Thursday, October 3, 2013

BAGIAN V "BUKTI KEPADA GENERASI PENERUS" OTOBIOGRAFI Drs HS PULUNGAN


 ______________________________________
Bab Ketiga



KESAN DAN PESAN



Apa Kata Mereka ?
______________________________________



Pensiunan Yang Tetap Berkarya

B. Ar. Poeloengan, SH.


Tulisan ini saya terima pada saat penulis telah berpulang ke Rahmatullah.  Saya sangat menghargai biografi Drs. H.S Pulungan yang berjudul “Bukti Kepada Generasi Penerus”

Tulisan ini berisikan perjalanan hidup penulis dimulai dari masa kanak-kanak, masa sekolah hingga sampai kepada masa pensiunan.

Sebagai seorang pensiunan PNP, dia masih dapat berkarya menulis biografi di beberapa tulisan pengalamannya sebagai Direktur di PNP VII yang berkedudukan di Bah Jambi dan berlanjut sebagai Direktur Utama PTP X di Bandar Lampung.

Sejak penulis berdomisili di Medan, kami selalu berhubungan akrab dan penulis aktif bersosialisasi di kemasyarakatan. Penulis semasa hidupnya selain berkarya dan perkebunan juga menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi serta berperan aktif dalam Pendidikan Tinggi Purna Sarjana Agama Islam Dirasatul ‘Ulya (DU) Medan.

Akhirnya kata saya ucapkan selamat atas penerbitan ini semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya terutama generasi penerus.

Medan, 23 Juli 2002

______________________________________

Sahabatku Seorang Intelektual  
Yang Kritis dan Objektif
Prof. DR. HS Hadibroto, MBA, Ak


Almarhum, Drs. S. Pulungan merupakan salah seorang sahabat saya yang saya kenal baik, karena pada waktu saya memimpin Fakultas Ekonomi USU, untuk priode 1965-1967 almarhum merupakan Pembantu Dekan I saya.

Biografi ini merupakan cermin kepribadian almarhum dan patut dibaca oleh generasi muda. Gaya bahasanya menarik dan dari apa yang ditulis semasa kanak-kanak sampai saat pensiun dapat diketahui antara lain sejarah Sumatera Utara wilayah Barat dan Taman Belanda, Jepang dan proklamasi kemerdekaan.

Almarhum merupakan seorang intelektual tulen, karena tercermin pada pengalaman almarhum semasa hidupnya. Pengalaman sebagai pendidik dan kehidupan dunia usaha beliau lalui. Sayang perkenalan almarhum dan saya secara hanya terbatas dari 1965-1967 sewaktu Almarhum menjabat Pembantu Dekan, karena beliau pindah pekerjaan di Perkebunan Negara. Namun sewaktu Almarhum sejak masa pensiun kembali ke Medan, saya masih Sering jumpa dengan Almarhum dan beliau sifatnya tidak berubah sebagai seorang intelektual yaitu kritis dan obyektif dalam menilai sesuatu.

Dari apa yang tertulis dalam biograf, ini tercermin sifat beliau. Semoga Allah SVVT menerima arwah Almarhum sesuai dengan aural bakti Almarhum.

Medan, 26 Juli 2002

______________________________________
Sarjana Pertama Keluarga Besar Baginda Mara Hasayangan, Yang Pendiam Tapi Serius
Mora Batu Horpak

Dengan mengawali puji syukur kehadirat Allah SWT serta beriringan salam keharibaan Rasulullah Muhammad SAW, kami dari barisan Mora Batuhorpak yang diwakili keluarga besar Baginda Mara Hasayangan dengan ini menyambut gembira atas penerbitan biografi dari ipar/ anak boru kami yang tercinta Drs. HS. Pulungan Gelar “Soetan Kalimoeda”.

Menurut pendapat kami, penulisan/ penerbitan suatu biografi seorang hamba Allah adalah sangat penting artinya sebagai wujud nyata yang digambarkan untuk diteladani oleh generasi dalam menyikapi dan sekaligus menghadapi hidup dan kehidupan di dunia. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, izinkanlah kami untuk menyampaikan kesan dan pesan secara sinkat terhadap lintasan sejarah dari ipar/ anak boru kami ini, sebagai suatu pengakuan yang ikhlas dan apa adanya.

Kesan-kesan

Pada awal perkenalannya almarhum ipar kami dengan iboto, kami (Hj. Nur Intan Siregar) sebagaimana dikalangan remaja disebut “masa pacaran” kuranglah menjadi perhatian kami, oleh sebab itu pada bahagian kesan-kesan ini kami mulai sejak beliau menikah, tepatnya 15 Desember 1958.

Oleh karenanya dalam kurun waktu ± 44 tahun, ipar kami ini telah menjadi bagian dari Keluarga Besar Baginda Mara Hasayangan (Alm Ayahanda Kami). Dalam kurun waktu hampir separuh abad ini, ipar kami ini banyak memberikan perannya terhadap keluarga besar kami, terutama dalam upaya memberikan bimbingan dan pandangannya untuk memajukan adik-adiknya. (Catatan : Beliau adalah sarjana yang Pertama di keluarga kami). Disamping itu juga komunikasi antara kami sebagai mara dengan beliau tidak memiliki batas sebagaimana lazimnya diadat “Batak”, tetapi lebih bersifat seperti abang, adik sekandung.

Memang diantara keluarga iaki-laki pihak mora yang sering berkomunikasi adalah si bungsu kami (Drs. H.Ansyari Siregar. MM), karena mungkin disamping kedudukannya sebagai yang bungsu di keluargnya juga usianya tidak terpaut jauh dengan anak tertua ipar kami ini, sehingga dapat diartikan seperti komunikasi dengan “anak sendiri”. Namun, dapat kami sampaikan bahwa walaupun beliau termasuk dan orang pendiam dan serius, tetapi dalam waktu tertentu, beliau juga selalu berguyon dan berkelakar, dan yang kami ketahui bahwa beliau ini jarang marah, tetapi selalu disalurkannya berupa sindiran-sindiran, atau sama sekali beliau akan menghindar dan suatu kancah perdebatan.

Disamping itu juga, beliau sangat senang berdiskusi, baik itu dibidang ilmiah, agama, adat dan politik dan dalam setup berdiskusi beliau tidak pemah menonjolkan pengetahuan dan pengalamannya, artinya bantahan-bantahannya dilakukan atas counter argument saja, atau tidak “ngotot~ngototan”, dan seperti inilah yang selalu dilakukan beliau kepada keluarga apabila diadakan musyawarah keluarga, sehingga terkesan bagi kami bahwa beliau ini termasuk dalam golongan demokrat mumi.

Pesan – pesan

Setelah kami melihat, mendengar dan mendalami track record dan ipar kami ini, tentunya tibalah kami pada suatu kesimpulan berupa pesan-pesan kepada diri kami, terutama sebagai generasi penerus sebagai berikut

1. Ditinjau dari segi perjuangan hidup, sudah selayaknya kita mencontoh perjalanan hidup (track record) Alm. Drs. HS Pulungan, yang tergambar begitu gigih dalam menghadapi tantangan dan rintangan dengan dasar keyakinan dan percaya diri yang tinggi.

2. Dari segi kemasyarakatan/sosial, bahwa beliau mempunyai sahabat dan kolega yang luas baik ditingkat atas, menengah dan bawah dari berbagai etnis dan agama.

3. Dari segi berorang tua dan mertua, beliau adalah “pendidik sejati” yang ± 100 % dari hidupnya diabadikannya untuk menimba ilmu dan sekaligus mentransfernya/ menyalurkannya, baik pada lembaga-lembaga pendidikan formal maupun yang non formal.

Oleh karena itu sudah sepantasnya kami berpesan kepada generasi penerus dan ipar kami yang tercinta Almarhum Drs HS Pulungan untuk dapat mengambil butir-butir perjuangannya, serta mengamalkannya terutama segenap pomparan ayah kami Almarhum Baginda Mara Hasayangan.

Untuk semua ini akhirnya kami dari barisan Mora Batu Horpak dan seluruh pomparan Baginda Mara Hasayangan memohonnya kepada Allah SWT, semoga ipar kami ditempatkan yang sebaik-baiknya dan segalanya dosa-dosanya diampuni.

Amien ya Rabbal Alamien.

Medan, 31 Mei 2002



Ia Yang Suka Melihat Dalam Dimensi Yang Luas

Drs. LM Siahaan
Direktur Utama PT Perkebunan II Tanjung Morawa (1971-1980)
Sekarang Direktur Utama PT. PP Serdang Tengah,  Komisaris Utama PT. Permas

Beberapa bulan setelah Alm. Drs. S. Pulungan meninggal dunia, saya diberi kesempatan untuk membaca konsep biografi yang rupanya sudah disiapkan oleh beliau sendiri secara teratur semasa hidupnya. Saya sangat terkesan membacanya, susunan kata-kata serta gaya bahasanya yang khas, menyebabkan saya seolah-olah mendengar beliau langsung berkata-kata sekaligus menjadi mengingatkan kepada saya akan tahun-tahun serta pengalaman-pengalaman kami bekerja bersama-sama di PT Perkebunan II - Tanjung Morawa.

Saya memimpin PNP II dan PNP Sawit Seberang yang kemudian hari digabung dan dinamai PT Perkebunan II – Tanjung Morawa, dari sejak tahun 1970 s.d tahun 1980. Sdr Drs. S. Pulungan dipindahkan dari kesatuan lain ke PT Perkebunan II ini pada tahun 1973 s.d. 1980, sebagai Direktur Komersil dan Keuangan, menggantikan Direktur Komersil yang lama, karena pada waktu itu saya mendesak Menteri Pertanian di Jakarta, agar kepada PT. Perkebunan II ditempatkan seorang Direktur Komersil dan Keuangan yang cerdas dan kompoten.

Adapun PNP II/PNP Sawit Seberang tersebut, pada tahun 1971 berada dalam keadaan insolvable sekali, dengan memiliki posisi Hutang jangka Pendek dan Hutang jangka Panjang yang besar sekali, serta keadaan manajemen keuangan yang sangat lemah.

Jalan ataupun strategi manajemen yang akan ditempuh untuk mengatasi secara cepat adalah mengadakan investasi secara besar-besaran dengan program membuka perkebunan-perkebunan kelapa sawit baru dan PKS-PKS baru, seraya memperbaiki dan merehabilitasi perkebunan-Perkebunan karet dan kelapa sawit yang sudah ada, sehingga dalam jangka pendek dan jangka menengah tercipta turn over tahunan yang besar dengan profitabilitas perusahaan yang tinggi, sehingga semua hutang-hutang yang sangat besar itu dapat dilunas dengan mudah.

PT Perkebunan II sama sekali tidak mempunyai dana. Pada waktu itu kredit untuk dana investasi dalam jumiah-jumlah besar ada tersedia dari Asian Development Bank, Manila dan Bank Indonesia Cq Bank Bumi Daya, asalkan proyek tersebut didasari dengan feasibilty study yang terpercaya dan sehat.

Dan benar sekali : tidak sampat 6 tahun kemudian, keuangan PT Perkebunan II - Tanjung Morawa menjadi sangat liquid dan setiap tahun seterusnya memiliki R/E (Retained Earnings) yang melimpah.

Posisi ini memungkinkan PT Perkebunan menangkap peluang ekspansi (perivasan) perkebunan- perkebunan ke Propinsi Riau pada dan mulai tahun 1978 dengan kekuatan dana sendiri, yattu Kebun Tandun - Kompleks di Kabupaten Kampar, Bangkinang.

Sdr. Drs. S. Pulungan sebagai Direktur Komersil/ Keuangan PT Perkebunan II, memegang peranan yang jitu dan Sdr. Syarifuddin Siregar (Alm) memegang peranan Direktur Produksi yang pas sekali.

Prestasi yang dicapai oleh PT Perkebunan II sebagaimana disebutkan diatas, by any standard adalah suatu kineria yang phenomenal.

Suatu kekhasan Alm Drs. S. Pulungan adalah banyak melihat sesuatu hal didalam dimensi yang luas. Ucapan-ucapan ataupun kata-kata pengarahannya sering memerlukan penerjemahan dan menggelitik untuk maju bagi bawahannya

Biografi beliau ini, akan merupakan bukti yang bagus sekali kepada generasi penerusnya. mengenal akan perjuangan hidup, kerja, cara dan gaya berpikir dan kakeknya Sdr. Drs. S. Pulungan Alm, yang juga adalah teman sekerja yang saya kagumi.

Medan, 16 Mei 2002

Wassalam,


Sobatku, pacar si Boru Regar Yang suka mandiri

Drs. H. AFIF LUMBAN TOBING

Saya dan almarhurn Sorimuda Pulungan (selanjutnya saya singkat dengan 2 huruf yaitu SP), sama-sama lahir di Sibolga, dan dibantu oleh Bidan yang sama, bemama Siti Anggur. Tetapi saya lebih tua dua tahun dari SP.

Pada zaman penjajahan Belanda kami belum berkenalan, karena saya masuk HIS Pemerintah dan SP masuk HIS Partikulir. Pada zaman pendudukan Jepang, semua sekolah dilebur menjadi Sekolah Rakyat (SR), kami juga belum ada kontak. Baru pada tahun 1946 SP masuk di kelas satu SMP Negeri Sibolga, sedangkan saya bersama teman-teman sudah duduk di kelas dua (Prof BN Nainggolan, Asharuddin Situmorang, Prof. Munaf Hamid Regar MA, Prof. Dr. Sosro Byna Parapat, Nilam Sari Koto, Syarif Badrudin, Ratna Kencana, Syarifuddin Tanjung, dll). Oleh karena SP masuk SMP Sibolga tahun kedua, mungkin SP tidak mengetahui sejarah berdirinya SMP Sibolga tersebut, sehingga perlu saya luruskan sedikit.

Setelah Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang disusul Proklamasi Kemerdekaan, keadaan di Sibolga tidak menentu. Pemerintah militer Jepang sudah non Republik belum terbentuk. Di Sibolga berkumpul Pemuda. Pemuda putus sekolah akibat Perang Dunia II, yaitu mantan pelajar Kanri Gakko dan Sihan Gakko Sipoholon yang sudah dibubarkan ; mantan pelajar Tju Gakko yang sudah, lebih dahulu dibubarkan Jepang dan pemuda-pemuda yang tidak melanjutkan sekolah di zaman Jepang. Oleh karena bangsa telah merdeka, maka kami merasa perlu melanjutkan kembali pendidikan sebagai bagsa yang rnerdeka dari penjajahan. Melalui bekas tokoh pemerintahan pada waktu kami mendesak agar didirikan SMP di Sibolga.

Pada bulan September 1945 berdirilah SMP yang pertama di Sibolga yang dipimpin oleh W. Sihombing, dibantu oleh M. Siahaan (masih hidup di Jakarta, berumur 81 Tahun) sebagai guru ilmu pasti, olah raga dan menyanyi. Pada waktu itu kami mendapat beras 10 Kg. Beras itu bukanlah pembujuk kami agar mau SMP tersebut, tetapi karena situasi kami pada waktu itu masih kekurangan pangan sebagai akibat perang yang baru selesai itu.  Jadi berdirinya SMP yang pertama di Sibolga bukanlah atas inisiatif Dr. FL. Tobing karena pada waktu itu beliau masih berkedudukan di Tarutung dan belum lagi diangkat sebagai Residen Tapanuli.

Selama di SMP dan kemudian berubah menjadi IMS dimasa pendudukan Belanda tahun 1949, walaupun satu sekolah, saya belum berteman dekat dengan SP Baru sesudah kami sama-sama melanjutkan pendidikan di SMA Negeri yang pertama di Medan, hubungan kami sudah mulai akrab, karena kawan sekampung dirantau orang. Namun demikian karena SP lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di Perpustakaan umum, kami hanya bisa bertemu di sekolah saja.

Setelah lulus SMA tahun 1953, kami berpisah karena SP melanjutkan pendidikannya ; semula ke Bogor, namun kemudian berubah ke Yogyakarta dan saya ke Jakarta. Sejak itu kami berpisah selama empat tahun.

Pada tahun 1956 saya lulus dari Akademi dilingkungan Departemen Kesehatan dan masuk bekerja sebagai pegawai negeri di Depatemen Kesehatan. Baru tiga bulan bekerja saya dikirim ke luar negeri (India. Philipines dan Thailand) selama setahun.

Sekembali di tanah air pada tahun 1957, saya langsung ditempatkan di Banjarmasin yang daerah kerjanya meliputi Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah. Dari Jakarta menuju Banjarmasin, saya menumpang kapal milik KPM yang terakhir, sebelum ditarik kembali oleh belanda, bersama Mayor Cokropranolo, Komandan CPM yang kemudian menjadi mahasiswa SP di Akademi Perniagaan Kalimantan.

Di Banjarmasin saya ditempatkan di Hotel Metro dan mendapat single room, yang oleh SP disebut “”Kamar Dinas” karena bukan rumah dinas. Beberapa bulan kemudian SP yang juga sudah lulus sarjana muda, ditugaskan menjadi guru ke Banjarmasin dan tinggal di hotel yang sama (Hotel Metro), berjarak hanya 4 kamar saja. Saya merasa senang sekali karena dirantau orang itu mempunyai teman sama-sama berasal dari Sibolga yang juga teman sekolah di SMP Sibolga dan SMA di Medan.

Pada hari Sabtu dan Minggu sore biasanya kami bersama penghuni hotel lainnya yang masih single, sering mengobrol di depan hotel sambil melirik-lirik gadis Banjar pulang sekolah atau jalan-jalan naik sepeda melintasi hotel tersebut. Karena merasa sama-sama miskin, maka beraninya hanya melirik saja. Maklumlah kebanyakan orang Banjar itu kaya, sedangkan kami hanya pegawai negeri pendatang, gajinya tidak cukup untuk hidup layak sebagai sarjana waktu itu.

Karena SP adalah seorang dosen dan guru dibeberapa sekolah, maka dunianya adalah dari hotel ke sekolah dan kembali ke hotel. Sikapnya yang tertutup, lebih suka berkurung di kamar dan membaca, laksana kehidupan sorang “Kyai” di pesantren. Hal itu sangat berbeda dengan saya sebagai orang lapangan, yang bergerak kesana kemari, mencari teman dan kenalan sebanyak mungkin di rantau orang. Saya juga berusaha mendapatkan satu keluarga Banjar sebagai sanak saudara dekat, sebagai tempat berbagi rasa dan pelindung, pengganti orang tua dirantau orang.

Sampai sekarang keluarga Banjar itu tetap sebagai keluarga saya, walaupun waktu sudah berjalan 44 tahun dan yang masih hidup adalah anak-anaknya. Karena wilayah kerja saya yang sangat luas, saya lebih banyak berada di lapangan dan menginap di kota-kota kabupaten, bahkan kadang-kadang seminggu berada di motor boat, menyusun Sungai Barito yang lebar dan panjang itu.

Praktis Hotel Metro bagi saya hanya tempat merebahkan badan dimalam hari, jika tidak turne alias turu kono turu kene. Jika SP sangat membatasi dirinnya dalam pergaulan dengan gadis-gadis Banjarmasin, sebaliknya saya malah berburu calon istri, mengingat umur sudah 27 tahun dan kebetulan tidak mempunyai simpanan pacar di Medan maupun di Jakarta. Beruntunglah saya dapat menemui seorang kenalan istimewa, sewaktu turne ke Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu Kepala SKP di kota Amuntai (+ 200 Km dan Banjarmasin), yang kemudian meningkat menjadi pacar selama satu setengah tahun dan menjadi istri yang setia sampai sekarang sudah berjalan 42 tahun.

Sewaktu SP menyatakan akan menikah dan teringat pada seorang gadis Boru Regar di Medan, saya bereaksi : “Bodoh amat cari istri jauh-jauh ke Medan, padahal disini gadis-gadis banyak yang cantik-cantik”. Apalagi sebagai guru SP setiap hari berada dilingkungan mahasiswi/pelajar yang manis-manis. Jawabnya, saya mau menikah dengan seorang gadis pacar saya Boru Regar, yang cantik dan molek, apalagi biasanya Boru Regar itu setia dan pandai mengendalikan. suaminya agar selalu berjalan dijalan yang lurus. Kalau saya kawin dengan gadis suku lain, nanti saya hanyut di kampung istri saya raja, sehingga lupa pada ibu dan saudara-saudara saya di Sibolga. Pendapat SP mengenai Boru Regar itu dapat saya pahami, karena sewaktu saya SMA di Medan, saya indekost dirumah keluarga Harahap di JI. Sei Kera yang istrinya adalah Boru Regar Pada waktu itu saya sekamar dengan Alm. Syarifuddin Harahap (Mantan Sekwilda Prop. Sumatera Utara). Kalau hari minggu kami berdua memotong rumput dan tanaman pagar, pastilah makan Siang kami sangat istimewa, apalagi ibu kost kami yang Boru Regar itu pintar masak dan tidak pelit pada kami.

Baru 6 bulan di Banjarmasin. SP pamit katanya mau menikah di Medan namun pelaksanaannya rupanya di Jakarta. Setelah menikah SP memboyong pengantinnya kembali ke Banjarmasin dan tetap tinggal di kamar dinas Hotel Metro. Setelah menikah itu, SP penampilannya tampak lebih bersih dan rapi, lebih bersemangat dan lebih bahagia dari sebelumnya. Maklumlah sudah ada yang mengurus dan menyiapkan makannya yang bergizi. Kadang-kadang saya merasa iri juga, karena saya masih harus mencuci dan mensetrika pakaian sendiri, makan rantang ataupun di restoran tetap sendirian, Mau mengikuti jejak SP saya juga belum berani, karena belum siap apalagi maklumlah pegawai negeri baru kerja, belum punya apa-apa. Rupanya dalam urusan berumah tangga itu, SP lebih berani dari saya.

Pada bulan September 1959 saya mendapat telegram dari Departemen Kesehatan akan dipindahkan ke Surabaya. Belum lagi berangkat datang telegram susulan dialihkan ke Jakarta dengan instruksi mempersiapkan diri berangkat ke Amerika. Oleh karena takut pacarnya direbut orang jika tinggal di Amuntai, diberanikanlah untuk segera menikah pada tanggal 7 Desember 1959 di Jember, karena calon istri memang berasal dari Jember (Jawa Timur).

Setelah saya meninggalkan Banjarmasin, saya kehilangan kontak dengan keluarga SP karena seminggu setelah saya menikah sayapun berangkat ke Jamaica, Mexico dan USA selama 6 bulan dan istri tinggal sendirian di Mess Departemen Kesehatan, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta (sekarang gedung LEMHANAS). Belakangan saya mendapat berita SP sudah mendapat anak pertama yang lahir di RS Ulin, Banjarmasin dan kemudian kembali melanjutkan kuliahnya di Gajah Mada Yogyakarta.

Pada tahun 1962 saya dengan SP telah lulus jadi Sarjana Ekonomi sedangkan saya baru tahun 1964 lulus jadi Sarjana Administrasi Negara, karena kerja sambil kuliah. Kemudian saya mendapat berita bahwa SP akan pulang ke Sibolga untuk mengajar di Universitas Tapanuli. Saya merasa senang sekali mendengarnya karena mengetahuinya secara langsung bagaimana Dr FL Tobing selaku Menteri Penerangan memperjuangkan berdirinya Universitas Tapanuli tersebut pada sidang kabinet Ali Sastroamidjojo, dibantu oleh Wakil Perdana Menteri H. Zainul Arifin yang berasal dari Barus. Setelah itu lama saya tidak mendengar berita mengenai keluarga SP ini, karena saya asyik keliling nusantara dan dunia, sedangkan SP asyik pula mengurus satu kebun ke kebun lain milik negara.

Mungkin juga waktu itu barangkali gayanya sudah seperti tuan kebun Belanda, namun buruhnya bukan lagi seperti zaman “Kontrak”, karena kita sudah merdeka. Baru pada tahun 1989 saya dan Alm. Hamid Panggabean bertemu SP di Jakarta untuk mendengar pendapatnya mengenai rencana PT Putera Tapian Nauli untuk membuka kebun coklat di Kuala, BatangToru.

Almarhum SP ini menurut pendapatnya saya adalah orang pintar, karena banyak belajar, membaca dan berfikir, sehingga tugas jabatannya dapat dengan cepat dikuasainya. SP juga tidak mau ketinggalan dalam dunia high technology; sehingga beliau juga belajar komputer dan internet. Namun seorang pintar apalagi jujur hidupnya, Sering kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan orang-orang yang KKN dan munafik. Beliau adalah seorang yang berprinsip kuat, suka mandiri sehingga tidak memerlukan backing, sebagaimana yang lazim di Medan, terutama dilingkungan perusahaan negara perkebunan karena banyak duitnya, tentu banyak pula persaingan baik secara jujur maupun tidak jujur. Dalam kondisi seperti itu kadang-kadang kita memerlukan juga bantuan orang lain agar kita tidak jadi korban ketidakadilan.

Almarhum SP dalam perjalanan hidupnya apalagi semasa meneruskan kuliahnya diYogyakarta setelah berkeluarga, cukup memprihatinkan. Namun berkat kesabaran dan dukungan dari sang istri Boru Regar yang berprinsip “Swargo Nunut, Neroko Katut”, kesulitan hidup itu dapat dilalui dengan tabah dan iman yang kuat. Gelombang demi gelombang hambatan yang dialami dalam menapak karirnya, selalu dihadapi dengan tenang dan kepala dingin namun tidak segan-segan mengadakan introspeksi pada kelemahan dirinya sendiri. Sikap ini telah memberi kekuatan pada dirinya sendiri. Sikap ini telah memberi kekuatan pada dirinya dalam menghadapi tantangan berikutnya yang akan datang. Tuhan Maha Adil, setelah mengalami keprihatinan masa sekolah, masih sempat merasakan gaji besar selama bekerja di perusahaan perkebunan yang dapat memberi ketenangan hidupnya setelah pensiun, dibandingkan kami pegawai negeri sipil yang terus menerus prihatin sampai liang kubur.

Pada tahun 1997 ketika singgah di Medan, saya sempatkan berkunjung kerumah SP dan mendapat berita bahwa teman kami Prof. BN Nainggolan sudah bolak-balik berobat Singapura, karena penyakitnya sudah berat. Kami bersama-sama sempat berkunjung kerumah Prof. BN Nainggolan. Rupanya itulah pertemuan saya yang terakhir, karena beberapa bulan kemudian Prof. BN Nainggolan meninggal dunia di Medan.

Pada tanggal 02 Desember 2001 dalam perialanan pulang dari Sibolga menuju Jakarta, saya mengunjungi beberapa teman di Medan yaitu Rachmad Hutagalung, Prof. Aman Nasution, Dr Syamsinar dan SP Satupun mereka tidak ada yang berada dirumah. Dengan SP saya perlu bertemu karena ingin mendengar pendapatnya mengenai rencana saya membuka Community College di Sibolga. Selama ini, kami di Jakarta selalu meminta pendapat dan saran-sarannya, jika ada persoalan pendidikan atau masalah ekonomi yang menyangkut pembangunan di Sibolga. Karena telah beberapa tahun tidak bertemu, saya tidak mengetahui bahwa SP pernah dirawat di RSK Dharmais di Jakarta. Oleh puterinya saya diberitahu SP sedang dirawat di ICU RS Gleneagles Medan. Mendengar ICU kita tentu sudah paham bahwa penyakitnya cukup gawat. Saya datang menjenguk dan masuk pelan-pelan keruangan ICU karena takut terjadi suara berisik. Ternyata setelah melihat saya masuk, langsung ditanya dengan suara yang agak keras bagaimana keadaan pembangunan Sibolga dan Tapanuli Tengah sekarang. Memang SP ini sangat menaruh perhatian terhadap pembangunan kampung halaman kami itu. SP telah beberapa kali menulis pandangannya mengenai permasalahan pembangunan di Sibolga/Tapanuli Tengah, ditinjau dari kacamata seorang Sarjana Ekonomi. Rupanya kunjungan ini merupakan perpisahan kami dimana saya masih dapat berkomunikasi dengan beliau. Kemudian setelah SP dipindahkan ke RS Siloam Gleneagles Karawaci di Kabupaten Tangerang (+ 30 Km dari Jakarta), saya datang menjenguknya, karena menurut pendapat saya penyakitnya itu sangat berat dan tipis harapan sembuh. Ketika saya beserta istri datang pagi, kami tidak bisa lagi bertemu, karena sedang dipersiapkan untuk dioperasi. Ketika sore kami datang lagi, ternyata tidak jadi dioperasikan dan dimasukkan lagi keruangan ICU dalam keadaan setengah koma. Beberapa hari kemudian saya mendapat telepon dart Nur Intan Boru Regar, memberitahukan bahwa besok pagi SP akan dibawa pulang ke Medan dan pagi-pagi jam lima akan dibawa ke Cengkareng Airport Ketika sepuluh hari kemudian saya menelpon ke Medan mau menanyakan bagaimana keadaan SP sekarang, barulah saya ketahui bahwa sebenarnya sudah meninggal malam (Jam 21.53 WIB) menjelang berangkat ke airport. Rupanya tidak ada yang teringat menyampaikan berita itu pada saya di Jakarta.

Selamat jalan sahabatku Sorimuda Pulungan

Semoga Allah SWT menerima seagala amal dan ibadahnya

Serta diampuni dosa-dosanya

Dan diberi tempat yang baik disisi-Nya

Amien

Ketika berita duka cita ini saya sampaikan pada adik saya nomor 3 bernama Helmi L.Tobing yang pernah bekerja pada Badan Khusus PNP Departemen Pertanian, dia bercerita tentang sekelumit pengalamannya dengan SP

Pada suatu waktu saya ditugaskan mengadakan klarifikasi mengenai suatu persoalan dikantor PNPV  Pada saat itu SP adalah Pejabat Kepala Bagian Pembiayaan.Waktu saya menuju kantornya, SP sudah melihat saya, sedangkan saya sendiri belum mengenalnya. Ketika bersalam perkenalan, saya langsung diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan bersambung.

Apa kabar abangmu si Afif (penulis), apa masih di Jakarta atau sudah keluar negeri, bagaimana kabar Sulhani (Adik penulis yang nomor 1), sudah berapa anaknya dan bagaimana suaminya Thamrin Lubis sekarang (temannya dulu sama-sama di Fakultas Ekonomi Gajah Mada); dimana abangmu Ir. Syafif (Adik penulis nomor 2), apa masih di Bandung atau di Jakarta.

Mendengar pertanyaan beruntun itu saya kaget dan gugup menjawabnya. Dalam hati saya berkata, rupanya Pak Pulungan ini kenal betul dengan Abang dan Kakak saya, karena beliau adalah orang Sibolga lama rupanya. Akhirnya saya merasa sungkan untuk mengajukan pertanyaan sebagaimana maksud kedatangan semula dan akhirnya kami lebih banyak bicara mengenai Sibolga kampung halaman kami.

Demikianlah kenangan saya pada almarhum Sorimuda Pulungan, seorang teman sekolah dan sahabat yang baik hati. Salam saya bagi Ibu Nur Intan Boru Regar beserta putera-puterinya, semoga senantiasa mendapat perlindungan Tuhan.**

Sibolga, 15 Met 2002


Pembaca Buku Ilmiah Yang saya kagumi

Asyari Darus

Abang Pulungan yang saya kenal, orangnya agak pendiam dan tidak banyak bicara serta selalu mendengarkan pembicaraan orang lain dan sekali-kali member komentar.

Semasa kuliah di Fakultas Ekonomi Gadjah Mada di Yogyakarta tahun 1954 s.d 1958 saya pernah ditunjuk sebagai kurir pengantar pos antara Abang dengan Kak Intan di Medan. Rupanya beliau ingin megenalkan saya dengan pacarnya dan sewaktu saya kembali vakansi dititipkannya Surat untuk Kak Intan di Medan dan Kak Intan tak lupa pula menitipkan suratnya untuk Si Abang di Yogyakarta. Dengan demikian hubungan mesra antara Si Abang dengan Kak Intan telah lama saya ketahui dan kalau tidak salah di tahun 1955/1956.

Pada masa belajar, beliau orangnya sangat tekun dan mempelajari semua itu dengan teliti dan medalam. Beliau tidak puas dengan terjemahan diktat-diktat dart Penebitan Gadjah Mada, akan tetapi langsung membaca dari buku aslinya Beliau pernah menuniukkan buku pengantar Ilmu Hukum (Introduction To Law) karangan Paton. Bagi saya buku tersebut sangat sulit dimengerti karena bahasanya yang ilmiah, dan bahasa Inggris saya sangatlah minim, karena saya baru belajar dan kursus bahasa Inggris. Oleh sebab itu saya memang kagum dengan beliau dengan kemampuan bahasa ilmiahnya. Bahkan beliau membaca buku-buku asli yang berbahasa Belanda dan Jerman. Menurut hemat saya, Abang Pulungan kurang tepat bertugas di perusahaan seperti Pertekstilan TD Pardede dan PT Perkebunan, dan beliau lebih baik berkiprah di perguruan tinggi dengan gelar Prof. Dr karena kemampuan ilmiahnya dan kutu buku.

Setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta tahun 1961 saya menjadi pegawai negeri Dep. Perdagangan. Setelah melanglang buana di dalam dan luar negeri, saya bertemu kembali dengan Si Abang di Medan pada tahun 1975 s.d. 1978. Pada masa tersebut saya ditempatkan di Medan sebagai Kepala Perwakilan Dep. Perdagangan Sumatera Utara. Kami bermain golf bersama di Tanjung Morawa, dimana beliau pada masa tersebut menjadi Direktur Komersil PTP II. Maklurnlah sebagai Direktur, para pengurus Golf Club dan kedi-kedi sangat takut dan segan dengan Bapak Direktur, hal ini merupakan warisan Belanda yang pada masa lalu dikenal dengan Hama Tuan Besar dan hal ini diteruskan pada masa Republik. Sedangkan jadi Mandor Besar saja sudah luar biasa kuasannya.

Pernah saya datang berkunjung ke rumah Si Abang untuk main golf pada sore dan Si Abang sedang tidur siang. Para Satpam tidak ada yang berani membangunkannya. Saya mengetok-ngetok jendela rumah Tuan Besar dan hal ini sangat mengherankan Satpam tersebut. Kok ada yang berani mengetok rumah dengan suara panggilan yang keras.

Kalau dibandingkan rumah dinas Direktur Komersil dengan rumah dinas Kepala Kanwil Dep. Perdagangan seperti siang dengan malam. Rumah Kakanwil Dep. Perdagangan di Medan Baru hanya seluas 200 M2 dengan luas bangunan 150 M2 , rumah tersebut lebih kecil dari rumah mandor di PTP. Beliau merasa heran melihat rumah dinas. Kakanwil Dep. Perdagangan kok kecil betul.

Setelah saya pindah ke Jakarta tahun 1975 s.d. 1982 dan ditempatkan di London, Inggris tahun 1982 s.d. 1986 sebagai Atase Perdagangan, hubungan kami sudah tidak: saling mengunjungi lagi.

Saya kembali dari London di tahun 1986, rupanya jenjang kepangkatan saya sama dengan Abang Pulungan yang lebih dahulu menjadi Dirut PTP Saya diangkat menjadi Dirut PT (P) Kawasan Berikat Nusantara dan Dirut PT (P) Pengelola Kawasan Berikat Indonesia yang bergerak dibidang industri dan perdagangan Kawasan Bebas Bea Masuk (Free Trade Zone) dari tahun 1986 s.d. 1995 dan pada akhirnya dipensiunkan dan menetap di Jakarta sehingga pada masa tersebut jarang sekali bertemu, karena Bang Pulungan telah pindah ke Lampung,Yogya dan Medan.

Demikian kenang-kenangan manis selama mengenal beliau. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang baik disisi Nya.

Medan, Juli 2002


“Mora Nami”
Intelektual Yang Taat Beragama

Prof. Ismet Danial Nasution, drg, Ph D

Tanggal 27 Desember 2001, ± pukul 20.00 WIB. Istri saya, Haslinda Z.Tamin. drg, M.Kes, menerima kabar melalui telepon, bahwa mamak Drs. H. Sorimuda Pulungan telah berpulang kerahmatullah di Jakarta. Berita dukacita ini disampaikan pada saya. Innalillahi Wainna Illaihi Rojiun!

Berita dukacita ini menghanyutkan saya kepada pembicaraan kami terakhir dengan beliau di Rumah Sakit Herna beberapa minggu lalu sewaktu beliau dirawat dirumah sakit tersebut. Saya, istri saya, beliau dan nantulang Hj. Nurintan Siregar terlibat dalam pembicaraan sampai agak larut malam, tidak saja tentang kondisi kesehatan beliau tetapi seperti biasanya beliau dengan penuh semangat menyampaikan pemikiran-pemikinnnya tentang kehidupan ini. Ingatan saya terus berlanjut kepada beberapa peristiwa ketika saya mulai mengenal beliau secara dekat. Beliau adalah orang intelektual yang taat beragama, rajin membaca. peduli kepada keluarga dan lingkungannya. Sewaktu saya baru kembali menyelesaikan pendidikan lanjutan saya di School Of Dentistry Hiroshima University Japan ; pada bulan April 1987, dalam acara dirumah orang tua saya (Drs H Rivai Manap Nasution/Hj. Maskiah Pulungan), beliau mengkhususkan memanggil saya dan bertanya tentang Pendidikan yang saya alami di Jepang. Kemudian sebagai orang tua yang berfungsi sebagai “Mora”, beliau menyampaikan bebarapa nasihat kepada saya untuk dapat mensosialisasikan ilmu dan ngalaman yang saya peroleh untuk kepentingan pendidikan, keluarga, bangsa dan Negara. Sejak saat itu beliau selalu menyampaikan pandangan-pandangannya kepada saya, khususnya sebagai “Anak Boru” demi kematangan pribadi saya.

Peristiwa demi penstiwa inilah yang membuat saya merasa bertambah dekat dengan beliau namun sebenarnya belum banyak hal yang saya ketahui tentang beliau berpulang setelah beliau berpulang kerahmatullah dan setelah saya mendapat kesempatan membaca riwayat hidup beliau melalui buku “Bukti Kepada Generasl Penerus”. saya semakin menyadari betapa banyak lagi hal yang dapat dipetik dan beliau.

Masa kanak-kanak beliau dengan segala perjuangannya, khususnya dalam menuntut ilmu sampai kepada mahasiswa di Yogyakarta, merupakan cerminan jiwa yang terus membara dalam kecintaan beliau untuk meluaskan wawasan pemikiran dan menempa kepribadiannya melalui pendidikan. Pengalaman beliau dalam bekerja diberbagai bidang, dimulai dengan bekerja di Banjarmasin sebagai Assisten Dosen di Akademi Perniagaan Kalimantan menunjukkan betapa cintanya beliau kepada pendidikan. Proses ini terus berlanjut walaupun beliau bekerja di berbagai perusahaan, namun kegiatan dalam pendidikan terus digeluti beliau baik di USU. UISU dan lain-lainnya. Bagi keluarga hal ini sangat dirasakan, oleh karena itu dalam setiap pertemuan keluarga. yang selalu diadakan dirumah beliau ataupun dalam pertemuan keluarga lainnya, beliau selalu tampil tidak hanya dengan perkataan tetapi dengan contoh pertemuan yang bersifat pendidikan terhadap keluarga, baik didalam kedudukan beliau sebagai Mora. Kahanggi maupun Anak Boru. Tulisan-tulisan beliau yang antara lain dapat dibaca didalam biografi beliau ini, mencerminkan betapa luasnya penguasaan ilmu beliau dalam beberapa aspek kehidupan dan bila dibaca lebih jauh kesemua tulian tersebut tidak terlepas dan misi pendidikan.

Akhirnya, do'a kita semua sangat diharapkan khususnya anak-anak beliau. Insya Allah beliau akan mendapat tempat yang baik disisi Allah SWT Amin.