tujuan, apakah tujuan itu
semata mata tujuan pimpinan, atau tujuan bersama, atau tujuan pimpinan yang
didukung pegawai, dan seterusnya.
Unsur Ketiga adalah orang lain dalam definisi
itu, dapat berupa pegawai, anggota dan lain lain.
Dalam praktek, sesuai dengan pengalaman perlu
ditambah satu unsur lagi, yaitu bagaimana cara mencapai tujuan ltu. Dalam
bidang perkebunan terutama di Sumatera Timur pernah ada praktek yang tidak
manusiawi, yang dinamakan poenale sanctie, yang memberikan kuasa kepolisian
kepada pimpinan perkebunan, misalnya dengan menyeret paksa buruh yang lari
namun kontraknya belum habis, untuk kembali ke kebun. Demikian juga perlakuan
terhadap alam, haruslah memperhatikan keserasian lingkungan. Bila ingin
mengembangkan manajemen yang Islami, beberapa pertanyaan harus dijawab. Dari
unsur yang pertama, pimpinan haruslah Islami, yang berarti secara demokratis
kita perjuangkan agar nilai nilai Islam yang kita yakini dapat terwujud.
Unsur kedua juga harus Islami, karena pimpinan
dan pembantu adalah sama sama manusia, kita perjuangkan agar nilai nilai Islami
itu bisa terwujud. Ini berarti harus ada kemampuan berdialog, meyakinkan teman
sekerja dan masyarakat mengenai mengenai-pentingnya nilai nilai itu.
Mengenai tujuan, jelas harus diperjuangkan
agar tujuan itu Islami. Dewasa ini ada tiga bidang usaha yang memberikan
keuntungan yang berlimpah limpah, yaitu perdagangan narkoba, perdagangan
senjata dan perdagangan wanita dan anak anak. Walaupun sangat menguntungkan,
namun karena tujuannya sangat-sangat tidak Islami, bidang-bidang itu harus
ditolak.
Unsur Keempat, bagaimana cara mencapai tujuan
itu, jelas harus Islami. Manajemen merupakan ilmu dan seni, tiga unsur yang
pertama dekat dengan kedudukannya sebagai ilmu, sedang yang keempat dekat
dengan seni. Orang yang dapat pendidikan yang sama dengan menggunakan bahan
pelajaran yang sama dari pengajar yang sama bisa berbeda dalam pelaksanaannya,
karena perbedaan seni yang digunakan. Istilah lain untuk seni adalah kiat.
Buku Koontz dan Donnel, seperti diindikasikan
oleh judul dan anak judulnya, membahas fungsi fungsi manajemen.Tekanan
pembahasan adalah pada fungsi. Bila saya memberikan ceramah ataupun kuliah,
saya selalu kembali pada pelajaran Aljabar di SMP yang biasa dengan rumus
y =(x), dibaca y adalah fungsi x. Ada dua variabel yaitu x dan y, variabel tidak tetap (x) dan variabel tetap (y). Berapa nilai y ditentukan oleh nilai x ?
y =(x), dibaca y adalah fungsi x. Ada dua variabel yaitu x dan y, variabel tidak tetap (x) dan variabel tetap (y). Berapa nilai y ditentukan oleh nilai x ?
Dibawa ke bidang manajemen, bagaimana
ketrampilan kita menggunakan atau memanipulasi nilai x, atau bagaimana kita
memaksimasikan nilai x, akan menentukan nilai y. Secara teoritis, Koonts dan
Donnel mengemukakan secara berturut-turut ada lima fungsi, yaitu planning,
organizing, staffing, directing dan controlling. Rumus diatas dapat
disempurnakan menjadi y = (xp,xo,xs,xd, xo), dimana berturut turut xp planning
xo organizing xs staffing, xd directing dan xc controlling.
Planning adalah merencanakan, menentukan
sebelumnya apa yang akan dilaksanakan. Ada beberapa landasan dalam mengadakan
perencanaan ini.
• Pertama adalah penentuan dan perumusanan
tujuan, dalam arti apa yang ingin dicapai.
• Kedua, mempelajari apa yang dinamakan dengan
SWOT organisasi.
Swot adalah kependekan dari Strength,
Weakness, Opportunity dan Threat. SWOT ini meninjau perusahaan dari sisi intern
dan ekstern. Sisi intern ditinjau dari segi Strength dan Weoknessnya. Sisi
ekstern ditinjau dari segi Opportunty dan Threat. Hasil utama dari perencanaan
ini dalam dunia perusahaan adalah Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB).
Organizing adalah penentuan jumlah departemen
dan eselon. Kalau departemen dan eselon diibaratkan sebagai kerangka atau
hardware organisasi, maka kekuasaan dan tanggung jawab, authority dan
responsibility merupakan daging dan darah ataupun software dari organisasi.
Dalam cara main kekuasaan dan tanggung Jawab ini, muncullah tiga macam
hubungan, hubungan garis, hubungan staf dan hubungan fungsional.
Hubungan garis atau hubungan komando, pihak
atasan berhak memberi perintah dan bawahan berkewajiban untuk mematuhinya.
Hubungan staf adalah hubungan tanpa punya kuasa dan pada gilirannya ada yang
bertanggung Jawab, hubungan itu terbatas memberi nasehat dan pertimbangan.
Hubungan fungsional merupakan penggunaan
spesialisasi dalam hubungan kuasa dan tanggung Jawab, dimana seseorang
sertanggung Jawab terhadap beberapa orang dalam bidang tertentu.
Staffing menJawab pertanyaan sehubungan dengan
sumber daya manusia dalam organisasi, yang meliputi tahap sebelum masuk kedalam
organisasi (scouting, recruiting training), selama dalam organisasi
(development) dan sesudah meninggalkan organisasi (retirement).
Directing terutama berhubungan dengan
development, menuntun pegawai agar dapat bekerja dengan baik dalam arti faham
akan akan tujuan perusahaan yang bisa djabarkan jadi tujuan bahgian dan tujuan
masing masing pegawai.
Controlling sering dikacaukan dengan controle
dalam bahasa Belanda. Controle dalam bahasa Belanda berarti check, supervision,
sedangkan control dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan bedwingen (guide),
beheer.
Kalau controle dalam bahasa Belanda
diterjemahkan dengan pemeriksaan, control dalam bahasa Inggeris diterjemahkan
dengan pengendalian, penguasaan. Salah satu istilah yang sudah di
“Indonesiakan” adalah ball control dalam permainan bulu tangkis atau sepak
bola, yang jelas bukan berarti pemeriksaan, bola, tetapi penguasaan bola atau
pengendahan bola agar tetap berada di lapangan permainan.
Controlling adalah penguasaan pelaksanaan
kegiatan perusahaan agar tetap berada dalam bidang rencana, dengan
menghindarkan terjadinya perilaku yang keluar dari rencana. Jadi, ada
keterkaitan yang sangat erat antara planning dengan controlling, karena
tugas-tugas controlling sangat erat hubungan dengan planning.
Salah satu unsur utama dalam perencanaan
adalah nilai-nilai, dan ini erat hubungannya dengan budaya perusahaan
(corporate culture). Budaya perusahaan mempunyai unsur unsur lingkungan
perusahaan, nilai-nilai yang dianut bersama (shared values), adanya panutan
(heroes, tokoh pemimpin), tata “lbadah” (rites and rituals) dan jaringan
budaya.
Kalau dari buku Koontz dan Donnel saya
mengambil fungsi manajemen, yang merupakan alai berpikir yang melatar belakangi
pelaksanaan manajemen, dari Henri Foyol saya mengambil pembahagian kegiatan
(activities).
Ada enam kegiatan manajemen menurut Fayol,
yaitu
1. kegiatan tennis (technical ctivities).
2. kegiatan komersil (commercial activities),
3. kegiatan keamanan (security activities),
4. Kegiatan akunting (accounting activities)
dan
5. kegiatan managerial (managerial
activities).
Kegiatan tehnis dinamakan juga kegiatan
produksi atau kegiatan manufaktur, merubah ataupun meramu beberapa barang
menjadi barang baru.
Kegiatan komersil adalah kegiatan yang
berhubungan jual beli dan pertukaran barang. Kegiatan keamanan berhubungan
dengan keamanan perusahaan, keamanan materi dan keamanan orang.
Kegiatan akunting berhubungan dengan kegiatan
yang berhubungan dengan akunting, pencatatan harta perusahaan, pencatatan
penggunaan barang-barang dalam produksi dan pencatatan barang-barang yang
dihasilkan dan termasuk juga pencatatan rencana dan laporan hasil perusahaan.
Kegiatan managerial adalah kegiatan yang
berhubungan dengan perencanaan, pengorganisasian, perintah, koordinasi dan
control.
Kegiatan yang keenam ini merupakan jembatan
antara fungsi namajemen dari Koonts dan Donnel dengan kegiatan manajemen dari
Henri. Memang ada perbedaan mengenai fungsi, ada yang saya anggap perbedaan
istilah, perintah dan koordinasi barangkali sama dengan staffing dan directing.
Koonts dan Donnel tidak menonjolkan
koordinasi, karena menurut mereka dengan menjalankan kelima fungsi manajemen
dengan baik koordinasi tercapai. Saya menggunakan penggabungan dari fungsi
manajemen dari Koontz dan Donnel dengan kegiatan manajemen dan Henri sebagai
peta menyeluruh dari manajemen.
Ada yang berusaha merumuskan manajemen Islam,
namun saya anggap manajemen Islam dapat disusun dengan menggunakan peta
manajemen itu. Nilai-nilai Islam dapat dirumuskan dan diusahakan menjadi budaya
perusahaan, dan diintegrasikan dalam perusahaan melalui rencana kerja yang
disusun secara periodik. Selanjutnya haruslah disadari bahwa manajemen itu
sendiri merupakan suatu proses, yang senantiasa berkembang dalam bingkai peta
manajemen itu.
Pengalaman
Dalam Mengajar
Selama
jadi pengajar di Fakultas Ekonomi USU, pengalaman saya dimulai dengan
memberikan kuliah Pengantar Manajemen. Saya menjadikan buku Koontz dan Donnel
sebagai pegangan. Ada dua kentungan saya dalam memberi kuliah ini.
Pertama pengalaman saya memberi asistensi di
Akademi Perniagaan Kalimantan dan mengajar dibeberapa sekolah lanjutan atas di
Banjarmasin. Tidak bisa dilupakan pengalaman bergabung dengan kawan-kawan dalam
berbagai tenteer club.
Kedua adalah pengalaman saya sebagai pegawai
staf pada perusahaan TD Pardede, yang waktu itu dalam taraf pembinaan
manajemen.
Pada tahun kedua saya ditugaskan memberi
kuliah Manajemen Personalia. Sebagai pegangan saya menggunakan buku “Personnel
Management and Industrial Relations”, karangan Dale Yoder Ph D.
Pada dasarnya mata kuliah ini merupakan
pendalaman dari dua fungsi manajemen, yaitu staffing dan directing, dan masuk
dalam Securities activities dari Henry. Dalam staffing digunakan gambaran
teoretis tentang proses yang dialami seorang pegawai mulai dari persiapan
penerimaan sampai pensiun. Sedangkan fungsi directing diperluas dengan memahami
kepemimpinan (leadership), kemampuan kemampuan yang diperlukan seperti
kemampuan berkomunikasi, kemampuan memberi tugas, kemampuan menerima dan
memberikan delegasi, pemahaman tentang kekuasaan, pemahaman tentang tanggung jawab, mengusahakan adanya
keseimbangan antara tugas dan tanggung Jawab, dan lain lain. Saya diuntungkan
dengan menggunakan pengalaman di pabrik sebagai pembanding dan contoh dalam
memberikan kuliah.
Pada tahun ketiga kembali saya ditugaskan
memberi mata kuliah baru yaitu Manajemen Produksi. Buku yang saya gunakan
adalah “Production Management” karangan Franklin G. Moore. Manajemen Produksi
ini merupakan perluasan dari dari Technical Activities dari Henri. Karena
luasnya materi Manajemen Produksi ini, saya hanya memilih materi yang
benar-benar merupakan pengenalan seperti tahap-tahap dalam berproduksi mulai
dari penyediaan bahan baku, proses produksi sampai barang jadi, pergudangan dan
pengiriman, cara-cara pengendalian persediaan bahan baku, cara merawat mesin
dan penggunaan kartu kesehatan mesin, pemeliharaan preventif dan sebagainya.
Lagi-lagi saya dibantu oleh pengenalan saya
pada beberapa pabrik TD Pardede, pabrik pemintalan kapas di jalan Binjai,
paberik konveksi dan paberik selimut di jalan Bantam Medan. Selain dari
mengajar di Fakultas Ekonomi USU, saya juga mengajar di Fakultas Ekonomi UISU
dalam mata kuliah Pengantar Manajemen, dan juga ikut mengajar di Akademi
Pertekstilan TD. Pardede.
Pengalaman berpraktek manajemen
Pengalaman pertama saya alami sewaktu saya
diterima bekerja di Pertekstilan TD. Pardede. Saya diterima di Bahagian
Pembukuan.
Pengetahuan saya mengenai pembukuan terbatas
pada “testimonium” Pembukuan pada tahun pertama di fakultas, yang waktu itu
dinamakan tingkat propodeuse atau persiapan.Waktu itu masih dijalankan warisan
Belanda, dimana mahasiswa diwajibkan mengambil pengetahuan praktek di camping
pengetahuan akademis.
Mengenai Pembukuan atau yang waktu itu
dinamakan Boekhouder, yang menyelenggarakan adalah perserikatan pembukuan,
ditingkat propodeuse diharapkan lulus ujian perserikatan (Bond) A.
Selama mengajar di beberapa Sekolah Menengah
Atas di Baniarmasin, saya juga mengajar Tata Buku. Barulah di Bahagian Pembukuan
di perusahaan ini saya mengenal praktek pembukuan.
Perusahaan secara hukum terdiri dari beberapa
PT termasuk PT Surya Sakti yang merupakan divisi penjualan yang mempunyai
beberapa cabang penjualan di berbagai kota di Indonesia. Pada waktu itu telpon
interlokal adalah sangat sulit, internet jelas belum ada, namun neraca bulanan
gabungan harus sudah selesai pada tanggal 15 bulan berjalan. Ini hanya bisa
dicapai dengan adanya disiplin setiap pegawai pembukuan di cabang-cabang dan di
pusat, sehingga jadwal waktu dapat dipenuhi.
Pada tanggal 15 itu neraca harus diserahkan
pada Direktur Utama alias pemilik perusahaan, dan ia mulai bertanya, misalnya
mengapa stok bahan jadi terlampau tinggi, kenapa persediaan bahan-bahan
tertentu terlampau sedikit di gudang, mengapa penjualan yang tidak tertagih
terlampau tinggi, dan lain-lain.
Apa yang dikerjakan Pardede semata-mata
berdasarkan pengalaman, namun inilah yang dinamakan analisa neraca. Pegawai
gudang sangat takut kalau Pak Pardede masuk gudang, karena ia suka mengantongi
beberapa barang-barang kecil seperti baut. Kemudian ia minta kartu gudang
mengenai barang tersebut, dan bersama kepala gudang ia menghitung persediaan
barang yang ada. Kalau persediaan dan catatan tidak cocok kepala gudang harus
berani mengatakan bahwa jumlah barang adalah cocok karena jumlah di kartu sama
dengan jumlah persediaan ditambah yang ada di kantong Pak Pardede.
Ia akan tertawa dan meninggalkan gudang.Yang
jadi korban biasanya adalah pegawai baru yang tidak kenal kebiasaan Pardede
suka menguji dengan mengantongi barang barang kecil. Pengalaman berikutnya
adalah di bidang komersil, sewaktu saya diangkat jadi manjer penjualan PP Surya
Sakti cabang Medan, yang meliputi wilayah penjualan Sumatera Utara – Aceh,
namun kemudian terbatas pada wilayah Sumatera Utara.
Dalam bidang penjualan, manajer penjualan
dibantu oleh seorang kepala penjualan. Yang membawahi beberapa orang sales
manager atau yang dalam istilah waktu itu dinamakan verkooper. Seorang
verkooper ada di tiap-tiap kabupaten, yang bertanggung jawab dalam bidang
penjualan dan pengutipan hasil penjualan dan mengirimkan uangnya ke kantor
cabang.
Waktu itu ada beberapa jenis barang seperti
singlet, kaus oblong, selimut. Waktu itu untuk tiap-tiap jenis jenis produksi
saya beri nama sandi, dan setiap hari verkooper harus mengirimkan laporan
kegiatannya dengan melaporkan stok awal, penerimaan barang hari itu, penjualah
hari itu dan stok akhir. Walaupun kartu itu saya terima sekitar seminggu
kemudian, namun saya dapat mengikuti “performance report” masing-masing
verkooper.
Pembukuan merupakan atas yang ampuh untuk
mengamankan harta perusahaan, namun pengalaman menunjukkan ada juga yang merasa
tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu.
Selama saya jadi manajer penjualan, saya
menjumpai ada dua peristwa penyelewengan.
Pertama adalah yang dilakuan oleh seorang
verkoopedr yang baru diangkat, yang tidak menyelesaikan pembayaran barang yang
dijualnya. Penyelesaiannya adalah dengan menjual sepeda yang bersangkutan dan
uang hasil penjualannya disetorkan sebagai pembayaran barang yang telah
diambilnya.
Kedua adalah penyelewengan yang diadakan oleh
kepala gudang. Pemeriksaan stok selalu diadakan, namun tidak menyeluruh,
artinya isi barang dalam gudang tidak dihitung satu persatu. Hal ini tedadi karena
antara lain oknum kepala gudang itu adalah orang yang dikenal sebagai orang
yang taat beragama. Memang, akhirnya yang melaporkan penyelewengan itu adalah
yang bersangkutan sendiri, yang merasa dikejar-kejar rasa bersalah. Dalam hal
ini, tampaklah pentingnya adanya budaya perusahaan dengan salah satu unsurnya,
yaitu sistem nilai, dan alangkah indahnya andaikata nilai-nilai dalam agama
masing-masing dapat merupakan alat self control masing-masing pribadi. Namun,
kala mengingat dua kasus itu saya tertawa sendiri melihat penyelewengan
sekarang yang tidak bisa dibayangkan pada tahun enam puluhan itu.
Pada tahun 1966, saya pindah kerja. Dari dua
tempat tugas saya, sebagai dosen USU dan sebagai pegawai staf T.D. Pardede,
saya tinggalkan dan pindah kerja ke bidang perkebunan. Selama dua tahun saya
bekerja sebagai staf di Inspektorat Aneka Tanaman.
Insektorat tugasna mengadakan inspeksi.
Inspeksi ini berbeda dengan control dalam pembahagian Koontz dan Donne, karena
pada waktu itu perusahaan masih belajar karena tingkat inflasi yang ratusan %
membuat anggaran merupakan alat yang tidak ampuh sama sekali. Jadi, inspeksi
yang diadakan lebih banyak merupakan studi komperatif.
Salah seorang direktur perusahaan waktu itu
mengatakan alasannya menyetujui adanya inspeksi adalah untuk mendapatkan
“bedrijsblind”, buta perusahaan, merasa semuanya berjalan baik sehingga tidak
ada lagi keinginan untuk mengadakan perbaikan.
Dengan memakai kerangka Henry ada dua kegiatan
yang disorot dalam inspeksi. Pertama adalah technical activities. Pada waktu
itu technical activities itu dibagi dalam Toffler, perkebunan sebenarnya
termasuk dalam bidang industry, atau sering dirumuskan sebagai industrialisasi
pertanian. Namun, perkebunan yang ada pada waktu itu adalah perkebunan yang baru
diambil alih pada tahun 1957.
Pusat-pusat perkebunan ini sebelumnya terletak
di Eropa, dan kegiatan yang menonjol di Indonesia adalah kegiatan tehnis itu.
Kegiatan-kegiatan lain setapak demi setapak mulai dikembangkan seperti kegiatan
accounting.
Dalam pelaksanaan inspeksi, dibentuk team,
yang biasanya dibagi dalam tiga kelompok tanaman, kelompok tehnik dan kelompok
administrasi. Kelompok tanaman sesuai dengan namanya mengadakan inspeksi dalam
bidang tanaman.Tanaman dibagi dalam dua golongan besar, tanaman musiman dan
tanaman yang berumur lebih dari satu tahun atau dinamakan tanaman tahunan.
Tanaman musiman kalau di Sumatera adalah
tembakau dan di Jawa tebu. Aneka tanaman di Sumatera terdiri dari kelapa sawit
dan teh, yang merupakan tanaman tahunan. Dari manajemen lama, tanaman tahunan
digolongkan dalam tanaman baru (TB) atau tanaman ulangan (TU), tanaman belum
mengasilkan (TBM), tanaman menghasilkan (TM) dan tanaman menghasilkan tidak
berproduksi (TMTB). TB adalah tanaman di areal yang sebelumnya belum ada
tanaman, biasanya pembukaan hutan.TU adalah tanaman ulangan, dimana tadinya
sudah ada tanaman.
Dizaman dulu TU biasanya adalah tanaman yang
lain dari yang digusur, dengan pertimbangan memotong kehidupan hama dan
penyakit. Namun belakangan ini biasanya ditanam dengan tanaman yang sama,
terutama dengan tingginya produktivitas per Hektarnya.
Tanaman belum menghasilkan adalah tanaman yang
belum bisa dipanen.Tanaman yang bisa dipanen berbeda dengan berbuah, tanaman
berbuah belum tentu dipanen, tanaman berbuah atau karet baru dideres bila hasil
penjualan hasilnya dapat menutup ongkos, atau dalam bahasa tehnisnya dikatakan
bila break even point (BEP) tercapai, Tanaman menghasilkan, sesuai dengan
namanya bila tanaman menghasilkan mencapai dan melampaui BEP. Tanaman
menghasilkan tidak berproduksi, adalah tanaman yang masih berbuah namun kembali
berada dibawah BEP.
Ekonomi tanaman yang ingin dicapai adalah
bagaimana mengusahakan agar biaya sekecil mungkin dan hasil sebesar mungkin.
Dalam upaya mencapai biaya kita lihat ada evolusi dalam pembibitan, selain dari
pada mencari clone unggul juga bagaimana mendapat bibit dengan biaya murah, dan
lahirlah pembibitan dengan menggunakan polybog.
Selain dari pada itu harus disadari bahwa buah
itu hanya keluar kalau ada photosinthesa yang baik dan ini erat hubungannya
dengan jumlah tanaman per HA. Dalam bidang produksi diupayakan agar gangguan
kesehatan tanaman dikurangi atau ditiadakan melalui pembenterasan hama dan
penyakit.
Hara tanaman diperkaya dengan pemberian pupuk.
Persaingan untuk hara dikurangi dengan pengendalian dan peniadaan gulma. Hasil
dari tanaman adalah buah, dan buah itu baru berarti kalau ia sampai ke paberik
dalam keadaan segar. Ini menyangkut tersedianya pemanen, dan pemanen itu harus
sampai kepohon dengan nyaman dan dapat mengumpulkan buah ke pinggir jalan
sehingga dapat diangkut dengan alat pengangkutan ke paberik. Karena itu
diperlukan jaringan jalan, mulai dari jalan panen, kemudian jalan, tranpor dan
jalan poros.
Ada ratio yang ideal mengenai panjang jalan
dengan luas tanaman, yang bervariasi antara wilayah yang rata dan yang
bergelombang. Jadi, tugas dalam bidang tanaman yang dinamakan agronomy, agro
dan ekonomi, dengan rumus sederhana tanaman sehat, biaya pemeliharaan rendah.
Sewaktu saya masuk kerja pada tahun 1966,
panen diadakan dengan memanjat pohon kelapa sawit, namun berangsur-angsur
beralih ke penggunaan egrek. Di rumah sakit perkebunan saya masih menjumpai
karyawan yang invalid terjatuh dari pohon.
Dalam bidang tanaman tahunan, satuan pemikiran
seyogyanya adalah satu siklus, namun kadang-kadang ada pertimbangan lain,
misalnya bila terjadi kesulitan keuangan, pertimbangan bisa menjadi jangka
pendek. Peristiwa awal ambil alih, dimana perkebunan negara seolah olah
terfokus sebagai penghasil devisa sebanyak banyaknya, menyebabkan pemeliharaan
dan peremajaan terlantar Inilah yang kemudian ingin direhabilitasl dengan
bantuan dari luar negeri.
Kelompok tehnik mengadakan inspeksi, terutama
dalam bidang non tanaman, meliputi alat-alat pengolahan dengan kelengkapannya
seperti installasi air, pembangkit tenaga listerik, alat-alat pengangkutan dan
lain-lain.
Pengolahan kelapa sawit terdiri dari beberapa
tahap, sejak dari pembekuan enzyme sampai keluar hasil dalam bentuk minyak dan
inti. Selama pengalaman beberapa tahun telah banyak perubahan dan yang paling
menyolok adalah penggantian handpress dengan screwpress pada tahun tujuh
puluhan. Penggantian ini membawa dampak yang jauh, adanya kelebihan tenaga di
paberik yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menormalkannya. Sama dengan
dalam bidang tanaman, dalam bidang pengolahan inipun terjadi apa yang dikatakan
dalam bahasa Belanda Kopitcal Inteering, pemakanan kapital sendiri karena
ketiadaan pemeliharaan yang prima.
Apa yang tidak dicakup oleh kelompok tanaman
dan kelompok teknelogi semestinya ditampung kelompok administrasi, namun
tentulah semuanya tidak bisa dicakup, apalagi tenaganya hanya tiga orang, dua
diantaranya pegawai lama yang kaya dengan pengalaman. Karena itu saya, separuh
untuk kepentingan pribadi, lebih menekankan pada bidang administrasi.
Falsafah yang digunakan, mungkin berasal dari
cara pikir yang diwariskan Belanda, membagi laporan dalam dua bidang, dinamakan
laporan produksi dan satunya laporan keuangan. Laporan produksi sesuai dengan
namanya tidak mengandung data-data keuangan, sedangkan laporan keuangan, selain
masalah keuangan juga mengandung angka-angka penting tentang produksi.
Angka-angka anggaran belanja juga dicantumkan, namun belum diadakan analisa
yang tajam tentang perbandingan pelaksanaan dengan rencana.
Untuk memperjelas, dibawah ini saya singgung
sejarah perkembangan bentuk perusahaan yang erat hubungannya dengan
perkembangan pembukuan. Perkebunan milik Belanda dinasionalisasi pada tahun
akhir tahun 195
Mula-mula masing-,masing kantor perkebunan
Belanda organisasinya tetapi, hanya personalia Belanda diganti dengan
personalia Indonesia. Kemudian diadakan dijadi PPN Baru. Sedangkan PPN Lama
adalah bekas perkebunan pemerintah Belanda yang kemudian digabung dengan perkebunan
ex Jerman dan Jepang yang diambil alih pemerintah Belanda. PPN Lama digabungkan
dengan PPN Baru menjadi PPN saja.
Pada zaman PPN ini diadakan perombakan dengan
mendirikan beberapa Badan Pimpinan Umum (BPU), berdasarkan budidaya, ada BPU
Karet, BPU Gula, BPU And Tanaman. Badan Pimpinan Umum dibawahi suatu Direksi
dipimpin oleh scorang Direkti Utama. Masing-masing BPU membawahi beberapa unit,
untuk Sumatera Utara-Aceh ada enam unit Aneka Tanaman, Dibawah pimpinan seorang
Direktur dan seorang Direktur Muda. Masing-masing unit hanya terdiri dari 3
kebun atau lebil pada tahun 1968 BPU dibubarkan, kemudian didirikan Perusahaan
Negara Perkebunan dengan membubarkan PPN.
Dalam PNP ini prinsip monokultur tidak dianut
lagi, walaupun ada beberapa PNP yang masih bermonokultur PNP VIII terdiri dari
budidaya teh, PNP VI dan PNP VII berbudidaya kelapa sawit, sedangkan PNP IX
berbudidaya tembakau Deli. Tindakan tahun 1968 ini dinamakan rasionalisasi
dalam rangka menaikkan produktivitas dan effisiensi. Masing-masing PNP dianggap
berdiri sendiri, dalam arti semua kegiatan seperti yang disebutkan Henry
dijalankan sepenuhnya, dalam istilah politik sekaran, masing masing punya
otonomi penuh-
Dalam perkembangan organisasi, saya masuk pada
zaman PPN, dimana masini masing BPU mempunyal kode rekening sendiri. Kode
rekening ini menggunakan pendekatan industri, dimana digambarkan sejarah
perkembangan dana, mulai dari dana dalam bentuk saham, yang seluruhnya atau
sebahagian dirobah kedalam bentuk uang dan alal-alat produksi, disediakan bahan
baku dan bahan penolong untuk berproduk hasilnya muncullah barang jadi yang
kemudian dijual dan muncullah laba atau rugi yang menambah atau mengurangi
modal.
Untuk mudahnya masing-masing kegiatan itu
dinamakan rubrik, dimulai dari rubrik 0 sampai 9 dan kembali ke 0. Untuk
keperluan itu dibentuklah kode rekening atau accounting chart, yang menggunakan
decimolstelsel, terbagi dalam rubrik yang terbagi dalam rekening yang kemudian
terbagi dalam subrekening. Kerangkanya sudah ada namun pelaksanaannya belum
sempurna, karena sampai reorganisasi, sifat perusahaan adalah perusahaan perang
dengan tujuan pokok menghasilkan devisa, karena pada waktu itu perusahaan
perkebunan negara dijadikan andalan untuk mendapatkan devisa yang sangat
diperlukan.
Dengan adanya reorganisasi, seperti disebutkan
diatas akan tercapai kemandirian masing masing PNP. Namun, harapan itu tidak
terwujud. Sebagai perusahaan negara, PNP dibawah penguasaan Menteri Pertanian
sebagai kuasa Menteri Keuangan sebagai pemegang saham. Dibentuklah Badan Khusus
Urusan PNP yang disingkat dengan BKL PNP dimana Ketuanya adalah Menteri
Pertanian dan Wakilnya Direktur Jenderal Perkebunan. Ketua dibantu oleh 4
Asisten, Asisten Produksi, Asisten Tehnik, Asistne Pemasaran dan Asisten Khusus
yang dibentuk belakangan menangani bantuan luar negeri.
Yang mula mula dibentuk adalah Kantor
Pemasaran Bersama (KPB), yang dipimpin oleh seorang Managing Director (Mandir),
yang diangkat oleh Menteri Pertanian. Mula mula dikatakan bahwa Kantor ini
berada dibawah direksi PNP yang tergabung dalam Badan Kerja Sama PNP dan KPB
Medan berada dibawah BKS PNP I - IX. Namun kenyataannya BKS - PNP ini tidak
berdaya dan selalu meminta keputusan dari BKU melalui Wakil Ketua dan Asisten
Asistennya.
Pada waktu itu antara BKU dan PNP masih ada
kesamaan budaya, karena Wakil Ketua dan para asisten adalah mantan orang orang
perkebunan. Tahap berikutnya terjadilah hubungan langsung antara Mandir dengan
BKU, dan otonomi PNP di bidang masaran hanya tinggal cerita. Kebijaksanaan penjualan
mengusahakan melalui lelang, kecuali minyak kelapa sawit melalui competitive
bidding.
Saya, waktu itu bertugas sebagai staf analisa
pasar, namun bahan yang digunakan adalah sangat terbatas, yaitu berita KB
Antara dan Radio Singapura. Penjualan diadakan berdasarkan F.O.B, karena bila
hendak menjual berdasarkan C.I.F, masih ada kesukaran membooking kapal dan
menutup asuransi.
Harga penjualan di Medan selalu lebih rendah
dari harga penjualan di Singapura dan Kuala Lumpur. Pembeli mengajukan alasan
karena sulitnya mengurus penyelesaian claim. Untuk “save”nya, pembeli
mendiscount harga secara nasional. Pada waktu itu ekspor masih diutamakan, demi
untuk mendapatkan devisa. Waktu itu masih berlaku peraturan ; dimana devisa
yang diperoleh secara otomatis dijual kepada Pemerintah.
Karena ada keluhan, pada waktu itu Pemerintah
mengeluarkan peraturan tentang Alokasi Devisa Otomatis (ADO), sekian % dari
hasil penjualan diberikan dalam bentuk visa, dan PNP bebas menggunakannya
termasuk menjualnya. Pada waktu itu penjualan berdasarkan principal to
principal, pembeli harus langsung dari luar negeri, tidak boleh ada calo. Namun
demikian, pembeli dapat mengangkat perwakilannya di Medan. Untuk pengamanan,
begitu kontrak ditutup, pembeli harus membuka unrevocable L/C. Namun,
bijaksanaan ini tidak selamanya dapat dijalankan, apalagi karena syarat
penjualannya adalah FOB.
Setelah saya diangkat jadi Direktur Komersil,
para Direktur Komersil bertindak sebagai wakil Direksi dalam rapat-rapat dengan
Mandir Pada waktu itu saya mendapat kesempatan mengadakan perjalanan ke Eropa.
Suatu kali saya menyertai Mandir dalam perjalanan ke Eropa, dan dari sana
perjalanan akan dilanjutkan ke Amerika Serikat. Pada saat itu telah santer
beredar berita bahwa minyak kelapa sawit banyak yang diselewengkan, tercatat
destinasi ke Amerika Serikat, nyatanya menyeleweng ke tempat lain. Salah satu
tujuan kunjungan ke Amerika Serikat itu adalah untuk mengadakan cross check,
berapa yang dikirim dari Medan dengan destinasi Amerika dan berapa yang sampai di
Amerika.
Waktu itu telah beredar cerita tentang adanya
mafia di belakang penyelewengan. Saya tidak mau terlibat, dan dengan alasan
ingin berhari raya di rumah, dari Eropa saya langsung kembali ke Medan.
Kita berkepentingan agar barang sampai ke
destinasi awal, demi penguasaan pasar. Dari KPB saya dipindahkan PNPV sebagai
Kepala Bahagian Pembiayaan. Manajemen PNPV dipimpin oleh Pimpinan Pelaksana
Umum, dibantu oleh dua orang Pimpinan laksana, Pimpinan Pelaksana Produksi dan
Pimpinan Pelaksana Komersil dan Umum. Pimpinan Pelaksana bertanggung Jawab pada
Board of Directors yang terdiri dari seorang etua dan dua orang anggota- Ketua
Board of Directors dirangkap oleh Pimpinan Pelaksana umum. Namun, tidak jelas
apa kuasa Board of Directors, sehingga banyak hal bahkan hampir semua hal harus
diputuskan oleh Menteri Pertanian sebagai wakil pemegang saham. Dibawah Direksi
ada unit-unit produksi, yang terdiri dari kebun-kebun, dibawah pimpinan seorang
Administratur.
Pimpinan Pelaksana dibantu oleh kepala kepala
bahagian, ada yang bersifat staf, yang namakan biro. Biro Direksi dan Biro
Effisiensi, dan kepala kepala bahagian yang bersifat Fungsional, terdiri dari
Bahagian Tanaman, Bahagian Teknik dan Teknologi, Bahagian Pembiayaan, Bahagian
Komersil dan Bahagian Umum. Bahagian Tanaman Serta Bahagian Tehnik dan
Teknologi menjalankan kegaitan Teknis. Bahagian Pembiayaan menjalankan kegiatan
financial dan akunting, Bahagian Komersil menjalankan komersil, dan Bahagian
umum menjalankan kegiatan securities.
Bahagian Tanaman dan Bahagian Teknik dan
Teknologi berada dibawah koordinasi mpinan Produksi, sedangkan bahagian lainnya
dibawah koordinasi Pimpinan Komersil. Susunan yang demikian ini adalah
organisasi baru yang diperkenalkan sejak adanya pergaulan dengan bank. Dunia, meniru-niru
model Amerika dimana dikenal adanya Boor of Directors dan Chief Executive
Officers. Sebelumnya, hanya dikenal Direksi yan sertanggung Jawab pada Menteri.
Board of Directors PNP diambil dari orang
luar, awalnya selain Ketua yang dirangkap oleh Pimpinan Pelaksana Umum, dibantu
oleh seorang Pimpinan Bank Indonesia cabang Medan dan seorang pejabat
departemen Pertanian. Belakangan diadakan perubahan dimana tiga tiganya terdiri
dari orang luar Kemudian sebagai bahagian dari Loon Agreemen dengan Bank Dunia,
melalui organisasi International Development Association, kepada PNP
diperbantukan satu Team Konsultan.
Atas advis Menteri team Konsultan yang pertama
terdiri dari orang orang Rubbe Cultuur Maatshoppij Amsterdam (RCMA), mantan
pemilik kebun kebun PNPV, bahkan orang-orangnya terdiri dari pegawai-pegawai
sebelum Perang Dunia II. Disamping itu masih ada kunjungan-kunjungan dari orang
orang IDA.
Pada awalnya terjadi semacam shock, antara
pihak PNP yang boleh dikatakan agak bebas sejak ambil alih, dengan para
konsultan yang bekas pemillik. Saya mempunyai pengalaman pribadi, pernah
“diusir” oleh pesuruh Adm, karena tuan Belanda mau datang Sang pesuruh masih
merasa Belanda nomor satu dan Indonesia nomor dua. Bahkan waktu saya katakan
Belanda itu adalah pegawai saya, sang pesuruh tidak bisa menerima. Namun,
sesudah berjalan beberapa bulan, kedua belah pihak bisa saling menyesuaikan
diri.
Selain dari usaha usaha perbaikan akibat
adanya kapitaal inteering selama masa antara 1967 dengan 1968, salah satu
sektor yang paling disorot adalah bidang akunting dan penggunaannya sebagai
tool of management. Diusahakan agar tercapai kembali consciousness, kesadaran
berbiaya, kesadaran beranggaran dalam arti setiap saat dan sekurang-kurangnya
secara periodik diadakan review, membandingkan pelaksanaan dengan anggaran, dan
bila pelaksanaan tidak sesuai dengan anggaran, agar diadakan upaya-upaya agar
dalam masa berikutnya penyimpangan-penyimpangan dapat diperbaik. Dan, bila
ternyata anggarannya yang tidak sesuai, agar diadakan perbaikan-perbaikai pada
masa berikutnya.
Ada beberapa perbaikan yang diadakan.
Pertama, adalah perbaikan accounting code.
Seperti yang disinggung dimuka. Tahap pertama adalah pembaharuan yang diadakan
oleh konsultan RCMA. Pada dasarnya tidak ada perubahan yang berarti. Kemudian
atas inisiatif saya dan kawan-kawan diadakan upaya perbaikan, yang tidak
terbatas pada satu PNP namun meliputi PNP se Sumatera Utara – Aceh. Namun,
usaha ini juga terpaksa dihentikan, karena dalam rangka kredit Bank Dunia
diundang Konsultan SGV seperti yang telah diutarakan diatas. Saya juga
mengadakan perombakan dalam “falsafah” pembukuan yang ditinggalkan Belanda.
Kebun jangan dibebani dengan masalah keuangan, cukuplah apabila mereka sibuk
berproduksi. Masalah keuangan diurus kantor besar dengan mengadakan sentralisas
pembukuan. Kebun-kebun hanya bertugas menyediakan dokumen-dokumen pembukuan
sedangkan pengolahannya diadakan di kantor Direksi.
Pada waktu saya mulai menjabat Kepala
Bahagian, jumlah pegawai bahagian berjumlah diatas 100 orang, yang terbagi
dalam sub bahagian pembukuan, pergudangan, pemeriksaan dan anggaran. Saya yang
bukan orang RCMA tidak punya beban mental untuk merobah Saya menegakkan
“otonomi” kebun, dan kebun harus menyiapkan sendiri neraca bulanan, dan menyusun
anggaran kebun.
Sebagal follow upnya tenaga yang ada di kantor
direksi didistribusikan ke kebun mengurangi tenaga yang ada di kantor direksi
dan terutama untuk memperkuat tenag yang ada di kebun.
Kesadaran berbiaya dan beranggaran
dikembangkan dengan mengadakan rapat-rapat dengan Kepala Tata Usaha (KTU) Kebun
dan dengan bantuan Direksi dikembangkan dalam rapat-rapat Direksi dengan Kepala
Bahagian dan Administratur. Melalui pengamalan kesadaran berbiaya ini, saya
melihat di kantor Direksi ada jaga malam dan ada anggota lahanan Sipil/HANSIP.
Masing-masing menjalankan tugas yang sama. Sewaktu saya tanya mengapa terjadi
duplikasi itu, saya dapat penjelasan bahwa jaga malam adalah organisasi lama,
sedangkan HANSIP organisasi baru. Saya tanya, kalau tugasnya sama mengapa harus
ada dua badan?
Saya mengusulkan agar jaga malam dihapuskan
dan diganti dengan HANSIP dan usul saya diterima. Ini merupakan suatu contoh,
dimana terjadi bedrijfblind, buta perusahaan. Karena itu, dalam bidang akademis
adalah biasa bila seseorang meminta teman-temannya membaca naskah karyanya,
karena ia bisa saja tidak melihat kekurangan yang ada. Hal yang sama juga saya
alami sewaktu magang di Kantor Administrasi Boemi Poetera, dimana polis yang
akan dikeluarkan dicek, pegawai yang bersangkutan, kemudian saya cek dan
kemudian dicek lagi oleh atasan saya sebelum sampai ke tangan direksi, dan
ternyata direksi menjumpai kesalahan. Jadi, saya dan atasan saya mencek separuh
hati karena yakin pada pegawai bahwa ia telah mencek dan sesudah ditanya ia
mengadakan mencek separoh hati karena masih ada atasan yang akan mengecek.
Diatas telah disebutkan, bahwa salah satu
tugas yang saya laksanakan adalah membantu Direksi dalam membangkitkan
kesadaran beranggaran. Saya berkepentingan mengenai pelaksanaan anggaran ini,
karena dalam teori yang saya ajarkan, anggaran itu merupakan bagian dari
planning, dan planning merupakan kembaran dari controlling. Controlling iru
bisa diadakan bila ada standard, tolok ukur atau yardstick, dan tanpa itu
controlling tidak bisa dilaksanakan. Yang terpenting lagi dalam satu perusahaan
harus ada hanya satu standard, bila tidak akan terjadi kekacauan.
Dalam dunia internasional kita mendengar
keluhan terhadap adanya standard ganda, dua ukuran mengenal hal yang sama
tergantung dengan diperlakukan untuk siapa. Selain dari penertiban kedalam,
dengan datangnya Bank Dunia, team demi team mau tidak mau harus diadakan
pergaulan dengan orang-orang Bank dunia ini, yang pada dasarnya menuntut adanya
kesadaran berbiaya dan beranggaran.
Loan Agreement pada dasarnya mengandung
beberapa kesepakatan, yang merupakan satu bahagian dengan Laporan dari team
yang mengadakan penilaian. Dalam laporan itu ada usul-usul mengenai jenis
tanaman apa yang akan dikembangkan, perbaikan administrasi, rasionalisasi
pegawai dan lain lain. Laporan itu merupakan rencana kerja jangka panjang dan
bahagian bahagian tertentu harus tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran
Belanja Tahunan.
Salah satu saran dari Bank Dunia adalah
penggunaan public auditor. Selama ini, walaupun belum sempurna telah diadakan
audit oleh Kantor Akuntan Negara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun,
Bank Dunia menganggap Akuntan Negara sebagai internal auditor, sedang public
auditor yang dimaksud adalah independent auditor.
Pada awalnya pembukuan diaudit oleh dua
akuntan, Akuntan Negara dan Akuntan Publik, dengan akibat ada tiga neraca,
neraca yang disusun sendiri, neraca akuntan negara dan neraca akuntan
independen. Seyogyanya neraca haruslah disesuatkan atau direkonsialisasi dengan
neraca akuntan, namun akuntan yang mana? Akhirnya dicapal kesepakatan akuntan
publik dianggap sebagai pelaksana akuntan negara.
Bank Dunia meminta selain dari kesadaran
beranggaran tahunan, juga harus punya anggaran atau rencana jangka menengah dan
panjang. Sebagai alat untuk mengadakan rencana jangka panjang ini adalah
perhitungan discounted values.
Ada tiga kesukaran yang saya alami.
Pertama, dibangku kuliah saya belum mengenal
perhitungan discounted values itu. Mungkin yang mempelajarinya adalah jurusan
akuntan.
Kedua, pada waktu itu tempat untuk bertanya
juga belum ada, baru kemudian orang dari departemen lebih dahulu mempelajarinya
dan dari merekalah saya belajar tentang discounted values itu.
Ketiga, perhitungannya adalah manual.
Pada waktu itu budidaya utama PNP V adalah
Karet dengan life cycle 30 tahun, sehingga perhitungan diadakan untuk setiap
tahun. Belum lagi kesulitan dalam menyusun berbagai asumsi, misalnya mengenai
perkembangan, produksi, biaya produksi dan perkembangan harga.
Pada waktu itu calculator baru saja
diperkenalkan dan tehnik perhitungan sebagai Microsoft Excel seperti sekarang
belum sampai. Komputer juga baru masuk ke pasar dan yang punya waktu itu adalah
Pertamina, dan kami kepala-kepala bahagian Pembiayaan waktu itu sengaja datang
melihatnya ke Pangkalan Berandan.
Saya hanya 4 tahun di PNP V, kemudian
dipindahkan ke PNP II/Sawit Seberang menjabat Pimpinan Komersil dan Umum, dan
kemudian setelah berganti bentuk menjad PerseroanTerbatas Perkebunan (PTP II)
nama jabatannya juga berubah menjadi Direkttr Komersiel dan Umum.
PNP II adalah PNP yang hancur-hancuran, baik
di bidang produksi dan dengan sendirinya juga dibidang keuangan. Sewaktu
didirikan pada tahun 1968, Direktur Utamanya adalah Kaligis, mantan direktur
PPN Karet II yang berkedudukan di Tanjung Morawa Setelah PNP II didirikan
kantor Direksi ditunjuk di Sei Sikambing, namun atas agreement antara Kaligis
dan dengan Dirut PNP III yang ditunjuk berkantor di Tanjung Morawa diadakan
pertukaran dibawah tangan. Kemudian setelah Kaligis meninggal, digantikan oleh
M.D. Nasution, namun beliau
mengundurkan diri dan digantikan oleh LM Siahaan
Saya dipindahkan dari Tanjung Morawa dan
bekerja dibawah beliau. Ada hal yang menggembirakan bagi saya selama 7 tahun
bekerja di PNPII/SWS. Sama dengan PNP V, PNP V juga mengalami kapitaal inteering yang hebat.
Demikian jeleknya keadaan keuangan sehingga rekanan dibayar sesudah
berbulan-bulan. Harga seolah-olah terserah pada rekanan, asalkan bersedia
dibayar kapan-kapan.
Produksi telah terjual selama setahun sedang
produksi belum ada. Pemeliharaan tanaman sangat terlantar. Moralitas kerja dan
semangat kerja karyawan sangat rendah dia hanya berani mengatakan bahwa ia
adalah karyawan PNP tanpa menyebutkan nomornya. Jadi ada hubungan antara
terjadinya kapitaal inteering dengan “moralitas inteering”.
Untuk mengatasi kapitaal inteering ini,
Pemerintah menunjuk Bank Asia sebagai partner dalam menangani masalah keuangan PNP
II. Setelah mengadakan studi yang biasanya dilaksanakan oleh berlapis lapis
team, dalam tahap pertama kredit dikhususkan untuk perkebunan kelapa sawit di kebun Sawit
Seberang. Dalam perjanjian kredit, dimint kebun Sawit Seberang agar dijadikan
PNP tersendiri, menjadi PNP Sawit Seberang namun Direksinya tetap direksi yang
lama tanpa gaji khusus. Gabungan dua PNP itu dinamakan PNP II/Sawit Seberang.
Setelah penyaluran kredit pada PNP Sawit
Seberang ini berhasil, dalam perundingan berikutnya diberikan juga kredit untuk
PNP II. Kemudian kedua PNP itu digabung kembali dalam PTP II. Dengan bantuan
kredit ini, perusahaan seolah-olah hidup kembali. Untuk para asisten diadakan
“kreasi”, mereka dapat speda motor yang dicicil secara bulanan dan pada waktu
yang sama mereka diberikan tunjangan pengangkutan sebesar cicilan speda motor,
sehingga speda motor itu jadi gratis
Untuk afdeeling diadakan perlombaan, afdeeling
yang menonjol dalam pemelihaam dan produksi diberikan hadiah TV, belakangan
ditingkatkan dengan pemberian genset. Pada saat keadaan keuangan perusahaan
membaik, diberikan juga untuk para Administrator mobil sedan secara kredit,
dengan tujuan sederhana, biarkan para nyonya Adm yang berkepentingan pada
baiknya jalan di kebun, sehingga mereka mendesak suaminya untuk merawat
jalan-jalan dengan baik.
Para asisten mulai “ditertibkan” sepatu
tidak boleh lagi sembarangan. Upaya penyebaran kesadaran berbiaya dan kesadaran
berproduksi diadakan melalui pembinaan dalam rapat-rapat. Perbaikan pelaporan
dengan introduksi system yang dinamakan system SGV, digunakan sebagai sarana
pendidikan dan upgrading.
PNP II mewarisi semangat pengembangan, adanya
kebun Tritura yang merupakan kebun baru (TB) yang dimulai sejak zaman Aneka
Tanaman II. Pengembangan kebun ini dilanjutkan, bahkan ditambah dengan
pembukaan kebun-kebun lain, di daerah Langkat.
Pengembangan ini dimungkinkan dengan adanya
kredit dari Bank Asia. Disini juga saya terlibat dalam penyusunan long term
planning, namun berkat latihan yang diperoleh dalam menghadapi Bank Duna di PNP
V, pekerjaan ini dapat saya laksanakan. Pembinaan tenaga staf diadakan melalui
briefing dalam rapat-rapat.
Dengan adanya perluasan areal dan adanya
personalia yang pensiun, diperlukan tenaga staf baru.Tenaga ini diambil dari
dua sumber, sumber dalam dan sumber luar perusahaan. Sumber dari dalam diambil
dari para mandor melalui seleksi yang ketat. Sumber dari luar diambil dari para
sarjana, juga melalui seleksi yang ketat. Mereka ini dilatih beberapa bulan, di
kelas dan di lapangan. Kemudian diterima sebagai “calon staf” dan sesudah
setahun baru diangkat sebagai staf definitive. Dari kader-kader ini ada juga
yang mencapai Direktur Utama.
Dalam bidang tanaman, saya punya pengalaman.
Waktu itu saya berkunjung ke areal, dan melihat pertumbuhan TBM yang berbeda,
ada areal yang lebih baik dibandingkan dengan yang disebelahnya.Waktu saya
tanya mengapa demikian, sang Adm mengatakan. hal itu terjadi karena perbedaan
tahun tanam, tahun tanaman yang lebih muda diberikan dosis yang lebih tinggi.
Saya tanya, kalau yang lebih tua diberikan dosis yang sama apa juga
pertumbuhannya akan lebih bagus, dijawab ya. Saya tanya kalau begitu mengapa
pupuknya tidak ditambah, katanya sesuai dengan petunjuk Balai Penelitian.
Sejak itu diadakan perubahan yang drastis
dalam pemupukan, tidak lagi ditentukan oleh rekomendasi Balai, namun selama
tanah dan tanaman masih menerima, tambah saja pupuknya. Kemudian hal yang sama
dijalankan juga di bidang tanaman menghasilkan. justru kalau produksi naik,
pupuk harus ditambah, dengan pemikiran yang sederhana, kalau produksi naik,
pasti hara yang diambil dari tanah juga, bertambah, dan harus “diisi” lebih
banyak lagi. Malah pada awalnya PTP II tidak mengenai assisted pollination,
dengan pemikiran yang sederhana produksi bisa turun karena banyak bunga yang
gugur dan bunga gugur karena pohon kurang gizi. Kalau gizinya ditambah melalui
penambahan dosis pemupukan past, produksinya tinggi.
Dalam waktu 5 tahun, moralitas karyawan
berubah total dari mengaku sebagai karyawan PTP II menjadi bangga, apalagi
“ranking” diantara PTP di Sumut yang tadinya di nomor paling rendah telah
meningkat ke nomor yang hampir di puncak. Juga pengalaman yang tidak bisa
dilupakan adalah dalam rehabilitasi pabrik pengolahan kelapa sawit di Sawit
Seberang. Pabrik satu-satunya yang dipunyal PTP II. Karena itu tidak ada
afternatif lain selain mengadakan rehabilitasi sambil paberik terus berjalan,
dan dalam saat yang gawat terpaksa mengolahkan ke pabrik tetangga.
Setelah selesai diadakan evaluasi, dan
ternyata biaya rehabilitasi lebih besar dan pada mendirikan paberik baru.
Kemudian pengalaman ini saya gunakan menghadapi masalah di PTP X, yang hanya
punya satu pabrik yaitu pabrik Bekri. Pengalaman pabrik Sawit Seberang itu
hampir berulang, dan saya memutuskan mendirikan pabrik baru, yaitu paberik
Rejosari, yang walaupun terlambat sekarang paberik telah berdiri.
Pada tahun 1983, setelah tiga tahun menjadi
Pimpinan Pelaksana Komersil yang berarti sesudah sepuluh tahun menjabat
Direktur Komersil dan Umum, saya dipindahkan ke PTP X di Bandar Lampung.
Pindah ke Bandar Lampung ini membawa beberapa
perubahan.
Pertama, perubahan posisi kedudukan dari
posisi kedua menjadi posisi pertama
Kedua perbedaan perusahaan dan permasalahan
yang dihadapinya.
Mengenai yang pertama, yang lebih dahulu saya
lakukan adalah “mengobati” perlakuan yang saya selama ini, terutama dalam
masalah perencanaan keuangan. Untuk itu saya menetapkan Direktur Komersil
mengurus masalah keuangan termasuk menandatangi cheque yang selama ini menjadi
“hak prerogatif” Direktur Utama. Untuk itu sekali sebulan Direktur Komersil
membuat rencana pembayaran.
Direktur Komersil punya rekening sendiri.
Kebutuhan keuangan itu didrop dari rekening Dirut kedalam rekening Dirkom.
Penerimaan keuangan masih tetap masuk rekening Dirut. Ternyata kebijaksanaan
ini tidak diterima dengan baik, dianggap membatasi wewenang Dirkom, sehingga
dilaksanakan separoh hati.
Kedua, perbedaaan perusahaan.
PTP X mempunyai perkebunan di dua propinsi,
Lampung dan Sumatera Selatan. Di Lampung yang dominan adalah tanaman karet,
sedangkan kelapa sawit hanya satu kebun dengan satu pabrik. Kemudian ada
kebijaksanaan dari Dirut yang lama, mengkonversikan karet ke kelapa sawit,
walaupun alamnya tidak mendukung, Lampung sekali dalam lima tahun mempunyai
musim kemarau panjang yang menurunkan produksi sampai 50%. Juga pada masa Dirut
yang lama, bukan yang langsung saya gantikan ada penanaman kelapa hibrida,
bahkan produksinya dijadikan insentif untuk keluarga berencana, sedangkan
pembayarannya sangat tidak teratur. Ada juga kebun cengkeh beberapa ratus Ha
Ada lagi usaha penanaman kopi, namun dilarang oleh Dirjen Perkebunan, serahkan
kopi kepada rakyat.
Ada lagi warisan kebun dari PTP dari Jawa,
yang menanam tembakau. Penanaman tembakau di Lampung adalah Jawaban atas
kekurangan tanah di Jawa, sehingga diputuskan mencari tanah di luar Jawa.
Mereka memilih Lampung, dan ternyata memang tanahnya tidak cocok. Kemudian
mereka menanaminya dengan kelapa sawit, dimana PTP X bertindak sebagai
konsultan, kemudian meningkat menjadi management kontrak dan terakhir
perkebunan itu diserahkan kepada PTP X.
Di Sumatera Selatan tanamannya juga karet,
namun telah mulai dibuka tanaman kelapa sawit. Penanaman kelapa sawit ini
termasuk pabriknya, didasarkan pada long term planning, dengan pola pembiayaan
yang bersumber dari tiga instansi, Pemerintah RI, Bank Dunia dan Dana PTP
sendiri. Saya menjumpai kenyataan, dibandingkan dengan PNPVII, penerimaan PTP X
adalah 1/3 dari PNPVII sedang beban investasinya 3X lipat.
Timbullah masalah keuangan yang sangat berat,
pola pembiayaan tiga sumber yang berantakan karena dana sendiri tidak seperti
yang direncanakan. Dampaknya proyek Sumatera Selatan di Betung, punya pabrik
yang sudah jadi namun produksi tanaman tidak cukup karena arealnya sendiri
belum ditanami karena kekurangn dana.
Di Lampung timbul masalah perkebunan yang
diserahkan dari PTP lain dengan beban hutang yang juga dengan sendirinya
dialihkan pada PTP X. Tanaman kelapa sawit yang merupakan konversi telah
berbuah namun kapasitas paberik kurang dengan akibat di paberik diadakan tambal
Sulam. Keputusan yang saya ambil adalah mengajukan permohonan kredit baru, terutama untuk mendirikan
pabrik kelapa sawit di Lampung dan mengusahakan adanya “capacity balance”
antara pabrik dan tanaman di Sumatera Selatan.
Saya terobsessi pada pengalaman di PTP II,
yang dalam tempo lima tahun kedudukannya bisa diangkat dari PTP yang keadaan
keuangannya morat-marit menjadi perusahaan yang sehat.
Saya melihat ada tiga kekuatan yang dipunyai
PTP X, tanah untuk perluasan yang masih cukup, tenaga kerja yang
berlimpah-limpah, komunikasi darat yang relatif baik dengan adanya jalan-jalan
dan jaringan kereta api. Sayangnya saya tidak berpikir sama sekali mengenai
posisi saya, saya tidak pernah terpikir bahwa di dalam dan di luar perusahaan
ada satu banyak orang yang tidak senang atau yang ingin kedudukan saya. Baru
tiga bulan saya menjabat sudah terasa ada perlawanan dari “musuh-musuh” . Yang paling fatal adalah
ketidakserasian antara Menteri Pertanian dan Menteri Muda Urusan Peningkatan
Produksi Tanaman Keras, mantan boss saya di Sei Karang, dengan akibat semua “anak buah”nya harus
digusur dan saya termasuk salah seorang yang dikategorikan sebagai anak buah
itu.
Segala insinuasi diadakan dengan menggunakan
orang luar dan orang dalam, dan akhirnya saya dipromosikan jadi tenaga pengajar
di LPP Yogyakarta. Saya sama sekali tidak mengadakan perlawanan karena
bagaimanapun saya pasti kalah. Saya mempunyai pengalaman yang “paling manis”,
selama bekerja saya belum pernah membayar satu senpun untuk jabatan, dan
akibatnya saya tidak menggunakan sedikitpun perhatian untuk memagari jabatan
saya, misalnya dengan mendekati diri pada orang yang berkuasa.
Bagi yang membaca pengalaman ini, saya anjurkan ingatlah
kembali kepada rumus manajemen yang anehnya selalu saya tekankan pada mahasiswa
saya bahwa “semua orang bisa dan harus dipercaya dan tidak dipercaya
sekaligus”.
Saya kurang atau sama sekali tidak memberikan
perhatian pada sisi kedua bahwa orang itu harus tidak dipercaya, sehingga
terhadap orang yang demikian kita harus berupaya mengadakan pembentengan diri.
Periode di perkebunan berakhir pada usia 52
tahun dan saya beralih pada bidang pendidikan. Suatu hal yang harus
diperhatikan adalah masalah “post power syndrome”. Seorang psikolog dari LPP
dalam wawancara dengan saya pada saat saya bertugas di Bandar Lampung
menanyakan, bagaimana sikap saya pada saat saya mengatakan punya power, sedang saya merasa tidak
punya power, karena yang punya power adalah Allah ; kita hanya menerimanya
sebagai amanah atau pinjaman, dan kalau pinjaman itu ditarik kembali, tidak ada
masalah.
Pengalaman saya megnatakan bahwa hal diatas
mudah mengatakannya, namun sikap berpikir sulit untuk merubahnya. Yang paling
utama adalah kenyataan bahwa kita tidak lagi decision maker, tidak lagi orang
yang ditunggu untuk memutuskan sesuatu. Dampak adalah timbulnya perlawanan, dan
perlawanan itu adalah dalam bentuk retreat, terutama dalam keadaan dimana orang
membuat keputusan yang menyangkut dirinya yang bertentangan dengan keputusan yang akan
diambilnya, bila ia yang yang mengambil keputusan.
Sejak Januari 1985 sampai Maret 1987 saya
bertugas di LPP Yogyakarta. Di LPP ada dua kategori tenaga pengajar, tenaga
tetap dan tenaga yang diperbantukan. Tenaga tidak tetap terdiri dari mantan
anggota Direksi yang tergusur dari perusahaan. Kasarnya mereka hanya menumpang
di LPP, dan gajinya masih berasal dari perusahaan terakhir dimana ia bertugas.
Berbagai tunjangan dihapuskan, bahkan tantieme
yang tadinya diterima, dihapuskan. Sayangnya penghapusan ini sangat tergantung
pada selera menteri, buktinya sesuai menteri tukar tantieme dibayarkan kembali.
Saya merasakan adanya ketidakadilan itu, namun saya harus menerima kenyataan.
Yang kedua, saya mencoba memahami Kejawen atau
dalam istilah menterengnya Javanologi. Dizaman Menteri PDKnya dijabat DR Daoed
Yoesoef, secara resmi Departemen P&K mendirikan Lembaga Javanologi di
Yogyakarta, namun setelah menterinya bertukar lembaga itu diciutkan. Para pendirinya
mendirikan lembaga tandingan, sehingga di Yogya ada dua lembaga, lembaga
Pemerintahan dan lembaga swasta.
Ada satu keyakinan diantara para pengikutnya
bahwa Kejawen itu sudah sempurna sehingga apabila yang sempurna ingin
disempurnakan, berarti merusak. Para pengikutnya mengatakan bahwa yang
dinamakan sinkretisasi itu mozaik yang membuatnya tambah sempurna Islam Jawa
pada dasarnya adalah Islam yang telah membentuk mozaik itu. Islam Jawa lebih
banyak percaya pada Wali dan sangat menjunjung Kalijaga. Sesuatu praktis
keagamaan sering sering dikatakan sebagai berasal dari Kalijaga.
Tidak heran apabila Muhammadiyah mulai
dikembangkan di Jawa dengan temsentral TBC, Takhyul, Bid’ah dan Churafat, jelas
akan bertabrakan dengan Islam Jawa. Hal inilah yang berkembang terus yang
membawa perpecahan dalam Masyumi, bahkan hampir meledak dalam masa pemerintahan
Gus Dur, dimana ada ulama NU yang menghalalkan darah Amien Rais, manta Ketua
Muhammadiyah dan Ketua PAN.
Jauh kebelakang, kita juga menjumpai hal ini
dalam polemic kebudayaan pada tahun tiga puluhan.
Pada tahun 1987 saya pindah dari Yogya dan
bertugas di LPP kampus Medan. Berbeda dengan di Yogya ada beberapa kegiatan
yang saya lakukan.
Refleksi
II
Hidup
Beragama
Tulisan ini disusun pada usia lanjut, dimana
pengetahuan agama sudah bertambah, sedangkan yang disorot adalah kenyataan
beragama dimasa lalu dimana pengetahuan agama masih sedikit. Kegunaan tulisan
dimaksudkan sebagai bahan perbandingan bagi para pembaca dimasa yang akan
datang.
Dengan demikian nada tulisan ini akan bersifat
“seandainya”, seandainya dulu saya sudah tahu, kemungkinan saya tidak berbuat
begitu. Disini masih ada kata kemungkinan karena dengan punya pengetahuan yang
cukup belum tentu berbuat sesuai dengan pengetahuan itu.
Ayat Al Qur’an surat Al A’raaf (7) ayat 172
berbunyi :
Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam dari tulang punggung
mereka dan Allah mengambil kesaksian atas diri mereka, “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul kami menjadi saksi”. Yang demikian supaya
kamu tidak mengatakan dihari kiamat. “Sesungguhnya kami orang-orang yang lalai
tentang ini.”
Dari ayat itu jelas, bahwa setiap pengingkaran
pada ketentuan Allah adalah bentuk pengingkaran terhadap perjanjian luhur itu.
Sebagai realisasi terhadap perjanjian luhur itu, diperlukan adanya perjuangan.
Menurut ajaran Ikhwanul Muslimin, perjuangan
itu ada empat tingkat, yaitu pembinaan pribadi yang Islami, dilanjutkan dengan
pembentukan keluarga yang Islami, kumpulan keluarga yang Islami membentuk
masyarakat yang Islami, dan masyarakat yagn Islami ini akan membentuk negara
yang Islami.
Saya lahir dalam masyarakat yang belum atau
tidak Islami, dalam masyarakat plural dimana Islam dan Kristen berbaur dan
bergaul. Pribadi yang Islami hanya bisa dicapai melalui pendidikan, di rumah
dan di masyarakat.
Ada daerah-daerah yang Islami, dimana
anak-anak mendapat pendidikan yang berimbang atau diusahakan berimbang antara
pendidikan umum dan pendidikan agama. Anak didik masuk sekolah dua kali sehari,
pagi masuk sekolah umum dan sore masuk madrasah atau sekurang-kurangnya
pengajian. Namun, saya tidak menikmati pendidikan yang seimbang itu.
Seingat saya, sampai tammat SMP, saya hanya
mengenal alip-alip atau Jus Amma, itupun terbatas pada membacanya, tidak
termasuk pelajaran menulis apalagi mengartikannya. Baru pada akhir akhir masa
SMP saya banyak mendengar pengajian di mesjid, yang tanpa program, ustadnya
berganti-ganti dengan topik yang mereka pilih sendiri. Di Sekolah Rakyat dan di
SMP sama sekali tidak ada pelajaran agama. Pada saat berada di SMA saya sering
juga sembahyang Jum'at, terutama bila ada kerinduan ke kampung. Dernikian juga
pada saat menjadi mahasiswa, sembahyang tetap ompong. sekali-sekali sembahyang
jum'at, namun puasa hampir tidak pernah. Keadaan di Banjarmasin jugasama dengan
di Yogya, demikian juga pada saat tugas belajar.
Kembali ke Medan, hal yang sama juga terjadi sewaktu
kerja di Pertekstilan TD. Pardede. Baru sesudah bekerja di perkebunan, mungkin
karena pengaruh lingkungan, sembahyang dan puasa saya mulai teratur. Saya mulai
terlibat dalam pengajian. Kelompok pengajian pertama dlikuti antara lain
keluarga Kasmaini, Amir Husin, Husni Lubis dan Munir Pengajian diadakan dari
rumah kerumah sekali dalam sebulan. Diluar tugas mengajar saya lebih
mengarahkan pada pengkayaan bathin. Pelajaran agama lebih intensif sesudah saya
bertugas di Yogyakarta.
Ada dua hal yang saya lakukan.
Pertama mencoba membenahi pengetahuan agama
saya, antara lain dengan kembali belajar membaca Al Qur'an, menghadiri
pengajian-pengajian, dan ceramah-ceramah khususnya ceramah subuh pada bulan
Ramadhan.
Selama di Yogya ini saya menyadap adanya toleransi
yang tinggi, dimana dalarr kelompok pengajian yang saya ikuti, anggotanya ada
yang dari Muhammadiah, NU bahkan ada yang dari Ahmadiah. Selain daripada
memperdalam agama, saya juga uga mencoba menghayati” hidup spiritual dengan
mengunjungi makam-makam para wali.
Dalam setiap kunjungan ini, juru kunci selalu
bertanya apa permintaan saya, dan saya selalu menjawab saya tidak minta
apa-apa. Itu tidak berarti saya tidak punya permintaan, namun permintaan saya
tujukan langsung pada Allah, tanpa perantara.
Mengenai penambahan pengetahuan agama tetap
dilaksanakan, dengan mengikuti beberapa pengajian.
Kembali ke Medan, kegitan menambah pengetahuan
ke Islaman bertambah intensif. Secara kebetulan, pada saat saya kembali ke
Medan, juga kembali beberapa dosen IAIN dan dosen FKIP dari pendidikan S3
diberbagai kota. Dengan tenaga-tenaga ini sebagai teras, mereka mendirikan
“Pendidikan Tinggi Purna Sarjana Agama Islam Dirasatul 'Ulya
(DU), Medan.
Sebenarnya namanya terlampau besar, memang para pengikutnya
adalah lulusan S 1, namun kuliahnya diadakan hanya pada setiap hari Minggu,
masing-masing dua sesi. Memang diadakan ujian-ujian, namun hanya sebatas
sebagai pendalaman, tanpa degree. DU diresmikan pada tanggal 27-12-1987
bertempat di Aula Pendikan Harapan. Malam sebelumnya diadakan makan malam
dirumah, dimana hadir Dr Quraish Sihab dan Atik Pratiknya dari Jakarta.
Pembukaan diadakan oleh Dr Quraish Sihab. Bagi
saya, adanya DU ini sangat bermanfaat, saya diperkenalkan dengan keluasan agama
Islam itu, dan setapak demi setapak dibawa ke pendalamannya. Dalam Dirasatul
'Ulya inilah saya mulai punya “frame” mengenai luasnya Islam itu. Disamping itu
dosen-dosennya selain dari dosen lokal juga banyak dosen tamu. Saya ada
beberapa kali diminta sebagai pembicara, sehingga pegang peran rangkap,sebagai
mahasiswa dan sebagai dosen.
Dalam kurun ini juga saya ikut dalam
perintisan pengkajian Ekonomi Islam, Dalam rangka itu saya pernah berkunjung ke
Universitas Islam Antar Bangsa di Kuala Lumpur dan berbicara dengan beberapa
orang dosen, dan ada yang berusaha meyakinkan saya bahwa untuk menyusun Ekonomi
Islam itu diperlukan waktu setengah abad.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
syariah, lebih menekankan pada proses atau cara mencapainya dan bukan pada
tujuan. Dalam mengadakan analisis mengenai profit and losts sebagai akibat
matching costs against revenues, yang dipertanyakan lebih dahulu apakah items
yang dibahas itu halal atau haram. Bila semuanya dinyatakan halal its oke, dan
berapa besar profit adalah nomor dua. Jadi, melahirkan ekonomi Islam berarti
mencari jalan bagaimana menggabungkan kaidah-kaidah ekonomi yang mengejar
efisiensi dan produktivitas dengan prinsip-prinsip syariah.**
Refleksi
III
Kewiraswastaan
Selain dari pada refleksi dalam bidang
manajemen dan agama, saya juga ingin mengadakan refleksi dalam bidang
kewiraswastaan.
Awal karier saya muncullah aliran yang percaya
bahwa kewiraswastaan atau entrepreneurship bisa dipelajari. Buku buku seperti
“The Achieving Society” tulisan David McDeland dan “Motivating Economic
Achievement” tulisan David C. Mc Deland an David G. Winter sedang banyak
dipelajari, karena yakin akan adanya need for chiement (n.Ach) yang dapat
dipelajari. Kursus-kursus diadakan sesuai dengan keyakinan.
Pada waktu itu, ada keyakinan umum bahwa dalam
pembangunan ekonomi yang ingat kurang adalah orang yang mampu berwiraswasta.
Saya sendiri berpendapat bahwa kewiraswastaan adalah kombinasi antara
leadership yang dipelajari dalam Manajemen dan kemampuan bergaul atau ability
to communicate yang merupakan bahagian dari Ilmu Komunikasi. Bahagian-bahagian
dari kewiraswastaan ini merupakan Irnu yang saya “ajarkan”, namun mengapa saya
tidak punya kemampuan jadi wiraswasta?
Seorang rekanan di PNP V saya dengar mengambil
kredit dari bank dengan jaminan seluruh harta bendanya. Modal itu ia perlukan
untuk membuka perusahaan pengecoran besi, dengan menggunakan generator yang
diimpornya dan Jepang. Generator ini adalah generator yang akan dikirim ke
Korea oleh tentara Amerika, namun terlantar di pelabuhan kerena perang
terlanjur selesai, sehingga pengirimannya ke Korea dibatalkan.
Saya tanya apa dia tidak takut gagal sehingga
semua hartanya ludes. ia berkata bahwa harta itu adalah yang ia cari, jadi
kalau ludes ia akan mencarinya kembali. Jadi disamping need for achiement masih ada
komponen penting, yaitu keberanian untuk gagal.
Tahun 1997 di Malaysia diterbitkan buku “Dare
to Fail” tulisan Billi PS. Lim dengan terjemahannya yang berjudul “Berani Gagal”. Barangkali
inilah yang jadi “factor positif” bagi sekelompok masyarakat yang gemar
berjudi. Berjudi dilarang oleh agama. sedangkan keberanian untuk gagal
diperlukan sebagai unsur utama dari need of achievement.
Barangkali perlu diadakan pemahaman tentang
tentang faktor keberanian untuk gagal itu, disokong oleh landasan ajaran agama,
dengan keyakinan bahwa latihan berani gagal itu tidak mesti dengan berjudi.
Barangkali keberanian untuk gagal ini juga merupakan unsur dari semangat
merantau yang dipunyai beberapa suku di Indonesia.
Memang, kalau kita kembali pada empat unsur
definisi manajemen yang disebutkan diatas, semuanya mengandung risiko: apakah
tenaga kerja yang tersedia sudah memenuhi syarat dan dapat dipercaya, apakah
tujuan yang akan dicapai itu telah tepat, dan apakah cara mencapainya sudah
tepat ?
Sesuatu yang tanpa risiko itu pastilah tidak
ada, apalagi sebagai orang yang beragama, kita harus menyerahkan sesuatu pada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang bisa dilaksanakan adalah memperkecil risiko yang
yang lazim dikatakan calculated risk. Apakah need for achiemement itu dapat
dipelajari dapat dilihat dari cara-cara pedagang Tiong Hoa mengkader
anak-anaknya, dimulai sejak dini mengenal perusahaan lebih dahulu dan baru
melatih menghadapi risiko. Tidak heran, jodoh dari kewiraswastaan adalah
permainan-permainan yang mengandung risiko, dari permainan sampai Judi.
Barangkali salah satu unsur keberanian
mengambil risiko adalah keyakinan bahwa yang punya harta itu adalah Tuhan, kita
hanya penerima amanah, bila harta itu hilang berarti diambil oleh Yang punya,
dan bila bertambah, juga karena ditambah oleh Yang punya itu.
__________________________________________________