Tuesday, October 1, 2013

BAGIAN III "BUKTI KEPADA GENERASI PENERUS" OTOBIOGRAFI Drs HS PULUNGAN




MASA KERJA DI PNP VII
(1981-1983)

PNP VII mempunyai kantor pusat di Bah Jambi, beberapa kilometer dari Pematang Siantar, ibu kota kabupaten Simalungun. Di depan ; saya telah singgung pengalaman waktu berperan serta dalam peresmian pabrik Bah Jambi, pemanfaatan bangunan pabrik sisal yang lama dan peralatannya ditukar dengan pabrik kelapa sawit.

Kabupaten ini boleh dikatakan merupakan kabupaten perkebunan. Kalau pada tahun 1968 PNP VII didirikan dengan susunan anggota direksi yang terdiri dari tiga orang, sekarang mulai dikembangkan susunan pimpinan yang terdiri dari 4 orang, ditambah seorang dengan jabatan sebagai Direktur Pengembangan. Bidang tugas direktur pengembangan adalah perluasan kebun ke daerah-daerah baru, baik kebun sendiri ataupun kebun dengan pola PIR.

Ada yang mengatakan pribadi seorang direktur utama akan membawa arah perkembangan perusahaan yang dipimpinnya. Sebelum saya dipindahkan ke PNP VII, direktur Utama perusahaan ini adalah Bapak Purba Sidadolok. Dalam menghadapi kedatangan Bank Dunia ia bersifat responsive, saran Bank Dunia menciutkan jumlah kebun dengan mengadakan penggabungan-penggabungan dilaksanakan dengan konsekuen, sehingga dalam jajaran PNP yang luasnya hampir sama, jumlah kebun di PNP VII hanya separohnya. Jelas hal ini menguntungkan dari segi biaya, karena menurunkan biaya overhead. Namun terjadi stagnasi dalam pembinaan kader, karena jumlah administratur dan asisten kepala menjadi sangat terbatas. Dalam era dimana PNP sedang mengadakan perluasan, diperlukan kader yang banyak sehingga biaya overhead yang rendah ditiadakan oleh kurangnya tenaga untuk mengisi lowongan-lowongan yang terbuka di daerah pengembangan.

Pemahaman pengembangan juga mempunyai penafsiran yang berbeda, dimana Sidadolok menganggap pengembangan bukan hanya bersifat horizontal berupa perluasan areal, tetapi juga termasuk pengembangan kehulu (upstream) dengan mengadakan pengolahan lanjutan dari hasil perkebunan, membuat minyak goreng dari minyak kelapa sawit dan ekstraksi minyak inti sawit. Sesuai dengan teori ubikuitas, perusahaan lanjutan ini dibangun di pelabuhan Belawan. Dalam pengembangan horizontal juga diadakan loncatan jauh ke Kalimantan Barat dengan pola perluasan kebun sendiri dan pembangunan perkebunan PIR — BUN.

Pak Sidadolok sewaktu berada di Bah Jambi mengadakan loncatan ke Kalimantan Barat, sesudah ia berada di Tanjung Morawa menggantikan pak Lintong, beliau mengadakan loncatan ke Irian Jaya.

Tim Pimpinan Pelaksana yang baru terdiri dari 4 orang dimana salah seorang diantaranya adalah seorang Pimpinan Pelaksana Pengembangan. Kami mengembalikan jumlah kebun ke keadaan sebelum diciutkan sesuai dengan usul Bank Dunia dengan mengadakan katrol besar-besaran, karena kurangnya staf dalam golongan yang sesuai dengan kebutuhan sebagai akibat stagnasi selama masa penciutan. stagnasi ini timbul karena jumlah administratur dan Asisten Kepala sangat terbatas, sehingga promosi dari bawah juga sangat terbatas. Pengembangan upstream tetap dipertahankan, sedangkan pengembangan horizontal di Kalimantan Barat dilanjutkan.

Sewaktu Pimpinan Pelaksana Umum cuti naik haji, saya ditunjuk sebagai pejabat dan dalam kapasitas sebagai pejabat itu saya berkunjung ke Proyek di Kalimantan Barat. Setibanya di Pontianak, saya merasa aneh, pionir-pionir pembangunan itu tidak punya fasilitas. Tidak ada kantor, tidak ada mess, tidak ada kenderaaan. Ini tentunya sejalan dengan pandangan pak Sidadolok yang menginginkan minimalisasi biaya overhead, namun biaya overhead bukanlah segala galanya. Rasa percaya diri, rasa berarti perlu juga perhatikan. Suatu kegiatan tanpa rumah dan kantor tentulah tidak sejalan dengan butuhan percaya diri dan rasa berarti.

Walaupun saya tahu bahwa sebagai pejabat tidak boleh mengambil keputusan yang prinsipel, namun saya mengambil risiko dengan mengambil keputusan menyewa mess dan kantor serta kenderaan dinas untuk inspektur yang ada di Pontianak. Ternyata sudah pimpinan pelaksana umum pulang dari naik haji, tindakannya itu disetujui. Saya melihat bahwa salah satu masalah utama adalah kekurangan pengetahuan tentang manusia Kalimantan Barat, yang terdiri dari berbagai etnis, Melayu, Dayak. Madura dan yang lain-lain. Pada awalnya saja telah terjadi beberapa kesalahan. Dalam rangka mengambil hati rakyat didatang kanlah satu pesawat para temenggung dari desa-desa. Ternyata temenggung inilah adalah “pesuruh” desa dan bukan pimpinan desa. Dibuat pilem untuk penerangan, ternyata terjadi kesalahan ilustrasi musik, yang digunakan adalah musik Kalimantan Tengah dan bukan Kalimantan Barat.

Dalam pemberian “ganti rugi” tidak diketahui siapa yang paling berhak menerima sehingga muncul berkali-kali klaim. Dalam pembangunan rumah, orang Dayak sangat “concern” dengan kualitas bahan-bahan, dalam arti apakah bahan-bahan itu telah “bebas” dari hantu jembalang dan lain-lain.

Saya pernah mengupayakan jasa-jasa dari antropolog, Dr Michael Dove, seorang ahli yang diperbantukan pada Universitas Gadjah Mada, namun nampaknya kurang mendapat dukungan dari koleganya yang lain. Seperti yang disebutkan diatas, bertahun-tahun terjadi stagnasi dalam bidang ke pangkatan staf, dan juga terasa tenaga staf yang sangat kurang. Untuk mengisi kekurangan itu diadakan pendidikan intern calon tenaga staf. Karena saya yang ditugasi dalam pelaksanaannya, saya menggunakan model PTP II, dimana sebagai sumber tenaga diambil dari dalam dan luar perusahaan. Dari dalam diambil dari para mandor yang track recordnya baik, sedangkan dan luar diambil dari tenaga para sarjana.

Ada satu masalah banyaknya pelamar dan bidang tehnik namun dan jurusan industri. Waktu itu, setelah dipertimbangkan mereka juga diterima dan diarahkan ke bidang pengolahan. Nampaknya hasilnya tidak mengecewakan. Sumber dari dalam diambil mereka yang mempunyai ijasah SPMA.

Saya memakai pola yang saya bawa dari Akademi Tekstil TD. Pardede, dibagi dalam tiga jurusan,Tanaman, Tehnik/Teknologi dan Administrasi. Jurusan tanaman diarahkan untuk asisten tanaman, tehnik teknologi diarahkan pada pengolahan dan pemeliharaan mesin-mesin. Seperti disebut diatas, para sarjana tehnik industri diarahkan pada bidang pengolahan. Jurusan administrasi juga merupakan gabungan untuk jurusan pembukuan dan bidang personalia. Untuk bidang administrasi ini diterima sarjana-sarjana ekonomi sedangkan untuk bidang personalia diterima sarjana hukum.

Pada waktu itu juga dimulai adanya pendidikan agama dengan “memerintahkan” yang beragama Islam mulai harinya dengan sembahyang subuh. Atas permintaan anggota direksi yang beragama Kristen, pada saat yang bersamaan diadakan juga masa teduh untuk yang beragama Kriten.

Diawal Latihan, saya meminta agar semua peserta orientasi kekebun, mempelajari apa yang ia kurang mengerti dengan mengumpulkan 500 pertanyaan. Dan 500 pertanyaan itu harus dicarinya Jawaban selama pendidikan. Masa orientasi ini gunanya agar menpunya gambaran mengenai apa yang dinamakan kebun itu.

Pendidikan dibagi dalam pendidikan di kelas dan pendidikan dilapangan. Diakhir pendidikan di kelas diadakan intensifikasi latihan jasmani, dengan minta bantuan tenaga Resimen Induk Infantri Kodam II (waktu itu, kemudian Kodam I, II, dan III lama digabung kembali jadi Kodam I) dalam latihan ini termasuk juga latihan “tenggelam” Danau Toba. Hal sebagai persiapan bagi mereka yang akan bertugas di Kalimantan Barat dimana sebagai sarana pengangkutan digunakan sungai.

Sesudah selesai latihan dilapangan, mereka diangkat sebagai calon staf, dan setelah dinilai selama satu tahun baru diangkat sebagai staf. Ada beberapa angkatan yang saya terima dalam waktu selama tiga tahun bertugas di Bah Jambi. Suatu yang tidak bisa dilupakan adalah peningkatan kenderaan menuju kantor.

Di Inspektorat saya memakai mobil dan jadi wagen houder, di KPB naik sepeda naik sepeda motor dan kembali naik mobil, di PNP V malah jalan kaki walaupun jaraknya tidak jauh untuk kemudian naik mobil, di PNP II naik mobil dan setelah pindah ke Bah Jambi saya sering dari Medan dengan naik pesawat. Penggunaan pesawat terbang perkebunan dimulai terutama dalam perkebunan tembakau dalam pemberantas hama. Kalau tidak salah SOCFINDO, perusahaan perkebunan Perancis menggunakan pesawat untuk pengangkutan orang. Adanya hubungan dengan lembaga-lemba keuangan dunia, Bank Dunia dan lembaga-lembaganya, Bank Asia dan kunjungan konsultan asing memerlukan pengangkutan cepat karena mereka dibayar mahal dan waktunya yang sangat terbatas.

Beberapa PTP mulai membangun air strip seperti PTP IV Gunung Pamela, PNP VII Bah Jambi, PTP III Aek Nabara dan PTP VI Pabatu. PTP secara patungan membeli pesawat, mula-mula PK - PNP, kemudian ditukar dengan PK — PNR.

Saya sendiri sebenarnya sangat takut naik pesawat kecil. Pernah satu kali Guthrie telah mengatur perjalanan dari Kuala Lumpur kesalah satu kebunnya di Johor. Saya terpaksa menyerah mengaku takut naik pesawat kecil dan perjalanan itu dibatalkan. Namun, satu kali sebagai pejabat Direktur Utama sewaktu pak Lintong sekolah ke Lyon ada acara yang dihadiri Menteri Pertanian dimana semua Direktur Utama diundang. Satu-satunya cara untuk bisa hadir, bergabung dengan rombongan lainnya naik pesawat kecil. Mau tidak mau saya harus naik pesawat kecil. Dan untungnya tidak terjadi apa-apa.

Sesudah itu tidak ada halangan lagi untuk naik pesawat kecil. Pada waktu timbang terima di Bah Jambi dengan kolega saya Abdillah saya memesan pesawat, saya naik pesawat latih berpenompang satu, dan sewaktu saya tanya pilotnya siapa saja yang pernah naik pesawat itu, ternyata hanya saya.

Sejak itu saya sering naik pesawat kecil. Pak Nukman, Pimpinan Pelaksana Umum PNP VII sering naik pesawat setiap Senin pagi dari Medan ke Bah Jambi, dan saya pun “numpang hidup”. Kadang-kadang saya jumpa kawan yang akan ke Jakarta di airport dan mereka menanyakan apakah saya mau ke Jakarta, saya katakan tidak, saya cuma mau ke kantor ! Bahkan di Kuala Lumpur saya pernah naik helicopter kecil mengunjungi beberapa kebun dan balai penelitian dalam satu hari.

Di PNP VII ini jugalah saya naik speed boat kekebun-kebun di proyek di Kalimantan Barat. Jadi lengkaplah perjalanan saya, didarat jalan kaki, naik sepeda, naik sepeda moto dan mobil, di laut (sungai) naik speed boat dan di udara naik pesawat dan helikopter.

Dibidang keluarga ada dua peristiwa penting yang terjadi. Pertama adalah pernikahan Linda dengan kemanakan saya Dr. Halomoon Hutagalung.

Seperti yang telah disinggung muka, kualitas adat pernikahannya sendiri harus disempurnakan dengan mengadakan cara adat di kampung Aek Badak. Akad nikahya diadakan di Mesjid Raya Maimoon. Berkat pergaulan isteri dengan saudara-saudara Melayu, saya berkenalan dengan keluarga Sultan Deli, dan atas jasa baik Sultan akad nikah diadakan di Mesjid Raya. Namun, acara perkawinan di mesjid ini kurang mendapat perhatian, karena disangsikan kesungguhan para tamu dalam menghormati mesjid, mulai dari pakaian Islami yang bersih, berair wuduk dan melaksanakan sembahyang sunat tahiyatul masjid. Resepsi pernikahan diadakan di Medan Club. Di rumah dinas di Bah Jambi juga diadakan upacara khusus untuk kawan-kawan sekantor dan pejabat-pejabat serta handai tolan yang ada di Kabupaten Simalungun.

Sesudah pindah ke Bah Jambi saya mulai mencari alat komunikasi murah dengan anak-anak, karena itu saya bergabung dengan organisasi Amatir Radio Republik Indonesia (ORARI). Saban malam saya minta agar anak-anak stand bye di udara, sedang maksudnya yang utama adalah agar anak-anak jangan terlampau banyak keluar rumah. Memang ada yang mengatakan menjadi anggota radio Amatir berarti mengadakan arm chair travel, mengembara kemana-mana sambil duduk diatas kursi.

Sesudah pindah ke Simalungun saya menganjurkan agar para adminstratur dan staf senior untuk juga menjadi anggota sehingga terbentuklah jaringan antar kebun dan antara kebun dengan anggota-anggota lain di kota. Mulai organisasi ORARI diadakan beberapa kegiatan sosial misalnya menjadi bantuan komunikasi apabila ada kecelakaan, misalnya pada saat hilangnya pesawat yang membawa kolega O.B Siahaan yang juga merupakan atasan sewaktu bertugas di kantor Permasara Bersama. dalam pernikahan ini juga kami dibantu oleh teman-teman sesama anggota ORARI, yang mengadakan komunikasi antara lokasi masjid dengan rumah.

Kedua pada saat bertugas di ini Jambi ini jugalah, sesudah anak di nikahkan saya dan isteri serta anak yang tertua menunaikan ibadah haji. Saya baru “berani” menunaikan ibadah haji sesudah cucu yang pertama seorang anak perempuan lahir. Terus terang sesudah menunaikan ibadah haji inilah kehidupan beragama saya mulai lebih intensif.

Saya tidak lama berada di Bah Jambi, hanya daritahun 1980 sampai 1983.Terjadi pergantian kabinet yang berarti juga pergantian Menteri Pertanian, bahkan mantan atasan di Sungai Karang, Ir. Hasjrul Harahap diangkat jadi Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras disamping dua menteri muda lainnya dalam peningkatan Produksi Pangan dan Peternakan. Dengan bantuan beliau, saya dipindahkan ke PTP X Bandar Lampung, pada tahun 1983 saya diangkat jadi Direktur Utama PTP X, yang meliputi wilayah kerja propinsi Lampung dan Sumatera Selatan.

MASA KERJA DI PTP X
(1983 – 1985)

Pada saat itu umur saya menjelang limapuluh tahun. PTP X mirip dengan PTP II dalam arti kebun-kebun yang tadinya merupakan kebun-kebun yang berdiri sendiri, berbeda dengan PNP VII yang seluruhnya terdiri dari kebun HVA.

Perkebunan tersebar di Sumatera bahagian selatan sesudah bagian ini dipecah dalam 2 propinsi, kebun-kebunnya jadinya tersebar di dua propinsi, Lampung dan Sumatera Selatan. Kantor pusatnya terdapat di Bandarlampung. Bandarlampung adalah kota yang unik, kalau trend yang ada adalah pemekaran, Bandar Lampung justru merupakan kota yang merupakan gabungan dari tiga kota sebelumnya, Teluk Betung, Tanjung Karang dan Panjang. Teluk Betung adalah kota dagang dipinggir laut, sedangkan Tanjung Karang merupakan kota pemerintahan yang terletak di bahagian utara sedangkan, Panjang merupakan kota pelabuhan.

Menurut ceritanya ketiga kota ini betul-betul terpisah, namun kemudian karena masing-masing berkembang praktis menjadi satu sehingga terjadilah keadaan yang unik tadi yaitu penggabungan beberapa kota menjadi satu dengan nama Bandar Lampung. Lampung merupakan daerah hutan yang kemudian dikuras sehingga batas hutan 30% dari areal, sudah lama tidak terpenuhi.

Penduduk Lampung mayoritas adalah transmigran dari Jawa. Kita bisa keliru, misalnya kalau mendengar ada yang mau pulang kampung ke Pekalongan, itu bukan ke Jawa tetapi ke desa dengan nama yang sama yang ada di Lampung. Sama halnya dengan orang Tapanuli Selatan yang ada di Medan pulang kampung tidak mesti berarti kembali ke Tapanuli Selatan, tetapi dapat berarti pulang ke Labuhan Batu.

Seorang penyiar TV Malaysia bernama Attamimi Siregar, sewaktu ditanya dimana kampung asalnya, ia mengatakan di Langkat. Antara orang-orang “asli” Lampung dengan orang-orang “asli” Sumatera Selatan juga ada semacam rivalitas.

Sewaktu saya masuk ke PTP X ada kebijaksanaan yang digariskan pendahulu saya, orang Sumatera Selatan jangan di tempatkan di Sumatera Selatan dan sebaliknya. Ada semacam ketakutan bahwa seorang administratar dikampung sendiri kurang dihormati oleh kawan sekampungnya sendiri.

Keadaan keuangan perusahaan juga sangat memprihatinkan. jika dibandingkan dengan PNP VII, penghasilannya hanya sepertiganya, sedangkan kewajiban keuangan dalam bentuk pembukaan kebun baru dan proyek-proyek hampir tiga kali lebih berat Perusahaan dibebani dengan pengembangan yang menggunakan kredit Bank Bunia, Bank Bumi Daya dan dana sendiri berdasarkan suatu feasibility study yang ternyata meleset.

Paberik telah didirikan, namun bahan olahan tidak cukup karena penanaman yang batal karena dana sendiri yang tidak tersedia akibat perhitungan harga jual yang meleset. Sebaliknya di dibidang PIR-BUN yang sebahagian dibiayai Bank Dunia, karet sudah menghasilkan tetapi paberiknya yang belum siap sehingga produksi satu tahun ditimbun saja diatas tanah.

Disamping itu PTP X juga menghasilkan kelapa hibryda, namun hasilnya disalurkan melalui Dinas Perkebunan Rakyat diberbagai daerah dan digunakan sebagai insentif untuk keluarga berencana. Disamping itu ada proyek penanaman tembakau yang gagal oleh salah satu PNP di Jawa yang kemudian dikonversikan ke kelapa sawit. Mula-mula PTP X ditunjuk sebagai konsultan, kemudian proyeknya dialihkan ke PTP X beserta perhitungan hutangnya.

Dibidang sumber daya manusia juga sangat dirasakan kekurangannya, dan ini timbul karena tidak berani mengangkat tenaga baru karena uang tidak ada. Sebagai orang yang baru mendapat promosi, saya sangat bernafsu untuk menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari PNP dan PTP sebelumnya, dan saya sangat yakin kalau potensi PTP X harus bisa menyamai PTP besar di Sumatera Utara, karena tanah masih tersedia, sumber daya manusia bisa dibina dan infra struktur daerah sangat mendukung. Karena itu, usaha tahap pertama saya adalah, berupaya mengembalikan capacity balance, pabrik yang kurang bahan olahan harus cepat-cepat diperbaiki dengan menambah bahan olahan, ini berarti harus membuka kebun baru, jadi harus minta kredit baru dari bank.

Tenaga staf harus ditambah, dan untuk ini pengalaman di PTP yang lalu bisa dimanfaatkan. Dengan fasilitas yang ada dan tenaga staf yang ada saya buka latihan untuk staf dan memberanikan diri mengambil calon dari putera daerah. Ada resistensi dari beberapa staf yang keberatan jadi tenaga pengajar, saya mengatakan adalah atasan langsung yang tahu kualitas yang bagaimana yang sesuai untuk pekerjaaan dan merekalah yang lebih tahu apa yang dibutuhkan dan mereka para staf senior itu saya anggap mampu untuk mengerjakannya. Disamping itu secara tidak langsung saya juga ingin agar para staf senior kembali membuka bukunya demi kemajuan perusahan. Saya beranggapan apa yang diperlukan PTP X adalah waktu untuk bernafas, biarkan ia mengkonsolidasi diri untuk sementara dan jangan lagi untuk sementara ia dibebani dengan proyek baru. Gangguan lain datang dari mereka yang punya vested interest Penjualan lokal hasil minyak sawit.

Hal tersebut menjadi isi surat yang saya kirimkan kepada menteri, namun diterjemahkan oleh orang­-orang yang tidak senang sebagai permohonan untuk mengundurkan diri. Salah satu kekurangan saya seperti yang telah disinggung sejak awal, yaitu tidak mempunyai dan tidak membina networking untuk mengamankan diri, sekarang terbukti. sementara itu ada perobahan attitude dari pak Menteri. Pada awal jabatan ia mengatakan bahwa tidak ada beda antara Menteri dan Menteri Muda, dalam perjalanan mengatakan bahwa hanya ada satu menteri.

Saya dicap sebagai anak buah Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras, saya memang sering mengirim ikan kepadanya dan saya tidak pernah mengirimnya pada Menteri Pertanian.

Ini digunakan sebagai bukti bahwa saya lebih loyal pada menteri muda dan bukan pada menteri tua. Dibelakang saya berbagai bukti dicari sebagai jalan menjatuhkan saya. Saya kemudian merasa hal itu aneh, saya diangkat menteri dan kalau beliau tidak senang adalah haknya menggantikan saya, mengapa mesti repot.

Sesudah saya digeser, datang panggilan jaksa Tinggi yang menuduh saya melanggar peraturan, menjual produksi yang merupakan harta negara tidak melalui lelang. Saya mengatakan bahwa penjualan produksi tidak pernah lewat kantor lelang negara. Mengenai bahan olahan yang saya jual adalah tidak lazim, karena itu saya minta izin khusus, dan izin itu sudah diberikan dengan surat menteri.

Benar dugaan saya, musuh-musuh saya hanya menunggu waktu menjatuhkan, dan dengan berbagai intrik berhasil membantu menteri sebagai atasannya agar saya diganti. Dalam bulan januari 1985 saya dipindahkan sebagai tenaga pengajar ke Lembaga Pendidikan Perkebunan di Yogyakarta.

Pengolaman yang sangat berharga adalah jangan lupa pada rumus Manajernen, setiap orang dapat dipercaya dan tidak dapat dipercaya sekaligus. Harus diadakan pengamanan, dan ilmu pengamanan inilah yang saya tidak punya.


Masa Kerja di Kampus Lembaga Pendidikan Perkebunan Yogyakarta
(1985 - 1987)

Bagi saya bidang pendidikan bukanlah barang baru. 
Karier dimulai sebagai asisten dosen, pernah jadi dosen dan jadi pengelola pendidikan intern di Pertekstilan T.D. Pardede. Bagi saya belajar dan mengajar merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan.

Beberapa tahun sesudah bekerja di perkebunan, perkebunan mendirikan lembaga pendidikannya yang dinamakan Lembaga Pendidikan Perkebunan pada tahun 1970 yang terletak di Yogyakarta. Lembaga Pendidikan ini agak lucu juga, karena merupakan lembaga yang melebur Akademi Gula Negara, namun akademinya sendiri hanya, merupakan bahagian kecil dari kegiatannya dalam bentuk Akademi Usaha Perkebunan. (AUP)

Pendidikan dimulai dengan upgrading, dan pada tahun 1971 saya ikut sebagai peserta Kursus Nivellering Djabatan (KND). Jabatan masih menggunakan ejaan lama, djabatan itu kursusnya diadakan di kompleks LPP Jalan Solo, sedang peserta menginap di Hotel Garuda. Bagi saya kursus ini juga merupakan kesempatan untuk bernostalgia berkunjung kembali ke almamater. Para dosennya juga banyak teman-teman sendiri sesama alumni dari Fakultas Ekonomi Gadjah Mada.

Sebenarnya untuk bisa menduduki jabatan anggota Direksi seseorang harus mengikuti jenjang Kursus Manajemen Perkebunan (KMP) dan belakangan ditambah lagi dengan Kursus Manajemen Perkebunan Lanjutan (KMP-L). Saya telah diangkat sebagai Direksi sebelum kedua kursus itu diadakan sehingga saya tidak mengikuti kedua jenjang tersebut diatas.

Selain dari pendidikan reguler di LPP sering diadakan seminar-seminar dan lokakarya termasuk kursus-kursus upgrading, sehingga kunjungan ke LPP Yogyakarta adalah masalah rutine. Bahkan andaikata tidak ada kegiatan khusus di LPP saya sering berkunjung kesana apa bila ada acara khusus dalam rangka Kagama, ISEI, Perhepi dan organisasi lainnya yang diadakan di Yogyakarta. Bahkan andaikata tidak ada kegiatan khususpun saya sering bernostalgia ke Yogyakarta. Perpindahan dari PTP X ke LPP Yogyakarta berarti peralihan jabatan dan manajer aktif menjadi tenaga pengajar.

Saya radar bahwa perpindahan ini bukan karena tenaga saya betul-betul diperlukan, tetapi hanya sebagai akibat harus pindah dari tugas sebagai monajer aktif. Karena itu. saya harus menjawab apa kegiatan tambahan sebagai penambah kegiatan rutin di LPP.

Jelas saya tidak punya bakat dalam bidang bisnis, sehingga kegiatan yang saya pilih adalah menambah pengetahuan, bukan lagi dalam bidang ilmu “dunia”, namun ingin mengisi kekurangan dibidang “akhirat”, ingin menambah pengetahuan dalam bidang agama dan budaya. Bidang budaya terutama adalah dalam bidang kebudayaan, khususnya dalam bidang Javanologi.

Sudah lama saya tertarik mempelajari kebudayaan Jawa dalam arti Javanologi. Secara samar-samar saya merasakan bahwa selama Orde Baru “yang berkuasa” di Indonesia adalah kebudayaan Jawa, bahkan “Bhineka Tunggal lka” yang mengatakan berbeda tetapi satu, diversity in unity adalah bahagian dari kebudayaan Jawa, dimana unity itu berarti dominasi kebudayaan Jawa, dan bukan berarti demokrasi.

Secara bergurau saya mengatakan bila ingin mengatasi dominasi kebudayaan Jawa ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu : larang bahasa Jawa dan larang pertunjukan wayang.

Dengan tumbangnya Orde Baru orang makin berani menyalahkan kebudayaan ini, namun belum ada yang berani mengatakan jalan keluarnya. Saya mengikuti ceramah-ceramah tentang Javanologi yang diadakan baik oleh organisasi swasta maupun Pemerintah. Pemahaman saya tentang Javanologi saya tuangkan dalam “Surat kepada Walisongo”.

Setelah didiskusikan dalam kelompok pengajian dimana saya tergabung, saya mengakui bahwa saya menulis surat itu berdasarkan rasio, namun sekarang mulai mengakui adanya masalah eksoteris dan soteris, mengenal yang bersifat eksotens memang mengandalkan akal, namun mengenal yang isoteris mengandalkan qalbu, hati, nurani atau apapun namanya.

Saya mulai percaya bahwa jiwa seseorang yang masih hidup dapat saja berhubungan dengan jiwa orang yang telah meninggal, walaupun untuk itu ada syarat-syaratnya, antara lain jiwa raga harus selalu suci dan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan, syukur-syukur bisa mendapat petunjuk dan ilmu yang langsung dari padanya.

Erat hubungannya dengan Javanologi adalah keinginan menambah pengetahuan tentang Islam. Saya menyadari bahwa ilmu tentang Islam adalah sangat dangkal, satu-satunya yang dapat menolong adalah munculnya taufiq, hidayah dan iradah dariNya, dan adalah syah-syah saja mengharapkan datangnya bantuan dari Allah.

Di bidang ilmu pengetahuan, saya tidak tidak begitu tertarik mendalami ilmu spesialisasi, karena yakin makin seseorang itu menjadi seorang spesialis, makin terisolasi ia dalam bidang ilmunya sehingga penilaiannya menjadi tidak seimbang. Namun demikian, saya sangat tertarik terhadap ekonomi pertanian dalam arti bagaimana mengangkat taraf hidup rakyat terutama di pedesaan dan yakin bahwa desa-pertanian-miskin adalah satu nafas, bahkan sangat yakin ajaran agama sendiri telah tersegregasi antara kaya miskin, sehingga orang sudah lupa pada zero sum game, kekayaan para juragan di desa tidak lagi dianggap sebagai akibat dari penghisapan sang ragas terhadap si miskin.

Saya sama sekali tidak berniat untuk tinggal di Yogyakarta. Sewaktu dipindahkan dari Bandarlampung ke Yogyakarta sebenarnya saya telah minta pada pak Menteri Pertanian agar ditempatkan di Medan saja namun agar disetujui. Karena itu setelah kontrak rumah habis dan tunjangan-tunjangan satu demi satu dicabut, saya merasa tempat sudah tidak ada lagi sehingga bila tidak boleh pindah ke Medan saya sudah bertekad mengajukan pensiun dipercepat.

Masa Kerja di Lembaga Pendidikan Perkebunan Kampus Medan 
(1985 - 1987)

Dalam pada itu, Pimpinan LPP telah bertukar dari Prof Semangun kepada Ir Karhi dan Ir Karhi menganggap perpindahan ke Medan adalah soal intern LPP sehingga kalau tujuannya hanya kembali ke Medan bisa saja pindah tanpa minta pension. Dengan demikian pada tahun 1987, sesudah hampir 2 tahun berada di Yogyakarta kami kembali ke Medan, bertugas di LPP Medan.

Semula saya memang ingin mencari pekerjaan lain, tetapi ternyata untuk menjadi “pegawai” yang menerima perintah dari orang lain secara psikologis adalah sulit, sedangkan membuka usaha sendiri terus terang saya tidak mempunyai keberanian.

Mula mula saya bekerja sampingan mengurus suatu kursus, namun saya merasa tidak enak dan meninggalkannya. Saya juga mencoba bekerja di suatu universitas, Universitas Medan Area dan diserahi tugas memimpin Lembaga Penelitian dengan pegawai yang tidak memenuhi syarat dan tanpa anggaran biaya, malahan lembaga meminta mencari “borongan” dan sebahagian hasilnya diserahkan kepada yayasan. Dalam masa yang singkat, saya sempat mengadakan upgrading untuk para tenaga pengajar, dengan bantuan saudara-saudara yang berpredikat S3.

Dalam pengenalan komputer ada dosen-dosen yang tangannya masih menggeletar, karena baru pertama kali memegang komputer Disini juga saya merasa tidak betah dan saya keluar.

Saya juga mencoba mendirikan usaha dengan bekas mahasiswa yang sudah jadi dosen, namun bekas mahasiswa ini mengharap terlampau banyak, sedangkan saya tadinya mengharapkan bahwa yang bekerja adalah bekas mahasiswa dan saya membantu & belakang. Usaha ini juga tidak membawa hasil. Karena itu, saya berprinsip “Make The Best Of It”.

Dari tabungan saya bekerja sama dengan beberapa orang teman membuka kebun sawit dengan skala yang sangat kecil dan sudah mulai memberi hasil. Karena itu dengan pensiun yang ada dan tambahan sedikit dari hasil sawit sudah dapat hidup tenteram. Sayangnya dengan adanya pergolakan di Aceh dan harga sawit yang tidak menent penerimaan saya juga jadi terancam.

Di Medan saya dapat belaiar agama dengan lebih intensif. Secara kebetulan saat kembali ke Medan hampir bersamaan dengan kembalinya beberapa orang dosen IAIN Medan dari menyelesaikan studi mengambil S3 di IAIN Ciputat Jakarta, dan dengan beberapa tenaga yang ada di Medan mereka membentuk Pendidikan Tinggi Pun Sarjana “Dirasatul ‘Ulya”. (D.U.), suatu “kursus” yang diadakan setiap hari Minggu. Kursus ini merupakan kursus non degree yang direncanakan selama 6 semester. Namun, dengan, dua kali kuliah setiap minggu dan dengan anggapan 40 kali

Kuliah-kuliah diadakan di ruang kuliah Majelis Ulama Islam Sumatera Utara (MUI-SU). Melalui keikutsertaan di D.U. yang diadakan di MUISU, saya berkesempatan bergaul lebih dekat dengan kalangan para ulama.

Salah satu yang mengecewakan adalah “terbuka mata” melihat realitas para ulama Ulama yang dalam bayangan saya sama dengan para guru yang berdakwah di mesjid Sibolga pada waktu saya masih jadi pelajar SMP, yang saya anggap jujur tanpa mengharapkan honorarium, ternyata tidaklah secantik itu. Ulama itu adalah orang-orang biasa yang juga memerlukan uang yang juga terlibat dalam intrik-intrik.

Apalagi pengurus MUI bukan hanya ulama, termasuk juga para cendekiawan dan para pengusaha. saya bukan bermaksud merendahkan ulama, hanya ingin mengkoreksi pendirian saya sendiri yang selama ini menganggap ulama itu derjatnya tinggi. Lain ulama, lain wali dan selama ini saya menyamakan ulama dengan wali.

Selama bergaul di MUISU/D.U. ada beberapa kegiatan yang saya ikuti. Saya ikut dalam usaha koperasi, yang ternyata gagal, karena dasar-dasar koperasi yang sangat sederhana, ada anggota yang akan menikmati dan ada yang akan dinikmati tidak tercapai.

Anggotanya tersebar di kota Medan dan ada yang di luar kota. Apa yang akan dinikmati bersama juga tidak jelas. Dalam keadaan bingung yang demikian itu ada yang mengusulkan memberi pinjaman pada seseorang untuk membeli goni bekas tepung terigu yang kemudian akan diolah jadi perhiasan. Perhiasan jelas nilai kebutuhannya rendah dan pasarannya sangat terbatas. Saya tidak mau ikut membiayai, karena melihat usaha itu tidak feasible, namun beberapa kawan bersedia membiayai. Akhirnya seseorang itu dibiayai dengan “semangat Islam” atas dasar bagi hasil. Yang menerima modal juga bingung, dan akhirnya ia minta orang lain menjalankannya dan orang lain itu berusaha berdagang salak dan salaknya hilang distasiun bis. Orang yang menerima modal akhirnya dikejar dengan perantaraan polisi.

Saya juga terlibat dalam pembentukan Bank Syariah, namun disini juga rasionalisme tidak berjalan dengan baik. Bank Syariah yang modalnya hanya Rp50.- Juta mengurusnya sama saja dengan mengurus bank besar, harus melalui berbagai departemen di Jakarta dan tentu ini memerlukan biaya yang tinggi. Selain dari pada itu sebagian dari modal yang disetor diblokir di rekening menteri keuangan. Untuk sampai mendapat izin beroperasi, calon bank yang bersangkutan telah terengah-engah, dan sesudah izin keluar bank yang bersangkutan telah lesu darah.

Selain dari pada itu timbul lagi masalah break even point (b.e.p), sesudah berapa lama b.e.p. itu tercapai dan bagaimana membiayai “loss” dalam masa pra b.e.p. tersebut. Saya mengusulkan agar biaya pra b.e.p. itu ditanggung bersama dan jangan dibebankan pada bank. Usul ini juga tidak diterima, sehingga bank yang muncul dalam keadaan lesu darah akan mati pelan-pelan. Realitas dan realisme diperlukan dalam pembinaan pranata pranata ekonomi, dan pemberian label Islam bukanlah merupakan obat yang membuat kita meninggalkan realitas.

Juga dalam kepengurusan Bank Syariah ini saya kena intrik, suatu hal yang tidak lazim terjadi, uang saham saya dikembalikan. Saya memang tidak disukai, karena salah seorang konsultan yang sangat dipercayai kawan-kawan dari IAIN menganggap saya jadi oposisi. Saya keberatan atas usahanya mengadakan training terhadap calon anggota Komisaris Bank, kalaupun mau diadakan samarkan dengan istilah seminar atau lokakarya. Belakangan konsultan yang bersangkutan melarikan mobil bank, katanya sebagai pembayaran honornya yang tertunggak.

Saya juga akrab dengan beberapa LSM. LSM Humaniora bergerak dalam bidang pengajian, mengadakan pengajian bulanan dengan mengambil tempat di hotel Garuda Plaza. Pemilik hotel menyediakan tempat dan snack yang memungkinkan pengalian ini berjalan. Fasilitator diambil dari sarjana-sarjana dan ulama-ulama setempat. Saya sangat berterima kasih, karena disini selain dari pada menambah pengetahuan, juga mendapat teman-teman baru. Salah satu “halangan” yang saya alami adalah umur yang sudah tua sehingga agak sulit berkomunikasi bebas dengan peserta-peserta yang lebih muda.

LSM kedua adalah LAAI, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, yang memperjuangkan nasib anak-anak terlantar terutama anak-anak yang bekerja di Jermal. LSM ketiga adanya Bitra yang bergerak di bidang pertanian dan pedesaan.

Selama di Medan, ada dua pekerjaan di luar tugas biasa yang saya lakukan, pertama pengiriman kader-kader di bidang pemasaran ke Malaysia dan yang kedua pidato dies LPP pada tahun 1990. Kedua-duanya pada saat Direktur LPP adalah Ir PP yang sebenarnya adalah kawan saya senasib, sesama mantan Dierektur Utama yang dikaryakan di LPP Sdr Bonar, mantan Dirkom PTPVI yang diberbantukan pada Kantor Asosiasi Pemasaran, di Jakarta, yang dipimpin Mantan Dirut dan teman saya sewaktu kuliah di Fakultas Ekonomi menyampaikan pesan mengenai kemungkinan pengiriman kader PTP untuk dilatih di Malaysia dalam bidang pemasaran. Biaya pengiriman ini akan diambil dari bahagian keuntungan Indoham, anak perusahaan gabungan PTP yang berkedudukan di Hamburg, Jerman Barat.

Pada waktu itu ada kerja sama antara LPP dengan suatu perusahaan konsultan di Malaysia yang juga bergerak di bidang pelatihan. Kebetulan dalam waktu yang hampir bersamaan, ada acara ikatan sarjana Ekonomi ASEAN di Penang, dan saya bermaksud, menghadirinya.

Saya menyanggupi membicarakan hal itu dengan P.A. Consulting, konsultan rekanan LPP yang berkedudukan di Kuala Lumpur Dalam pembicaraan dicapai persetujuan prinsip, perusahaan konsultan akan mengirim rencana syllabus dan kurikulumnya beserta taksiran biayanya. Sayangnya, pada saat mendekati berangkat dinyatakan bahwa saya tidak ikut, sedangkan saya yang merintisnya. Ini adalah ulah direktur yang sampai sekarang saya tidak tahu apa salah saya, sehingga ia bersikap begitu. Namun, akhirnya keluar surat Menteri Muda Pertanian yang menunjuk saya sebagai pemimpin rombongan. Terus terang saya tidak bersemangat lagi, apalagi sebagai pimpinan rombongan, saya tidak punya satu senpun dana.

Rombongan ditempatkan di Bangi, bertempat disalah satu gedung pelatihan pegawai bank. Untunglah selama latihan berlangsung, tidak ada sesuatu terjadi yang memerlukan pengeluaran ekstra. Selesai pelatihan kepada peserta yang dibagi dalam beberapa kelompok diminta menyusun laporan dan akan dibahas dalam pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh Menteri Muda. Sayangnya, salah satu usul yang saya tanamkan pada salah satu kelompok, mengenai cess untuk penelitian seperti yang dilaksanakan di Malaysia tiba-tiba di cut Menteri Muda, tidak boleh dibicarakan lagi.

Yang kedua adalah mengenai pidato Dies. Saya mengajukan gagasan pada Kepala Kampus Medan, bagaimana kalau dalam pidato dies diangkat masalah kepemimpinan, di perkebunan, yang saya bagi dalam matriks yang harus dikembangkan secara seimbang tidak dibatasi pada hubungan individu dengan individu dan individu dengan kelompok namun harus diperluas juga mencakup pengaruh kelompok terhadap individu dan kelompok dengan kelompok. Sayangnya, lagi-lagi rencana ini dikebiri oleh Direktur, sehingga penyusunnya “diperluas” menjadi 4 orang, sehingga saya tidak punya peranan lagi. Untungnya pidato dies ini, adalah pidato formal tanpa ada acara dialog. Acara itu sendiri dihadiri oleh Menteri Pertanian dan Kepala Daerah IstimewaYogyakarta, Sri Paku Alam VIII.

Puncak dari penindasan ini adalah merobah ketentuan pensiun saya dari umur 60 tahun sesuai dengan surat resmi pertama, dirubah menjadi 59 tahun dengan surat susulan. Saya yang sudah tidak bersemangat lagi bertugas di LPP, merasa tidak perlu memperpanjang perubahan itu, walaupun dengan akibat saya tidak menikmati masa persiapan pensiunan penuh selama satu tahun.

Masa Pensiunan
(1992 – Sampai Sekarang)

Dalam masa pensiun ini, saya diangkat oleh Gubernur Sumatera Utara jadi Direktur Skill Development Project, suatu proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia. Direktur sertanggung Jawab pada suatu Dewan yang diketuai oleh Ketua KADINSU. Saya segera mencium, bahwa proyek ini adalah lanjutan dan proyek yang pertama. yang ditujukan pada pelatihan trainers, dan dilanjutkan pada pelatihan tenaga kerja dengan memanfaatkan hasil dari proyek yang pertama. Selanjutnya saya juga mencium, bahwa sasarannya adalah bagaimana supaya proyek ini nampaknya jalan, sedangkan pelaksanaan misi skill development nampaknya tidak jadi prioritas. Melihat gelagat ini, saya rasa tidak sesuai dengan kepribadian saya, sehingga saya menarik diri.

Dalam masa pensiun ini, saya lebih intensif berusaha untuk menuliskan sesuatu sebagai kenangan, yang akan ditinggalkan pada anak cucu.

Kebiasaan membuat catatan harian pendek berupa jotting, terus saya laksanakan walaupun waktunya tidak teratur, sebelum mulai kerja di pagi hari atau di malam hari sebelum tidur. Dari jotting bulan Juli 1992 saya mencatat pembicaraan dengan Direktur LPP yang mengatakan bahwa mulai 30 September tahun itu juga saya akan pensiun, sedang sebelumnya telah menerima surat bahwa saya akan pensiun pada saat usia 60 tahun, jadi sesudah mengalami masa persiapan pensiun selama setahun. Ketentuan untuk berlaku surut, saya pensiun bukan pada usia 60 tahun tetapi 59 tahun. Saya tidak mau ribut-ribut, walaupun saya menduga ada tangan-tangan jahil bermain dibelakangnya, saya ingin pensiun secara damai (retire in peace, bukan rest in peace).

Sewaktu saya menjalani pendidikan jabatan di Fountenebleau pada tahun 1982, kota yang juga diplot Pemerintah Perancis sebagai kota pensiunan, saya membayangkan alangkah indahnya hidup purna karya. Saya juga sejak kecil mengagumi cerita mengenai pensiunan pegawai negeri, yang dengan gagah naik bendi mengambil pensiun ke kas negara, ia akan segera dikerumuni beberapa orang yang mengharapkan dipanggilnya minum teh di kedai, tentu saja semua minuman akan dibayar oleh sang pensiunan. Namun, pensiunan ideal itu sangat berbeda dengan pensiunan sekarang. Dosen saya pernah bercerita, income makes a man, penghasilan membuat orang, penghasilan menentukan status orang dalam masyarakat. Hidup pensiunan tempo dulu itu nyaman karena jadi golongan menengah dan tinggi dalam masyarakatnya, seperti bisa naik bendi.

Penghasilan berbeda dengan gaji, karena sebagai pejabat, selain menerima gaji ia juga menerima berbagai tunjangan, sehingga takes home pay-nya lebih besar dari gaji. Takes home pay inilah yang menurun drastis, pertama semua tunjangan hapus, dan pensiun hanya sekian persen dari gaji terakhir. Karena itu masalah pertama yang dihadapi bagaimana mengadakan penyesuaian, antara gaya hidup lama dengan income yang baru.

Alternatif pertama adalah penurunan quality of life, disesuaikan dengan income baru. Namun apa yang bisa dikurangi ? Listerik, air dan telepon tetap harus ada, mungkin kuantitas pemakaiannya dikurangi telpon digunakan untuk yang sangat perlu saja. Namun timbul “pos baru” yang tadi belum ada, komunikasi dengan anak yang tinggal relatif jauh, Pekanbaru dan Jakarta. Disamping itu “kebutuhan” akan telpon genggam dan internet juga merupakan pos yang tadinya belum ada. Listerik harus dikurangi penggunaan air condition dan lain-lain diminimalisasikan. Supir pribadi dari dua orang menjadi satu, dan pemakaiannya juga dikurangi dari lima atau lima orang diturunkan jadi satu atau dua orang saja. Selain penurunan kuantitas, juga muncul penurunan kualitas dari pembantu kelas satu pembantu kelas dua atau tiga. Dan untuk sementara lupakan saja nafsu untuk membeli mobil baru.

Ternyata semua hal ini sukar untuk dilaksanakan. Alternatif kedua, mengadakan divestasi, tetap sertahan dengan gaya hidup lama, dan kekurangannya ditutup dengan mengerahkan apa yang dipunyai, dengan menjualnya satu persatu. Namun bila hal ini dijalankan, tentulah tidak bisa sertahan lama, kecuali pernah jadi koruptor besar atau menang lotere.

Alternatif ketiga memulai sesuatu yang baru, mengerahkan semua kemampuan dari kepunyaan, mengadakan investasi dalam usaha baru untuk mendapat tambahan penghasilan. Ini juga merupakan kontradiksi. Pensiun artinya uzur walaupun belum jompo. “The spirit is willing but the flesh is weak”, semangat menggebu-gebu, tetapi badan lemah, adalah pepatah yang saya kenal sejak dari bangku SMP Dulu saya tidak kenal apa maksudnya namun sesudah pensiun baru saya paham apa maksud pepatah itu. Ingin bergerak hebat, namun kurang memperhatikan batasan-batasan kekuatan sehingga heran ada yang memperpendek masa pensiunnya dengan segera masuk ke liang kubur. Karena itu, bagaimanpun peralihan dari berdinas aktif kearah pensiun, bagaimana pun disebut-sebut dengan istilah yang manis, purnawarawan wredatama, purna karya dan sebagainya, pensiun pada dasarnya tetaplah menjadi masalah jadi tidaklah berlebihan apabila kepada karyawan diberikan masa persiapan pensiun (MPP), masa bebas tugas (MBT), dimana seseorang selama satu tahun sudah berhenti bekerja dengan mendapat gaji penuh, yang seperti telah saya singgung dimuka karena peraturan yang tidak tegas tidak dinikmatinya lagi.

Orang orang usil memanjangkan MBT dengan kepanjangan lain, mati pelan-pelan, mati banting tulang dalam bayangan apa yang di Malaysia disebutkan Askar tak Berguna Karena, bagaimana pun pensiun ini menjadi masalah, karena itu tidak heran banyak juga yang berfungsi sebagai konsultan, resmi atau tidak resmi, yang berupaya mengurangi derita pensiunan.

Seorang teman saya, almarhum Drs Soepomo S.H, mengabadikan hasil renungannya dalam buku tulisannya yang diberi judul “pensiunan tanpa Kegelisahaan” dengan sub judul “Apa kegiatan anda sesudah pensiun?”. Saya berkenalan dengan pak Pomo ini sewaktu sama-sama mengajar di Sekolah Menengah Kemasyarakatan (SMK) di Banjarmasin pada akhir tahun lima puluhan, sewaktu sama-sama sebagai pegawai negeri mendapat “Kamar dinas (bukan rumah dinas), walaupun pada losmen yang berlainan. Saya mengenalnya sebagai kawan yang selalu optimis, dan tidak heran apabila sobatnya itu memilih istilah pensiun tanpa kegelisahaan. Tidak gelisah tanpa pensiun, adalah pancaran optimisme.

Saya masih ingat, pada suatu waktu bertemu dengan Prof. Dr Maryam Darus S.H. saya mengatakan pada senior saya itu bahwa pensiun bukanlah akhir tugas, tetapi alih tugas. Istilah itu dijabarkannya dari buku “Masa Pensiun yang Bahagia”, terjemahan Drs Budi dari buku “Retirement” karangan trio C. Norteoote Parkinson, MK Rustomji dan Walter E.Viera. Barangkali penterjemahnya juga orang yang optimis seperti almarhum Soepomo sehingga judul asli yang pendek. Retirement diterjemahkan dengan judul yang membayangkan optimisme itu. Dalam buku itu diambil sebagai contoh petinju Joe Louis yang pensiunan sebagai petinju dibawah umur tiga puluh tahun dan beralih tugas pensiun sebagai pelayan restoran. Dengan contoh ini para penulis mengatakan pensiun adalah peralihan profesi, dari profesi yang satu ke profesi yang lain. Namun Joe Louis pada waktu beralih itu masih berumur dibawah 30 tahun, berbeda dengan saya yang telah berusia 59 tahun.

Pengertian alih tugas itu barangkali berlaku juga untuk tokoh Jenderal T.B Simatupang yang pensiunan dari Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia, atau Drs Sudibyo Sardadi yang dipensiunkan sebagai salah seorang Direktur Bank Bumidaya dalam usia bawah 45 tahun.

Pensiun dapat dikatakan alih tugas merupakan alih tugas pada saat vitalitas fisik masih tinggi. Namun bagi yang dipensiun secara normal, pada usia diatas 50 tahun, keadaannya tidaklah sama dengan pensiun yang tidak normal tadi. Karena itu, dapat dipahami mengapa timbul keresahan dikalangan pensiunan yang melahirkan istilah mati pelan pelan, mati banting tulang dan askar tak berguna itu. Retire in peace, pensiun tanpa kegelisahaan, masa pensiun yang bahagia, persoalan utamanya adalah bagaimana mengatasi kesenjangan antara gaya hidup yang lama dengan penurunan take home pay. Masalahnya bertambah dalam, apa bila pensiun itu juga dirasakan menerjang harga diri karena dari manusia benomor (kecil dan besar) menjadi tak bernomor. Masih belum pensiun, baru pindah saja dari PTP X ke LPP pegawai Garuda telah menggeser tempat duduk dari barisan pertama di pesawat lebih kebelakang, apalagi kalau sudah pensiunan.

Benar atau tidak ada cerita Yang mengatakan seorang administratur perkebunan mencari orang yang mau digaji untuk di bentak-bentak sesuai dengan gaya administrator selama menjabat. Juga ia mendengar cerita Presiden Amerika yang sudah pensiun masih dilengkapi dengan staf kecil dan masih dipanggil Mr President. Demikian juga jenderal bintang lima masih dlengkapi dengan bintara dan perwira sebagai stafnya. Ada juga cerita lain seorang pensiunan mayor jenderal merasa sangat menderita sewaktu mengambil pensiun hanya dipanggil dengan nama tanpa menyebut pangkatnya walaupun sudah pensiun. Karena itu, pensiun normal dalam arti pensiun pada saat vitalitas khususnya vitalitas fisik telah menurun, menimbulkan disonansi kognitif alias bingung, khususnya untuk menjawab sub judul yang diajukan pak Pomo. Apa kegiatan sesudah pensiun?

Apa penawar kebingungan itu ? Parkinson dan kawan kawan dalam bukunya yang disebutkan diatas menganjurkan untuk mengadakan audit kepribadian atau dalam bahasa suraunya barangkali dinamakan muhasabah, menilai diri sendiri secara jujur. Mereka mengakui bahwa hal ini sangat sulit untuk diadakan, karena yang lebih tahu mengenal diri kita adalah diri kita sendiri. Namun, adalah sulit untuk memperlakukan diri sendiri secara jujur apa lagi menuangkannya secara tertulis untuk diketahui orang. Karena itu pulalah diary atau buku catatan harian selalu bersifat rahasia, kecuali kepada orang yang sangat terbatas.

Diary sendiri kadang kadang masih diselimuti dengan keinginan untuk dilihat sebagai mana keinginan, bukan sebagaimana adanya. Hal-hal yang penting yang mengelilingi pensiun adalah perubahan irama hidup yang sudah terbiasa dengan ritual pagi, bangun, mandi, sembahyang. sarapan untuk kemudian naik kenderaan menuju kantor harus berobah dengan ritual bangun, mandi, sembahyang, sarapan untuk kemudian tidak pergi kemana-mana.

Sejalan dengan itu apabila anda masih bekerja aktif, irama kerja anda di kantor terhisap pada sistem, apa yang dikerjakan, siapa yang dihadapi dan menghubungi, sekarang anda menjadi seorang diri, praktis tidak dihubungi dan menghubungi orang. Hal itu sangat berbeda dengan waktu menjadi manajer di unit badan usaha, dimana jumlah yang menghubungi dan dihubungi cukup padat, sehingga perlu diseleksi dan diamankan melalui satpam, telepon atau sekretariat.

Walaupun demikian saya merasa sangat beruntung, pensiun datang setelah tujuh tahun berada di LPP Yogya dan Medan sebagai staf pengajar, sehingga sudah terbiasa dengan irama kerja sendiri, dengan jumlah minimum bahkan hampir tidak ada yang dihubungi atau menghubungi dalam urusan dinas.

Shock atas perubahan status ini sangat terlihat pada isteri, dan berada di Yogya pada awal peralihan ini berakibat seolah-olah adanya isolasi dengan anak-anak, sehingga mereka tidak terseret. Secara gradual pula saya beberapa tahun bertugas di Medan baru pensiun. Kita harus jujur kata Parkinson, dan saya pun jujur mengakui rasa bingung, walaupun tidak terpancar dalam perilaku, namun rasa bingung itu terselip dalam hati walaupun saya percaya sumber rezeki itu adalah Allah satu satunya.

Siapa sutradara semua itu? saya tidak pernah percaya ada yang lain yang mengatur selain Allah, bahkan saya merasa sangat malu dihadapanNya, dalam kehidupan yang dirasakan tidak sempurna mengikuti ajaranNya, saya masih dilindungi.

Selesailah lintasan riwayat hidup ini, namanya saja adalah lintasan, memilih plot-plot yang saya anggap bermakna. Uraian lainnya dapat dilihat dalam kumpulan tulisan saya yang tercantum dalam akhir tulisan ini yang terdiri dari 8 tulisan. Namun, saya merasa belum plong, masih ingin menambah refleksi dalam bidang manajemen, agama dan kewiraswastaan.

Bidang manajemen merupakan penyernpurnaan terbadap uraian dalam lintasan lintasan hidup, dalam bidang agama saya secara jujur ingin menyorot kehidupan keagamaan saya yang tidak begitu cemerlang, dan kewiraswastaan saya ingin menyorot mengapa saya tidak assertive, selalu nrimo walaupun kalau ditanya saya tidak mau mengaku demikian.**

Bab Dua
REFLEKSI KEHIDUPAN

Refleksi I
Berteori dan Berpraktek Manajemen

Di depan telah diuraikan lintasan sejarah kehidupan semenjak anak-anak sampai pensiun. Dari umur yang dianugerahkan Tuhan itu boleh dikatakan 34 tahun merupakan umur yang produktif dalam arti masa berkarya sebelum pensiun. Masa itu dapat dibagi dalam dua golongan besar, sebagai manajer selama 24 tahun dan sebagai pendidik selama 10 tahun, bahkan 4 tahun diantaranya merangkap kedua duanya.

Yang saya maksud dengan pendidik adalah mengajar langsung di depan kelas, sedangkan sebagai manajer tugas saya juga mendidik, namun tidak langsung di depan kelas, bisa dalam seminar seminar, dalam rapat rapat ataupun dalam tatap muka.

Dalam menulis refleksi ini, saya tergoda untuk mengajukan pertanyaan pada diri sendiri yang paling berat untuk menjawabnya, yaitu saya ini siapa. Memang ada ungkapan dalam bidang agama yang mengatakan, bila akan mengenal Tuhan kenalilah diri sendiri. Namun, pertanyaan ini tidaklah sejauh itu. Saya hanya akan mengatakan ada dua ciri dari hidup ini, yaitu sebagai Muslim sejak lahir, dan sebagai warga negara Republik Indonesia sejak Republik ini lahir Saya lahir Sembilan tahun lebih dahulu dari lahirnya Republik ini. Dua-duanya harus sejalan, namun tidak selamanya demikian.

Menjelang Republik ini lahir ada perdebatan apa yang akan jadi dasar ataupun filosophisch grondslog dari negara yang akan didirikan. Sejak itu rakyat ini terbagi antara yang ingin Islam jadi dasar negara, dan yang ingin yang lain seperti sosialisme dan nasionalisme yang akhirnya dirumuskan menjadi Pancasila.

Sudah lima puluh enam tahun, barangkali dalam umur manusia sudah dua generasi antara keduanya masih ada persaingan. Atas dasar itu saya menganggap bahwa tujuan hidup itu adalah kedamaian, sesuai dengan arti Islam itu sendiri

Salam umat Islam adalah Assalamu Alaikum, damailah bagimu beserta rahmat dan berkah Allah. Namun, dalam dua bidang itu rasa rasanya “sulit” -untuk mencapai kedamaian. Dalam bidang Islam, tidak ada yang menyangkal bahwa pedoman dasar Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Yang jadi masalah adalah “perlakuan” terhadap Al Quran itu. Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan tidak semua ummat Islam mengerti bahasa Arab. Selanjutnya walaupun mengerti bahasa Arab, belum tentu paham apa yang dimaksud, bahkan andaikata paham pun belum tentu pemahaman seseorang sama dengan pemahaman orang lain.

Ada beberapa penyebab dari perbedaan ini :

Pertama, jauh dekatnya dari pusat tradisi Islam, Makkah dan Madinah. Pada awalnya, umat Islam dan para ulamanya sangat dekat dengan tradisi Rasul, karena itu merasa lebih paham tentang dua sumber agama Islam itu. Berbeda dengan yang jauh seperti umat Islam yang berada di Iraq, yang kurang mengenal tradisi itu. Sebagai afternatif, para ulama menggunakan akal sebagai ganti tradisi. Belakangan timbul pula “keinginan” untuk membedakan tradisi Islam dan tradisi Arab, yang saya istilahkan dengan Islam Yes, Arab No. Pakaian dan jenggot adalah tradisi Arab, yang tidak perlu di ikut, kita bebas berpakaian asal sesuai dengan ketentuan Islam tentang tentang tertutupnya aurat. Belakangan banyak muncul hadis-hadis politik yang sengaja dimunculkan untuk kepentingan politik. Timbullah sekelompok orang yang berpendapat bahwa hadis itu haruslah disaring lebih ketat, dan mana yang bertentangan dengan akal ditolak

Dalam bidang kewarganegaraan juga didapati hal yang sama. Bagaimana cara memilih Presiden, langsung atau tidak langsung, bagaimana susunan DPR dan DPRD, bagaimana hubungan Pernerintah Pusat dan Daerah, bagaimana perimbangan keuangan antara pusat dan Daerah, banyak pendapat yang berbeda.

Perbedaan pendapat di bidang agama dan bidang kewarganegaraan adalah berlainan. Dalam bidang agama, perbedaan pendapat akan terus berjalan, karena disana tidak ada demokrasi, dalam agama yang ada hanya keyakinan, percaya atau tidak percaya. Berlainan dengan bidang kewarganegaraan, dimana ada “pemaksaan”, entah itu melalui pertarungan suara atau melalui pengambil alihan pemerintah. Sebagaimana dalam bidang agama, juga dalam bidang hidup bernegara bisa timbul perbedaan pendapat. Sebabnya bisa macam macam, bisa perbedaan kecenderungan, perbedaan pengetahuan, perbedaan masyarakat dan perbedaan sejarah.

Dalam sejarah Republik ini dikenal adanya Nasakom, kecenderungan nasionalis. kecenderungan agama dan kecenderungan komunis. Kecenderungan nasionalis adalah mereka yang dipengaruhi literatur Barat, kecenderungan agama dalam hal ini agama Islam adalah mereka yang dipengaruhi pendidikan Islam, walaupun dengan variasi yang disebutkan diatas dan kecenderungan komunis, yang juga dipengaruhi literature Barat yang berkiblat pada ajaran Marx dan Engels.

Bung Karno sebagai bapak bangsa yang juga orang Jawa yang berkecenderungan “sinkretis”, berupaya “memadukan” ketiga golongan itu, namun hasil usaha itu tidak bisa diterima semua orang. Pemahaman-pemahaman ini tentu didasarkan pada pengenalan-pengenalan teori itu melalui literatur yang pada gilirannya menghasilkan tulisan-tulisan.

Para pendiri negara Amerika Serikat adalah para pemikir, para ahli hukum yang tidak bisa dipisahkan dari buku, sehingga tradisi ilmiahnya itu tergambar dalam Library of Congress, yang merupakan perpustakaan terbesar di dunia. ini sebenannya sudah kurang tepat dinamakan per”pustaka”an, karena tidak hanya berisi pustaka (=buku), tetapi berisi perluasan alat perekam, yang tidak terbatas pada tulisan tetapi juga berisi pilem dan video dan tentunya sekarang berisi compact disc (C.D).

Buku Naar de Republiek Indonesia dan Massa Actie merupakan buku yang dibaca oleh banyak pejuang dalam memperjuangkan Indonesia Merdeka, termasuk Bung Karno. Mengapa orang yang merupakan alumni dari fakultas yang sama dari tahun yang sama mempunyai pendapat yang hampir sama. Hal itu disebabkan bahan pelajaran yang sama, baik lisan yang diterima dari buku maupun yang tertulis yang diperoleh dan membaca buku yang sama. Penguasaan itu tambah dekat dengan adanya belajar bersama, adanya tenteer club. Namun demikian, untuk identik tentulah tidak bisa, karena adanya perbedaan lingkungan.

Seseorang yang datang dari suku tertentu yang dibesarkan dalam bahasa suku itu pasti mempunyai bahasa Indonesia dimana pengaruh bahasa daerah itu masih Nampak. Apakah pendapat yang berbeda-beda itu merupakan sesuatu yang tidak benar? Saya rasa disinilah letaknya arti hadis yang mengatakan bahwa perbedaan pendapat itu adalah rahmat.

Musyawarah dalam rangka demokrasi dalam hidup dalam bidang bernegara adalah sangat panting. Memang, ada masalah pemyataan apakah syuro dalam Islam sama dengan demokrasi? Ada yang mengatakan sama, ada yang mengatakan tidak. Dengan demikian damai bukanlah hidup dalam dunia yang tidak punya perbedaan, damai adalah mampu hidup dalam berbagai pendapat dan pandangan, dan memilih satu diantaranya sebagai pegangan.

Karena pegangan itu merupakan pilihan, haruslah disadari dia bukanlah satu satunya, dan harus menerima bahwa orang lain bisa saja punya pendirian yang berbeda. Apabila sama sekali tidak punya pendirian, maka hidup ini akan hampa.

Seperti telah disinggung dimuka, dalam hidup agama merupakan pedoman tertinggi. Saya menganggap bahwa hidup beragama itu adalah satu proses, dimulal dari hidup beragama dalam hidup pribadi, hidup beragama dalam hidup keluarga, hidup beragama dalam bernegara, dan hidup beragama dalam pergaulan internasional. Sampai pada tingkat ketiga, walaupun ada perbedaa-perbedaan, namun masih lebih muda menyelesaikannya.

Hidup beragama itu dibagi dalam dua golongan besar, hidup dalam kaitannya dengan Tuhan yang dinamakan ibadah dan hidup dalam hubungannya dengan sesama manusia. Para ulama mengatakan ada rumus umum, dalam ibadah semua tidak boleh kecuali yang diperbolehkan, sedangkan dalam ibadah semua boleh kecuali yang dilarang.

Dalam bidang bernegara, kita mengenal ada tiga aliran, aliran pertama yang mengatakan semua sudah diatur dalam agama, yang kedua dalam Islam dijumpai prinsip prinsip beragama, sedang yang ketiga ada yang mengatakan urusan bernegara adalah urusan dunia yang tidak ada kaitannya dengan agama.

Dalam hubungan internasional ada yang mengatakan kita hanya mengenal satu negara, yaitu khalifah. Fakta bahwa saya tinggal di Indonesia yang beragama majemuk saya menganut pendirian kedua, dalam Islam ada dasar-dasar bernegara, dan itulah melalui prosedur yang demokratis diusahakan agar berlaku di Indonesia. Sejalan dengan itu, dalam menyiapkan tulisan ini, saya mempunyai dua pegangan pokok, sehubungan dengan fungsi manusia sebagai khalifah dan sebagai abadi.

Pertama, fungsi sebagai khalifah :
Tuhan telah berfirman :

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (QS.- 2,30).

Kedua adalah fungsi manusia sebagai abdi.

Tidak kuciptakan jin dan manusia melainkan mengabdi kepadaKu (QS: ).

Manusia hidup dalam tiga masa, masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Saya menganggap ketiga masa itu merupakan satu kesatuan, masa lalu mempengaruhi hari ini, dan hari ini mempengaruhi masa yang akan datang. Masa yang akan datang itu adalah masa harapan, dan agama mengajarkan bahwa masa depan itu adalah lebih baik dari masa yang lalu.

Tidak heran sepanjang sejarah umat manusia selalu mengadakan proyeksi-proyeksi mengenai masa yang akan datang, berbagai cara. Peristiwa tragis, penghancuran Twin Tower di New York dan Pentagon tanggal pada tanggal 11 September yang lalu tidaklah berdiri sendiri, ia merupakan hasil pergolakan yang jauh dan masa lalu, adanya Perang Salib yang berakhir tanpa perdamaian, dan akan berdampak pada peramalan-peramalan di berbagai bidang yang akan mempengaruhi tingkah laku manusia dimasa depan.

Samuel P. Huntington menulis buku dengan judul “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”, dimana ia menekankan adanya clash berbagai kebudayaan antara lain clash antara Barat dan Islam.

John Naisbitt mengatakan bahwa letupan-letupan dalam kemajuan teknologi membuat orang gamang menghadapi masa depan, dan mengharapkan munculnya “peramal” yang memberikan kedamaian dari kegamangan itu, karena ia memberikan arah pada hidup manusia, walaupun arah itu belum tentu benar.

Sebenarnya “peramal” utama adalah Nabi Muhammad SAW, yang memberikan gambaran bukan saja masa datang, namun juga mengenai alam lain, yaitu kehidupan di Akhirat, mengenai sorga dan neraka, bahkan memberi “petunjuk” bagaimana kita terhindar dari masuk neraka, agar masuk sorga.

Eskatologi inilah yang di “pompa”kan pada Muslim generasi pertama, yang menjadi sumber kekuatan dalam beragama. Sayangnya gambaran eskatologis ini sudah kurang dirasakan oleh umat sekarang. Di dunia Barat terkenal buku Les Vroyes Centuries karya Michel de Nostredome atau Nostradamus yang terbit pada tahun 1555. Di Jawa ada ramalan Sang Prabu Sri Aji joyoboyo (1135-1157), Raja dari Kerajaan Kediri. Loka Moksanya yang terletak di desa Menang, masih terus dibangun.

Pada tahun tujuh puluhan diterbitkan buku “The Limits to Growth” laporan dari sarjana-sarjana yang tergabung dalam The Club of Rome, yang meramalkan akan berakhirnya dunia ini karena kehabisan sumber dayanya. Salah seorang peramal yang ia sendiri menolak dikatakan demikian, Alvin Tottler dalam dua puluh lima tahun researchnya mengemukakan adanya tiga gelombang (waves) dalam kehidupan manusia yaitu gelombang agraria, gelombang industri dan gelombang informasi. Masing-masing gelombang ini punya ciri-cirinya masing masing.

Dalam gelombang agrarian kekayaan ditentukan oleh luasnya tanah yang dikuasai, dalam gelombang industri kekayaan ditentukan oleh adanya tanah, tenaga kerja dan kekayaan modal, sedangkan dalam gelombang ketiga, gelombang informasi kekayaan adalah ilmu pengetahuan. Gelombang ketiga ini disokong oleh adanya penggabungan jasa-jasa telepon yang digabungkan dengan komputer menjadi internet. Ketiga gelombang itu tidak mesti berurutan, dalam masyarakat yang sama bisa ditemukan ketiga gelombang itu secara bersama-sama.

Bila kita melihat tanah air kita, kita menjumpai ketiga gelombang itu secara bersamaan, dengan tekanan pada gelombang kedua, yaitu industrialisasi. Kalau dalam gelombang agraris rumah tangga konsumsi menyatu dengan rumah tangga produksi pada gelombang industri kedua rumah tangga itu mulai terpisah walaupun secara silang artinya produksi rumah tangga yang satu bisa dikonsumsi rumah tangga yang lain dan sebaliknya. Pemisahan ini berarti orang tidak lagi memproduksi untuk din sendiri, tetapi memproduksi untuk pasar.

Gelombang ketiga adalah gelombang informasi, yang ditumpu oleh adanya komputer, yang digabung dengan telepon menghasilkan internet, yang sudah sampai ke pelosok-pelosok dengan adanya warung-warung internet.

Uraian diatas mencoba meletakkan dasar refleksi saya mengenal praktek manajemen.

Pertama, adanya kesinambungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, sehingga bila kita membicarakan masa lalu haruslah dievaluasi menurut nilai-nilai waktu itu. Dalam hal ini menyangkut gelombang kedua, gelombang industri.

Kedua, saya sebagai orang yang mengadakan refleksi terikat atau sekurang kurangnya menganggap diri terikat pada nilai nilai agama seperti yang saya utarakan diatas. Masa saya berkarya adalah masa gelombang kedua, industrialisasi yang masih mengandung unsur-unsur gelombang pertama, gelombang agraris dan telah mulai masuk gelombang ketiga, gelombang informasi.

Menurut Alvin Toper, ada 6 ciri ciri industrialisasi, yaitu: standardisasi, spesialisasi, sinkronisasi, konsentrasi, maksimisasi dan sentralisasi.

Secara ringkas dapat disebutkan bahwa standardisasi adalah penyamaan, apakah penyamaan ukuran baik ukuran panjang, lebar, tinggi, penyamaan penampilan seperti wama, penyamaan urut-urutan pengerjaan, penyamaan waktu yang diperlukan untuk pekerjaan tertentu dan lain lain.

Spesialisasi terutama dalam bidang pekerjaan, tidak seperti dalam gelombang agraris semua pekerjaan dikerjakan oleh satu orang saja, dalam gelombang industri pekerlaan dipecah kedalam beberapa fase, dan masing-masing fase dikerjakan oleh orang tertentu. Disini kelihatan hubungannya, spesialisasi tidak mungkin dikerjakan tanpa standarisasi, karena peralatan telah disesuaikan dengan standansasi.

Dalam gelombang industrialisasi ini telah terjadi pemisahan rumah tangga produksi dengan rumah tangga konsumsi, produksi untuk pasar, maka tujuan utama adalah produksi sebanyak-banyaknya, dan inilah yang ingin dicapai melalui spesialisasi itu. Saya menganggap spesialisasi ini dan hal yang berhubungan dengan itu merupakan pegangan saya yang kedua, yaitu tugas manusia untuk memakmurkan dunia ini.

Jadi agama itu dapat dianggap ruwet dan menekan, tetapi bagi saya dapat dianggap sederhana, menyadari tugas manusia sebagai khalifah atau manajer, sebagai abdi, sebagai pelaksana amanah, dan ketiga sebagai khalifah ia juga terarah, yaitu untuk memakmurkan, dunia, bukan untuk merusak.

Ciri ketiga adalah sinkronisasi, tepat waktu terutama dalam peralihan dari fase; pekerjaan yang satu ke fase pekerjaan yang lain. Sinkronisasi ini dimungkinkan karena adanya distandardisasi, sulit membaginya dalam fase-fase yang sama serta menyamakan waktu pengerjaaanya, sehingga sulitlah mengadakan sinkronisasi.

Ciri keempat adalah konsentrasi, pekerjaan yang dikerjakan oleh para spesialis menuntut agar para spesialis berada saling berdekatan, sehingga muncullah tempat kerja dimana orang mengelompok, misalnya pabrik, kantor, sekolah dan yang lainnya.

Ciri yang kelima adalah maksimalisasi, mencapai jumlah hasil yang maksimum, terutama bisa mengerjakan jumlah yang maksimum dalam waktu yang tertentu. Maksimasi, ini adalah tuntutan dari spesialisasi yang menuntut adanya penghasilan yang sebesar-besarnya. Ini mendorong berproduksi untuk pasar, dan sejalan dengan amanah Tuhan yang memberi nilai tinggi pada perdagangan. Perdagangan hanya mungkin terjadi bila ada produksi untuk pasar

Ciri berikutnya adalah sentralisasi, adanya suatu pengendalian terpusat. Adanya spesialisasi dan konsentrasi mengharuskan adanya pengolongan-penggolongan pekerja sesuai dengan apa yang dikerjakannya yang berbeda dengan golongan lain, masing-masing golongan ini dibawah satu pimpinan, beberapa pimpinan yang setingkat yang dinamakan eselon pada gilirannya bergabung dibawah satu pimpinan demikian seterusnya sampai ada pimpinan tertinggi dalam organisasi yang bersangkutan sebagai pelaksanaan ciri sentralisasi. Golongan-golongan itu dinamakan departemen, dan proses, pembentukannya dinamakan departementasi, yang menimbulkan adanya tingkat-tingkat yang dinamakan eselon melalui proses eselonisasi.

Enam ciri itulah yang mewarnai gelombang industrialisasi. Keenam ciri itulah yang menimbulkan perbedaan yang mendasar dan mengejutkan dengan gelombang sebelumnya, yaitu gelombang agraria, sehingga dinamakan revolusi industri.

Ciri-ciri itu dalam gelombang agraris memang sudah ada juga, namun terbatas dalam bidang pemerintahan dan gereja, belum sampai ke bidang ekonomi. Revolusi organisasi itu dimungkinkan karena munculnya konsentrasi sebagai akibat dari spesialisi yang disokong oleh kebutuhan sinkronisasi, sehingga sejajar dengan revolusi industri itu timbd pula revolusi organisasi.

Disini dapat saya berikan contoh, pengalaman dalam melaksanakan pembukaan kebun baru. Melalui trial and error, dapat diketahui bahan cara berpikir didasarkan pada satu unit kecil sebesar 500 Ha, Unit inilah yang dilengkapi dengan tenaga kerja dan alat alat yang diperlukan, dan yang terpenting ada pimpinannya. Kalau mau membuka 10.000 Ha per tahun, lengkapilah keperluannya dengan membagi 10.000 : 500 = 20 unit

Dalam pengembangan organisasi diperoleh angka empiris satu orang bisa memimpin secara langsung 7-10 orang, sehingga atas dasar inilah diadakan eselonisasi dan departementasi. Kegagalan pembangunan adalah disebabkan cara berpikir yang tidak sejalan dengan itu. Kadang-kadang dibuka 10.000 Ha, sedang kelengkapannya tidak merupakan 20 kali kelengkapan satu unit 500 Ha.

Pelaksanaan enam ciri itu melahirkan beberapa tehnik manajemen, seperti network planning, dan yang menurut pengalaman saya pelaksanaan ciri sinkronisasi dengan pengertian adanya lead time sangat menonjol.

Berapa banyak proyek yang gagal gara-gara ciri sinkronisasi ini kurang diperhatikan, belum tersedianya tenaga asisten pada saat diadakan pembukaan areal, terbukanya areal sedang bibit belum jadi, dan seterusnya. Diantara sekian banyak pakar-pakar tentang organisasi, saya punya dua pakar yang sangat mempengaruhi saya, yaitu “Principles of Management, An Analysis ofMonagerial Functions” dengan penulis kembar Harold Koontz dan Cyril O'Donnel dan “General and Industrial Mangement” tulisan Henri Fayol.

Mungkin sekarang buku itu sudah kuno, namun pada waktu itu buku itu adalah “baru” dalam iklim peralihan dari literatur Belanda menuju literatur Amerika.

Praktek di back up pengetahuan, adalah ampuh, pengetahuan diperkaya dengan praktek dan sebaliknya. Pengalaman saya menunjukkan ada sarjana yang tidak bisa menghidupkan simbiose pengetahuan dengan praktek.

Saya pernah mengunjungi satu afdeling yang dipimpin oleh seorang insinyur pertanian muda, dia menyampaikan keluhan tidak ada yang dapat dikerjakan seorang insinyur di afdeling. Saya tidak menjawab keluhan itu secara langsung. Saya minta ia menjejerkan angka produksi tiga tahun terakhir dipilah menurut tahun tanaman. Dengan sudah payah ia mencari dalam arsip yang tidak tertata dengan rapi.

Saya mengambil satu tahun tanaman, dan saya minta ia menggambarkan angka rencana produksi selama 3 tahun itu dan dibandingkan dengan realisasi. Kemudian saya tanya lagi, kalau tahun tanamnya demikian, trend produksi tahunannya naik atau turun, dia mengatakan naik, sedangkan realisasi menunjukkan menurun. Saya tanyakan mengapa turun, apa analisanya mengenai produksi yang menurun itu dan apa yang pernah dia usulkan pada atasannya untuk memperbaikinya, sang insinyur terdiam. Saya mengatakan berguna tidaknya seorang insinyur di afdeling, tergantung bagaimana visinya mengenai tugasnya. Seorang insinyur tidak salah mengharapkan jadi Direktur, namun jangan terjun bebas, peraslah keringat dengan menjadi asisten yang baik, kemudian jadi asisten kepala yang baik dan seterusnya bekerja dengan penuh dedikasi. Bila visi tidak tepat, pengetahuan sendiri akan beku, karena tidak diperkaya atau disempurnakan dengan hasil temuan di lapangan.

Manajemen sendiri didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk mencapai tujuan dengan perantaraan orang lain. Sebagai seni, antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungannya.

Bagi saya seorang direktur, apalagi seorang direktur di bidang perkebunan, haruslah bisa merasakan denyut kehidupan masing-masing kebun, dan cara temudah untuk itu pernah mengunjungi semua kebun, sehingga ia punya citra (mental image) mengenai manusianya, tanamannya, topografinya dan jalan-jalannya.

Seorang direktur harus bisa merasakan, bagaimana pun didaerah yang bergelombang panjang jalannya per Ha lebih panjang dengan kecenderungan biaya perawatan jalan cenderung lebih tinggi dari daerah yang datar. Ada tiga unsur utama dalam definisi ini:

Unsur Pertama orang yang mengerahkan orang lain itu, dia bisa bernama khalifah, manajer, pemimpin, kepala dan sebagainya, katakanlah ringkasnya pimpinan.

Unsur Kedua adalah tujuan, apakah tujuan itu semata mata tujuan pimpinan, atau tujuan bersama, atau tujuan pimpinan yang didukung pegawai, dan seterusnya.

Unsur Ketiga adalah orang lain dalam definisi itu, dapat berupa pegawai, anggota dan lain lain.

Dalam praktek, sesuai dengan pengalaman perlu ditambah satu unsur lagi, yaitu bagaimana cara mencapai tujuan ltu. Dalam bidang perkebunan terutama di Sumatera Timur pernah ada praktek yang tidak manusiawi, yang dinamakan poenale sanctie, yang memberikan kuasa kepolisian kepada pimpinan perkebunan, misalnya dengan menyeret paksa buruh yang lari namun kontraknya belum habis, untuk kembali ke kebun. Demikian juga perlakuan terhadap alam, haruslah memperhatikan keserasian lingkungan. Bila ingin mengembangkan manajemen yang Islami, beberapa pertanyaan harus dijawab. Dari unsur yang pertama, pimpinan haruslah Islami, yang berarti secara demokratis kita perjuangkan agar nilai nilai Islam yang kita yakini dapat terwujud.

Unsur kedua juga harus Islami, karena pimpinan dan pembantu adalah sama sama manusia, kita perjuangkan agar nilai nilai Islami itu bisa terwujud. Ini berarti harus ada kemampuan berdialog, meyakinkan teman sekerja dan masyarakat mengenai mengenai-pentingnya nilai nilai itu.

Mengenai tujuan, jelas harus diperjuangkan agar tujuan itu Islami. Dewasa ini ada tiga bidang usaha yang memberikan keuntungan yang berlimpah limpah, yaitu perdagangan narkoba, perdagangan senjata dan perdagangan wanita dan anak anak. Walaupun sangat menguntungkan, namun karena tujuannya sangat-sangat tidak Islami, bidang-bidang itu harus ditolak.

Unsur Keempat, bagaimana cara mencapai tujuan itu, jelas harus Islami. Manajemen merupakan ilmu dan seni, tiga unsur yang pertama dekat dengan kedudukannya sebagai ilmu, sedang yang keempat dekat dengan seni. Orang yang dapat pendidikan yang sama dengan menggunakan bahan pelajaran yang sama dari pengajar yang sama bisa berbeda dalam pelaksanaannya, karena perbedaan seni yang digunakan. Istilah lain untuk seni adalah kiat.

Buku Koontz dan Donnel, seperti diindikasikan oleh judul dan anak judulnya, membahas fungsi fungsi manajemen.Tekanan pembahasan adalah pada fungsi. Bila saya memberikan ceramah ataupun kuliah, saya selalu kembali pada pelajaran Aljabar di SMP yang biasa dengan rumus y =(x), dibaca y adalah fungsi x. Ada dua variabel yaitu x dan y, variabel tidak tetap (x) dan variabel tetap (y). Berapa nilai y ditentukan oleh nilai x ?

Dibawa ke bidang manajemen, bagaimana ketrampilan kita menggunakan atau memanipulasi nilai x, atau bagaimana kita memaksimasikan nilai x, akan menentukan nilai y. Secara teoritis, Koonts dan Donnel mengemukakan secara berturut-turut ada lima fungsi, yaitu planning, organizing, staffing, directing dan controlling. Rumus diatas dapat disempurnakan menjadi y = (xp,xo,xs,xd, xo), dimana berturut turut xp planning xo organizing xs staffing, xd directing dan xc controlling.

Planning adalah merencanakan, menentukan sebelumnya apa yang akan dilaksanakan. Ada beberapa landasan dalam mengadakan perencanaan ini.

• Pertama adalah penentuan dan perumusanan tujuan, dalam arti apa yang ingin dicapai.
• Kedua, mempelajari apa yang dinamakan dengan SWOT organisasi.

SWOT adalah kependekan dari Strength, Weakness, Opportunity dan Threat. SWOT ini meninjau perusahaan dari sisi intern dan ekstern. Sisi intern ditinjau dari segi Strength dan Weoknessnya. Sisi ekstern ditinjau dari segi Opportunty dan Threat. Hasil utama dari perencanaan ini dalam dunia perusahaan adalah Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB).

Organizing adalah penentuan jumlah departemen dan eselon. Kalau departemen dan eselon diibaratkan sebagai kerangka atau hardware organisasi, maka kekuasaan dan tanggung jawab, authority dan responsibility merupakan daging dan darah ataupun software dari organisasi. Dalam cara main kekuasaan dan tanggung Jawab ini, muncullah tiga macam hubungan, hubungan garis, hubungan staf dan hubungan fungsional.

Hubungan garis atau hubungan komando, pihak atasan berhak memberi perintah dan bawahan berkewajiban untuk mematuhinya. Hubungan staf adalah hubungan tanpa punya kuasa dan pada gilirannya ada yang bertanggung Jawab, hubungan itu terbatas memberi nasehat dan pertimbangan.

Hubungan fungsional merupakan penggunaan spesialisasi dalam hubungan kuasa dan tanggung Jawab, dimana seseorang sertanggung Jawab terhadap beberapa orang dalam bidang tertentu.

Staffing menjawab pertanyaan sehubungan dengan sumber daya manusia dalam organisasi, yang meliputi tahap sebelum masuk kedalam organisasi (scouting, recruiting training), selama dalam organisasi (development) dan sesudah meninggalkan organisasi (retirement).

Directing terutama berhubungan dengan development, menuntun pegawai agar dapat bekerja dengan baik dalam arti faham akan akan tujuan perusahaan yang bisa djabarkan jadi tujuan bahgian dan tujuan masing masing pegawai.

Controlling sering dikacaukan dengan controle dalam bahasa Belanda. Controle dalam bahasa Belanda berarti check, supervision, sedangkan control dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan bedwingen (guide), beheer.
Kalau controle dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan pemeriksaan, control dalam bahasa Inggeris diterjemahkan dengan pengendalian, penguasaan. Salah satu istilah yang sudah di “Indonesiakan” adalah ball control dalam permainan bulu tangkis atau sepak bola, yang jelas bukan berarti pemeriksaan, bola, tetapi penguasaan bola atau pengendahan bola agar tetap berada di lapangan permainan.

Controlling adalah penguasaan pelaksanaan kegiatan perusahaan agar tetap berada dalam bidang rencana, dengan menghindarkan terjadinya perilaku yang keluar dari rencana. Jadi, ada keterkaitan yang sangat erat antara planning dengan controlling, karena tugas-tugas controlling sangat erat hubungan dengan planning.

Salah satu unsur utama dalam perencanaan adalah nilai-nilai, dan ini erat hubungannya dengan budaya perusahaan (corporate culture). Budaya perusahaan mempunyai unsur unsur lingkungan perusahaan, nilai-nilai yang dianut bersama (shared values), adanya panutan (heroes, tokoh pemimpin), tata “lbadah” (rites and rituals) dan jaringan budaya.

Kalau dari buku Koontz dan Donnel saya mengambil fungsi manajemen, yang merupakan alat berpikir yang melatar belakangi pelaksanaan manajemen, dari Henri Foyol saya mengambil pembahagian kegiatan (activities).

Ada enam kegiatan manajemen menurut Fayol, yaitu

1. kegiatan tennis (technical ativities).
2. kegiatan komersil (commercial activities),
3. kegiatan keamanan (security activities),
4. Kegiatan akunting (accounting activities) dan
5. kegiatan managerial (managerial activities).

Kegiatan tehnis dinamakan juga kegiatan produksi atau kegiatan manufaktur, merubah ataupun meramu beberapa barang menjadi barang baru.
Kegiatan komersil adalah kegiatan yang berhubungan jual beli dan pertukaran barang. Kegiatan keamanan berhubungan dengan keamanan perusahaan, keamanan materi dan keamanan orang.
Kegiatan akunting berhubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan akunting, pencatatan harta perusahaan, pencatatan penggunaan barang-barang dalam produksi dan pencatatan barang-barang yang dihasilkan dan termasuk juga pencatatan rencana dan laporan hasil perusahaan.
Kegiatan managerial adalah kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, pengorganisasian, perintah, koordinasi dan control.

Kegiatan yang keenam ini merupakan jembatan antara fungsi namajemen dari Koonts dan Donnel dengan kegiatan manajemen dari Henri. Memang ada perbedaan mengenai fungsi, ada yang saya anggap perbedaan istilah, perintah dan koordinasi barangkali sama dengan staffing dan directing.

Koonts dan Donnel tidak menonjolkan koordinasi, karena menurut mereka dengan menjalankan kelima fungsi manajemen dengan baik koordinasi tercapai. Saya menggunakan penggabungan dari fungsi manajemen dari Koontz dan Donnel dengan kegiatan manajemen dan Henri sebagai peta menyeluruh dari manajemen.

Ada yang berusaha merumuskan manajemen Islam, namun saya anggap manajemen Islam dapat disusun dengan menggunakan peta manajemen itu. Nilai-nilai Islam dapat dirumuskan dan diusahakan menjadi budaya perusahaan, dan diintegrasikan dalam perusahaan melalui rencana kerja yang disusun secara periodik. Selanjutnya haruslah disadari bahwa manajemen itu sendiri merupakan suatu proses, yang senantiasa berkembang dalam bingkai peta manajemen itu.

Pengalaman Dalam Mengajar

Selama jadi pengajar di Fakultas Ekonomi USU, pengalaman saya dimulai dengan memberikan kuliah Pengantar Manajemen. Saya menjadikan buku Koontz dan Donnel sebagai pegangan. Ada dua kentungan saya dalam memberi kuliah ini.

Pertama pengalaman saya memberi asistensi di Akademi Perniagaan Kalimantan dan mengajar dibeberapa sekolah lanjutan atas di Banjarmasin. Tidak bisa dilupakan pengalaman bergabung dengan kawan-kawan dalam berbagai tenteer club.

Kedua adalah pengalaman saya sebagai pegawai staf pada perusahaan T.D. Pardede, yang waktu itu dalam taraf pembinaan manajemen.

Pada tahun kedua saya ditugaskan memberi kuliah Manajemen Personalia. Sebagai pegangan saya menggunakan buku “Personnel Management and Industrial Relations”, karangan Dale Yoder Ph D.

Pada dasarnya mata kuliah ini merupakan pendalaman dari dua fungsi manajemen, yaitu staffing dan directing, dan masuk dalam Securities activities dari Henry. Dalam staffing digunakan gambaran teoretis tentang proses yang dialami seorang pegawai mulai dari persiapan penerimaan sampai pensiun. Sedangkan fungsi directing diperluas dengan memahami kepemimpinan (leadership), kemampuan kemampuan yang diperlukan seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan memberi tugas, kemampuan menerima dan memberikan delegasi, pemahaman tentang kekuasaan, pemahaman tentang tanggung i,awab, mengusahakan adanya keseimbangan antara tugas dan tanggung Jawab, dan lain lain. Saya diuntungkan dengan menggunakan pengalaman di pabrik sebagai pembanding dan contoh dalam memberikan kuliah.

Pada tahun ketiga kembali saya ditugaskan memberi mata kuliah baru yaitu Manajemen Produksi. Buku yang saya gunakan adalah “Production Management” karangan Franklin G. Moore. Manajemen Produksi ini merupakan perluasan dari dari Technical Activities dari Henri. Karena luasnya materi Manajemen Produksi ini, saya hanya memilih materi yang benar-benar merupakan pengenalan seperti tahap-tahap dalam berproduksi mulai dari penyediaan bahan baku, proses produksi sampai barang jadi, pergudangan dan pengiriman, cara-cara pengendalian persediaan bahan baku, cara merawat mesin dan penggunaan kartu kesehatan mesin, pemeliharaan preventif dan sebagainya.

Lagi-lagi saya dibantu oleh pengenalan saya pada beberapa pabrik TD. Pardede, pabrik pemintalan kapas di jalan Binjai, paberik konveksi dan paberik selimut di jalan Bantam Medan. Selain dari mengajar di Fakultas Ekonomi USU, saya juga mengajar di Fakultas Ekonomi UISU dalam mata kuliah Pengantar Manajemen, dan juga ikut mengajar di Akademi Pertekstilan TD. Pardede.

Pengalaman berpraktek manajemen

Pengalaman pertama saya alami sewaktu saya diterima bekerja di Pertekstilan TD. Pardede. Saya diterima di Bahagian Pembukuan.

Pengetahuan saya mengenai pembukuan terbatas pada “testimonium” Pembukuan pada tahun pertama di fakultas, yang waktu itu dinamakan tingkat propodeuse atau persiapan.Waktu itu masih dijalankan warisan Belanda, dimana mahasiswa diwajibkan mengambil pengetahuan praktek di camping pengetahuan akademis.

Mengenai Pembukuan atau yang waktu itu dinamakan Boekhouder, yang menyelenggarakan adalah perserikatan pembukuan, ditingkat propodeuse diharapkan lulus ujian perserikatan (Bond) A.

Selama mengajar di beberapa Sekolah Menengah Atas di Baniarmasin, saya juga mengajar Tata Buku. Barulah di Bahagian Pembukuan di perusahaan ini saya mengenal praktek pembukuan.

Perusahaan secara hukum terdiri dari beberapa PT termasuk PT Surya Sakti yang merupakan divisi penjualan yang mempunyai beberapa cabang penjualan di berbagai kota di Indonesia. Pada waktu itu telpon interlokal adalah sangat sulit, internet jelas belum ada, namun neraca bulanan gabungan harus sudah selesai pada tanggal 15 bulan berjalan. Ini hanya bisa dicapai dengan adanya disiplin setiap pegawai pembukuan di cabang-cabang dan di pusat, sehingga jadwal waktu dapat dipenuhi.

Pada tanggal 15 itu neraca harus diserahkan pada Direktur Utama alias pemilik perusahaan, dan ia mulai bertanya, misalnya mengapa stok bahan jadi terlampau tinggi, kenapa persediaan bahan-bahan tertentu terlampau sedikit di gudang, mengapa penjualan yang tidak tertagih terlampau tinggi, dan lain-lain.

Apa yang dikerjakan Pardede semata-mata berdasarkan pengalaman, namun inilah yang dinamakan analisa neraca. Pegawai gudang sangat takut kalau Pak Pardede masuk gudang, karena ia suka mengantongi beberapa barang-barang kecil seperti baut. Kemudian ia minta kartu gudang mengenai barang tersebut, dan bersama kepala gudang ia menghitung persediaan barang yang ada. Kalau persediaan dan catatan tidak cocok kepala gudang harus berani mengatakan bahwa jumlah barang adalah cocok karena jumlah di kartu sama dengan jumlah persediaan ditambah yang ada di kantong Pak Pardede.

Ia akan tertawa dan meninggalkan gudang.Yang jadi korban biasanya adalah pegawai baru yang tidak kenal kebiasaan Pardede suka menguji dengan mengantongi barang barang kecil. Pengalaman berikutnya adalah di bidang komersil, sewaktu saya diangkat jadi manjer penjualan PP Surya Sakti cabang Medan, yang meliputi wilayah penjualan Sumatera Utara – Aceh, namun kemudian terbatas pada wilayah Sumatera Utara.

Dalam bidang penjualan, manajer penjualan dibantu oleh seorang kepala penjualan. Yang membawahi beberapa orang sales manager atau yang dalam istilah waktu itu dinamakan verkooper. Seorang verkooper ada di tiap-tiap kabupaten, yang bertanggung jawab dalam bidang penjualan dan pengutipan hasil penjualan dan mengirimkan uangnya ke kantor cabang.

Waktu itu ada beberapa jenis barang seperti singlet, kaus oblong, selimut. Waktu itu untuk tiap-tiap jenis jenis produksi saya beri nama sandi, dan setiap hari verkooper harus mengirimkan laporan kegiatannya dengan melaporkan stok awal, penerimaan barang hari itu, penjualah hari itu dan stok akhir. Walaupun kartu itu saya terima sekitar seminggu kemudian, namun saya dapat mengikuti “performance report” masing-masing verkooper.

Pembukuan merupakan atas yang ampuh untuk mengamankan harta perusahaan, namun pengalaman menunjukkan ada juga yang merasa tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu.

Selama saya jadi manajer penjualan, saya menjumpai ada dua peristwa penyelewengan.

Pertama adalah yang dilakuan oleh seorang verkooper yang baru diangkat, yang tidak menyelesaikan pembayaran barang yang dijualnya. Penyelesaiannya adalah dengan menjual sepeda yang bersangkutan dan uang hasil penjualannya disetorkan sebagai pembayaran barang yang telah diambilnya.

Kedua adalah penyelewengan yang diadakan oleh kepala gudang. Pemeriksaan stok selalu diadakan, namun tidak menyeluruh, artinya isi barang dalam gudang tidak dihitung satu persatu. Hal ini tedadi karena antara lain oknum kepala gudang itu adalah orang yang dikenal sebagai orang yang taat beragama. Memang, akhirnya yang melaporkan penyelewengan itu adalah yang bersangkutan sendiri, yang merasa dikejar-kejar rasa bersalah. Dalam hal ini, tampaklah pentingnya adanya budaya perusahaan dengan salah satu unsurnya, yaitu sistem nilai, dan alangkah indahnya andaikata nilai-nilai dalam agama masing-masing dapat merupakan alat self control masing-masing pribadi. Namun, kala mengingat dua kasus itu saya tertawa sendiri melihat penyelewengan sekarang yang tidak bisa dibayangkan pada tahun enam puluhan itu.

Pada tahun 1966, saya pindah kerja. Dari dua tempat tugas saya, sebagai dosen USU dan sebagai pegawai staf T.D. Pardede, saya tinggalkan dan pindah kerja ke bidang perkebunan. Selama dua tahun saya bekerja sebagai staf di Inspektorat Aneka Tanaman.

Inspektorat tugasnya mengadakan inspeksi. Inspeksi ini berbeda dengan control dalam pembahagian Koontz dan Donne, karena pada waktu itu perusahaan masih belajar karena tingkat inflasi yang ratusan % membuat anggaran merupakan alat yang tidak ampuh sama sekali. Jadi, inspeksi yang diadakan lebih banyak merupakan studi komperatif.

Salah seorang direktur perusahaan waktu itu mengatakan alasannya menyetujui adanya inspeksi adalah untuk mendapatkan “bedrijsblind”, buta perusahaan, merasa semuanya berjalan baik sehingga tidak ada lagi keinginan untuk mengadakan perbaikan.

Dengan memakai kerangka Henry ada dua kegiatan yang disorot dalam inspeksi. Pertama adalah technical activities. Pada waktu itu technical activities itu dibagi dalam Toffler, perkebunan sebenarnya termasuk dalam bidang industry, atau sering dirumuskan sebagai industrialisasi pertanian. Namun, perkebunan yang ada pada waktu itu adalah perkebunan yang baru diambil alih pada tahun 1957.

Pusat-pusat perkebunan ini sebelumnya terletak di Eropa, dan kegiatan yang menonjol di Indonesia adalah kegiatan tehnis itu. Kegiatan-kegiatan lain setapak demi setapak mulai dikembangkan seperti kegiatan accounting.

Dalam pelaksanaan inspeksi, dibentuk team, yang biasanya dibagi dalam tiga kelompok tanaman, kelompok tehnik dan kelompok administrasi. Kelompok tanaman sesuai dengan namanya mengadakan inspeksi dalam bidang tanaman.Tanaman dibagi dalam dua golongan besar, tanaman musiman dan tanaman yang berumur lebih dari satu tahun atau dinamakan tanaman tahunan.

Tanaman musiman kalau di Sumatera adalah tembakau dan di Jawa tebu. Aneka tanaman di Sumatera terdiri dari kelapa sawit dan teh, yang merupakan tanaman tahunan. Dari manajemen lama, tanaman tahunan digolongkan dalam tanaman baru (TB) atau tanaman ulangan (TU), tanaman belum mengasilkan (TBM), tanaman menghasilkan (TM) dan tanaman menghasilkan tidak berproduksi (TMTB). TB adalah tanaman di areal yang sebelumnya belum ada tanaman, biasanya pembukaan hutan.TU adalah tanaman ulangan, dimana tadinya sudah ada tanaman.

Dizaman dulu TU biasanya adalah tanaman yang lain dari yang digusur, dengan pertimbangan memotong kehidupan hama dan penyakit. Namun belakangan ini biasanya ditanam dengan tanaman yang sama, terutama dengan tingginya produktivitas per Hektarnya.

Tanaman belum menghasilkan adalah tanaman yang belum bisa dipanen.Tanaman yang bisa dipanen berbeda dengan berbuah, tanaman berbuah belum tentu dipanen, tanaman berbuah atau karet baru dideres bila hasil penjualan hasilnya dapat menutup ongkos, atau dalam bahasa tehnisnya dikatakan bila break even point (BEP) tercapai, Tanaman menghasilkan, sesuai dengan namanya bila tanaman menghasilkan mencapai dan melampaui BEP. Tanaman menghasilkan tidak berproduksi, adalah tanaman yang masih berbuah namun kembali berada dibawah BEP.

Ekonomi tanaman yang ingin dicapai adalah bagaimana mengusahakan agar biaya sekecil mungkin dan hasil sebesar mungkin. Dalam upaya mencapai biaya kita lihat ada evolusi dalam pembibitan, selain dari pada mencari clone unggul juga bagaimana mendapat bibit dengan biaya murah, dan lahirlah pembibitan dengan menggunakan polybog.

Selain dari pada itu harus disadari bahwa buah itu hanya keluar kalau ada photosinthesa yang baik dan ini erat hubungannya dengan jumlah tanaman per HA. Dalam bidang produksi diupayakan agar gangguan kesehatan tanaman dikurangi atau ditiadakan melalui pembenterasan hama dan penyakit.

Hara tanaman diperkaya dengan pemberian pupuk. Persaingan untuk hara dikurangi dengan pengendalian dan peniadaan gulma. Hasil dari tanaman adalah buah, dan buah itu baru berarti kalau ia sampai ke paberik dalam keadaan segar. Ini menyangkut tersedianya pemanen, dan pemanen itu harus sampai kepohon dengan nyaman dan dapat mengumpulkan buah ke pinggir jalan sehingga dapat diangkut dengan alat pengangkutan ke paberik. Karena itu diperlukan jaringan jalan, mulai dari jalan panen, kemudian jalan, tranpor dan jalan poros.

Ada ratio yang ideal mengenai panjang jalan dengan luas tanaman, yang bervariasi antara wilayah yang rata dan yang bergelombang. Jadi, tugas dalam bidang tanaman yang dinamakan agronomy, agro dan ekonomi, dengan rumus sederhana tanaman sehat, biaya pemeliharaan rendah.

Sewaktu saya masuk kerja pada tahun 1966, panen diadakan dengan memanjat pohon kelapa sawit, namun berangsur-angsur beralih ke penggunaan egrek. Di rumah sakit perkebunan saya masih menjumpai karyawan yang invalid terjatuh dari pohon.

Dalam bidang tanaman tahunan, satuan pemikiran seyogyanya adalah satu siklus, namun kadang-kadang ada pertimbangan lain, misalnya bila terjadi kesulitan keuangan, pertimbangan bisa menjadi jangka pendek. Peristiwa awal ambil alih, dimana perkebunan negara seolah olah terfokus sebagai penghasil devisa sebanyak banyaknya, menyebabkan pemeliharaan dan peremajaan terlantar Inilah yang kemudian ingin direhabilitasl dengan bantuan dari luar negeri.

Kelompok tehnik mengadakan inspeksi, terutama dalam bidang non tanaman, meliputi alat-alat pengolahan dengan kelengkapannya seperti installasi air, pembangkit tenaga listerik, alat-alat pengangkutan dan lain-lain.

Pengolahan kelapa sawit terdiri dari beberapa tahap, sejak dari pembekuan enzyme sampai keluar hasil dalam bentuk minyak dan inti. Selama pengalaman beberapa tahun telah banyak perubahan dan yang paling menyolok adalah penggantian handpress dengan screwpress pada tahun tujuh puluhan. Penggantian ini membawa dampak yang jauh, adanya kelebihan tenaga di paberik yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menormalkannya. Sama dengan dalam bidang tanaman, dalam bidang pengolahan inipun terjadi apa yang dikatakan dalam bahasa Belanda Kopitcal Inteering, pemakanan kapital sendiri karena ketiadaan pemeliharaan yang prima.

Apa yang tidak dicakup oleh kelompok tanaman dan kelompok teknelogi semestinya ditampung kelompok administrasi, namun tentulah semuanya tidak bisa dicakup, apalagi tenaganya hanya tiga orang, dua diantaranya pegawai lama yang kaya dengan pengalaman. Karena itu saya, separuh untuk kepentingan pribadi, lebih menekankan pada bidang administrasi.

Falsafah yang digunakan, mungkin berasal dari cara pikir yang diwariskan Belanda, membagi laporan dalam dua bidang, dinamakan laporan produksi dan satunya laporan keuangan. Laporan produksi sesuai dengan namanya tidak mengandung data-data keuangan, sedangkan laporan keuangan, selain masalah keuangan juga mengandung angka-angka penting tentang produksi. Angka-angka anggaran belanja juga dicantumkan, namun belum diadakan analisa yang tajam tentang perbandingan pelaksanaan dengan rencana.

Untuk memperjelas, dibawah ini saya singgung sejarah perkembangan bentuk perusahaan yang erat hubungannya dengan perkembangan pembukuan. Perkebunan milik Belanda dinasionalisasi pada tahun akhir tahun 195

Mula-mula masing-masing kantor perkebunan Belanda organisasinya tetapi, hanya personalia Belanda diganti dengan personalia Indonesia. Kemudian diadakan dijadi PPN Baru. Sedangkan PPN Lama adalah bekas perkebunan pemerintah Belanda yang kemudian digabung dengan perkebunan ex Jerman dan Jepang yang diambil alih pemerintah Belanda. PPN Lama digabungkan dengan PPN Baru menjadi PPN saja.

Pada zaman PPN ini diadakan perombakan dengan mendirikan beberapa Badan Pimpinan Umum (BPU), berdasarkan budidaya, ada BPU Karet, BPU Gula, BPU And Tanaman. Badan Pimpinan Umum dibawahi suatu Direksi dipimpin oleh scorang Direkti Utama. Masing-masing BPU membawahi beberapa unit, untuk Sumatera Utara-Aceh ada enam unit Aneka Tanaman, Dibawah pimpinan seorang Direktur dan seorang Direktur Muda. Masing-masing unit hanya terdiri dari 3 kebun atau lebil pada tahun 1968 BPU dibubarkan, kemudian didirikan Perusahaan Negara Perkebunan dengan membubarkan PPN.

Dalam PNP ini prinsip monokultur tidak dianut lagi, walaupun ada beberapa PNP yang masih bermonokultur PNP VIII terdiri dari budidaya teh, PNP VI dan PNP VII berbudidaya kelapa sawit, sedangkan PNP IX berbudidaya tembakau Deli. Tindakan tahun 1968 ini dinamakan rasionalisasi dalam rangka menaikkan produktivitas dan effisiensi. Masing-masing PNP dianggap berdiri sendiri, dalam arti semua kegiatan seperti yang disebutkan Henry dijalankan sepenuhnya, dalam istilah politik sekaran, masing masing punya otonomi penuh-

Dalam perkembangan organisasi, saya masuk pada zaman PPN, dimana masini masing BPU mempunyal kode rekening sendiri. Kode rekening ini menggunakan pendekatan industri, dimana digambarkan sejarah perkembangan dana, mulai dari dana dalam bentuk saham, yang seluruhnya atau sebahagian dirobah kedalam bentuk uang dan alal-alat produksi, disediakan bahan baku dan bahan penolong untuk berproduk hasilnya muncullah barang jadi yang kemudian dijual dan muncullah laba atau rugi yang menambah atau mengurangi modal.

Untuk mudahnya masing-masing kegiatan itu dinamakan rubrik, dimulai dari rubrik 0 sampai 9 dan kembali ke 0. Untuk keperluan itu dibentuklah kode rekening atau accounting chart, yang menggunakan decimolstelsel, terbagi dalam rubrik yang terbagi dalam rekening yang kemudian terbagi dalam subrekening. Kerangkanya sudah ada namun pelaksanaannya belum sempurna, karena sampai reorganisasi, sifat perusahaan adalah perusahaan perang dengan tujuan pokok menghasilkan devisa, karena pada waktu itu perusahaan perkebunan negara dijadikan andalan untuk mendapatkan devisa yang sangat diperlukan.

Dengan adanya reorganisasi, seperti disebutkan diatas akan tercapai kemandirian masing masing PNP. Namun, harapan itu tidak terwujud. Sebagai perusahaan negara, PNP dibawah penguasaan Menteri Pertanian sebagai kuasa Menteri Keuangan sebagai pemegang saham. Dibentuklah Badan Khusus Urusan PNP yang disingkat dengan BKL PNP dimana Ketuanya adalah Menteri Pertanian dan Wakilnya Direktur Jenderal Perkebunan. Ketua dibantu oleh 4 Asisten, Asisten Produksi, Asisten Tehnik, Asistne Pemasaran dan Asisten Khusus yang dibentuk belakangan menangani bantuan luar negeri.

Yang mula mula dibentuk adalah Kantor Pemasaran Bersama (KPB), yang dipimpin oleh seorang Managing Director (Mandir), yang diangkat oleh Menteri Pertanian. Mula mula dikatakan bahwa Kantor ini berada dibawah direksi PNP yang tergabung dalam Badan Kerja Sama PNP dan KPB Medan berada dibawah BKS PNP I - IX. Namun kenyataannya BKS - PNP ini tidak berdaya dan selalu meminta keputusan dari BKU melalui Wakil Ketua dan Asisten Asistennya.

Pada waktu itu antara BKU dan PNP masih ada kesamaan budaya, karena Wakil Ketua dan para asisten adalah mantan orang orang perkebunan. Tahap berikutnya terjadilah hubungan langsung antara Mandir dengan BKU, dan otonomi PNP di bidang masaran hanya tinggal cerita. Kebijaksanaan penjualan mengusahakan melalui lelang, kecuali minyak kelapa sawit melalui competitive bidding.

Saya, waktu itu bertugas sebagai staf analisa pasar, namun bahan yang digunakan adalah sangat terbatas, yaitu berita KB Antara dan Radio Singapura. Penjualan diadakan berdasarkan F.O.B, karena bila hendak menjual berdasarkan C.I.F, masih ada kesukaran membooking kapal dan menutup asuransi.

Harga penjualan di Medan selalu lebih rendah dari harga penjualan di Singapura dan Kuala Lumpur. Pembeli mengajukan alasan karena sulitnya mengurus penyelesaian claim. Untuk “save”nya, pembeli mendiscount harga secara nasional. Pada waktu itu ekspor masih diutamakan, demi untuk mendapatkan devisa. Waktu itu masih berlaku peraturan ; dimana devisa yang diperoleh secara otomatis dijual kepada Pemerintah.

Karena ada keluhan, pada waktu itu Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang Alokasi Devisa Otomatis (ADO), sekian % dari hasil penjualan diberikan dalam bentuk visa, dan PNP bebas menggunakannya termasuk menjualnya. Pada waktu itu penjualan berdasarkan principal to principal, pembeli harus langsung dari luar negeri, tidak boleh ada calo. Namun demikian, pembeli dapat mengangkat perwakilannya di Medan. Untuk pengamanan, begitu kontrak ditutup, pembeli harus membuka unrevocable L/C. Namun, bijaksanaan ini tidak selamanya dapat dijalankan, apalagi karena syarat penjualannya adalah FOB.

Setelah saya diangkat jadi Direktur Komersil, para Direktur Komersil bertindak sebagai wakil Direksi dalam rapat-rapat dengan Mandir Pada waktu itu saya mendapat kesempatan mengadakan perjalanan ke Eropa. Suatu kali saya menyertai Mandir dalam perjalanan ke Eropa, dan dari sana perjalanan akan dilanjutkan ke Amerika Serikat. Pada saat itu telah santer beredar berita bahwa minyak kelapa sawit banyak yang diselewengkan, tercatat destinasi ke Amerika Serikat, nyatanya menyeleweng ke tempat lain. Salah satu tujuan kunjungan ke Amerika Serikat itu adalah untuk mengadakan cross check, berapa yang dikirim dari Medan dengan destinasi Amerika dan berapa yang sampai di Amerika.

Kita berkepentingan agar barang sampai ke destinasi awal, demi penguasaan pasar. Dari KPB saya dipindahkan PNP V sebagai Kepala Bahagian Pembiayaan. Manajemen PNPV dipimpin oleh Pimpinan Pelaksana Umum, dibantu oleh dua orang Pimpinan laksana, Pimpinan Pelaksana Produksi dan Pimpinan Pelaksana Komersil dan Umum. Pimpinan Pelaksana bertanggung Jawab pada Board of Directors yang terdiri dari seorang etua dan dua orang anggota- Ketua Board of Directors dirangkap oleh Pimpinan Pelaksana umum. Namun, tidak jelas apa kuasa Board of Directors, sehingga banyak hal bahkan hampir semua hal harus diputuskan oleh Menteri Pertanian sebagai wakil pemegang saham. Dibawah Direksi ada unit-unit produksi, yang terdiri dari kebun-kebun, dibawah pimpinan seorang Administratur.

Pimpinan Pelaksana dibantu oleh kepala kepala bahagian, ada yang bersifat staf, yang namakan biro. Biro Direksi dan Biro Effisiensi, dan kepala kepala bahagian yang bersifat Fungsional, terdiri dari Bahagian Tanaman, Bahagian Teknik dan Teknologi, Bahagian Pembiayaan, Bahagian Komersil dan Bahagian Umum. Bahagian Tanaman Serta Bahagian Tehnik dan Teknologi menjalankan kegaitan Teknis. Bahagian Pembiayaan menjalankan kegiatan financial dan akunting, Bahagian Komersil menjalankan komersil, dan Bahagian umum menjalankan kegiatan securities.

Bahagian Tanaman dan Bahagian Teknik dan Teknologi berada dibawah koordinasi mpinan Produksi, sedangkan bahagian lainnya dibawah koordinasi Pimpinan Komersil. Susunan yang demikian ini adalah organisasi baru yang diperkenalkan sejak adanya pergaulan dengan bank. Dunia, meniru-niru model Amerika dimana dikenal adanya Boor of Directors dan Chief Executive Officers. Sebelumnya, hanya dikenal Direksi yan sertanggung Jawab pada Menteri.

Board of Directors PNP diambil dari orang luar, awalnya selain Ketua yang dirangkap oleh Pimpinan Pelaksana Umum, dibantu oleh seorang Pimpinan Bank Indonesia cabang Medan dan seorang pejabat departemen Pertanian. Belakangan diadakan perubahan dimana tiga tiganya terdiri dari orang luar Kemudian sebagai bahagian dari Loon Agreemen dengan Bank Dunia, melalui organisasi International Development Association, kepada PNP diperbantukan satu Team Konsultan.

Atas advis Menteri team Konsultan yang pertama terdiri dari orang orang Rubbe Cultuur Maatshoppij Amsterdam (RCMA), mantan pemilik kebun kebun PNPV, bahkan orang-orangnya terdiri dari pegawai-pegawai sebelum Perang Dunia II. Disamping itu masih ada kunjungan-kunjungan dari orang orang IDA.

Pada awalnya terjadi semacam shock, antara pihak PNP yang boleh dikatakan agak bebas sejak ambil alih, dengan para konsultan yang bekas pemillik. Saya mempunyai pengalaman pribadi, pernah “diusir” oleh pesuruh Adm, karena tuan Belanda mau datang Sang pesuruh masih merasa Belanda nomor satu dan Indonesia nomor dua. Bahkan waktu saya katakan Belanda itu adalah pegawai saya, sang pesuruh tidak bisa menerima. Namun, sesudah berjalan beberapa bulan, kedua belah pihak bisa saling menyesuaikan diri.

Selain dari usaha usaha perbaikan akibat adanya kapitaal inteering selama masa antara 1967 dengan 1968, salah satu sektor yang paling disorot adalah bidang akunting dan penggunaannya sebagai tool of management. Diusahakan agar tercapai kembali consciousness, kesadaran berbiaya, kesadaran beranggaran dalam arti setiap saat dan sekurang-kurangnya secara periodik diadakan review, membandingkan pelaksanaan dengan anggaran, dan bila pelaksanaan tidak sesuai dengan anggaran, agar diadakan upaya-upaya agar dalam masa berikutnya penyimpangan-penyimpangan dapat diperbaik. Dan, bila ternyata anggarannya yang tidak sesuai, agar diadakan perbaikan-perbaikai pada masa berikutnya.

Ada beberapa perbaikan yang diadakan.

Pertama, adalah perbaikan accounting code. Seperti yang disinggung dimuka. Tahap pertama adalah pembaharuan yang diadakan oleh konsultan RCMA. Pada dasarnya tidak ada perubahan yang berarti. Kemudian atas inisiatif saya dan kawan-kawan diadakan upaya perbaikan, yang tidak terbatas pada satu PNP namun meliputi PNP se Sumatera Utara – Aceh. Namun, usaha ini juga terpaksa dihentikan, karena dalam rangka kredit Bank Dunia diundang Konsultan SGV seperti yang telah diutarakan diatas. Saya juga mengadakan perombakan dalam “falsafah” pembukuan yang ditinggalkan Belanda. Kebun jangan dibebani dengan masalah keuangan, cukuplah apabila mereka sibuk berproduksi. Masalah keuangan diurus kantor besar dengan mengadakan sentralisas pembukuan. Kebun-kebun hanya bertugas menyediakan dokumen-dokumen pembukuan sedangkan pengolahannya diadakan di kantor Direksi.

Pada waktu saya mulai menjabat Kepala Bahagian, jumlah pegawai bahagian berjumlah diatas 100 orang, yang terbagi dalam sub bahagian pembukuan, pergudangan, pemeriksaan dan anggaran. Saya yang bukan orang RCMA tidak punya beban mental untuk merobah Saya menegakkan “otonomi” kebun, dan kebun harus menyiapkan sendiri neraca bulanan, dan menyusun anggaran kebun.

Sebagal follow upnya tenaga yang ada di kantor direksi didistribusikan ke kebun mengurangi tenaga yang ada di kantor direksi dan terutama untuk memperkuat tenaga yang ada di kebun.

Kesadaran berbiaya dan beranggaran dikembangkan dengan mengadakan rapat-rapat dengan Kepala Tata Usaha (KTU) Kebun dan dengan bantuan Direksi dikembangkan dalam rapat-rapat Direksi dengan Kepala Bahagian dan Administratur. Melalui pengamalan kesadaran berbiaya ini, saya melihat di kantor Direksi ada jaga malam dan ada anggota lahanan Sipil/HANSIP. Masing-masing menjalankan tugas yang sama. Sewaktu saya tanya mengapa terjadi duplikasi itu, saya dapat penjelasan bahwa jaga malam adalah organisasi lama, sedangkan HANSIP organisasi baru. Saya tanya, kalau tugasnya sama mengapa harus ada dua badan?

Saya mengusulkan agar jaga malam dihapuskan dan diganti dengan HANSIP dan usul saya diterima. Ini merupakan suatu contoh, dimana terjadi bedrijfblind, buta perusahaan. Karena itu, dalam bidang akademis adalah biasa bila seseorang meminta teman-temannya membaca naskah karyanya, karena ia bisa saja tidak melihat kekurangan yang ada. Hal yang sama juga saya alami sewaktu magang di Kantor Administrasi Boemi Poetera, dimana polis yang akan dikeluarkan dicek, pegawai yang bersangkutan, kemudian saya cek dan kemudian dicek lagi oleh atasan saya sebelum sampai ke tangan direksi, dan ternyata direksi menjumpai kesalahan. Jadi, saya dan atasan saya mencek separuh hati karena yakin pada pegawai bahwa ia telah mencek dan sesudah ditanya ia mengadakan mencek separoh hati karena masih ada atasan yang akan mengecek.

Diatas telah disebutkan, bahwa salah satu tugas yang saya laksanakan adalah membantu Direksi dalam membangkitkan kesadaran beranggaran. Saya berkepentingan mengenai pelaksanaan anggaran ini, karena dalam teori yang saya ajarkan, anggaran itu merupakan bagian dari planning, dan planning merupakan kembaran dari controlling. Controlling iru bisa diadakan bila ada standard, tolok ukur atau yardstick, dan tanpa itu controlling tidak bisa dilaksanakan. Yang terpenting lagi dalam satu perusahaan harus ada hanya satu standard, bila tidak akan terjadi kekacauan.

Dalam dunia internasional kita mendengar keluhan terhadap adanya standard ganda, dua ukuran mengenal hal yang sama tergantung dengan diperlakukan untuk siapa. Selain dari penertiban kedalam, dengan datangnya Bank Dunia, team demi team mau tidak mau harus diadakan pergaulan dengan orang-orang Bank dunia ini, yang pada dasarnya menuntut adanya kesadaran berbiaya dan beranggaran.

Loan Agreement pada dasarnya mengandung beberapa kesepakatan, yang merupakan satu bahagian dengan Laporan dari team yang mengadakan penilaian. Dalam laporan itu ada usul-usul mengenai jenis tanaman apa yang akan dikembangkan, perbaikan administrasi, rasionalisasi pegawai dan lain lain. Laporan itu merupakan rencana kerja jangka panjang dan bahagian bahagian tertentu harus tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja Tahunan.

Salah satu saran dari Bank Dunia adalah penggunaan public auditor. Selama ini, walaupun belum sempurna telah diadakan audit oleh Kantor Akuntan Negara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, Bank Dunia menganggap Akuntan Negara sebagai internal auditor, sedang public auditor yang dimaksud adalah independent auditor.

Pada awalnya pembukuan diaudit oleh dua akuntan, Akuntan Negara dan Akuntan Publik, dengan akibat ada tiga neraca, neraca yang disusun sendiri, neraca akuntan negara dan neraca akuntan independen. Seyogyanya neraca haruslah disesuatkan atau direkonsialisasi dengan neraca akuntan, namun akuntan yang mana? Akhirnya dicapal kesepakatan akuntan publik dianggap sebagai pelaksana akuntan negara.

Bank Dunia meminta selain dari kesadaran beranggaran tahunan, juga harus punya anggaran atau rencana jangka menengah dan panjang. Sebagai alat untuk mengadakan rencana jangka panjang ini adalah perhitungan discounted values.

Ada tiga kesukaran yang saya alami.

Pertama, dibangku kuliah saya belum mengenal perhitungan discounted values itu. Mungkin yang mempelajarinya adalah jurusan akuntan.

Kedua, pada waktu itu tempat untuk bertanya juga belum ada, baru kemudian orang dari departemen lebih dahulu mempelajarinya dan dari merekalah saya belajar tentang discounted values itu.

Ketiga, perhitungannya adalah manual.

Pada waktu itu budidaya utama PNP V adalah Karet dengan life cycle 30 tahun, sehingga perhitungan diadakan untuk setiap tahun. Belum lagi kesulitan dalam menyusun berbagai asumsi, misalnya mengenai perkembangan, produksi, biaya produksi dan perkembangan harga.

Pada waktu itu calculator baru saja diperkenalkan dan tehnik perhitungan sebagai Microsoft Excel seperti sekarang belum sampai. Komputer juga baru masuk ke pasar dan yang punya waktu itu adalah Pertamina, dan kami kepala-kepala bahagian Pembiayaan waktu itu sengaja datang melihatnya ke Pangkalan Berandan.

Saya hanya 4 tahun di PNP V, kemudian dipindahkan ke PNP II/Sawit Seberang menjabat Pimpinan Komersil dan Umum, dan kemudian setelah berganti bentuk menjad PerseroanTerbatas Perkebunan (PTP II) nama jabatannya juga berubah menjadi Direkttr Komersiel dan Umum.

PNP II adalah PNP yang hancur-hancuran, baik di bidang produksi dan dengan sendirinya juga dibidang keuangan. Sewaktu didirikan pada tahun 1968, Direktur Utamanya adalah Kaligis, mantan direktur PPN Karet II yang berkedudukan di Tanjung Morawa Setelah PNP II didirikan kantor Direksi ditunjuk di Sei Sikambing, namun atas agreement antara Kaligis dan dengan Dirut PNP III yang ditunjuk berkantor di Tanjung Morawa diadakan pertukaran dibawah tangan. Kemudian setelah Kaligis meninggal, digantikan oleh M.D. Nasution, namun beliau mengundurkan diri dan digantikan oleh L.M.Siahaan

Saya dipindahkan dari Tanjung Morawa dan bekerja dibawah beliau. Ada hal yang menggembirakan bagi saya selama 7 tahun bekerja di PNP II/SWS. Sama dengan PNP V, PNP V juga mengalami kapitaal inteering yang hebat. Demikian jeleknya keadaan keuangan sehingga rekanan dibayar sesudah berbulan-bulan. Harga seolah-olah terserah pada rekanan, asalkan bersedia dibayar kapan-kapan.

Produksi telah terjual selama setahun sedang produksi belum ada. Pemeliharaan tanaman sangat terlantar. Moralitas kerja dan semangat kerja karyawan sangat rendah dia hanya berani mengatakan bahwa ia adalah karyawan PNP tanpa menyebutkan nomornya. Jadi ada hubungan antara terjadinya kapitaal inteering dengan “moralitas inteering”.

Untuk mengatasi kapitaal inteering ini, Pemerintah menunjuk Bank Asia sebagai partner dalam menangani masalah keuangan PNP II. Setelah mengadakan studi yang biasanya dilaksanakan oleh berlapis lapis team, dalam tahap pertama kredit dikhususkan untuk perkebunan kelapa sawn di kebun Sawit Seberang. Dalam perjanjian kredit, dimint kebun Sawit Seberang agar dijadikan PNP tersendiri, menjadi PNP Sawit Seberang namun Direksinya tetap direksi yang lama tanpa gaji khusus. Gabungan dua PNP itu dinamakan PNP II/Sawit Seberang.

Setelah penyaluran kredit pada PNP Sawit Seberang ini berhasil, dalam perundingan berikutnya diberikan juga kredit untuk PNP II. Kemudian kedua PNP itu digabung kembali dalam PTP II. Dengan bantuan kredit ini, perusahaan seolah-olah hidup kembali. Untuk para asisten diadakan “kreasi”, mereka dapat speda motor yang dicicil secara bulanan dan pada waktu yang sama mereka diberikan tunjangan pengangkutan sebesar cicilan speda motor, sehingga speda motor itu jadi gratis

Untuk afideeling diadakan perlombaan, afdeeling yang menonjol dalam pemelihaam dan produksi diberikan hadiah TV, belakangan ditingkatkan dengan pemberian genset. Pada saat keadaan keuangan perusahaan membaik, diberikan juga untuk para Administrator mobil sedan secara kredit, dengan tujuan sederhana, biarkan para nyonya Adm yang berkepentingan pada baiknya jalan di kebun, sehingga mereka mendesak suaminya untuk merawat jalan-jalan dengan baik.

Para asisten mula, “ditertibkan” sepatu tidak boleh lagi sembarangan. Upaya penyebaran kesadaran berbiaya dan kesadaran berproduksi diadakan melalui pembinaan dalam rapat-rapat. Perbaikan pelaporan dengan introduksi system yang dinamakan system SGV, digunakan sebagai sarana pendidikan dan upgrading.

PNP II mewarisi semangat pengembangan, adanya kebun Tritura yang merupakan kebun baru (TB) yang dimulai sejak zaman Aneka Tanaman II. Pengembangan kebun ini dilanjutkan, bahkan ditambah dengan pembukaan kebun-kebun lain, di daerah Langkat. Pengembangan ini dimungkinkan dengan adanya kredit dari Bank Asia. Disini juga saya terlibat dalam penyusunan long term planning, namun berkat latihan yang diperoleh dalam menghadapi Bank Duna di PNP V, pekerjaan ini dapat saya laksanakan. Pembinaan tenaga staf diadakan melalui briefing dalam rapat-rapat.

Dengan adanya perluasan areal dan adanya personalia yang pensiun, diperlukan tenaga staf baru.Tenaga ini diambil dari dua sumber, sumber dalam dan sumber luar perusahaan. Sumber dari dalam diambil dari para mandor melalui seleksi yang ketat. Sumber dari luar diambil dari para sarjana, juga melalui seleksi yang ketat. Mereka ini dilatih beberapa bulan, di kelas dan di lapangan. Kemudian diterima sebagai “calon staf” dan sesudah setahun baru diangkat sebagai staf definitive. Dari kader-kader ini ada juga yang mencapai Direktur Utama.

Dalam bidang tanaman, saya punya pengalaman. Waktu itu saya berkunjung ke areal, dan melihat pertumbuhan TBM yang berbeda, ada areal yang lebih baik dibandingkan dengan yang disebelahnya.Waktu saya tanya mengapa demikian, sang Adm mengatakan. hal itu terjadi karena perbedaan tahun tanam, tahun tanaman yang lebih muda diberikan dosis yang lebih tinggi. Saya tanya, kalau yang lebih tua diberikan dosis yang sama apa juga pertumbuhannya akan lebih bagus, dijawab ya. Saya tanya kalau begitu mengapa pupuknya tidak ditambah, katanya sesuai dengan petunjuk Balai Penelitian.

Sejak itu diadakan perubahan yang drastis dalam pemupukan, tidak lagi ditentukan oleh rekomendasi Balai, namun selama tanah dan tanaman masih menerima, tambah saja pupuknya. Kemudian hal yang sama dijalankan juga di bidang tanaman menghasilkan. justru kalau produksi naik, pupuk harus ditambah, dengan pemikiran yang sederhana, kalau produksi naik, pasti hara yang diambil dari tanah juga, bertambah, dan harus “diisi” lebih banyak lagi. Malah pada awalnya PTP II tidak mengenai assisted pollination, dengan pemikiran yang sederhana produksi bisa turun karena banyak bunga yang gugur dan bunga gugur karena pohon kurang gizi. Kalau gizinya ditambah melalui penambahan dosis pemupukan past, produksinya tinggi.

Dalam waktu 5 tahun, moralitas karyawan berubah total dari mengaku sebagai karyawan PTP II menjadi bangga, apalagi “ranking” diantara PTP di Sumut yang tadinya di nomor paling rendah telah meningkat ke nomor yang hampir di puncak. Juga pengalaman yang tidak bisa dilupakan adalah dalam rehabilitasi paberik pengolahan kelapa sawit di Sawit Seberang. Paberik satu-satunya yang dipunyal PTP II. Karena itu tidak ada afternatif lain selain mengadakan rehabilitasi sambil paberik terus berjalan, dan dalam saat yang gawat terpaksa mengolahkan ke paberik tetangga.

Setelah selesai diadakan evaluasi, dan ternyata biaya rehabilitasi lebih besar dan pada mendirikan paberik baru. Kemudian pengalaman ini saya gunakan menghadapi masalah di PTP X, yang hanya punya satu paberik yaitu paberik Bekri. Pengalaman paberik Sawit Seberang itu hampir berulang, dan saya memutuskan mendirikan paberik baru, yaitu paberik Rejosari, yang walaupun terlambat sekarang paberik telah berdiri.

Pada tahun 1983, setelah tiga tahun menjadi Pimpinan Pelaksana Komersil yang berarti sesudah sepuluh tahun menjabat Direktur Komersil dan Umum, saya dipindahkan ke PTP X di Bandar Lampung.

Pindah ke Bandar Lampung ini membawa beberapa perubahan.

Pertama, perubahan posisi kedudukan dari posisi kedua menjadi posisi pertama
Kedua perbedaan perusahaan dan permasalahan yang dihadapinya.

Mengenai yang pertama, yang lebih dahulu saya lakukan adalah “mengobati” perlakuan yang saya selama ini, terutama dalam masalah perencanaan keuangan. Untuk itu saya menetapkan Direktur Komersil mengurus masalah keuangan termasuk menandatangi cheque yang selama ini menjadi “hak prerogatif” Direktur Utama. Untuk itu sekali sebulan Direktur Komersil membuat rencana pembayaran.

Direktur Komersil punya rekening sendiri. Kebutuhan keuangan itu didrop dari rekening Dirut kedalam rekening Dirkom. Penerimaan keuangan masih tetap masuk rekening Dirut. Ternyata kebijaksanaan ini tidak diterima dengan baik, dianggap membatasi wewenang Dirkom, sehingga dilaksanakan separoh hati.

Kedua, perbedaaan perusahaan.

PTP X mempunyai perkebunan di dua propinsi, Lampung dan Sumatera Selatan. Di Lampung yang dominan adalah tanaman karet, sedangkan kelapa sawit hanya satu kebun dengan satu paberik. Kemudian ada kebijaksanaan dari Dirut yang lama, mengkonversikan karet ke kelapa sawit, walaupun alamnya tidak mendukung, Lampung sekali dalam lima tahun mempunyai musim kemarau panjang yang menurunkan produksi sampai 50%. Juga pada masa Dirut yang lama, bukan yang langsung saya gantikan ada penanaman kelapa hibrida, bahkan produksinya dijadikan insentif untuk keluarga berencana, sedangkan pembayarannya sangat tidak teratur. Ada juga kebun cengkeh beberapa ratus Ha Ada lagi usaha penanaman kopi, namun dilarang oleh Dirjen Perkebunan, serahkan kopi kepada rakyat.

Ada lagi warisan kebun dari PTP dari Jawa, yang menanam tembakau. Penanaman tembakau di Lampung adalah Jawaban atas kekurangan tanah di Jawa, sehingga diputuskan mencari tanah di luar Jawa. Mereka memilih Lampung, dan ternyata memang tanahnya tidak cocok. Kemudian mereka menanaminya dengan kelapa sawit, dimana PTP X bertindak sebagai konsultan, kemudian meningkat menjadi management kontrak dan terakhir perkebunan itu diserahkan kepada PTP X.

Di Sumatera Selatan tanamannya juga karet, namun telah mulai dibuka tanaman kelapa sawit. Penanaman kelapa sawit ini termasuk paberiknya, didasarkan pada long term planning, dengan pola pembiayaan yang bersumber dari tiga instansi, Pemerintah RI, Bank Dunia dan Dana PTP sendiri. Saya menjumpai kenyataan, dibandingkan dengan PNPVII, penerimaan PTP X adalah 1/3 dari PNPVII sedang beban investasinya 3X lipat.

Timbullah masalah keuangan yang sangat berat, pola pembiayaan tiga sumber yang berantakan karena dana sendiri tidak seperti yang direncanakan. Dampaknya proyek Sumatera Selatan di Betung, punya paberik yang sudah jadi namun produksi tanaman tidak cukup karena arealnya sendiri belum ditanami karena kekurangn dana.

Di Lampung timbul masalah perkebunan yang diserahkan dari PTP lain dengan beban hutang yang juga dengan sendirinya dialihkan pada PTP X. Tanaman kelapa sawit yang merupakan konversi telah berbuah namun kapasitas paberik kurang dengan akibat di paberik diadakan tambal Sulam. Keputusan yang saya ambit adalah mengajukan permohonan kredit baru, terutama untuk mendirikan paberik kelapa sawit di Lampung dan mengusahakan adanya “capacity balance” antara paberik dan tanaman di Sumatera Selatan.

Saya terobsessi pada pengalaman di PTP II, yang dalam tempo lima tahun kedudukannya bisa diangkat dari PTP yang keadaan keuangannya morat-marit menjadi perusahaan yang sehat.

Saya melihat ada tiga kekuatan yang dipunyai PTP X, tanah untuk perluasan yang masih cukup, tenaga kerja yang berlimpah-limpah, komunikasi darat yang relatif baik dengan adanya jalan-jalan dan jaringan kereta api. Sayangnya saya tidak berpikir sama sekali mengenai posisi saya, saya tidak pernah terpikir bahwa di dalam dan di luar perusahaan ada satu banyak orang yang tidak senang atau yang ingin kedudukan saya. Baru tiga bulan saya menjabat sudah terasa ada perlawanan dari “musuh-musuh” Yang paling fatal adalah ketidakserasian antara Menteri Pertanian dan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras, mantan boss saya di Sungai Karang, dengan akibat semua “anak buah”nya harus digusur dan saya termasuk salah seorang yang dikategorikan sebagai anak buah itu.

Segala insinuasi diadakan dengan menggunakan orang luar dan orang dalam, dan akhirnya saya dipromosikan jadi tenaga pengajar di LPP Yogyakarta. Saya sama sekali tidak mengadakan perlawanan karena bagaimanapun saya pasti kalah. Saya mempunyai pengalaman yang “paling manis”, selama bekerja saya belum pernah membayar satu senpun untuk jabatan, dan akibatnya saya tidak menggunakan sedikitpun perhatian untuk memagari jabatan saya, misalnya dengan mendekati diri pada orang yang berkuasa.

Bagi yang membaca pengalaman ini, saya anjurkan ingatlah kembali kepada rumus manajemen yang anehnya selalu saya tekankan pada mahasiswa saya bahwa “semua orang bisa dan harus dipercaya dan tidak dipercaya sekaligus”.

Saya kurang atau sama sekali tidak memberikan perhatian pada sisi kedua bahwa orang itu harus tidak dipercaya, sehingga terhadap orang yang demikian kita harus berupaya mengadakan pembentengan diri.

Periode di perkebunan berakhir pada usia 52 tahun dan saya beralih pada bidang pendidikan. Suatu hal yang harus diperhatikan adalah masalah “post power syndrome”. Seorang psikolog dari LPP dalam wawancara dengan saya pada saat saya bertugas di Bandar Lampung menanyakan, bagaimana sika saya pada saat saya mengatakan punya power, sedang saya merasa tidak punya power, karena yang punya power adalah Allah; kita hanya menerimanya sebagai amanah atau pinjaman, dan kalau pinjaman itu ditarik kembali, tidak ada masalah.

Pengalaman saya megnatakan bahwa hal diatas mudah mengatakannya, namun sikap berpikir sulit untuk merubahnya. Yang paling utama adalah kenyataan bahwa kita tidak lagi decision maker, tidak lagi orang yang ditunggu untuk memutuskan sesuatu. Dampak adalah timbulnya perlawanan, dan perlawanan itu adalah dalam bentuk retreat, terutama dalam keadaan dimana orang membuat keputusan yang menyangkut dirinya yang bertentangan dengna keputusan yang akan diambilnya, bila ia yang yang mengambil keputusan.

Sejak Januari 1985 sampai Maret 1987 saya bertugas di LPP Yogyakarta. Di LPP ada dua kategori tenaga pengajar, tenaga tetap dan tenaga yang diperbantukan. Tenaga tidak tetap terdiri dari mantan anggota Direksi yang tergusur dari perusahaan. Kasarnya mereka hanya menumpang di LPP, dan gajinya masih berasal dari perusahaan terakhir dimana ia bertugas.

Berbagai tunjangan dihapuskan, bahkan tantieme yang tadinya diterima, dihapuskan. Sayangnya penghapusan ini sangat tergantung pada selera menteri, buktinya sesuai menteri tukar tantieme dibayarkan kembali. Saya merasakan adanya ketidakadilan itu, namun saya harus menerima kenyataan.

Yang kedua, saya mencoba memahami Kejawen atau dalam istilah menterengnya Javanologi. Dizaman Menteri PDKnya dijabat DR Daoed Yoesoef, secara resmi Departemen P&K mendirikan Lembaga Javanologi di Yogyakarta, namun setelah menterinya bertukar lembaga itu diciutkan. Para pendirinya mendirikan lembaga tandingan, sehingga di Yogya ada dua lembaga, lembaga Pemerintahan dan lembaga swasta.

Ada satu keyakinan diantara para pengikutnya bahwa Kejawen itu sudah sempurna sehingga apabila yang sempurna ingin disempurnakan, berarti merusak. Para pengikutnya mengatakan bahwa yang dinamakan sinkretisasi itu mozaik yang membuatnya tambah sempurna Islam Jawa pada dasarnya adalah Islam yang telah membentuk mozaik itu. Islam Jawa lebih banyak percaya pada Wali dan sangat menjunjung Kalijaga. Sesuatu praktis keagamaan sering sering dikatakan sebagai berasal dari Kalijaga.

Tidak heran apabila Muhammadiyah mulai dikembangkan di Jawa dengan temsentral TBC, Takhyul, Bid’ah dan Churafat, jelas akan bertabrakan dengan Islam Jawa. Hal inilah yang berkembang terus yang membawa perpecahan dalam Masyumi, bahkan hampir meledak dalam masa pemerintahan Gus Dur, dimana ada ulama NU yang menghalalkan darah Amien Rais, manta Ketua Muhammadiyah dan Ketua PAN.

Jauh kebelakang, kita juga menjumpai hal ini dalam polemic kebudayaan pada tahun tiga puluhan.

Pada tahun 1987 saya pindah dari Yogya dan bertugas di LPP kampus Medan. Berbeda dengan di Yogya ada beberapa kegiatan yang saya lakukan.