______________________________________
Bab Ketiga
Bab Ketiga
KESAN
DAN PESAN
Apa
Kata Mereka ?
______________________________________
______________________________________
Pensiunan Yang Tetap
Berkarya
Tulisan ini saya terima pada saat penulis telah berpulang ke Rahmatullah. Saya sangat menghargai biografi Drs. H.S Pulungan yang berjudul “Bukti Kepada Generasi Penerus”
Tulisan ini berisikan perjalanan hidup penulis
dimulai dari masa kanak-kanak, masa sekolah hingga sampai kepada masa
pensiunan.
Sebagai seorang pensiunan PNP, dia masih dapat
berkarya menulis biografi di beberapa tulisan pengalamannya sebagai Direktur di
PNP VII yang berkedudukan di Bah Jambi dan berlanjut sebagai Direktur Utama PTP X di Bandar Lampung.
Sejak penulis berdomisili di Medan, kami
selalu berhubungan akrab dan penulis aktif bersosialisasi di
kemasyarakatan. Penulis semasa hidupnya selain berkarya dan perkebunan juga
menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi serta berperan aktif dalam
Pendidikan Tinggi Purna Sarjana Agama Islam Dirasatul ‘Ulya (DU) Medan.
Akhirnya kata saya ucapkan selamat atas
penerbitan ini semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya terutama generasi
penerus.
Medan, 23 Juli 2002
______________________________________
Sahabatku
Seorang Intelektual
Yang Kritis dan Objektif
Yang Kritis dan Objektif
Almarhum, Drs. S. Pulungan merupakan salah
seorang sahabat saya yang saya kenal baik, karena pada waktu saya memimpin
Fakultas Ekonomi USU, untuk priode 1965-1967 almarhum merupakan Pembantu Dekan
I saya.
Biografi ini merupakan cermin kepribadian
almarhum dan patut dibaca oleh generasi muda. Gaya bahasanya menarik dan dari
apa yang ditulis semasa kanak-kanak sampai saat pensiun dapat diketahui antara
lain sejarah Sumatera Utara wilayah Barat dan Taman Belanda, Jepang dan
proklamasi kemerdekaan.
Almarhum merupakan seorang intelektual tulen,
karena tercermin pada pengalaman almarhum semasa hidupnya. Pengalaman sebagai
pendidik dan kehidupan dunia usaha beliau lalui. Sayang perkenalan almarhum dan
saya secara hanya terbatas dari 1965-1967 sewaktu Almarhum menjabat Pembantu
Dekan, karena beliau pindah pekerjaan di Perkebunan Negara. Namun sewaktu
Almarhum sejak masa pensiun kembali ke Medan, saya masih Sering jumpa dengan
Almarhum dan beliau sifatnya tidak berubah sebagai seorang intelektual yaitu
kritis dan obyektif dalam menilai sesuatu.
Dari apa yang tertulis dalam biograf, ini
tercermin sifat beliau. Semoga Allah SVVT menerima arwah Almarhum sesuai dengan
aural bakti Almarhum.
Medan, 26 Juli 2002
______________________________________
Sarjana
Pertama Keluarga Besar Baginda Mara Hasayangan, Yang Pendiam Tapi Serius
Mora
Batu Horpak
Dengan mengawali puji syukur kehadirat Allah SWT
serta beriringan salam keharibaan Rasulullah Muhammad SAW, kami dari barisan
Mora Batuhorpak yang diwakili keluarga besar Baginda Mara Hasayangan dengan ini
menyambut gembira atas penerbitan biografi dari ipar/ anak boru kami yang
tercinta Drs. HS. Pulungan Gelar “Soetan Kalimoeda”.
Menurut pendapat kami, penulisan/ penerbitan
suatu biografi seorang hamba Allah adalah sangat penting artinya sebagai wujud
nyata yang digambarkan untuk diteladani oleh generasi dalam menyikapi dan
sekaligus menghadapi hidup dan kehidupan di dunia. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini, izinkanlah kami untuk menyampaikan kesan dan pesan secara
sinkat terhadap lintasan sejarah dari ipar/ anak boru kami ini, sebagai suatu
pengakuan yang ikhlas dan apa adanya.
Kesan-kesan
Pada awal perkenalannya almarhum ipar kami
dengan iboto, kami (Hj. Nur Intan Siregar) sebagaimana dikalangan remaja disebut “masa pacaran”
kuranglah menjadi perhatian kami, oleh sebab itu pada bahagian kesan-kesan ini
kami mulai sejak beliau menikah, tepatnya 15 Desember 1958.
Oleh karenanya dalam kurun waktu ± 44 tahun,
ipar kami ini telah menjadi bagian dari Keluarga Besar Baginda Mara Hasayangan
(Alm Ayahanda Kami). Dalam kurun waktu hampir separuh abad ini, ipar kami ini
banyak memberikan perannya terhadap keluarga besar kami, terutama dalam upaya
memberikan bimbingan dan pandangannya untuk memajukan adik-adiknya. (Catatan :
Beliau adalah sarjana yang Pertama di keluarga kami). Disamping itu juga
komunikasi antara kami sebagai mara dengan beliau tidak memiliki batas
sebagaimana lazimnya diadat “Batak”, tetapi lebih bersifat seperti abang, adik
sekandung.
Memang diantara keluarga iaki-laki pihak mora
yang sering berkomunikasi adalah si bungsu kami (Drs. H.Ansyari Siregar. MM),
karena mungkin disamping kedudukannya sebagai yang bungsu di keluargnya juga
usianya tidak terpaut jauh dengan anak tertua ipar kami ini, sehingga dapat
diartikan seperti komunikasi dengan “anak sendiri”. Namun, dapat kami sampaikan
bahwa walaupun beliau termasuk dan orang pendiam dan serius, tetapi dalam waktu
tertentu, beliau juga selalu berguyon dan berkelakar, dan yang kami ketahui
bahwa beliau ini jarang marah, tetapi selalu disalurkannya berupa
sindiran-sindiran, atau sama sekali beliau akan menghindar dan suatu kancah
perdebatan.
Disamping itu juga, beliau sangat senang
berdiskusi, baik itu dibidang ilmiah, agama, adat dan politik dan dalam setup
berdiskusi beliau tidak pemah menonjolkan pengetahuan dan pengalamannya,
artinya bantahan-bantahannya dilakukan atas counter argument saja, atau tidak
“ngotot~ngototan”, dan seperti inilah yang selalu dilakukan beliau kepada
keluarga apabila diadakan musyawarah keluarga, sehingga terkesan bagi kami
bahwa beliau ini termasuk dalam golongan demokrat mumi.
Pesan – pesan
Setelah kami melihat, mendengar dan mendalami
track record dan ipar kami ini, tentunya tibalah kami pada suatu kesimpulan
berupa pesan-pesan kepada diri kami, terutama sebagai generasi penerus sebagai
berikut
1. Ditinjau dari segi perjuangan hidup, sudah
selayaknya kita mencontoh perjalanan hidup (track record) Alm. Drs. HS
Pulungan, yang tergambar begitu gigih dalam menghadapi tantangan dan rintangan
dengan dasar keyakinan dan percaya diri yang tinggi.
2. Dari segi kemasyarakatan/sosial, bahwa
beliau mempunyai sahabat dan kolega yang luas baik ditingkat atas, menengah dan
bawah dari berbagai etnis dan agama.
3. Dari segi berorang tua dan mertua, beliau
adalah “pendidik sejati” yang ± 100 % dari hidupnya diabadikannya untuk menimba
ilmu dan sekaligus mentransfernya/ menyalurkannya, baik pada lembaga-lembaga
pendidikan formal maupun yang non formal.
Oleh karena itu sudah sepantasnya kami
berpesan kepada generasi penerus dan ipar kami yang tercinta Almarhum Drs HS
Pulungan untuk dapat mengambil butir-butir perjuangannya, serta mengamalkannya
terutama segenap pomparan ayah kami Almarhum Baginda Mara Hasayangan.
Untuk semua ini akhirnya kami dari barisan
Mora Batu Horpak dan seluruh pomparan Baginda Mara Hasayangan memohonnya kepada
Allah SWT, semoga ipar kami ditempatkan yang sebaik-baiknya dan segalanya
dosa-dosanya diampuni.
Amien ya Rabbal Alamien.
Medan, 31 Mei 2002
Ia Yang
Suka Melihat Dalam Dimensi Yang Luas
Drs. LM
Siahaan
Direktur Utama PT Perkebunan II
Tanjung Morawa (1971-1980)
Sekarang
Direktur Utama PT. PP Serdang Tengah,
Komisaris Utama PT.
Permas
Beberapa bulan setelah Alm. Drs. S. Pulungan
meninggal dunia, saya diberi kesempatan untuk membaca konsep biografi yang
rupanya sudah disiapkan oleh beliau sendiri secara teratur semasa hidupnya.
Saya sangat terkesan membacanya, susunan kata-kata serta gaya bahasanya yang
khas, menyebabkan saya seolah-olah mendengar beliau langsung berkata-kata
sekaligus menjadi mengingatkan kepada saya akan tahun-tahun serta
pengalaman-pengalaman kami bekerja bersama-sama di PT Perkebunan II - Tanjung
Morawa.
Saya memimpin PNP II dan PNP Sawit Seberang
yang kemudian hari digabung dan dinamai PT Perkebunan II – Tanjung Morawa, dari
sejak tahun 1970 s.d tahun 1980. Sdr Drs. S. Pulungan dipindahkan dari kesatuan lain ke
PT Perkebunan II ini pada tahun 1973 s.d. 1980, sebagai Direktur Komersil dan
Keuangan, menggantikan Direktur Komersil yang lama, karena pada waktu itu saya
mendesak Menteri Pertanian di Jakarta, agar kepada PT. Perkebunan II
ditempatkan seorang Direktur Komersil dan Keuangan yang cerdas dan kompoten.
Adapun PNP II/PNP Sawit Seberang tersebut,
pada tahun 1971 berada dalam keadaan insolvable sekali, dengan memiliki posisi
Hutang jangka Pendek dan Hutang jangka Panjang yang besar sekali, serta keadaan
manajemen keuangan yang sangat lemah.
Jalan ataupun strategi manajemen yang akan
ditempuh untuk mengatasi secara cepat adalah mengadakan investasi secara
besar-besaran dengan program membuka perkebunan-perkebunan kelapa sawit baru
dan PKS-PKS baru, seraya memperbaiki dan merehabilitasi perkebunan-Perkebunan
karet dan kelapa sawit yang sudah ada, sehingga dalam jangka pendek dan jangka
menengah tercipta turn over tahunan yang besar dengan profitabilitas perusahaan
yang tinggi, sehingga semua hutang-hutang yang sangat besar itu dapat dilunas
dengan mudah.
PT Perkebunan II sama sekali tidak mempunyai
dana. Pada waktu itu kredit untuk dana investasi dalam jumiah-jumlah besar ada
tersedia dari Asian Development Bank, Manila dan Bank Indonesia Cq Bank Bumi
Daya, asalkan proyek tersebut didasari dengan feasibilty study yang terpercaya
dan sehat.
Dan benar sekali : tidak sampat 6 tahun
kemudian, keuangan PT Perkebunan II - Tanjung Morawa menjadi sangat liquid dan
setiap tahun seterusnya memiliki R/E (Retained Earnings) yang melimpah.
Posisi ini memungkinkan PT Perkebunan
menangkap peluang ekspansi (perivasan) perkebunan- perkebunan ke Propinsi Riau
pada dan mulai tahun 1978 dengan kekuatan dana sendiri, yattu Kebun Tandun - Kompleks
di Kabupaten Kampar, Bangkinang.
Sdr. Drs. S. Pulungan sebagai Direktur
Komersil/ Keuangan PT Perkebunan II, memegang peranan yang jitu dan Sdr.
Syarifuddin Siregar (Alm) memegang peranan Direktur Produksi yang pas sekali.
Prestasi yang dicapai oleh PT Perkebunan II
sebagaimana disebutkan diatas, by any standard adalah suatu kineria yang
phenomenal.
Suatu kekhasan Alm Drs. S. Pulungan adalah
banyak melihat sesuatu hal didalam dimensi yang luas. Ucapan-ucapan ataupun
kata-kata pengarahannya sering memerlukan penerjemahan dan menggelitik untuk
maju bagi bawahannya
Biografi beliau ini, akan merupakan bukti yang
bagus sekali kepada generasi penerusnya. mengenal akan perjuangan hidup, kerja,
cara dan gaya berpikir dan kakeknya Sdr. Drs. S. Pulungan Alm, yang juga
adalah teman sekerja yang saya kagumi.
Medan, 16 Mei 2002
Wassalam,
Sobatku,
pacar si Boru Regar Yang suka mandiri
Drs. H.
AFIF LUMBAN TOBING
Saya dan almarhurn Sorimuda Pulungan
(selanjutnya saya singkat dengan 2 huruf yaitu SP), sama-sama lahir di Sibolga,
dan dibantu oleh Bidan yang sama, bemama Siti Anggur. Tetapi saya lebih tua dua tahun dari SP.
Pada zaman penjajahan Belanda kami belum
berkenalan, karena saya masuk HIS Pemerintah dan SP masuk HIS Partikulir. Pada
zaman pendudukan Jepang, semua sekolah dilebur menjadi Sekolah Rakyat (SR),
kami juga belum ada kontak. Baru pada tahun 1946 SP masuk di kelas satu SMP
Negeri Sibolga, sedangkan saya bersama teman-teman sudah duduk di kelas dua
(Prof BN Nainggolan, Asharuddin Situmorang, Prof. Munaf Hamid Regar MA, Prof.
Dr. Sosro Byna Parapat, Nilam Sari Koto, Syarif Badrudin, Ratna Kencana,
Syarifuddin Tanjung, dll). Oleh karena SP masuk SMP Sibolga tahun kedua,
mungkin SP tidak mengetahui sejarah berdirinya SMP Sibolga tersebut, sehingga
perlu saya luruskan sedikit.
Setelah Perang Dunia II berakhir dengan
kekalahan Jepang disusul Proklamasi Kemerdekaan, keadaan di Sibolga tidak
menentu. Pemerintah militer Jepang sudah non Republik belum terbentuk. Di
Sibolga berkumpul Pemuda. Pemuda putus sekolah akibat Perang Dunia II, yaitu mantan pelajar Kanri Gakko
dan Sihan Gakko Sipoholon yang sudah dibubarkan ; mantan pelajar Tju Gakko yang
sudah, lebih dahulu dibubarkan Jepang dan pemuda-pemuda yang tidak melanjutkan
sekolah di zaman Jepang. Oleh karena bangsa telah merdeka, maka kami merasa
perlu melanjutkan kembali pendidikan sebagai bagsa yang rnerdeka dari
penjajahan. Melalui bekas tokoh pemerintahan pada waktu kami mendesak agar
didirikan SMP di Sibolga.
Pada bulan September 1945 berdirilah SMP yang
pertama di Sibolga yang dipimpin oleh W. Sihombing, dibantu oleh M. Siahaan
(masih hidup di Jakarta, berumur 81 Tahun) sebagai guru ilmu pasti, olah raga
dan menyanyi. Pada waktu itu kami mendapat beras 10 Kg. Beras itu bukanlah pembujuk kami agar mau SMP
tersebut, tetapi karena situasi kami pada waktu itu masih kekurangan pangan
sebagai akibat perang yang baru selesai itu. Jadi berdirinya SMP yang pertama di Sibolga bukanlah atas inisiatif Dr.
FL. Tobing karena pada waktu itu beliau masih berkedudukan di Tarutung dan
belum lagi diangkat sebagai Residen Tapanuli.
Selama di SMP dan kemudian berubah menjadi IMS
dimasa pendudukan Belanda tahun 1949, walaupun satu sekolah, saya belum
berteman dekat dengan SP Baru sesudah kami sama-sama melanjutkan pendidikan di
SMA Negeri yang pertama di Medan, hubungan kami sudah mulai akrab, karena kawan sekampung
dirantau orang. Namun demikian karena SP lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk membaca di Perpustakaan umum, kami hanya bisa bertemu di sekolah saja.
Setelah lulus SMA tahun 1953, kami berpisah
karena SP melanjutkan pendidikannya
; semula ke Bogor, namun kemudian berubah ke Yogyakarta
dan saya ke Jakarta. Sejak itu kami berpisah selama empat tahun.
Pada tahun 1956 saya lulus dari Akademi
dilingkungan Departemen Kesehatan dan masuk bekerja sebagai pegawai negeri di
Depatemen Kesehatan. Baru tiga bulan bekerja saya dikirim ke luar negeri
(India. Philipines dan Thailand) selama setahun.
Sekembali di tanah air pada tahun 1957, saya
langsung ditempatkan di Banjarmasin yang daerah kerjanya meliputi Propinsi
Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah. Dari Jakarta menuju
Banjarmasin, saya menumpang kapal milik KPM yang terakhir, sebelum ditarik
kembali oleh belanda, bersama Mayor Cokropranolo, Komandan CPM yang kemudian
menjadi mahasiswa SP di Akademi Perniagaan Kalimantan.
Di Banjarmasin saya ditempatkan di Hotel Metro
dan mendapat single room, yang oleh SP disebut “”Kamar Dinas” karena bukan
rumah dinas. Beberapa bulan kemudian SP yang juga sudah lulus sarjana muda,
ditugaskan menjadi guru ke Banjarmasin dan tinggal di hotel yang sama (Hotel
Metro), berjarak hanya 4 kamar saja. Saya merasa senang sekali karena dirantau
orang itu mempunyai teman sama-sama berasal dari Sibolga yang juga teman
sekolah di SMP Sibolga dan SMA di Medan.
Pada hari Sabtu dan Minggu sore biasanya kami
bersama penghuni hotel lainnya yang masih single, sering mengobrol di depan
hotel sambil melirik-lirik gadis Banjar pulang sekolah atau jalan-jalan naik
sepeda melintasi hotel tersebut. Karena merasa sama-sama miskin, maka beraninya
hanya melirik saja. Maklumlah kebanyakan orang Banjar itu kaya, sedangkan kami
hanya pegawai negeri pendatang, gajinya tidak cukup untuk hidup layak sebagai
sarjana waktu itu.
Karena SP adalah seorang dosen dan guru
dibeberapa sekolah, maka dunianya adalah dari hotel ke sekolah dan kembali ke
hotel. Sikapnya yang tertutup, lebih suka berkurung di kamar dan membaca,
laksana kehidupan sorang “Kyai” di pesantren. Hal itu sangat berbeda dengan
saya sebagai orang lapangan, yang bergerak kesana kemari, mencari teman dan kenalan
sebanyak mungkin di rantau orang. Saya juga berusaha mendapatkan satu keluarga
Banjar sebagai sanak saudara dekat, sebagai tempat berbagi rasa dan pelindung,
pengganti orang tua dirantau orang.
Sampai sekarang keluarga Banjar itu tetap
sebagai keluarga saya, walaupun waktu sudah berjalan 44 tahun dan yang masih
hidup adalah anak-anaknya. Karena wilayah kerja saya yang sangat luas, saya
lebih banyak berada di lapangan dan menginap di kota-kota kabupaten, bahkan
kadang-kadang seminggu berada di motor boat, menyusun Sungai Barito yang lebar dan
panjang itu.
Praktis Hotel Metro bagi saya hanya tempat
merebahkan badan dimalam hari, jika tidak turne alias turu kono turu kene. Jika
SP sangat membatasi dirinnya dalam pergaulan dengan gadis-gadis Banjarmasin, sebaliknya
saya malah berburu calon istri, mengingat umur sudah 27 tahun dan kebetulan
tidak mempunyai simpanan pacar di Medan maupun di Jakarta. Beruntunglah saya
dapat menemui seorang kenalan istimewa, sewaktu turne ke Kabupaten Hulu Sungai
Utara, yaitu Kepala SKP di kota Amuntai (+ 200 Km dan Banjarmasin), yang
kemudian meningkat menjadi pacar selama satu setengah tahun dan menjadi istri
yang setia sampai sekarang sudah berjalan 42 tahun.
Sewaktu SP menyatakan akan menikah dan teringat pada seorang gadis Boru
Regar di Medan, saya bereaksi : “Bodoh amat cari istri jauh-jauh ke Medan,
padahal disini gadis-gadis banyak yang cantik-cantik”. Apalagi sebagai guru SP
setiap hari berada dilingkungan mahasiswi/pelajar yang manis-manis. Jawabnya,
saya mau menikah dengan seorang gadis pacar saya Boru Regar, yang cantik dan
molek, apalagi biasanya Boru Regar itu setia dan pandai mengendalikan. suaminya
agar selalu berjalan dijalan yang lurus. Kalau saya kawin dengan gadis suku
lain, nanti saya hanyut di kampung istri saya raja, sehingga lupa pada ibu dan
saudara-saudara saya di Sibolga. Pendapat SP mengenai Boru Regar itu dapat saya
pahami, karena sewaktu saya SMA di Medan, saya indekost dirumah keluarga
Harahap di JI. Sei Kera yang istrinya adalah Boru Regar Pada waktu itu saya
sekamar dengan Alm. Syarifuddin Harahap (Mantan Sekwilda Prop. Sumatera Utara).
Kalau hari minggu kami berdua memotong rumput dan tanaman pagar, pastilah makan
Siang kami sangat istimewa, apalagi ibu kost kami yang Boru Regar itu pintar
masak dan tidak pelit pada kami.
Baru 6 bulan di Banjarmasin. SP pamit katanya
mau menikah di Medan namun pelaksanaannya rupanya di Jakarta. Setelah menikah
SP memboyong
pengantinnya kembali ke Banjarmasin dan tetap tinggal di kamar dinas Hotel
Metro. Setelah menikah itu, SP penampilannya tampak lebih bersih dan rapi,
lebih bersemangat dan lebih bahagia dari sebelumnya. Maklumlah sudah ada yang
mengurus dan menyiapkan makannya yang bergizi. Kadang-kadang saya merasa iri
juga, karena saya masih harus mencuci dan mensetrika pakaian sendiri, makan
rantang ataupun di restoran tetap sendirian, Mau mengikuti jejak SP saya juga
belum berani, karena belum siap apalagi maklumlah pegawai negeri baru kerja,
belum punya apa-apa. Rupanya dalam urusan berumah tangga itu, SP lebih berani
dari saya.
Pada bulan September 1959 saya mendapat
telegram dari Departemen Kesehatan akan dipindahkan ke Surabaya. Belum lagi
berangkat datang telegram susulan dialihkan ke Jakarta dengan instruksi
mempersiapkan diri berangkat ke Amerika. Oleh karena takut pacarnya direbut orang jika
tinggal di Amuntai, diberanikanlah untuk segera menikah pada tanggal 7 Desember
1959 di Jember, karena calon istri memang berasal dari Jember (Jawa Timur).
Setelah saya meninggalkan Banjarmasin, saya
kehilangan kontak dengan keluarga SP karena seminggu setelah saya menikah sayapun berangkat ke Jamaica,
Mexico dan USA selama 6 bulan dan istri tinggal sendirian di Mess Departemen
Kesehatan, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta (sekarang gedung LEMHANAS).
Belakangan saya mendapat berita SP sudah mendapat anak pertama yang lahir di RS
Ulin,
Banjarmasin dan kemudian kembali melanjutkan kuliahnya di Gajah Mada
Yogyakarta.
Pada tahun 1962 saya dengan SP telah lulus
jadi Sarjana Ekonomi sedangkan saya baru tahun 1964 lulus jadi Sarjana
Administrasi Negara, karena kerja sambil kuliah. Kemudian saya mendapat berita
bahwa SP akan pulang ke Sibolga untuk mengajar di Universitas Tapanuli. Saya
merasa senang sekali mendengarnya karena mengetahuinya secara langsung
bagaimana Dr FL Tobing selaku Menteri Penerangan memperjuangkan berdirinya
Universitas Tapanuli tersebut pada sidang kabinet Ali Sastroamidjojo, dibantu
oleh Wakil Perdana Menteri H. Zainul Arifin yang berasal dari Barus. Setelah
itu lama saya tidak mendengar berita mengenai keluarga SP ini, karena saya
asyik keliling nusantara dan dunia, sedangkan SP asyik pula mengurus satu kebun
ke kebun lain milik negara.
Mungkin juga waktu itu barangkali gayanya
sudah seperti tuan kebun Belanda, namun buruhnya bukan lagi seperti zaman “Kontrak”,
karena kita sudah merdeka. Baru pada tahun 1989 saya dan Alm. Hamid Panggabean
bertemu SP di Jakarta untuk mendengar pendapatnya mengenai rencana PT Putera
Tapian Nauli untuk membuka kebun coklat di Kuala, BatangToru.
Almarhum SP ini menurut pendapatnya saya
adalah orang pintar, karena banyak belajar, membaca dan berfikir, sehingga
tugas jabatannya dapat dengan cepat dikuasainya. SP juga tidak mau ketinggalan
dalam dunia high technology; sehingga beliau juga belajar komputer dan
internet. Namun seorang pintar apalagi jujur hidupnya, Sering kurang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan orang-orang yang KKN dan munafik. Beliau
adalah seorang yang berprinsip kuat, suka mandiri sehingga tidak memerlukan
backing, sebagaimana yang lazim di Medan, terutama dilingkungan perusahaan
negara perkebunan karena banyak duitnya, tentu banyak pula persaingan baik
secara jujur maupun tidak jujur. Dalam kondisi seperti itu kadang-kadang kita
memerlukan juga bantuan orang lain agar kita tidak jadi korban ketidakadilan.
Almarhum SP dalam perjalanan hidupnya apalagi
semasa meneruskan kuliahnya diYogyakarta setelah berkeluarga, cukup
memprihatinkan. Namun berkat kesabaran dan dukungan dari sang istri Boru Regar
yang berprinsip “Swargo Nunut, Neroko Katut”, kesulitan hidup itu dapat dilalui
dengan tabah dan iman yang kuat. Gelombang demi gelombang hambatan yang dialami
dalam menapak karirnya, selalu dihadapi dengan tenang dan kepala dingin namun
tidak segan-segan mengadakan introspeksi pada kelemahan dirinya sendiri. Sikap ini
telah memberi kekuatan pada dirinya sendiri. Sikap ini telah memberi kekuatan
pada dirinya dalam menghadapi tantangan berikutnya yang akan datang. Tuhan Maha
Adil, setelah mengalami keprihatinan masa sekolah, masih sempat merasakan gaji
besar selama bekerja di perusahaan perkebunan yang dapat memberi ketenangan
hidupnya setelah pensiun, dibandingkan kami pegawai negeri sipil yang terus
menerus prihatin sampai liang kubur.
Pada tahun 1997 ketika singgah di Medan, saya
sempatkan berkunjung kerumah SP dan mendapat berita bahwa teman kami Prof. BN
Nainggolan sudah bolak-balik berobat Singapura, karena penyakitnya sudah berat.
Kami bersama-sama sempat berkunjung kerumah Prof. BN Nainggolan. Rupanya itulah
pertemuan saya yang terakhir, karena beberapa bulan kemudian Prof. BN
Nainggolan meninggal dunia di Medan.
Pada tanggal 02 Desember 2001 dalam perialanan
pulang dari Sibolga menuju Jakarta, saya mengunjungi beberapa teman di Medan
yaitu Rachmad Hutagalung, Prof. Aman Nasution, Dr Syamsinar dan SP Satupun mereka
tidak ada yang berada dirumah. Dengan SP saya perlu bertemu karena ingin
mendengar pendapatnya mengenai rencana saya membuka Community College di
Sibolga. Selama ini, kami di Jakarta selalu meminta pendapat dan
saran-sarannya, jika ada persoalan pendidikan atau masalah ekonomi yang
menyangkut pembangunan di Sibolga. Karena telah beberapa tahun tidak bertemu,
saya tidak mengetahui bahwa SP pernah dirawat di RSK Dharmais di Jakarta. Oleh
puterinya saya diberitahu SP sedang dirawat di ICU RS Gleneagles Medan.
Mendengar ICU kita tentu sudah paham bahwa penyakitnya cukup gawat. Saya datang
menjenguk dan masuk pelan-pelan keruangan ICU karena takut terjadi suara
berisik. Ternyata setelah melihat saya masuk, langsung ditanya dengan suara
yang agak keras bagaimana keadaan pembangunan Sibolga dan Tapanuli Tengah
sekarang. Memang SP ini sangat menaruh perhatian terhadap pembangunan kampung
halaman kami itu. SP telah beberapa kali menulis pandangannya mengenai
permasalahan pembangunan di Sibolga/Tapanuli Tengah, ditinjau dari kacamata
seorang Sarjana Ekonomi. Rupanya kunjungan ini merupakan perpisahan kami dimana
saya masih dapat berkomunikasi dengan beliau. Kemudian setelah SP dipindahkan
ke RS Siloam Gleneagles Karawaci di Kabupaten Tangerang (+ 30 Km dari Jakarta),
saya datang menjenguknya, karena menurut pendapat saya penyakitnya itu sangat
berat dan tipis harapan sembuh. Ketika saya beserta istri datang pagi, kami
tidak bisa lagi bertemu, karena sedang dipersiapkan untuk dioperasi. Ketika
sore kami datang lagi, ternyata tidak jadi dioperasikan dan dimasukkan lagi
keruangan ICU dalam keadaan setengah koma. Beberapa hari kemudian saya mendapat
telepon dart Nur Intan Boru Regar, memberitahukan bahwa besok pagi SP akan
dibawa pulang ke Medan dan pagi-pagi jam lima akan dibawa ke Cengkareng Airport
Ketika sepuluh hari kemudian saya menelpon ke Medan mau menanyakan bagaimana
keadaan SP sekarang, barulah saya ketahui bahwa sebenarnya sudah meninggal
malam (Jam 21.53 WIB) menjelang berangkat ke airport. Rupanya tidak ada yang
teringat menyampaikan berita itu pada saya di Jakarta.
Selamat jalan sahabatku Sorimuda Pulungan
Semoga Allah SWT menerima seagala amal dan
ibadahnya
Serta diampuni dosa-dosanya
Dan diberi tempat yang baik disisi-Nya
Amien
Ketika berita duka cita ini saya sampaikan
pada adik saya nomor 3 bernama Helmi L.Tobing yang pernah bekerja pada Badan
Khusus PNP Departemen Pertanian, dia bercerita tentang sekelumit pengalamannya
dengan SP
Pada suatu waktu saya ditugaskan mengadakan
klarifikasi mengenai suatu persoalan dikantor PNPV Pada saat itu SP adalah Pejabat Kepala Bagian
Pembiayaan.Waktu saya menuju kantornya, SP sudah melihat saya, sedangkan saya
sendiri belum mengenalnya. Ketika bersalam perkenalan, saya langsung
diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan bersambung.
Apa kabar abangmu si Afif (penulis), apa masih
di Jakarta atau sudah keluar negeri, bagaimana kabar Sulhani (Adik penulis yang
nomor 1), sudah berapa anaknya dan bagaimana suaminya Thamrin Lubis sekarang
(temannya dulu sama-sama di Fakultas Ekonomi Gajah Mada); dimana abangmu Ir.
Syafif (Adik penulis nomor 2), apa masih di Bandung atau di Jakarta.
Mendengar pertanyaan beruntun itu saya kaget
dan gugup menjawabnya. Dalam hati saya berkata, rupanya Pak Pulungan ini kenal
betul dengan Abang dan Kakak saya, karena beliau adalah orang Sibolga lama
rupanya. Akhirnya saya merasa sungkan untuk mengajukan pertanyaan sebagaimana
maksud kedatangan semula dan akhirnya kami lebih banyak bicara mengenai Sibolga
kampung halaman kami.
Demikianlah kenangan saya pada almarhum
Sorimuda Pulungan, seorang teman sekolah dan sahabat yang baik hati. Salam saya
bagi Ibu Nur Intan Boru Regar beserta putera-puterinya, semoga senantiasa
mendapat perlindungan Tuhan.**
Sibolga, 15 Met 2002
Pembaca
Buku Ilmiah Yang saya kagumi
Asyari
Darus
Abang Pulungan yang saya kenal, orangnya agak
pendiam dan tidak banyak bicara serta selalu mendengarkan pembicaraan orang
lain dan sekali-kali member komentar.
Semasa kuliah di Fakultas Ekonomi Gadjah Mada
di Yogyakarta tahun 1954 s.d 1958 saya pernah ditunjuk sebagai kurir pengantar
pos antara Abang dengan Kak Intan di Medan. Rupanya beliau ingin megenalkan saya dengan pacarnya
dan sewaktu saya kembali vakansi dititipkannya Surat untuk Kak Intan di Medan
dan Kak Intan tak lupa pula menitipkan suratnya untuk Si Abang di Yogyakarta.
Dengan demikian hubungan mesra antara Si Abang dengan Kak Intan telah lama saya
ketahui dan kalau tidak salah di tahun 1955/1956.
Pada masa belajar, beliau orangnya sangat tekun dan mempelajari
semua itu dengan teliti dan medalam. Beliau tidak puas dengan terjemahan
diktat-diktat dart Penebitan Gadjah Mada, akan tetapi langsung membaca dari
buku aslinya Beliau pernah menuniukkan buku pengantar Ilmu Hukum (Introduction
To Law)
karangan Paton. Bagi saya buku tersebut sangat sulit dimengerti karena
bahasanya yang ilmiah, dan bahasa Inggris saya sangatlah minim, karena saya
baru belajar dan kursus bahasa Inggris. Oleh sebab itu saya memang kagum dengan
beliau dengan kemampuan bahasa ilmiahnya. Bahkan beliau membaca buku-buku asli yang berbahasa Belanda
dan Jerman. Menurut hemat saya, Abang Pulungan kurang tepat bertugas di
perusahaan seperti Pertekstilan TD Pardede dan PT Perkebunan, dan beliau lebih
baik berkiprah di perguruan tinggi dengan gelar Prof. Dr karena kemampuan
ilmiahnya dan kutu buku.
Setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta
tahun 1961 saya menjadi pegawai negeri Dep. Perdagangan. Setelah melanglang
buana di dalam dan luar negeri, saya bertemu kembali dengan Si Abang di Medan
pada tahun 1975 s.d. 1978. Pada masa tersebut saya ditempatkan di Medan sebagai
Kepala Perwakilan Dep. Perdagangan Sumatera Utara. Kami bermain golf bersama di
Tanjung Morawa, dimana beliau pada masa tersebut menjadi Direktur Komersil PTP II. Maklurnlah sebagai
Direktur, para pengurus Golf Club dan kedi-kedi sangat takut dan segan dengan
Bapak Direktur, hal ini merupakan warisan Belanda yang pada masa lalu dikenal
dengan Hama Tuan Besar dan hal ini diteruskan pada masa Republik. Sedangkan
jadi Mandor Besar saja sudah luar biasa kuasannya.
Pernah saya datang berkunjung ke rumah Si
Abang untuk main golf pada sore dan Si Abang sedang tidur siang. Para Satpam
tidak ada yang berani membangunkannya. Saya mengetok-ngetok jendela rumah Tuan
Besar dan hal ini sangat mengherankan Satpam tersebut. Kok ada yang berani
mengetok rumah dengan suara panggilan yang keras.
Kalau dibandingkan rumah dinas Direktur
Komersil dengan rumah dinas Kepala Kanwil Dep. Perdagangan seperti siang dengan
malam. Rumah Kakanwil Dep. Perdagangan di Medan Baru hanya seluas 200 M2 dengan
luas bangunan 150 M2 , rumah tersebut lebih kecil dari rumah mandor di PTP.
Beliau merasa heran melihat rumah dinas. Kakanwil Dep. Perdagangan kok kecil
betul.
Setelah saya pindah ke Jakarta tahun 1975 s.d.
1982 dan ditempatkan di London, Inggris tahun 1982 s.d. 1986 sebagai Atase
Perdagangan, hubungan kami sudah tidak: saling mengunjungi lagi.
Saya kembali dari London di tahun 1986, rupanya
jenjang kepangkatan saya sama dengan Abang Pulungan yang lebih dahulu menjadi Dirut PTP Saya
diangkat menjadi Dirut PT (P) Kawasan Berikat Nusantara dan Dirut PT (P)
Pengelola Kawasan Berikat Indonesia yang bergerak dibidang industri dan
perdagangan Kawasan Bebas Bea Masuk (Free Trade Zone) dari tahun 1986 s.d. 1995 dan pada akhirnya dipensiunkan
dan menetap di Jakarta sehingga pada masa tersebut jarang sekali bertemu,
karena Bang Pulungan telah pindah ke Lampung,Yogya dan Medan.
Demikian kenang-kenangan manis selama mengenal
beliau. Semoga Allah SWT memberikan tempat yang baik disisi Nya.
Medan, Juli 2002
“Mora
Nami”
Intelektual
Yang Taat Beragama
Prof.
Ismet Danial Nasution, drg, Ph D
Tanggal 27 Desember 2001, ± pukul 20.00 WIB.
Istri saya, Haslinda Z.Tamin. drg, M.Kes, menerima kabar melalui telepon, bahwa
mamak Drs. H. Sorimuda Pulungan telah berpulang kerahmatullah di Jakarta.
Berita dukacita ini disampaikan pada saya. Innalillahi Wainna Illaihi Rojiun!
Berita dukacita ini menghanyutkan saya kepada
pembicaraan kami terakhir dengan beliau di Rumah Sakit Herna beberapa minggu lalu
sewaktu beliau dirawat dirumah sakit tersebut. Saya, istri saya, beliau dan
nantulang Hj. Nurintan Siregar terlibat dalam pembicaraan sampai agak larut malam, tidak
saja tentang kondisi kesehatan beliau tetapi seperti biasanya beliau dengan
penuh semangat menyampaikan pemikiran-pemikinnnya tentang kehidupan ini.
Ingatan saya terus berlanjut kepada beberapa peristiwa ketika saya mulai mengenal beliau secara
dekat. Beliau adalah orang intelektual yang taat beragama, rajin membaca.
peduli kepada keluarga dan lingkungannya. Sewaktu saya baru kembali
menyelesaikan pendidikan lanjutan saya di School Of Dentistry Hiroshima
University Japan ; pada bulan April 1987, dalam acara dirumah orang tua saya
(Drs H Rivai
Manap Nasution/Hj. Maskiah Pulungan), beliau mengkhususkan memanggil saya dan
bertanya tentang Pendidikan yang saya alami di Jepang. Kemudian sebagai orang
tua yang berfungsi sebagai “Mora”, beliau menyampaikan bebarapa nasihat kepada
saya untuk dapat mensosialisasikan ilmu dan ngalaman yang saya peroleh untuk kepentingan
pendidikan, keluarga, bangsa dan Negara. Sejak saat itu beliau selalu
menyampaikan pandangan-pandangannya kepada saya, khususnya sebagai “Anak Boru”
demi kematangan pribadi saya.
Peristiwa demi penstiwa inilah yang membuat
saya merasa bertambah dekat dengan beliau namun sebenarnya belum banyak hal
yang saya ketahui tentang beliau berpulang setelah beliau berpulang
kerahmatullah dan setelah saya mendapat kesempatan membaca riwayat hidup beliau
melalui buku “Bukti Kepada Generasl Penerus”. saya semakin menyadari betapa
banyak lagi hal yang dapat dipetik dan beliau.
Masa kanak-kanak beliau dengan segala perjuangannya, khususnya
dalam menuntut ilmu sampai kepada mahasiswa di Yogyakarta, merupakan cerminan
jiwa yang terus membara dalam kecintaan beliau untuk meluaskan wawasan
pemikiran dan menempa kepribadiannya melalui pendidikan. Pengalaman beliau
dalam bekerja diberbagai bidang, dimulai dengan bekerja di Banjarmasin sebagai
Assisten Dosen di Akademi Perniagaan Kalimantan menunjukkan betapa cintanya
beliau kepada pendidikan. Proses ini terus berlanjut walaupun beliau bekerja di
berbagai perusahaan, namun kegiatan dalam pendidikan terus digeluti beliau baik
di USU. UISU dan lain-lainnya. Bagi keluarga hal ini sangat dirasakan, oleh
karena itu dalam setiap pertemuan keluarga. yang selalu diadakan dirumah beliau
ataupun dalam pertemuan keluarga lainnya, beliau selalu tampil tidak hanya
dengan perkataan tetapi dengan contoh pertemuan yang bersifat pendidikan
terhadap keluarga, baik didalam kedudukan beliau sebagai Mora. Kahanggi maupun
Anak Boru. Tulisan-tulisan beliau yang antara lain dapat dibaca didalam
biografi beliau ini, mencerminkan betapa luasnya penguasaan ilmu beliau dalam
beberapa aspek kehidupan dan bila dibaca lebih jauh kesemua tulian tersebut
tidak terlepas dan misi pendidikan.
Akhirnya, do'a kita semua sangat diharapkan
khususnya anak-anak beliau. Insya Allah beliau akan mendapat tempat yang baik
disisi Allah SWT Amin.